Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 104. Perawan Lembah Maut Lord of the Rings 1 - Sembilan Pembawa Cincin Lord of the Rings 2 - Dua Menara Lord of the Rings 3 - Kembalinya Sang Raja 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik - Tangqi Gongzi
Mendadak diantara hembusan angin berkumandang suara aneh seperti suara seruling yang ditiup kencang, paas muka Un Tay-tay segera berubah hebat, cepat bisiknya: “Mereka sedang mendesakku agar segera kembali” “Bagaimana kalau aku mengikutimu?” buru buru Thiat Tiong—tong bertanya. Dengan kening berkerut Un Tay-tay berpikir sejenak, sahutnya kemudian sambil menghela napas: “Baiklah! Tapi kami berencana akan beristirahat sejenak dalam kuil Seng—bo—bio di depan sana hingga kentongan ke empat sebelum berangkat, datang saja diwaktu itu, Cuma gerak gerikmu mesti sangat hati hati, kalau sampai ketahuan mereka, bisa berabe!” Ketika menyelesaikan katanya yang terakhir, dia sudah pergi sangat jauh. Secara tak sengaja Thiat Tiong—tong telah bertemu dengan Un Tay-tay, diapun sudah mengetahui banyak peristiwa yang terjadi, walaupun dibalik kisah tersebut terdapat berapa kejadian yang sangat menyedihkan hati, bagaimana pun jauh lebih banyak berita gembiranya daripada kejadian duka. Khususnya Setelah mendengar kabar kalau Im Ceng bukan saja sudah sembuh dari lukanya bahkan telah diajai ilmu silat oleh Bu-si Thaysu, seorang pendeta sakti disaat itu, kenyataan man betul betul membuat Thiat Tiong-tong merasa amat gembira. Diam diam pikirnya: “Masih cukup waktu hingga kentongan ke empat, kenapa aku tidak minum dulu berapa cawan arak di rumah makan, anggap saja untuk merayakan keberhasilan samte!” Dengan cepat dia pun berjalan menuju ke arah rumah makan. Waktu itu kerumunan orang disepanjang jalan raya telah bubar, tapi dalam rumah makan masih ada orang sedang memperbincangkan kehadiranan wanita suci itu, ketika dari kejauhan Thiat Tiong—tong melihat papan nama didepan warung, dia pun mempercepat langkahnya. Tiba tiba ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia yang sangat dikenalnya sedang berangkulan memasuki rumah makan itu, meski hanya sekilas namun Thiat Tiong—tong segera kenali mereka sebagai Sim Sin—pek dan Im Ceng. Kedua orang ini sangat dikenalnya, ia merasa tak mungkin salah melihat, tapi mengapa mereka berdua bisa memasuki rumah makan sambil berangkulan, bahkan kelihatannya akrab sekali? Satu kenyataan yang mimpi pun tak pernah disangka Thiat Tiong—tong. Dengan perasaan heran bercampur cemas cepat dia menghentikan langkahnya, pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya: “Kenapa mereka berdua bisa jalan bersama? Pasti Sim Sin—pek dengan lidah berbisanya telah membohongi samte ku hingga dia menaruh kepercayaan penuh terhadapnya, dibalik kesemuanya ini pasti terdapat intrik serta rencana busuk!” Membayangkan apa yang bakal terjadi, tanpa terasa peluh dingin jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuh Thiat Tiong—tong, pikirnya: “Beruntung kejadian ini segera kuketahui, anggap saja nasib samte memang belum sial benaran” Seandainya berganti orang lain, niscaya akan segera menerjang masuk dan melabrak mereka. Tapi Thiat Tiong—tong adalah orang yang sangat hati hati dan berpikiran cermat, dia tahu kesalahan paham Im Ceng terhadapnya sudah kelewat mendalam, seandainya ia menerjang masuk sekarang, bukan saja Im Ceng tak bakal mempercayai perkataannya, bisa jadi dia malah akan menyerang dirinya habis habisan. Sekalipun berada dalam posisi yang amat pelik, tapi otak Thiat Tiong—tong berputar cepat, tiba tiba ia menyelinap ke balik sebuah lorong gelap, dari sudut lorong menemukan seorang lelaki miskin dan segera serunya: “Hei, pingin mendapat rejeki tidak?” Lelai miskin itu memang sedang kelaparan saking miskinnya, tentu saja ia kegirangan setengah mati, sahutnya sambil melompat bangun: “Mau berkelahi, mau menggertak orang, urusan apa pun silahkan tuan perintahkan” “Aku tidak meminta kau melakukan apa pun” sahut Thiat Tiong—tong sambil tertawa, “asal kau bersedia menanggalkan pakaianmu itu!” Tak Selang berapa saat kemudian, Thiat Tiong—tong telah muncul kembali dari balik lorong sambil mengenakan pakaian milik lelaki miskin itu, wajahnya telah dilumuri lumpur, rambutnya ditutupi sebuah topi kumuh dan ditangannya menenteng setengah renteng uang receh. Sekalipun dia tak pandai menyaru muka, tapi kemampuannya menirukan lagak orang memang cukup mengagumkan. Dengan mata setengah juling dan tangan kiri garuk garuk bawah ketiaknya, selangkah demi selangkah ia berjalan masuk ke dalam rumah makan, “Tringg!” dia melemparkan setengah renteng uang receh itu ke meja kasir, kemudian teriaknya: “Tauke, cepat siapkan kacang goreng dan arak, aku minta arak bagus!” Sambil berteriak, diam diam ia melirik sekejap ke arah Im Ceng dan Sim Sin—pek, kemudian dengan gaya yang dibuat buat sengaja duduk di meja samping mereka berdua. Dengan gaya seakan kuatir tertukar kutu busuk dari atas uang receh itu, sang ciangkwee memungut uang tersebut dengan kedua jari tangannya, kemudian dengan kening berkerut dan menggelengkan kepalanya berulang kali dia bergumam: “Aaaai, dasar kere, hidangan enam ketip pun tak mampu order, tahunya minum, minum melulu.... hmmm, masih minta arak bagus lagi, kenapa semua kere dikolong langit selalu lagaknya bau . . . . . . .. pelayan, siapkan arak bagus untuk tuan kere itu!” Thiat Tiong—tong yang mendengar omelan itu hanya tertawa geli tanpa komentar. Ia tak berani duduk menghadap Im Ceng serta Sim Sin-pek, maka dicarinya tempat duduk yang membelakangi mereka, betul juga, ia segera mendengar Sim Sin—pek sedang menjilat pantat. Selang berapa saat kemudian tiba tiba terdengar Im Ceng berteriak keras: “Sebetulnya kau tahu tidak dimana letak pulau Siang-cun—to? Kau harus bicara jujur, persoalan ini bukan masalah yang bisa dibuat main main” Terdengar Sim Sin—pek segera menyahut sambil tertawa dibuat buat: “Bila siaute tidak tahu, buat apa mesti membohongi toako” “Aaaai, ternyata kau lumayan juga orangnya, tak disangka meski kita tak pernah kenal tapi kau baik sekali terhadapku, sementara saudaraku sendiri justru manusia busuk berhati binatang!” “Toako, buat apa kau singgung lagi manusia she—Thiat itu” kata Sim Sin—pek sambil tertawa, “menyinggung kembali manusia busuk, bangsat pemogoran macam dia hanya akan menghilangkan selera minum kita saja” “Benar” jawab Im Ceng dengan suara lantang, “mari, aku harus menghukum diriku dengan secawan arak” Kemudian Setelah meneguk habis isi cawannya, mendadak ia menggebrak meja dan menghela napas berulang kali, menggunakan kesempatan itu Sim Sin—pek segera membujuknya agar meneguk lagi berapa cawan arak. Thiat Tiong—tong yang mendengar pembicaraan itu diam diam hanya bisa tertawa getir, pikirnya: “Tampaknya Im Ceng sedang dalam perjalanan menuju pulau Siang- cun-to dan tanpa sengaja telah bersua dengan Sim Sin—pek sekalian, maka mereka menggunakan pulau Siang—cun-to sebagai umpan untuk memancingnya masuk perangkap, tapi aneh, kenapa Sim Sin—pek tidak mencoba membokongnya, tidak nampak juga ia berusaha mengorek rahasia lainnya, rencana busuk apa lagi yang sedang dia lakukan?” Karena berhasrat untuk membongkar rencana busuk yang sedang dilakukan Sim Sin—pek terhadap Im Ceng, maka diapun tidak melakukan sesuatu tindakan. Selama ini Sim Sin—pek hanya berbicara ke sana kemari, Sekalipun inti pembicaraan tak berarti namun kemampuan orang ini berbicara memang luar biasa, sampai Thiat Tiong—tong sendiripun ikut terpikat untuk mendengarnya. Tiba tiba Sim Sin—pek mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya perlahan: “Padahal kalau mesti bicara jujur, siaute sendiripun tidak terlalu jelas dimana letak pulau Siang-cun—to” “Jadi...... jadi kau sengaja mempermainkan aku?” tegur Im Ceng dengan wajah berubah. “Toako jangan gelisah dulu” buru buru Sim Sin—pek membujuk sambil tertawa dibuat buat, “Sekalipun siaute tidak terlalu jelas, tapi kujamin pasti dapat menghantar toako tiba di Siang-cun—to dengan aman!” “Bagaimana caranya?” “Hari ini silahkan toako minum arak sepuasnya, besok kita ke pesisir pantai, akan siaute cari berapa orang tukang perahu yang sering pergi ke pulau Siang—cun-to, asal ombak tenang angin lancar, lusa pagi kita sudah akan tiba di pulau Siang-cun-to dengan selamat” “Kau memang saudaraku yang hebat” puji Im Ceng sambil tertawa, “mari kita bersulang!” Thiat Tiong—tong yang menyaksikan peristiwa itu, diam diam menghela napas, pikirnya: “Tak nyana walaupun kungfu yang dimiliki samte telah mencapai kemajuan yang pesat, namun sepak terjangnya mamih gegabah, berangasan dan terburu napsu, ucapan bajingan tengik macam begitupun dia percaya” Dia sadar tak ada seorang tukang perahu pun di pesisir yang pernah berlayar ke pulau Siang—cun-to, tapi dia pun kesulitan untuk membongkar kebohongan tersebut disaat seperti ini, diam diam ia mulai cemas bercampur gelisah. Waktu minum arak berlalu sangat cepat, ketika bubaran, waktu sudah menunjukkan tengah malam, waktu itu Im Ceng sudah mabuk berat, selesai membayar rekening Sim Sin—pek memayangnya keluar dari rumah makan. Thiat Tiong—tong kaget bercampur cemas, kembali pikirnya: “Samte memang selalu gegabah, masa dalam keadaan beginipun dia masih berani minum sampai mabuk berat, seandainya Sim Sin—pek menggunakan kesempatan ini untuk mencelakainya, mungkin dia bakal mati tanpa sadar” Maka secara diam diam dia pun mengintil di belakang Sim Sin—pek. Meskipun saat ini dia sanggup merobohkan Sim Sin—pek secara gampang dan selamatkan Im Ceng, tapi dia yakin disamping Sim Sin—pek seorang, dia pasti masih memiliki komplotan lain diseputar sana. Untuk menyelidiki rencana busuk apa yang sedang direncanakan manusia busuk ini, maka Thiat Tiong—tong pun tidak segera turun tangan, sebab kungfu yang dimilikinya sekarang sudah jauh diatas kemampuan Sim Sin—pek, bila orang itu berniat mencelakai saudara seperguruannya, dia percaya secara gampang rencana keji itu dapat digagalkan. Sekalipun begitu, tak sekejap mata pun ia berani mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Jalan raya itu amat hening, tak kedengaran suara apun, tak terlihat sesosok bayangan manusia pun, sewaktu Sim Sin—pek dengan memayang Im Ceng tiba di ujung jalan, tiba tiba ia menghentikan langkahnya dan mulai celingukan kesana kemari. cepat Thiat Tiong—tong menyelinap ke samping jalan dan menyembunyikan diri dibalik kegelapan, saat itulah terdengar suara kereta kuda berkumandang ditengah keheningan malam, sebuah kereta berlari cepat dari sudut kiri jalan dan melaju ke arah depan. Berkilat sepasang mata Sim Sin—pek, ia segera bersuit nyaring. Belum selesai bersuit, sebuah kereta besar lain yang dihela dua ekor kuda telah muncul disana dan seketika berhenti didepan kedua orang itu. Dengan satu gerakan cepat Sim Sin—pek menarik tubuh Im Ceng masuk ke dalam ruang kereta itu, kereta pun kembali berlarian meninggalka tempat itu, Satu kerja sama yang sangat bagus, nyaris tak ada sedikit waktupun yang terbuang dengan percuma. Dari sini dapat disimpulkan kalau cara kerja Sim Sin—pek memang sangat rapi dengan perencanaan yang sempurna, ada atau tidak orang yang menguntit, sejak awal ia sudah persiapkan orang untuk mengelabuhinya. Bila waktu itu ada yang menguntit, niscaya orang itu akan terpedaya hingga lolos penguntitannya. Untung Thiat Tiong—tong bukan manusia bodoh, begitu mendengar suara kereta kuda, ia segera menduga kalau ada hubungannya dengan Sim Sin—pek, maka sebelum kereta tiba ditempat tujuan, dia sudah bergerak duluan. Ketika kereta berhenti sejenak memberi peluang Sim Sin—pek untuk naik ke dalam kereta, Thiat Tiong—tong pun ikut menyusup ke sisi kereta sambil berpegangan kencang.
Pendekar Rajawali Sakti - 104. Perawan Lembah Maut Lord of the Rings 1 - Sembilan Pembawa Cincin Lord of the Rings 2 - Dua Menara Lord of the Rings 3 - Kembalinya Sang Raja 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik - Tangqi Gongzi
Mendadak diantara hembusan angin berkumandang suara aneh seperti suara seruling yang ditiup kencang, paas muka Un Tay-tay segera berubah hebat, cepat bisiknya: “Mereka sedang mendesakku agar segera kembali” “Bagaimana kalau aku mengikutimu?” buru buru Thiat Tiong—tong bertanya. Dengan kening berkerut Un Tay-tay berpikir sejenak, sahutnya kemudian sambil menghela napas: “Baiklah! Tapi kami berencana akan beristirahat sejenak dalam kuil Seng—bo—bio di depan sana hingga kentongan ke empat sebelum berangkat, datang saja diwaktu itu, Cuma gerak gerikmu mesti sangat hati hati, kalau sampai ketahuan mereka, bisa berabe!” Ketika menyelesaikan katanya yang terakhir, dia sudah pergi sangat jauh. Secara tak sengaja Thiat Tiong—tong telah bertemu dengan Un Tay-tay, diapun sudah mengetahui banyak peristiwa yang terjadi, walaupun dibalik kisah tersebut terdapat berapa kejadian yang sangat menyedihkan hati, bagaimana pun jauh lebih banyak berita gembiranya daripada kejadian duka. Khususnya Setelah mendengar kabar kalau Im Ceng bukan saja sudah sembuh dari lukanya bahkan telah diajai ilmu silat oleh Bu-si Thaysu, seorang pendeta sakti disaat itu, kenyataan man betul betul membuat Thiat Tiong-tong merasa amat gembira. Diam diam pikirnya: “Masih cukup waktu hingga kentongan ke empat, kenapa aku tidak minum dulu berapa cawan arak di rumah makan, anggap saja untuk merayakan keberhasilan samte!” Dengan cepat dia pun berjalan menuju ke arah rumah makan. Waktu itu kerumunan orang disepanjang jalan raya telah bubar, tapi dalam rumah makan masih ada orang sedang memperbincangkan kehadiranan wanita suci itu, ketika dari kejauhan Thiat Tiong—tong melihat papan nama didepan warung, dia pun mempercepat langkahnya. Tiba tiba ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia yang sangat dikenalnya sedang berangkulan memasuki rumah makan itu, meski hanya sekilas namun Thiat Tiong—tong segera kenali mereka sebagai Sim Sin—pek dan Im Ceng. Kedua orang ini sangat dikenalnya, ia merasa tak mungkin salah melihat, tapi mengapa mereka berdua bisa memasuki rumah makan sambil berangkulan, bahkan kelihatannya akrab sekali? Satu kenyataan yang mimpi pun tak pernah disangka Thiat Tiong—tong. Dengan perasaan heran bercampur cemas cepat dia menghentikan langkahnya, pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya: “Kenapa mereka berdua bisa jalan bersama? Pasti Sim Sin—pek dengan lidah berbisanya telah membohongi samte ku hingga dia menaruh kepercayaan penuh terhadapnya, dibalik kesemuanya ini pasti terdapat intrik serta rencana busuk!” Membayangkan apa yang bakal terjadi, tanpa terasa peluh dingin jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuh Thiat Tiong—tong, pikirnya: “Beruntung kejadian ini segera kuketahui, anggap saja nasib samte memang belum sial benaran” Seandainya berganti orang lain, niscaya akan segera menerjang masuk dan melabrak mereka. Tapi Thiat Tiong—tong adalah orang yang sangat hati hati dan berpikiran cermat, dia tahu kesalahan paham Im Ceng terhadapnya sudah kelewat mendalam, seandainya ia menerjang masuk sekarang, bukan saja Im Ceng tak bakal mempercayai perkataannya, bisa jadi dia malah akan menyerang dirinya habis habisan. Sekalipun berada dalam posisi yang amat pelik, tapi otak Thiat Tiong—tong berputar cepat, tiba tiba ia menyelinap ke balik sebuah lorong gelap, dari sudut lorong menemukan seorang lelaki miskin dan segera serunya: “Hei, pingin mendapat rejeki tidak?” Lelai miskin itu memang sedang kelaparan saking miskinnya, tentu saja ia kegirangan setengah mati, sahutnya sambil melompat bangun: “Mau berkelahi, mau menggertak orang, urusan apa pun silahkan tuan perintahkan” “Aku tidak meminta kau melakukan apa pun” sahut Thiat Tiong—tong sambil tertawa, “asal kau bersedia menanggalkan pakaianmu itu!” Tak Selang berapa saat kemudian, Thiat Tiong—tong telah muncul kembali dari balik lorong sambil mengenakan pakaian milik lelaki miskin itu, wajahnya telah dilumuri lumpur, rambutnya ditutupi sebuah topi kumuh dan ditangannya menenteng setengah renteng uang receh. Sekalipun dia tak pandai menyaru muka, tapi kemampuannya menirukan lagak orang memang cukup mengagumkan. Dengan mata setengah juling dan tangan kiri garuk garuk bawah ketiaknya, selangkah demi selangkah ia berjalan masuk ke dalam rumah makan, “Tringg!” dia melemparkan setengah renteng uang receh itu ke meja kasir, kemudian teriaknya: “Tauke, cepat siapkan kacang goreng dan arak, aku minta arak bagus!” Sambil berteriak, diam diam ia melirik sekejap ke arah Im Ceng dan Sim Sin—pek, kemudian dengan gaya yang dibuat buat sengaja duduk di meja samping mereka berdua. Dengan gaya seakan kuatir tertukar kutu busuk dari atas uang receh itu, sang ciangkwee memungut uang tersebut dengan kedua jari tangannya, kemudian dengan kening berkerut dan menggelengkan kepalanya berulang kali dia bergumam: “Aaaai, dasar kere, hidangan enam ketip pun tak mampu order, tahunya minum, minum melulu.... hmmm, masih minta arak bagus lagi, kenapa semua kere dikolong langit selalu lagaknya bau . . . . . . .. pelayan, siapkan arak bagus untuk tuan kere itu!” Thiat Tiong—tong yang mendengar omelan itu hanya tertawa geli tanpa komentar. Ia tak berani duduk menghadap Im Ceng serta Sim Sin-pek, maka dicarinya tempat duduk yang membelakangi mereka, betul juga, ia segera mendengar Sim Sin—pek sedang menjilat pantat. Selang berapa saat kemudian tiba tiba terdengar Im Ceng berteriak keras: “Sebetulnya kau tahu tidak dimana letak pulau Siang-cun—to? Kau harus bicara jujur, persoalan ini bukan masalah yang bisa dibuat main main” Terdengar Sim Sin—pek segera menyahut sambil tertawa dibuat buat: “Bila siaute tidak tahu, buat apa mesti membohongi toako” “Aaaai, ternyata kau lumayan juga orangnya, tak disangka meski kita tak pernah kenal tapi kau baik sekali terhadapku, sementara saudaraku sendiri justru manusia busuk berhati binatang!” “Toako, buat apa kau singgung lagi manusia she—Thiat itu” kata Sim Sin—pek sambil tertawa, “menyinggung kembali manusia busuk, bangsat pemogoran macam dia hanya akan menghilangkan selera minum kita saja” “Benar” jawab Im Ceng dengan suara lantang, “mari, aku harus menghukum diriku dengan secawan arak” Kemudian Setelah meneguk habis isi cawannya, mendadak ia menggebrak meja dan menghela napas berulang kali, menggunakan kesempatan itu Sim Sin—pek segera membujuknya agar meneguk lagi berapa cawan arak. Thiat Tiong—tong yang mendengar pembicaraan itu diam diam hanya bisa tertawa getir, pikirnya: “Tampaknya Im Ceng sedang dalam perjalanan menuju pulau Siang- cun-to dan tanpa sengaja telah bersua dengan Sim Sin—pek sekalian, maka mereka menggunakan pulau Siang—cun-to sebagai umpan untuk memancingnya masuk perangkap, tapi aneh, kenapa Sim Sin—pek tidak mencoba membokongnya, tidak nampak juga ia berusaha mengorek rahasia lainnya, rencana busuk apa lagi yang sedang dia lakukan?” Karena berhasrat untuk membongkar rencana busuk yang sedang dilakukan Sim Sin—pek terhadap Im Ceng, maka diapun tidak melakukan sesuatu tindakan. Selama ini Sim Sin—pek hanya berbicara ke sana kemari, Sekalipun inti pembicaraan tak berarti namun kemampuan orang ini berbicara memang luar biasa, sampai Thiat Tiong—tong sendiripun ikut terpikat untuk mendengarnya. Tiba tiba Sim Sin—pek mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya perlahan: “Padahal kalau mesti bicara jujur, siaute sendiripun tidak terlalu jelas dimana letak pulau Siang-cun—to” “Jadi...... jadi kau sengaja mempermainkan aku?” tegur Im Ceng dengan wajah berubah. “Toako jangan gelisah dulu” buru buru Sim Sin—pek membujuk sambil tertawa dibuat buat, “Sekalipun siaute tidak terlalu jelas, tapi kujamin pasti dapat menghantar toako tiba di Siang-cun—to dengan aman!” “Bagaimana caranya?” “Hari ini silahkan toako minum arak sepuasnya, besok kita ke pesisir pantai, akan siaute cari berapa orang tukang perahu yang sering pergi ke pulau Siang—cun-to, asal ombak tenang angin lancar, lusa pagi kita sudah akan tiba di pulau Siang-cun-to dengan selamat” “Kau memang saudaraku yang hebat” puji Im Ceng sambil tertawa, “mari kita bersulang!” Thiat Tiong—tong yang menyaksikan peristiwa itu, diam diam menghela napas, pikirnya: “Tak nyana walaupun kungfu yang dimiliki samte telah mencapai kemajuan yang pesat, namun sepak terjangnya mamih gegabah, berangasan dan terburu napsu, ucapan bajingan tengik macam begitupun dia percaya” Dia sadar tak ada seorang tukang perahu pun di pesisir yang pernah berlayar ke pulau Siang—cun-to, tapi dia pun kesulitan untuk membongkar kebohongan tersebut disaat seperti ini, diam diam ia mulai cemas bercampur gelisah. Waktu minum arak berlalu sangat cepat, ketika bubaran, waktu sudah menunjukkan tengah malam, waktu itu Im Ceng sudah mabuk berat, selesai membayar rekening Sim Sin—pek memayangnya keluar dari rumah makan. Thiat Tiong—tong kaget bercampur cemas, kembali pikirnya: “Samte memang selalu gegabah, masa dalam keadaan beginipun dia masih berani minum sampai mabuk berat, seandainya Sim Sin—pek menggunakan kesempatan ini untuk mencelakainya, mungkin dia bakal mati tanpa sadar” Maka secara diam diam dia pun mengintil di belakang Sim Sin—pek. Meskipun saat ini dia sanggup merobohkan Sim Sin—pek secara gampang dan selamatkan Im Ceng, tapi dia yakin disamping Sim Sin—pek seorang, dia pasti masih memiliki komplotan lain diseputar sana. Untuk menyelidiki rencana busuk apa yang sedang direncanakan manusia busuk ini, maka Thiat Tiong—tong pun tidak segera turun tangan, sebab kungfu yang dimilikinya sekarang sudah jauh diatas kemampuan Sim Sin—pek, bila orang itu berniat mencelakai saudara seperguruannya, dia percaya secara gampang rencana keji itu dapat digagalkan. Sekalipun begitu, tak sekejap mata pun ia berani mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Jalan raya itu amat hening, tak kedengaran suara apun, tak terlihat sesosok bayangan manusia pun, sewaktu Sim Sin—pek dengan memayang Im Ceng tiba di ujung jalan, tiba tiba ia menghentikan langkahnya dan mulai celingukan kesana kemari. cepat Thiat Tiong—tong menyelinap ke samping jalan dan menyembunyikan diri dibalik kegelapan, saat itulah terdengar suara kereta kuda berkumandang ditengah keheningan malam, sebuah kereta berlari cepat dari sudut kiri jalan dan melaju ke arah depan. Berkilat sepasang mata Sim Sin—pek, ia segera bersuit nyaring. Belum selesai bersuit, sebuah kereta besar lain yang dihela dua ekor kuda telah muncul disana dan seketika berhenti didepan kedua orang itu. Dengan satu gerakan cepat Sim Sin—pek menarik tubuh Im Ceng masuk ke dalam ruang kereta itu, kereta pun kembali berlarian meninggalka tempat itu, Satu kerja sama yang sangat bagus, nyaris tak ada sedikit waktupun yang terbuang dengan percuma. Dari sini dapat disimpulkan kalau cara kerja Sim Sin—pek memang sangat rapi dengan perencanaan yang sempurna, ada atau tidak orang yang menguntit, sejak awal ia sudah persiapkan orang untuk mengelabuhinya. Bila waktu itu ada yang menguntit, niscaya orang itu akan terpedaya hingga lolos penguntitannya. Untung Thiat Tiong—tong bukan manusia bodoh, begitu mendengar suara kereta kuda, ia segera menduga kalau ada hubungannya dengan Sim Sin—pek, maka sebelum kereta tiba ditempat tujuan, dia sudah bergerak duluan. Ketika kereta berhenti sejenak memberi peluang Sim Sin—pek untuk naik ke dalam kereta, Thiat Tiong—tong pun ikut menyusup ke sisi kereta sambil berpegangan kencang.