Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 104. Perawan Lembah Maut Lord of the Rings 1 - Sembilan Pembawa Cincin Lord of the Rings 2 - Dua Menara Lord of the Rings 3 - Kembalinya Sang Raja 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik - Tangqi Gongzi
Dengan sorot matanya yang tajam Lui-pian Lojin memperhatikan putranya sekejap, lalu memperhatikan pula wajah Un Tay-tay, setelah itu sambil tertawa tergelak serunya: “Bagus! Bagus! Benar benar sepasang muda mudi yang serasi, yang laki tampan yang wanita cantik lagi cerdas, lain waktu kalian pasti akan melahirkan Cucu hebat untuk lohu, II hahahaha....hahahaha.....bagus, Sungguh bagus . . . . .. Saat itulah Un Tay-tay baru tersentak sadar dari lamunannya, mendengar ucapan tersebut, serunya keheranan: “Apa? Cucu?” “Putra yang kau lahirkan bersama anakku bukankah cucuku? Cucu dalam?” seru Lui-pian Lojin cepat, kuatir orang lain tidak paham, kembali ia menjelaskan secara terperinci. Tampaknya penjelasan ini sama sekali diluar dugaan Un Tay-tay, kembali ujarnya tergagap: “Jadi kau..... kau ingin aku bersama putramu . . . . . . . .. Dengan wajah penuh rasa bangga Lui-pian Lojin berkata lagi: ll “Selama hidup lohu selalu malang melintang tanpa tandingan, kalau cucuku tidak hebat, bukankah hal ini akan menjadi satu penyesalan? Oleh sebab itu lohu mesti mendapatkan menantu pilihan . . . . . ..” setelah tertawa tergelak berulang kali, terusnya: “setelah mencari kesana kemari, akhirnya kutemukan dirimu. Lohu sudah cukup lama mengamati sifat manusia, lohu tahu bila memperoleh wanita goblok maka putranya pasti goblok, kalau mendapat wanita cerdik pasti akan melahirkan wanita cerdik, teori ini tak bakal berubah dari dulu hingga nanti. Sekarang lohu telah memperoleh menanti cantik lagi cerdik macam kau, dapat dipastikan seorang cucu hebat pasti akan bergabung dalam keluarga kami . . . . .. hahahaha . . . . .. coba lihat, putraku ganteng, gagah, bun-bu- coan—cay, bukankah merupakan pasangan serasi denganmu” Makin bicara orang tua itu merasa semakin bangga, sebaliknya pemuda berbaju ungu itu hanya bisa berdiri sambil tertawa getir, sementara batuknya pun makin bertambah keras. Hong Lo—su ikut terkekeh, serunya: “Bagus! Bagus! Sungguh bagus! Nona Un, kenapa tidak segera berlutut dan memanggil loya kepadanya!” Saat itu Im Ceng sudah tak sanggup menahan diri lagi, tiba tiba teriaknya keras: “Kentut!” “Bocah bodoh, minggir kamu” “Un Tay-tay itu milikku, apa pun yang terjadi aku tak akan biarkan dia kawin dengan anak busukmu!” Entah apa sebabnya, bahkan Im Ceng sendiripun tak paham, kenapa dia bisa mengucapkan kata kata semacam itu, tapi bagi pendengaran Un Tay-tay, ucapan tersebut nyaris membuatnya jatuh pingsan, semaput gara gara kegirangan. “Bocah goblok” umpat Lui-pian Lojin dengan kening berkerut kencang, berkerut saking gusarnya, “kau tahu siapakah lohu? Kurangajar kepadaku mah masih mendingan, kau berani memaki putraku?’ “Kalau berani lantas kenapa?” “Keparat!” teriak Lui-pian Lojin naik pitam, “hei bocah muda, cepat kasi pelajaran kepada si burung dogol itu” Rupanya panggil ‘bocah muda’ tanpa embel yang lain dimaksudkan untuk memanggil putranya. “Tapi......tapi . . . . . . ..” kelihatan sekali pemuda berbaju ungu itu agak keberatan. “Tapi kenapa?” kembali Lui-pian Lojin membentak, “memangnya kau ingin menjadi anak tak berbakti? Ayoh cepat . . . . . . .. mengingat bocah goblok itu punya keberanian, jangan kau lukai nyawanya” “Baik. . . . . . ..” akhirnya pemuda berbaju ungu itu menghela napas. Siapa tahu Im Ceng bertindak jauh lebih cepat, tidak menunggu sampai ia menyelesaikan perkataannya, sebuah pukulan telah dilontarkan ke depan. Terdengar Hong Lo—su segera berteriak aneh: “Eei keparat, kenapa pukulan Siau-lim—kun yang kau gunakan?” Baru selesai ia bicara, Im Ceng telah melepaskan lima buah pukulan berantai, karena itu kembali teriaknya: “Hiattit, coba lihat, bocah dungu itu menyerang sungguhan, memangnya kau pingin digebuk? Ayoh cepat dibalas!” Menggunakan kesempatan itu, perempuan bercadar yang ada ditengah segera berbisik disisi telinga Un Tay-tay: “Kami akan berusaha menahan kakek itu, gunakan kesempatan nanti untuk kabur dari sini!” “Tapi.... ke mana aku pergi?” tanya Un Tay-tay dengan kepala tertunduk. Perempuan berbaju hitam itu segera menyusupkan sebuah peluit tembaga ke tangannya sambil berbisik: “Tiuplah peluit itu begitu tiba di pesisir, akan muncul perahu yang akan menjemputmu, asal sudah tiba di Pulau Siang—cun-to, kau tak perlu kuatir lagi terhadap siapa pun” Kemudian ia menggapai sambil memberi tanda, ke enam orang wanita berbaju hitam itu serentak bergerak ke depan dan mengepung Lui-pian Lojin rapat rapat, gerakan tubuh mereka cepat bagaikan sambaran kilat. “Mau apa kalian berenam?” bentak Lui-pian Lojin gusar. “Mau memaksamu agar tak mampu meloloskan diri” sahut perempuan bercadar itu cepat. Dengan gerakan cepat ke enam orang itu berputar tiada hentinya, tiba tiba setiap orang melepaskan satu pukulan, langsung menghantam bahu kakek itu. “Minggir!” bentak Lui-pian Lojin gusar, “selama hidup lohu tak sudi bertarung melawan kaum wanita “Tidak sudi pun tetap harus melayani kami” Enam orang secara berantai melancarkan serangan secara bertubi tubi, kerja sama mereka selain erat pun gerak serangannya aneh, membuat Siapa pun jangan harap bisa loloskan diri secara gampang. Sekalipun Lui-pian Lojin termasuk jagoan tangguh, tak urung ia terjerumus juga dalam kepungan yang rapat, biarpun dia mencak mencak kegusaran, untuk sesaat jangan harap bisa loloskan diri dengan mudah. Un Tay-tay mulai bergeser menjauhi tempat itu, namun sepasang matanya serasa melekat ditubuh Im Ceng, sama sekali tak sanggup berpindah dari situ. Waktu itu Im Ceng menyerang semakin gencar, pukulan demi pukulan dilontarkan ke tubuh pemuda berbaju ungu itu bagai titiran hujan badai, sementara pemuda berbaju ungu itu seolah tak berdaya melancarkan serangan balasan, tapi seperti juga dia memang sama sekali tak berhasrat untuk melayani pertarungan itu. Un Tay-tay tak ingin pergi dari situ, namun tak bisa tidak harus pergi, baru saja dia nekad hendak beranjak dari sana, mendadak matanya menangkap wajah Hong Lo—su yang sedang memandang kearahnya sambil tertawa licik. Bersamaan waktu diapun menyaksikan Leng It—hong dan Suto Siau yang berdiri dibelakang Hong Lo—su, perasaan hatinya makin tercekat, pikirnya: “Kalau aku pergi sekarang, bukankah diriku akan terjatuh ke cengkeraman setan mereka?” Dia lebih suka ditawan Lui-pian Lojin ketimbang terjatuh ke tangan kelompok manusia busuk itu, karena itu langkahnya seketika terhenti. Saat ini keadaannya boleh dibilang maju salah mundurpun salah. Tiba tiba terdengar pemuda berbaju ungu itu berbisik: “Kereta kuda itu kosong” Tergerak hati Un Tay-tay, sebelum ia sempat bertanya Im Ceng sudah membentak guluan: “Kalau kosong ada apa?” Sambil berkelit dari pukulan, kembali pemuda berbaju ungu itu berbisik: “Kalau kosong berarti bisa dinaiki, kalau bisa dinaiki berarti bisa digunakan untuk kabur” “Jangan harap kau bisa kabur!” seru Im Ceng gusar. Pemuda itu mendongkol bercampur geli, untunglah Un Tay-tay segera datang sambil berbisik: “Dia suruh kau yang naik kedalam kereta dan kabur!” Im Ceng sama sekali tidak menghentikan serangannya, kembali ujarnya penuh amarah: “Kenapa aku harus kabur!” “Paling tidak kau toh bisa mengajak nona Un untuk melarikan diri dari sini bukan?’ kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas. Sekarang Im Ceng baru tertegun dibuatnya: “Apa..... apa kau bilang?” “Pemuda bodoh! Kau benar benar pemuda bodoh!” kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas lagi, “kalian berdua bisa kabur dari sini sementara biar aku yang menghadang kepergian para pengejar, anggap saja tak pernah terjadi apa apa disini” “Hmmm! Masa begitu baik hatimu?” “Un Tay-tay cantik bak bidadari dari kahyangan, jangan kau sangka aku tidak terpikat olehnya, kalau kau masih juga tidak pergi, bisa jadi aku benar benar akan mengawininya menjadi biniku” Segoblok apa pun saat ini Im Ceng sudah merasakan juga niat baik dari pemuda itu, timbul perasaan terima kasih dihati kecilnya, tapi diluaran kembali bentaknya: II “Bocah keparat, kau . . . . . .. “Baik, anggap saja aku memang keparat. Sudahlah, sekarang bisa naik ke dalam kereta?” Un Tay-tay tak kuasa menahan rasa gelinya lagi, sambil tertawa cekikikan i menyelinap masuk ke dalam ruang kereta. Akhirnya Im Ceng menghentikan serangannya: II “Tapi. . . . . . . . . .. Tidak menanti ia menyelesaikan perkataannya mendadak pemuda berbaju ungu itu mengayunkan tangannya, tidak jelas apa yang dilakukan, tahu tahu ia sudah cengkeram urat nadi Im Ceng dan mendorong tubuhnya ke dalam kereta kuda, kemudian sambil berpekik nyaring dia sentil perut kuda kuda itu. Diikuti suara ringkikan panjang, kuda kuda itupun berlarian kencang meninggalkan tempat itu. Dengan bergeraknya sang kereta, Thiat Tiong-tong yang bersembunyi di belakang kereta pun tak bisa menyembunyikan diri lagi, tapi dia enggan munculkan diri dalam situasi dan keadaan seperti ini, terpaksa sambil tetap membonceng dibelakang ruang kereta, dia ikut berlalu pula dari situ. Bersamaan dengan bergemanya suara ringkikan kuda, pemuda berbaju ungu itu telah menyelinap ke hadapan Hong Lo—su dan Leng It—hong sekalian sambil merentangkan sepasang tangannya lebar lebar, tegurnya sambil tersenyum: “Apakah kalian masih kenali aku?” “Tentu saja masih. . . . . . ..” sahut Hong Lo—su, “kenapa kau justru II membiarkan kereta kuda itu berlalu . . . . . . ... Sambil mengebaskan ujung bajunya, ia siap melakukan pengejaran. Hek Seng-thian, Pek Seng-bu maupun Suto Siau serentak ikut menggerakkan tubuhnya untuk melakukan pengejaran. Siapa tahu, biarpun usia pemuda berbaju ungu itu masih sangat muda ternyata kungfunya sangat hebat, ke mana pun Hong Lo—su bergerak, tubuhnya selalu bergerak lebih cepat untuk menghalangi jalan perginya, sementara dengan sorot mata yang tajam ia melotot ke arah Suto Siau sekalian sambil berseru: “Kalian belum menjawab pertanyaanku, jangan pergi dulu” Keangkeran dan keperkasaan pemuda itu seketika membuat Suto Siau sekalian tak berani berkutik, mereka benar benar tercekat hatinya. Sambil menahan rasa gusar, buru buru sahut Hong Lo-su: “Kau adalah putra Lui-pian Lojin, masa aku tidak mngenalinya?” Pemuda berbaju ungu itu tertawa. “Tidak berani, tidak berani . . . . . . . ..” katanya, kemudian sambil menuding ke arah Suto Siau sekalian lanjutnya, “boleh tahu nama besar dari berapa orang hengtay ini?” Tak terlukiskan rasa gusar Hong Lo-su saat itu, namun memandang wajah Lui-pian Lojin ia tak berani mengumbar amarahnya, terpaksa sambil melotot jengkel ke arah pemuda berbaju ungu itu, dia perkenalkan nama Suto Siau sekalian satu demi satu. Pemuda berbaju ungu itu segera tertawa tergelak, sambil menyingkir ke samping memberi jalan lewat katanya: “Silahkan kalau kalian hendak melakukan pengejaran!” “Sekarang mau mengejarnya ke mana!” teriak Hong Lo-su mendongkol. “Kalau saat ini mereka masih terkejar, tentu saja aku tak akan membiarkan kalian melakukan pengejaran” Biarpun Hong Lo—su gusarnya setengah mati, diapun tak bisa berbuat apa apa, terpaksa sambil menghentakkan kakinya berulang kali, dia mencaci maki habis habisan, tidak jelas Siapa yang menjadi sasaran makiannya. Pemuda berbaju ungu itu tidak menggubris dirinya lagi, ketika berpaling ke arah lain, ia saksikan ke enam orang wanita bercadar itu berputar semakin gencar, nyaris sudah tak kelihatan lagi bayangan tubuh mereka, kini yang tersisa tinggal segulung bayangan abu abu yang samar. Lui-pian Lojin yang terkepung ditengah bayangan abu abu membentak gusar berulang kali, tiba tiba sambil berpekik nyaring tubuhnya melambung tinggi ke angkasa, suara pekikannya keras bagaikan guntur yang menggelegar di udara, membuat bergetar perasaan hati setiap orang. Walaupun kawanan jago itu sudah lama mengetahui akan kehebatan Lui-pian Lojin, namun setelah mendengar sendiri suara pekikannya yang menggetar sukma, tak urung mereka dibuat tercekat hatinya. Sambil tertawa rendah ujar Hong Lo—su: “Waah, kelihatannya toako sudah mulai gusar, ia sudah tak ambil perduli lagi siapa musuhnya, kali ini ke enam orang wanita itu bakal banyak menderita” Siapa tahu belum selesai suara pekikan itu berkumandang, kawanan wanita bercadar itu telah membubarkan diri sambil mundur ke tepi arena dan berdiri tanpa bergerak lagi. Dengan wajah penuh amarah dan mata melotot besar, Lui-pian Lojin melayang turun dari udara, saat ini keadaannya mirip dengan dewa guntur yang sedang gusar, jubah ungunya menggelembung besar dan bergolak tiada hentinya, jelas sudah dipenuhi dengan tenaga dalam yang maha dahsyat. Begitu menginjakkan kakinya ditanah, Lui-pian Lojin kembali berseru dengan penuh amarah: “sudah lama kudengar ilmu barisan Toa-ciu—thiat—coat sintin dari Pulau Siang—cun—to sangat hebat, lohu sudah siap meminta pengajaran, kenapa kalian malah berhenti?” Perlahan-lahan perempuan bercadar itu menyahut: “Walaupun ilmu barisan Toa-ciu—thiat—coat sintin sangat hebat, sayangnya kehebatan itu tak akan terwujud bila digunakan oleh enam orang saja, apalagi Un Tay-tay sudah pergi jauh, buat apa kami mesti membuang tenaga dengan percuma, bila kau bersikeras ingin menyaksikan kehebatan ilmu barisan kami, datang saja ke Pulau Siang—cun-to, pasti ada orang yang akan melayani keinginanmu itu!” Perkataan itu disampaikan dengan suara dalam lagi lambat, sama sekali tak tersirat hawa amarah. “Pulau Siang—cun-to?” teriak Lui-pian Lojin gusar, “hmmm! Hmmm! Memangnya Pulau Siang-cun—to adalah sarang naga gua harimau? Memangnya lohu benar benar tak berani mendatanginya!” “Mereka pasti menyangka toako tak berani” sambung Hong Lo—su cepat. Dia memang tak berani berkunjung sendiri ke Pulau Siang—cun-to,
Pendekar Rajawali Sakti - 104. Perawan Lembah Maut Lord of the Rings 1 - Sembilan Pembawa Cincin Lord of the Rings 2 - Dua Menara Lord of the Rings 3 - Kembalinya Sang Raja 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik - Tangqi Gongzi
Dengan sorot matanya yang tajam Lui-pian Lojin memperhatikan putranya sekejap, lalu memperhatikan pula wajah Un Tay-tay, setelah itu sambil tertawa tergelak serunya: “Bagus! Bagus! Benar benar sepasang muda mudi yang serasi, yang laki tampan yang wanita cantik lagi cerdas, lain waktu kalian pasti akan melahirkan Cucu hebat untuk lohu, II hahahaha....hahahaha.....bagus, Sungguh bagus . . . . .. Saat itulah Un Tay-tay baru tersentak sadar dari lamunannya, mendengar ucapan tersebut, serunya keheranan: “Apa? Cucu?” “Putra yang kau lahirkan bersama anakku bukankah cucuku? Cucu dalam?” seru Lui-pian Lojin cepat, kuatir orang lain tidak paham, kembali ia menjelaskan secara terperinci. Tampaknya penjelasan ini sama sekali diluar dugaan Un Tay-tay, kembali ujarnya tergagap: “Jadi kau..... kau ingin aku bersama putramu . . . . . . . .. Dengan wajah penuh rasa bangga Lui-pian Lojin berkata lagi: ll “Selama hidup lohu selalu malang melintang tanpa tandingan, kalau cucuku tidak hebat, bukankah hal ini akan menjadi satu penyesalan? Oleh sebab itu lohu mesti mendapatkan menantu pilihan . . . . . ..” setelah tertawa tergelak berulang kali, terusnya: “setelah mencari kesana kemari, akhirnya kutemukan dirimu. Lohu sudah cukup lama mengamati sifat manusia, lohu tahu bila memperoleh wanita goblok maka putranya pasti goblok, kalau mendapat wanita cerdik pasti akan melahirkan wanita cerdik, teori ini tak bakal berubah dari dulu hingga nanti. Sekarang lohu telah memperoleh menanti cantik lagi cerdik macam kau, dapat dipastikan seorang cucu hebat pasti akan bergabung dalam keluarga kami . . . . .. hahahaha . . . . .. coba lihat, putraku ganteng, gagah, bun-bu- coan—cay, bukankah merupakan pasangan serasi denganmu” Makin bicara orang tua itu merasa semakin bangga, sebaliknya pemuda berbaju ungu itu hanya bisa berdiri sambil tertawa getir, sementara batuknya pun makin bertambah keras. Hong Lo—su ikut terkekeh, serunya: “Bagus! Bagus! Sungguh bagus! Nona Un, kenapa tidak segera berlutut dan memanggil loya kepadanya!” Saat itu Im Ceng sudah tak sanggup menahan diri lagi, tiba tiba teriaknya keras: “Kentut!” “Bocah bodoh, minggir kamu” “Un Tay-tay itu milikku, apa pun yang terjadi aku tak akan biarkan dia kawin dengan anak busukmu!” Entah apa sebabnya, bahkan Im Ceng sendiripun tak paham, kenapa dia bisa mengucapkan kata kata semacam itu, tapi bagi pendengaran Un Tay-tay, ucapan tersebut nyaris membuatnya jatuh pingsan, semaput gara gara kegirangan. “Bocah goblok” umpat Lui-pian Lojin dengan kening berkerut kencang, berkerut saking gusarnya, “kau tahu siapakah lohu? Kurangajar kepadaku mah masih mendingan, kau berani memaki putraku?’ “Kalau berani lantas kenapa?” “Keparat!” teriak Lui-pian Lojin naik pitam, “hei bocah muda, cepat kasi pelajaran kepada si burung dogol itu” Rupanya panggil ‘bocah muda’ tanpa embel yang lain dimaksudkan untuk memanggil putranya. “Tapi......tapi . . . . . . ..” kelihatan sekali pemuda berbaju ungu itu agak keberatan. “Tapi kenapa?” kembali Lui-pian Lojin membentak, “memangnya kau ingin menjadi anak tak berbakti? Ayoh cepat . . . . . . .. mengingat bocah goblok itu punya keberanian, jangan kau lukai nyawanya” “Baik. . . . . . ..” akhirnya pemuda berbaju ungu itu menghela napas. Siapa tahu Im Ceng bertindak jauh lebih cepat, tidak menunggu sampai ia menyelesaikan perkataannya, sebuah pukulan telah dilontarkan ke depan. Terdengar Hong Lo—su segera berteriak aneh: “Eei keparat, kenapa pukulan Siau-lim—kun yang kau gunakan?” Baru selesai ia bicara, Im Ceng telah melepaskan lima buah pukulan berantai, karena itu kembali teriaknya: “Hiattit, coba lihat, bocah dungu itu menyerang sungguhan, memangnya kau pingin digebuk? Ayoh cepat dibalas!” Menggunakan kesempatan itu, perempuan bercadar yang ada ditengah segera berbisik disisi telinga Un Tay-tay: “Kami akan berusaha menahan kakek itu, gunakan kesempatan nanti untuk kabur dari sini!” “Tapi.... ke mana aku pergi?” tanya Un Tay-tay dengan kepala tertunduk. Perempuan berbaju hitam itu segera menyusupkan sebuah peluit tembaga ke tangannya sambil berbisik: “Tiuplah peluit itu begitu tiba di pesisir, akan muncul perahu yang akan menjemputmu, asal sudah tiba di Pulau Siang—cun-to, kau tak perlu kuatir lagi terhadap siapa pun” Kemudian ia menggapai sambil memberi tanda, ke enam orang wanita berbaju hitam itu serentak bergerak ke depan dan mengepung Lui-pian Lojin rapat rapat, gerakan tubuh mereka cepat bagaikan sambaran kilat. “Mau apa kalian berenam?” bentak Lui-pian Lojin gusar. “Mau memaksamu agar tak mampu meloloskan diri” sahut perempuan bercadar itu cepat. Dengan gerakan cepat ke enam orang itu berputar tiada hentinya, tiba tiba setiap orang melepaskan satu pukulan, langsung menghantam bahu kakek itu. “Minggir!” bentak Lui-pian Lojin gusar, “selama hidup lohu tak sudi bertarung melawan kaum wanita “Tidak sudi pun tetap harus melayani kami” Enam orang secara berantai melancarkan serangan secara bertubi tubi, kerja sama mereka selain erat pun gerak serangannya aneh, membuat Siapa pun jangan harap bisa loloskan diri secara gampang. Sekalipun Lui-pian Lojin termasuk jagoan tangguh, tak urung ia terjerumus juga dalam kepungan yang rapat, biarpun dia mencak mencak kegusaran, untuk sesaat jangan harap bisa loloskan diri dengan mudah. Un Tay-tay mulai bergeser menjauhi tempat itu, namun sepasang matanya serasa melekat ditubuh Im Ceng, sama sekali tak sanggup berpindah dari situ. Waktu itu Im Ceng menyerang semakin gencar, pukulan demi pukulan dilontarkan ke tubuh pemuda berbaju ungu itu bagai titiran hujan badai, sementara pemuda berbaju ungu itu seolah tak berdaya melancarkan serangan balasan, tapi seperti juga dia memang sama sekali tak berhasrat untuk melayani pertarungan itu. Un Tay-tay tak ingin pergi dari situ, namun tak bisa tidak harus pergi, baru saja dia nekad hendak beranjak dari sana, mendadak matanya menangkap wajah Hong Lo—su yang sedang memandang kearahnya sambil tertawa licik. Bersamaan waktu diapun menyaksikan Leng It—hong dan Suto Siau yang berdiri dibelakang Hong Lo—su, perasaan hatinya makin tercekat, pikirnya: “Kalau aku pergi sekarang, bukankah diriku akan terjatuh ke cengkeraman setan mereka?” Dia lebih suka ditawan Lui-pian Lojin ketimbang terjatuh ke tangan kelompok manusia busuk itu, karena itu langkahnya seketika terhenti. Saat ini keadaannya boleh dibilang maju salah mundurpun salah. Tiba tiba terdengar pemuda berbaju ungu itu berbisik: “Kereta kuda itu kosong” Tergerak hati Un Tay-tay, sebelum ia sempat bertanya Im Ceng sudah membentak guluan: “Kalau kosong ada apa?” Sambil berkelit dari pukulan, kembali pemuda berbaju ungu itu berbisik: “Kalau kosong berarti bisa dinaiki, kalau bisa dinaiki berarti bisa digunakan untuk kabur” “Jangan harap kau bisa kabur!” seru Im Ceng gusar. Pemuda itu mendongkol bercampur geli, untunglah Un Tay-tay segera datang sambil berbisik: “Dia suruh kau yang naik kedalam kereta dan kabur!” Im Ceng sama sekali tidak menghentikan serangannya, kembali ujarnya penuh amarah: “Kenapa aku harus kabur!” “Paling tidak kau toh bisa mengajak nona Un untuk melarikan diri dari sini bukan?’ kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas. Sekarang Im Ceng baru tertegun dibuatnya: “Apa..... apa kau bilang?” “Pemuda bodoh! Kau benar benar pemuda bodoh!” kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas lagi, “kalian berdua bisa kabur dari sini sementara biar aku yang menghadang kepergian para pengejar, anggap saja tak pernah terjadi apa apa disini” “Hmmm! Masa begitu baik hatimu?” “Un Tay-tay cantik bak bidadari dari kahyangan, jangan kau sangka aku tidak terpikat olehnya, kalau kau masih juga tidak pergi, bisa jadi aku benar benar akan mengawininya menjadi biniku” Segoblok apa pun saat ini Im Ceng sudah merasakan juga niat baik dari pemuda itu, timbul perasaan terima kasih dihati kecilnya, tapi diluaran kembali bentaknya: II “Bocah keparat, kau . . . . . .. “Baik, anggap saja aku memang keparat. Sudahlah, sekarang bisa naik ke dalam kereta?” Un Tay-tay tak kuasa menahan rasa gelinya lagi, sambil tertawa cekikikan i menyelinap masuk ke dalam ruang kereta. Akhirnya Im Ceng menghentikan serangannya: II “Tapi. . . . . . . . . .. Tidak menanti ia menyelesaikan perkataannya mendadak pemuda berbaju ungu itu mengayunkan tangannya, tidak jelas apa yang dilakukan, tahu tahu ia sudah cengkeram urat nadi Im Ceng dan mendorong tubuhnya ke dalam kereta kuda, kemudian sambil berpekik nyaring dia sentil perut kuda kuda itu. Diikuti suara ringkikan panjang, kuda kuda itupun berlarian kencang meninggalkan tempat itu. Dengan bergeraknya sang kereta, Thiat Tiong-tong yang bersembunyi di belakang kereta pun tak bisa menyembunyikan diri lagi, tapi dia enggan munculkan diri dalam situasi dan keadaan seperti ini, terpaksa sambil tetap membonceng dibelakang ruang kereta, dia ikut berlalu pula dari situ. Bersamaan dengan bergemanya suara ringkikan kuda, pemuda berbaju ungu itu telah menyelinap ke hadapan Hong Lo—su dan Leng It—hong sekalian sambil merentangkan sepasang tangannya lebar lebar, tegurnya sambil tersenyum: “Apakah kalian masih kenali aku?” “Tentu saja masih. . . . . . ..” sahut Hong Lo—su, “kenapa kau justru II membiarkan kereta kuda itu berlalu . . . . . . ... Sambil mengebaskan ujung bajunya, ia siap melakukan pengejaran. Hek Seng-thian, Pek Seng-bu maupun Suto Siau serentak ikut menggerakkan tubuhnya untuk melakukan pengejaran. Siapa tahu, biarpun usia pemuda berbaju ungu itu masih sangat muda ternyata kungfunya sangat hebat, ke mana pun Hong Lo—su bergerak, tubuhnya selalu bergerak lebih cepat untuk menghalangi jalan perginya, sementara dengan sorot mata yang tajam ia melotot ke arah Suto Siau sekalian sambil berseru: “Kalian belum menjawab pertanyaanku, jangan pergi dulu” Keangkeran dan keperkasaan pemuda itu seketika membuat Suto Siau sekalian tak berani berkutik, mereka benar benar tercekat hatinya. Sambil menahan rasa gusar, buru buru sahut Hong Lo-su: “Kau adalah putra Lui-pian Lojin, masa aku tidak mngenalinya?” Pemuda berbaju ungu itu tertawa. “Tidak berani, tidak berani . . . . . . . ..” katanya, kemudian sambil menuding ke arah Suto Siau sekalian lanjutnya, “boleh tahu nama besar dari berapa orang hengtay ini?” Tak terlukiskan rasa gusar Hong Lo-su saat itu, namun memandang wajah Lui-pian Lojin ia tak berani mengumbar amarahnya, terpaksa sambil melotot jengkel ke arah pemuda berbaju ungu itu, dia perkenalkan nama Suto Siau sekalian satu demi satu. Pemuda berbaju ungu itu segera tertawa tergelak, sambil menyingkir ke samping memberi jalan lewat katanya: “Silahkan kalau kalian hendak melakukan pengejaran!” “Sekarang mau mengejarnya ke mana!” teriak Hong Lo-su mendongkol. “Kalau saat ini mereka masih terkejar, tentu saja aku tak akan membiarkan kalian melakukan pengejaran” Biarpun Hong Lo—su gusarnya setengah mati, diapun tak bisa berbuat apa apa, terpaksa sambil menghentakkan kakinya berulang kali, dia mencaci maki habis habisan, tidak jelas Siapa yang menjadi sasaran makiannya. Pemuda berbaju ungu itu tidak menggubris dirinya lagi, ketika berpaling ke arah lain, ia saksikan ke enam orang wanita bercadar itu berputar semakin gencar, nyaris sudah tak kelihatan lagi bayangan tubuh mereka, kini yang tersisa tinggal segulung bayangan abu abu yang samar. Lui-pian Lojin yang terkepung ditengah bayangan abu abu membentak gusar berulang kali, tiba tiba sambil berpekik nyaring tubuhnya melambung tinggi ke angkasa, suara pekikannya keras bagaikan guntur yang menggelegar di udara, membuat bergetar perasaan hati setiap orang. Walaupun kawanan jago itu sudah lama mengetahui akan kehebatan Lui-pian Lojin, namun setelah mendengar sendiri suara pekikannya yang menggetar sukma, tak urung mereka dibuat tercekat hatinya. Sambil tertawa rendah ujar Hong Lo—su: “Waah, kelihatannya toako sudah mulai gusar, ia sudah tak ambil perduli lagi siapa musuhnya, kali ini ke enam orang wanita itu bakal banyak menderita” Siapa tahu belum selesai suara pekikan itu berkumandang, kawanan wanita bercadar itu telah membubarkan diri sambil mundur ke tepi arena dan berdiri tanpa bergerak lagi. Dengan wajah penuh amarah dan mata melotot besar, Lui-pian Lojin melayang turun dari udara, saat ini keadaannya mirip dengan dewa guntur yang sedang gusar, jubah ungunya menggelembung besar dan bergolak tiada hentinya, jelas sudah dipenuhi dengan tenaga dalam yang maha dahsyat. Begitu menginjakkan kakinya ditanah, Lui-pian Lojin kembali berseru dengan penuh amarah: “sudah lama kudengar ilmu barisan Toa-ciu—thiat—coat sintin dari Pulau Siang—cun—to sangat hebat, lohu sudah siap meminta pengajaran, kenapa kalian malah berhenti?” Perlahan-lahan perempuan bercadar itu menyahut: “Walaupun ilmu barisan Toa-ciu—thiat—coat sintin sangat hebat, sayangnya kehebatan itu tak akan terwujud bila digunakan oleh enam orang saja, apalagi Un Tay-tay sudah pergi jauh, buat apa kami mesti membuang tenaga dengan percuma, bila kau bersikeras ingin menyaksikan kehebatan ilmu barisan kami, datang saja ke Pulau Siang—cun-to, pasti ada orang yang akan melayani keinginanmu itu!” Perkataan itu disampaikan dengan suara dalam lagi lambat, sama sekali tak tersirat hawa amarah. “Pulau Siang—cun-to?” teriak Lui-pian Lojin gusar, “hmmm! Hmmm! Memangnya Pulau Siang-cun—to adalah sarang naga gua harimau? Memangnya lohu benar benar tak berani mendatanginya!” “Mereka pasti menyangka toako tak berani” sambung Hong Lo—su cepat. Dia memang tak berani berkunjung sendiri ke Pulau Siang—cun-to,