Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 128

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Iliana Tan - Winter in Tokyo Ilana Tan - Summer in Seoul Ilana Tan - Spring in London Ilana Tan - Autumn in Paris Game Is Over - Yatna Pelangi

Baru saja dia melangkah keluar dari pintu, pintu kecil itu sudah tertutup rapat, kalau selama berapa hari ini pintu tersebut hanya setengah tertutup maka kini pintu itu tertutup rapat sekali. Un Tay-tay sadar, Setelah hari ini dia berjalan keluar dari kuil Siau—lim maka jangan harap dia bisa masuk lagi ke tempat itu, dengan membawa rasa sedih yang luar biasa iapun menelusuri jalan setapak menuju ke depan sana. Dia tak tahu ke arah mana ia pergi, terlebih tak tahu harus ke mana dia pergi. Lama sekali dia berjalan hingga tiba disisi sebuah sungai kecil, saat itulah Un Tay-tay baru berjongkok, mengambil air dan membasahi tenggorokanya. Waktu itu sinar matahari senja telah menyelimuti angkasa, cahaya keemas emasan memantul diatas permukaan air, menyinari wajahnya. Ketika sinar senja semakin redup, seluruh cahaya pun mulai menghilang, tak ada yang terlihat lagi disekeliling permukaan air. Mengawasi kegelapan yang mulai menyelimuti angkasa, dengan sedih Un Tay-tay bergumam: “Mengapa kehidupan manusia bagaikan aliran air sungai, keindahan selalu berlangsung cepat, kenapa aku harus hidup terus di dunia ini? Apakah sedang menanti saat menjadi gundiknya makhluk berjubah ungu itu?” Ditengah hembusan angin malam yang semakin dingin, Un Tay-tay merasa hatinya makin pedih, makin putus asa, akhirnya ia mendongakkan kepalanya menghela napas panjang, ia siap mengambil keputusan pendek. Tiba tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur: “Benarkah kau ingin mati?” Suaranya dingin dan sangat hambar. Dengan cepat Un Tay-tay membalikkan tubuh, seketika itu juga ia merasakan munculnya hawa dingin dari telapak kaki menerjang naik ke ubun ubunnya. Ternyata dibelakang tubuhnya, lebih kurang sejauh satu depa, entah sejak kapan telah berdiri sesosok bayangan wanita berbaju hitam, kecuali ujung gaunnya yang berkibar ketika terhembus angin, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya sama sekali tak nampak bergerak. Kemunculannya ditempat dan saat seperti ini bukan saja menimbulkan perasaan seram, bahkan mudah menimbulkan prasangka lain yang lebih mengerikan. Dengan perasaan bergidik Un Tay-tay segera berpikir: “Dia . . . . .. sebenarnya dia ini manusia, atau setan gentayangan?” Tapi ingatan lain segera melintas lewat, pikirnya lebih jauh: “Perduli amat, toh aku bakal segera amati, mau siluman rase, mau setan gentayangan, kenapa aku mesti takut" Maka dengan memberanikan diri diapun menyahut: “Benar, aku memang ingin mati, mau apa kau?” Dengan nada yang sedih perempuan berbaju hitam itu menyahut: “Usiamu masih sangat muda, sekarang kau berkata ingin mati, ini dikarenakan dorongan emosimu sesaat, padahal sebentar lagi belum tentu kau masih ingin mati” “Apalah arti dari kehidupan, kenapa aku masih ingin hidup” “Kalau begitu kau pasti sedang dirundung perasaan sedih yang luar biasa! Apakah orang yang kau cintai telah menyia nyiakan dirimu, meninggalkan dirimu dengan begitu saja?” Rasa sedih kembali menusuk perasaan Un Tay-tay, sambil menghentakkan kakinya ia menjerit keras: “Kau tak usah ikut campur!” Kemudan sambil menutup wajah sendiri dia lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Siapa tahu baru saja dia berlarian berapa saat, tiba tiba dijumpai perempuan berbaju hitam itu bagaikan sukma gentayangan saja, tanpa menimbulkan sedikit suara pun kembali sudah menghadang dihadapannya. “Kau . . . . . . .. kau . . . . . . .. sebenarnya apa mau mu!” teriak Un Tay-tay. “Aku pun orang yang sedang bersedih hati, sedang ingin mati, kalau kau memang bertekad ingin mati, lebih baik kita mati bersama—sama saja” ujar perempuan berbaju hitam itu perlahan. Diam diam Un Tay-tay berpikir: “Ooh, rupanya kau sedang menjajal apakah aku benar benar pingin mati? Bila kemudian mengetahui aku tak ingin mati maka kau akan mengejekku, mempermalukanku? Baik, aku akan mati dihadapannya” Maka sambil sengaja tertawa tergelak serunya: “Baik, tak kusangka dalam perjalanan menuju ke alam baka, aku bakal punya teman . . . . . . .. “Ikut aku!” bisik perempuan itu tiba tiba, sambil menarik tangan Un Tay-tay dia segera bergerak menuju ke barat. Un Tay-tay merasakan tangan perempuan itu dingin bagaikan es, II persis tangan orang yang sudah mati, selain dingin diapun merasakan munculnya semacam tenaga aneh yang membawa tubuhnya tanpa kuasa ikut berlarian mengintil di belakangnya. Sepanjang perjalanan diapun merasa ujung kakinya nyaris tidak menempel tanah, ketika memperhatikan pula pakaian hitam dan cadar hitamnya yang berkibar terhembus angin, nyaris tubuh perempuan itu seakan sedang melayang di angkasa saja. Biarpun Un Tay-tay bertekad ingin mati, tak urung berdiri juga bulu kuduknya setelah menyaksikan kejadian ini. Jalan perbukitan makin lama semakin curam dan berbahaya, diantara tebing tebing tinggi yang terjal terbentang jurang yang tak terkira dalamnya, asal terpeleset sedikit saja niscaya tubuhnya akan hancur lebur. Tiba tiba perempuan berbaju hitam itu menghentikan langkahnya sambil berkata: “sudah sampai, disinilah tempatnya” Ditengah kegelapan malam yang mencekam, Un Tay-tay menjumpai dirinya berdiri diatas sebuah batu gunung yang besar dipuncak tebing yang tinggi lagi curam, dibawah tebing terbentang kegelapan yang luar biasa, tidak jelas seberapa dalam jurang dihadapannya itu. “Apa lagi yang kau tunggu?” tanya perempuan berbaju hitam itu lagi, “ayohlah cepat melompat!” Un Tay-tay tertawa pedih, sahutnya: “Sebuah tempat mencari mati yang indah . . . . . . .. Mendadak raut muka banyak orang yang pernah dikenalnya dulu satu per satu melintas dibenaknya, tak kuasa lagi tubuhnya mulai gemetar keras...... “Bila kau enggan mati, masih sempat untuk kembali II kembali perempuan berbaju hitam itu berkata dingin. “Aku . . . . .. aku . . . . . ..” mendadak wajah seram kakek berjubah ungu itu serta wajah Im Ceng yang begitu dingin kaku terlintas kembali dalam benaknya, sambil menggigit bibir segera teriaknya: “Kenapa aku harus kembali!” sambil pejamkan mata ia segera melompat ke dalam jurang. Begitu tubuhnya meluncur ditengah udara, benaknya seketika terasa bagaikan mau pingsan, lamat lamat terdengar perempuan berbaju hitam itu berkata sambil tertawa: “Tidak salah lagi, kau . . . . . . ..” Kata berikut sudah tak sempat terdengar lagi, karena ia merasa tubuhnya terjatuh ke dalam pelukan seseorang. Un Tay-tay merasa terkejut bercampur terkesiap, selain itu diapun merasa keheranan, sampai lama kemudian ia baru berani membuka matanya kembali, tampak enam orang wanita berbaju hitam dengan dandanan yang sama telah berdiri disekelilingnya. Ketika ia mendongakkan kepalanya, batu darimana ia melompat tadi ternyata persis berada diatas kepalanya, jarak dengan permukaan tanah paling sepuluh depa, tentu saja yang terlihat olehnya dari atas hanya kegelapan malam yang mencekam karena saat itu memang ditengah malam buta. “Tampaknya kau sudah dibuat kaget” kata perempuan berbaju hitam yang membopongnya dengan perlahan, meski Suaranya dingin dan hambar namun jelas memperlihatkan perasaan kuatir. Un Tay-tay segera meronta sambil melompat turun, serunya dengan marah: “Aku sudah bertekad untuk mati, kenapa kalian masih mempermainkan orang bernasib buruk macam aku!” Perempuan berbaju hitam itu menghela napas panjang, sahutnya: “Justru kau adalah orang yang bernasib jelek, maka kamipun melakukan hal ini” “Kenapa?” “Sebab kami semua adalah orang yang bernasib jelek, maka kami akan menampung semua perempuan bernasib jlek, tapi bila ia belum bertekad untuk mencari mati, berarti nasibnya belum betul betul jelek” “Oleh sebab itu kalian ingin menjajal aku bukan? Tapi kalian.....” Perempuan berbaju hitam itu tertawa pedih, tukasnya: “Kami semua pernah mati satu kali, maka kaupun harus mati satu kali sebelum dapat bergabung ke dalam kelompok kami” Perempuan yang lain menyambung dengan nada dingin: “Kini kita semua adalah orang yang sudah mati, lewat berapa hari kau akan tahu bahwa rasanya menjadi orang mati ternyata jauh lebih enak daripada menjadi orang hidup” Dengan perasaan bergidik Un Tay-tay celingukan memandang sekejap sekeliling tempat itu, ia tak jelas saat ini sebenarnyia sudah mati atau masih hidup, tiba tiba jeritnya: “Aku tak ingin jadi orang mati . . . . .. aku tak ingin jadi orang mati . . . . . ..” “Kau telah mati satu kali, memangnya ingin hidup lagi?” perempuan berbaju hitam itu menegur ketus. Dengan bulu kuduk pada berdiri dan perasaan ngeri yang luar biasa, Un Tay-tay mundur dua langkah, serunya: “See....sebenarnya siapa kalian? Ke . . . . ..kenapa aku harus bergabung ke dalam kelompokmu?” “Setelah menjadi orang mati, kau dapat menjadi utusan langit, dapat menuntutkan keadilan bagi wanita wanita lain dikolong langit yang menderita, masa kau tak bersedia?” Dalam menuturkan kisahnya kali ini, Un Tay-tay berceri ta secara jelas dan mendetil, membuat Thiat Tiong—tong yang mendengarkan jadi bergidik. Sampai disini, ia tak tahan lagi untuk menghela napas seraya berkata: “Tak heran kalau tindak tanduk serta cara berbicara mereka begitu dingin dan hambar, rupanya meski mereka belum mati namun perasaan mereka sudah mati..... bagaimana selanjutnya? Apakah kau . . . . .. Setelah menghela napas lanjut Un Tay-tay: “Perasaan hatiku telah mati, tentu saja akupun bergabung dengan mereka, lihatlah sekarang akupun mengenakan jubah hitam dengan II kain cadar hitam, walaupun banyak keraguan muncul dihatiku, namun mereka melarangku banyak bertanya, hanya ujarnya: kalau perasaanmu sudah mati, buat apa mesti memikirkan urusan lain! Maka akupun terpaksa mengikuti mereka, Sepanjang jalan asal bertemu wanita yang teraniaya, mereka pasti turun tangan menolong hingga akhirnya tiba disini” “Tahukah kau, ke mana mereka hendak pergi?” “Pulang . . . . . ..” jawab Un Tay-tay sambil menghela napas, “seandainya dalam kereta tidak terdapat dua orang yang menderita sakit aneh, mungkin aku sudah sejak kemarin tiba ditempat mereka dan mungkin . . . . .. mungkin selama hidup tak akan berjumpa lagi denganmu” Thiat Tiong—tong tersenyum, katanya: “Tempat dimana kalian tuju kebetulan merupakan tempat yang akan kudatangi, hanya saja . . . . . .. seandainya tidak bertemu kau, akupun tak tahu harus ke mana untuk mencarinya” “Darimana kau bisa tahu hendak ke mana kami pergi?” tanya Un Tay-tay keheranan. “Panjang untuk diceritakan, tapi aku tahu kalian hendak balik ke pulau Siang-cun—to!” “Siang—cun—to . . . . . . . .. Tay-tay bergetar keras, “ternyata pulau siang—cun-to!” Tiba tiba ia seperti teringat kalau tempat yang hendak dituju Im Ceng pun pulau Siang-cun—to, tanpa terasa sekujur badannya gemetar keras. ll seakan terperanjat, sekujur badan Un Menyaksikan perubahan sikap perempuan itu, dengan keheranan Thiat Tiong—tong segera bermanya: “Memangnya kau belum tahu dengan nama pulau Siang—cun—to ini?” “Mereka hanya menyatakan hendak pulang, tapi tak pernah menjelaskan mau pulang ke mana? Terkadang aku malah mengira mereka hendak mengajakku pulang ke atas langit atau ke dasar bumi” Thiat Tiong-tong terbungkam berapa saat lamanya, kemudian ujarnya setelah menghela napas: “Bagaimana pun juga, kau . . . . . . . .. Mendadak diantara hembusan angin berkumandang suara aneh seperti suara seruling yang ditiup kencang, paas muka Un Tay-tay segera berubah hebat, cepat bisiknya: “Mereka sedang mendesakku agar segera kembali”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>