Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
“Pulau Siang—cun-to?” teriak Lui-pian Lojin gusar, “hmmm! Hmmm! Memangnya Pulau Siang-cun-to adalah sarang naga gua harimau? Memangnya lohu benar benar tak berani mendatanginya!” “Mereka pasti menyangka toako tak berani” sambung Hong Lo-su Cepat. Dia memang tak berani berkunjung sendiri ke Pulau Siang-cun-to, oleh sebab itu secara licik ia berusaha memanasi hati orang lain untuk mendatangi pulau itu sementara dirinya akan mencari keuntungan di air keruh. Benar saja, perkataan itu seketika membuat hawa amarahnya makin memuncak, sambil menghentakkan kakinya ia berseru: “Anak muda, kita berangkat!” Hentakan kakinya seketika menimbulkan liang yang cukup dalam ditempatnya berpijak. Diam diam Hong Lo—su kegirangan, kembali teriaknya: “walaupun siaute tak berkemampuan untuk membantu toako, tapi pergi bersama toako paling tidak bisa membantu keangkeran dirimu” “siapa yang pingin ikut segera bergabung denganku” seru Lui-pian Lojin keras, “lohu tidak percaya kalau Pulau Siang-cun-to benar benar adalah sarang naga gua harimau, kali ini harus kuterjang” Suto Siau sekalian segera menunjukkan wajah kegirangan, sementara pemuda berbaju ungu itu menghela napas panjang. Oo0oo ooOoo Didalam kereta kuda Im Ceng duduk saling berhadapan dengan Un Tay-tay, sepanjang jalan senyuman manis selalu tersungging diujung bibir perempuan itu. Menyaksikan hal ini, dengan gusar Im Ceng segera menegur: “Apa yang kau tertawakan?” Un Tay-tay tidak menjawab, seketika ia tundukkan wajahnya. Kembali Im Ceng berseru: “Kalau kau anggap pemuda tadi jauh lebih pintar ketimbang aku, kenapa tidak ikut dia saja?” Un Tay-tay tetap menundukkan kepalanya tanpa menjawab. Kedua orang itupun terbunkam, dalam keheningan kereta kuda bergerak makin Cepat. Tiba tiba Im Ceng berkata lagi: “Penampilanku tadi bukan Cuma lantaran kau, bila ada perempuan lain yang mengalami penganiayaanpun, aku tetap akan berbuat hal yang sama" “Aku tahu . . . . . . . ...” Kelihatannya Im Ceng sedang dipenuhi oleh rasa mendongkol, semakin Un Tay-tay bersikap lembut dan penurut, ia semakin jengkel dibuatnya, mendadak dengan mata mendelik dia mulai memukul dinding kereta. Un Tay-tay masih menundukkan kepalanya, sama sekali tidak menggubris. Kembali berapa saat lewat, akhirnya Im Ceng tak kuasa menahan diri lagi, teriaknya: “Sekalipun kau telah selamatkan nyawaku, gara gara kau akupun merasakan penderitaan yang berat, jadi aku tetap tak akan berterima kasih kepadamu” “Aku tahu . . . . . . . ” Tiba tiba Im Ceng melompat bangun, “duuuk!” kepalanya ditumbukkan keatas dinding kereta kemudian teriaknya keras: “Kau tidak tahu . . . . . .. kau tidak tahu . . . . . .. apa pun tidak kau ketahui” Dengan sedih Un Tay-tay memandangnya sekejap, setelah menghela napas tanya: “Darimana kau tahu kalau aku tidak tahu?” Lirikan itu seolah sebuah jarum tajam yang segera menusuk dihati Im Ceng. Perasaan murung, perasaan kagum serta luapan cinta kasih yang sangat mendalam seolah terkandung dibalik lirikan itu, membuat manusia berhati baja pun akan luluh hatinya apalagi lelaki berdarah panas macam Im Ceng. Akhirnya Im Ceng tak sanggup mengendalikan diri lagi, tiba tiba ia menubruk maju dan memeluk tubuh Un Tay-tay erat erat, bisiknya: “Kau tidak tahu, aku.....aku . . . . . . . ..” Pemuda ini berwatak keras dan berangasan, gembira atau gusar selalu mengikuti suara hati, bila dia enggan memperdulikan seseorang maka jangan lagi mengajaknya bicara, melirikpun enggan, tapi bila hatinya sedang dikobar api asmara, diapun akan mengemukakan perasaan hatinya secara terang terangan. Sambil menyandarkan kepalanya diatas dada pemuda itu, Un Tay-tay berbisik: “Aku tahu, kau sangat berterima kasih kepadaku” “Bukan hanya berterima kasih, bahkan..... bahkan aku . . . . . ..” “Bahkan kenapa?” “Aku..... akupun ingin . . . . . . . .. II “Sebagai seorang lelaki sejati, masa kata ‘cinta’ pun tak berani kau kemukakan?” “Benar, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu..... jerit Im Ceng keras keras, “aku rela tidak memperoleh apapun asal tidak kehilangan dirimu” Un Tay-tay mendongakkan kepalanya, butiran air mata telah II membasahi seluruh wajahnya, dengan suara gemetar ia berbisik: “Sekalipun semua penderitaan dan siksaan harus kujal ani, tapi asal bisa mendengar perkataanmu itu, hatiku benar benar sudah puas” Im Ceng memeluknya makin kencang, seolah kuatir kehilangan wanita itu lagi, gumamnya terus menerus: “Aku mencintaimu . . . . . . . .. aku cinta padamu . . . . .. bila kau senang mendengarnya, setiap hari akan kuulang beratus, beribu kali.....” “Tapi dulu aku pernah melakukan perbuatan yang sangat memalukan, pernah pula melakukan perbuatan salah kepadamu” Cepat Im Ceng menutup mulutnya dengan tangan, tukasnya: “Perduli dahulu kau pernah melakukan perbuatan apa, juga tak perduli dikemudian hari apa yang hendak kau lakukan. Asal hatimu hanya untukku, asal kau tak pernah meninggalkan aku untuk selamanya, aku sudah merasa puas sekali” Sambil mendesis lirih Un Tay-tay segera memeluk tengkuk pemuda itu, tubuh mereka berdua pun saling berangkulan dengan mesrahnya, pipi menempel diatas pipi sementara air mata jatuh berlinang, mereka seolah sudah melupakan keadaan yang sedang dihadapi. Orang yang berada diluar kereta ikut merasa terharu bercampur gembira, pikirnya: “Dasar bocah bodoh . . . . .. dasar bocah bodoh . . . . .. akhirnya kau mengerti juga....” Walaupun dia tak ingin mencuri dengar, namun setiap patah kata yang berkumandang dari balik kereta terdengar olehnya dengan jelas. Walaupun dia tak ingin mendengar lebih jauh, namun perasaan hatinya tak tahan untuk mendengar lebih banyak, agar dia bisa turut bergembira bagi mereka, sebab jika mereka berdua dapat hidup bahagia, dia akan merasa lebih berbahagia ketimbang mereka. Im Ceng benar benar menikmati kebahagiaan saat itu, terdengar ia bergumam: “Sekalipun kau telah berjumpa dengan orang yang lebih cerdik daripadaku pun jangan kau tinggalkan diriku” Melihat ucapan itu diutarakan dengan wajah bersungguh sungguh, seakan dia masih belum melupakan pemuda berbaju ungu imu, tak tahan Un Tay-tay segera tertawa cekikikan, makinya: “Dasar bocah bodoh!” “Biarpun bodoh, aku mencintaimu dengan sepenuh hati, sementara mereka yang mengaku cerdik, entah sudah berapa banyak orang yang dicintai. Bagiku, aku hanya tahu mencintai kau seorang” “Belum tentu hanya seorang!” “sungguh, aku hanya mencintai seorang, kalau tak percaya aku..... aku.....” Mendadak Un Tay-tay memeluknya makin kencang, dengan gemas digigitnya tengkuk pemuda itu. Senyuman bercampur air mata kembali menghiasi wajahnya: “Dasar bocah bodoh . . . . . .. dasar bocah bodoh! Biarpun orang lain lebih menyukai orang pintar, bagiku hanya orang bodoh macam kau yang kusukai” Biarpun tengkuknya yang digigit menimbulkan rasa saki t, namun Im Ceng merasakan hatinya manis dan hangat, tiba tiba ia tertawa. “Kalau memang begitu, tidak tertutup kemungkinan ada wanita lain yang bakal menyukai orang bodoh mcam aku” “Kalau ada wanita lain berani mencintaimu, akan kubunuh dia, kukuliti dia, kutanak dagingnya dan kumakan seiiris demi seiris” bisik Un Tay-tay Sambil menggigit bibir. “Waaah, ternyata kau adalah harimau betina yang galak. . . . . .. jika ada wanita lain yang mencintaiku dan mendengar ancaman mu itu, mereka pasti akan lari terbirit birit” Dibalik gelak tertawanya penuh diliputi perasaan gembira, semua ketidak beruntungan yang mengganjal hatinya tadi kini seolah sudah hilang lenyap tak berbekas. Un Tay-tay menatapnya sendu, setelah berapa saat tiba tiba ia menghela napas panjang. “Dalam suasana gembira macam begini, kenapa kau menghela napas?” tegur Im Ceng. Sambil pejamkan matanya Un Tay-tay tertunduk lesu, ujarnya Sambil menghela napas sedih: “Walaupun saat ini kita amat gembira, namun waktu untuk bergembira tidak terlalu lama” “Siapa mengatakan begitu.....? siapa yang bilang . . . . . .. Ceng terperanja. “Setibanya di pesisir laut, aku akan segera naik perahu menuju II tanya Im Pulau Siang-cun-to, sejak itu . . . . .. kita dipisahkan oleh lautan yang luas, aku takut..... aku takut sejak itu . . . . . ..” “Aku melarang kau berkata begitu . . . . . .. aku juga melarang kau ke sana!” tukas Im Ceng keras. “Aku pun tak ingin berpisah denganmu, tapi . . . . .. tapi jangan lupa, aku sudah mati satu kali, hanya Pulau Siang—cun —to yang bisa kutempati” Im Ceng merasa cemas bercampur gusar, dengan air mata berlinang dipeluknya Un Tay-tay semakin kencang, jeritnya: “Siapa bilang kau sudah mati? orang orang itu hanya ngaco belo, tak usah kau gubris perkataan mereka” “Aku telah bergabung dengan mereka, bagaimana pun aku harus pergi ke sana” “Siapa bilang kau harus ke Sana? Kalau ada orang berani memaksamu, akan ku . . . . .. akan kubunuh orang itu, kutanak dagingnya dan kumakan tubuhnya, akan.....akan kubakar Pulau Siang—cun-to” “Bocah bodoh!” dengan lembut Un Tay-tay menyeka air mata diwajahnya, “ilmu silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, anak buahnya banyak tak terhitung, bagaimana mungkin kau bisa menghadapi mereka?” Sekujur badan Im Ceng gemetar keras, seakan dadanya kena dihantam sebuah pukulan keras. Tiba tiba Un Tay-tay menyaksikan paras mukanya berubah jadi pucat pasi, sepasang matanya melotot besar, ketika dipanggil namanya, dia tidak menyahut, pemuda itu seakan telah berubah jadi bodoh, jadi idiot! Ia merasa hatinya sakit bagaikan ditusuk pisau, diapun gelisah bercampur cemas, dengan air mata berlinang bisiknya: “Kee.....kenapa kau . . . . . .. sadarlah . . . . . .. mari kita cari jalan lain . . . . . . ..” “Jalan apa . . . . ..? jalan yang mana?” gumam Im Ceng seperti orang kebingungan, tiba tiba ia menangis tersedu, “aku tak berdaya! Aku . . . . .. aku tak sanggup menghadapi mereka” “aku yakin pasti ada cara untuk menanggulanginya” bisik Un Tay-tay dengan kepala tertunduk. Im Ceng agak tertegun, mendadak ia melompat bangun, “dduuk!” kepalanya membentur di langit langit kereta namun tidak terasa sakit, teriaknya kegirangan: “Betulkah ada jalan keluar?” Un Tay-tay merasa pedih bercampur sayang, sembari membelai kepalanya ia berkata: “Biarpun kepandaian silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, toh bukan berarti dia bisa memaksaku jadi orang mati!” “Betul, betul . . . . ..” “Seandainya aku memohon kepadanya, mungkin diapun tak akan memaksakan kehendak” “Betul, betul . . . . .. biar aku temani kau” Un Tay-tay memandangnya sekejap, tiba tiba ujarnya lagi: “Tapi tak ingin pergi memohon kepadanya” “Kee.....kenapa?” “Bila suatu saat tabiat tuan besarmu kambuh kembali, bila kau mulai mengungkit kesalahan ku dulu, tidak memperdulikan aku lagi, bukankah lebih baik aku pergi mampus saja” Merah padam wajah Im Ceng saking gelisahnya, dengan keras dia berteriak: “Bila Im Ceng tidak ambil perduli lagi terhadap Un Tay-tay, biarlah Thian memberi kematian yang mengenaskan bagiku . . . . . . ..” Buru buru Un Tay-tay mendekap mulutnya sambil berseru: “Aku percaya dirimu, jangan kau lanjutkan perkataan itu, jika Thian punya mata, moga moga kami berdua diberkahi hidup bahagia hingga akhir jaman” “Betul, hidup bahagia hingga akhir jaman . . . . . . . ..” Untuk sesaat kedua orang itu hanya saling bertatap muka tanpa bicara lagi, seakan akan mereka tak ingin dipisahkan kembali walau hanya sedetikpun. Begitu mendengar pembicaraan tersebut, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau perempuan itu hanya ingin mengendorkan suasana saja dan berusaha menunda masalah. Sekalipun begitu, dia tidak marah atau membenci Un Tay-tay, sebab ia cukup memahami perasaan wanita itu. Dia sengaja berbuat demikian hanya terbatas karena dia tak ingin berpisah dengan Im Ceng, kalau dia tidak berbuat begitu, bagaimana mungkin bisa menjinakkan kuda liar macam pemuda itu. Thiat Tiong—tong hanya beranggapan bahwa cara yang dilakukan perempuan itu patut dikasihani, patut menaruh simpatik kepadanya Sekalipun ada sedikit tipu daya yang dipergunakan, namun ia bisa memakluminya. Sekalipun Thiat Tiong—tong bukan perempuan, boleh dibilang dia sangat memahami perasaan kaum wanita, sebab hanya wanita yang amat mencintai seseorang baru rela melakukan segala tindakan termasuk menggunakan siasat. Diam diam Thiat Tiong-tong tertawa geli, pikirnya: “Begitu asyik mereka tenggelam dalam masalah pribadi sampai lupa kalau kereta ini bisa bergerak tanpa kendali, yaa sudahlah, biarkan saja mereka berasyik masyuk sementara aku menjadi kusir mereka” Maka diapun balik ke tempat kusir dan mengendalikan larinya kereta. Waktu itu fajar telah menyingsing, matahari memancarkan sinar keemas emasannya menyinari seluruh jagad, diantara hembusan angin lamat lamat sudah mulai terdengar debuan ombak, kelihatannya merek sudah berada tak jauh dari pesisir. Thiat Tiong—tong merasakan semangatnya bangkit kembali, dia membuang jauh semua kekesalan serta kemurungan yang mencekamnya selama ini. setelah menyaksikan adegan mesrah dari Im Ceng dan Un Tay-tay, jangan lagi baru bergadang sehari semalam, biar harus menjadi kusir selama tiga hari tiga malam pun dia tak akan menggerutu.
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
“Pulau Siang—cun-to?” teriak Lui-pian Lojin gusar, “hmmm! Hmmm! Memangnya Pulau Siang-cun-to adalah sarang naga gua harimau? Memangnya lohu benar benar tak berani mendatanginya!” “Mereka pasti menyangka toako tak berani” sambung Hong Lo-su Cepat. Dia memang tak berani berkunjung sendiri ke Pulau Siang-cun-to, oleh sebab itu secara licik ia berusaha memanasi hati orang lain untuk mendatangi pulau itu sementara dirinya akan mencari keuntungan di air keruh. Benar saja, perkataan itu seketika membuat hawa amarahnya makin memuncak, sambil menghentakkan kakinya ia berseru: “Anak muda, kita berangkat!” Hentakan kakinya seketika menimbulkan liang yang cukup dalam ditempatnya berpijak. Diam diam Hong Lo—su kegirangan, kembali teriaknya: “walaupun siaute tak berkemampuan untuk membantu toako, tapi pergi bersama toako paling tidak bisa membantu keangkeran dirimu” “siapa yang pingin ikut segera bergabung denganku” seru Lui-pian Lojin keras, “lohu tidak percaya kalau Pulau Siang-cun-to benar benar adalah sarang naga gua harimau, kali ini harus kuterjang” Suto Siau sekalian segera menunjukkan wajah kegirangan, sementara pemuda berbaju ungu itu menghela napas panjang. Oo0oo ooOoo Didalam kereta kuda Im Ceng duduk saling berhadapan dengan Un Tay-tay, sepanjang jalan senyuman manis selalu tersungging diujung bibir perempuan itu. Menyaksikan hal ini, dengan gusar Im Ceng segera menegur: “Apa yang kau tertawakan?” Un Tay-tay tidak menjawab, seketika ia tundukkan wajahnya. Kembali Im Ceng berseru: “Kalau kau anggap pemuda tadi jauh lebih pintar ketimbang aku, kenapa tidak ikut dia saja?” Un Tay-tay tetap menundukkan kepalanya tanpa menjawab. Kedua orang itupun terbunkam, dalam keheningan kereta kuda bergerak makin Cepat. Tiba tiba Im Ceng berkata lagi: “Penampilanku tadi bukan Cuma lantaran kau, bila ada perempuan lain yang mengalami penganiayaanpun, aku tetap akan berbuat hal yang sama" “Aku tahu . . . . . . . ...” Kelihatannya Im Ceng sedang dipenuhi oleh rasa mendongkol, semakin Un Tay-tay bersikap lembut dan penurut, ia semakin jengkel dibuatnya, mendadak dengan mata mendelik dia mulai memukul dinding kereta. Un Tay-tay masih menundukkan kepalanya, sama sekali tidak menggubris. Kembali berapa saat lewat, akhirnya Im Ceng tak kuasa menahan diri lagi, teriaknya: “Sekalipun kau telah selamatkan nyawaku, gara gara kau akupun merasakan penderitaan yang berat, jadi aku tetap tak akan berterima kasih kepadamu” “Aku tahu . . . . . . . ” Tiba tiba Im Ceng melompat bangun, “duuuk!” kepalanya ditumbukkan keatas dinding kereta kemudian teriaknya keras: “Kau tidak tahu . . . . . .. kau tidak tahu . . . . . .. apa pun tidak kau ketahui” Dengan sedih Un Tay-tay memandangnya sekejap, setelah menghela napas tanya: “Darimana kau tahu kalau aku tidak tahu?” Lirikan itu seolah sebuah jarum tajam yang segera menusuk dihati Im Ceng. Perasaan murung, perasaan kagum serta luapan cinta kasih yang sangat mendalam seolah terkandung dibalik lirikan itu, membuat manusia berhati baja pun akan luluh hatinya apalagi lelaki berdarah panas macam Im Ceng. Akhirnya Im Ceng tak sanggup mengendalikan diri lagi, tiba tiba ia menubruk maju dan memeluk tubuh Un Tay-tay erat erat, bisiknya: “Kau tidak tahu, aku.....aku . . . . . . . ..” Pemuda ini berwatak keras dan berangasan, gembira atau gusar selalu mengikuti suara hati, bila dia enggan memperdulikan seseorang maka jangan lagi mengajaknya bicara, melirikpun enggan, tapi bila hatinya sedang dikobar api asmara, diapun akan mengemukakan perasaan hatinya secara terang terangan. Sambil menyandarkan kepalanya diatas dada pemuda itu, Un Tay-tay berbisik: “Aku tahu, kau sangat berterima kasih kepadaku” “Bukan hanya berterima kasih, bahkan..... bahkan aku . . . . . ..” “Bahkan kenapa?” “Aku..... akupun ingin . . . . . . . .. II “Sebagai seorang lelaki sejati, masa kata ‘cinta’ pun tak berani kau kemukakan?” “Benar, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu..... jerit Im Ceng keras keras, “aku rela tidak memperoleh apapun asal tidak kehilangan dirimu” Un Tay-tay mendongakkan kepalanya, butiran air mata telah II membasahi seluruh wajahnya, dengan suara gemetar ia berbisik: “Sekalipun semua penderitaan dan siksaan harus kujal ani, tapi asal bisa mendengar perkataanmu itu, hatiku benar benar sudah puas” Im Ceng memeluknya makin kencang, seolah kuatir kehilangan wanita itu lagi, gumamnya terus menerus: “Aku mencintaimu . . . . . . . .. aku cinta padamu . . . . .. bila kau senang mendengarnya, setiap hari akan kuulang beratus, beribu kali.....” “Tapi dulu aku pernah melakukan perbuatan yang sangat memalukan, pernah pula melakukan perbuatan salah kepadamu” Cepat Im Ceng menutup mulutnya dengan tangan, tukasnya: “Perduli dahulu kau pernah melakukan perbuatan apa, juga tak perduli dikemudian hari apa yang hendak kau lakukan. Asal hatimu hanya untukku, asal kau tak pernah meninggalkan aku untuk selamanya, aku sudah merasa puas sekali” Sambil mendesis lirih Un Tay-tay segera memeluk tengkuk pemuda itu, tubuh mereka berdua pun saling berangkulan dengan mesrahnya, pipi menempel diatas pipi sementara air mata jatuh berlinang, mereka seolah sudah melupakan keadaan yang sedang dihadapi. Orang yang berada diluar kereta ikut merasa terharu bercampur gembira, pikirnya: “Dasar bocah bodoh . . . . .. dasar bocah bodoh . . . . .. akhirnya kau mengerti juga....” Walaupun dia tak ingin mencuri dengar, namun setiap patah kata yang berkumandang dari balik kereta terdengar olehnya dengan jelas. Walaupun dia tak ingin mendengar lebih jauh, namun perasaan hatinya tak tahan untuk mendengar lebih banyak, agar dia bisa turut bergembira bagi mereka, sebab jika mereka berdua dapat hidup bahagia, dia akan merasa lebih berbahagia ketimbang mereka. Im Ceng benar benar menikmati kebahagiaan saat itu, terdengar ia bergumam: “Sekalipun kau telah berjumpa dengan orang yang lebih cerdik daripadaku pun jangan kau tinggalkan diriku” Melihat ucapan itu diutarakan dengan wajah bersungguh sungguh, seakan dia masih belum melupakan pemuda berbaju ungu imu, tak tahan Un Tay-tay segera tertawa cekikikan, makinya: “Dasar bocah bodoh!” “Biarpun bodoh, aku mencintaimu dengan sepenuh hati, sementara mereka yang mengaku cerdik, entah sudah berapa banyak orang yang dicintai. Bagiku, aku hanya tahu mencintai kau seorang” “Belum tentu hanya seorang!” “sungguh, aku hanya mencintai seorang, kalau tak percaya aku..... aku.....” Mendadak Un Tay-tay memeluknya makin kencang, dengan gemas digigitnya tengkuk pemuda itu. Senyuman bercampur air mata kembali menghiasi wajahnya: “Dasar bocah bodoh . . . . . .. dasar bocah bodoh! Biarpun orang lain lebih menyukai orang pintar, bagiku hanya orang bodoh macam kau yang kusukai” Biarpun tengkuknya yang digigit menimbulkan rasa saki t, namun Im Ceng merasakan hatinya manis dan hangat, tiba tiba ia tertawa. “Kalau memang begitu, tidak tertutup kemungkinan ada wanita lain yang bakal menyukai orang bodoh mcam aku” “Kalau ada wanita lain berani mencintaimu, akan kubunuh dia, kukuliti dia, kutanak dagingnya dan kumakan seiiris demi seiris” bisik Un Tay-tay Sambil menggigit bibir. “Waaah, ternyata kau adalah harimau betina yang galak. . . . . .. jika ada wanita lain yang mencintaiku dan mendengar ancaman mu itu, mereka pasti akan lari terbirit birit” Dibalik gelak tertawanya penuh diliputi perasaan gembira, semua ketidak beruntungan yang mengganjal hatinya tadi kini seolah sudah hilang lenyap tak berbekas. Un Tay-tay menatapnya sendu, setelah berapa saat tiba tiba ia menghela napas panjang. “Dalam suasana gembira macam begini, kenapa kau menghela napas?” tegur Im Ceng. Sambil pejamkan matanya Un Tay-tay tertunduk lesu, ujarnya Sambil menghela napas sedih: “Walaupun saat ini kita amat gembira, namun waktu untuk bergembira tidak terlalu lama” “Siapa mengatakan begitu.....? siapa yang bilang . . . . . .. Ceng terperanja. “Setibanya di pesisir laut, aku akan segera naik perahu menuju II tanya Im Pulau Siang-cun-to, sejak itu . . . . .. kita dipisahkan oleh lautan yang luas, aku takut..... aku takut sejak itu . . . . . ..” “Aku melarang kau berkata begitu . . . . . .. aku juga melarang kau ke sana!” tukas Im Ceng keras. “Aku pun tak ingin berpisah denganmu, tapi . . . . .. tapi jangan lupa, aku sudah mati satu kali, hanya Pulau Siang—cun —to yang bisa kutempati” Im Ceng merasa cemas bercampur gusar, dengan air mata berlinang dipeluknya Un Tay-tay semakin kencang, jeritnya: “Siapa bilang kau sudah mati? orang orang itu hanya ngaco belo, tak usah kau gubris perkataan mereka” “Aku telah bergabung dengan mereka, bagaimana pun aku harus pergi ke sana” “Siapa bilang kau harus ke Sana? Kalau ada orang berani memaksamu, akan ku . . . . .. akan kubunuh orang itu, kutanak dagingnya dan kumakan tubuhnya, akan.....akan kubakar Pulau Siang—cun-to” “Bocah bodoh!” dengan lembut Un Tay-tay menyeka air mata diwajahnya, “ilmu silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, anak buahnya banyak tak terhitung, bagaimana mungkin kau bisa menghadapi mereka?” Sekujur badan Im Ceng gemetar keras, seakan dadanya kena dihantam sebuah pukulan keras. Tiba tiba Un Tay-tay menyaksikan paras mukanya berubah jadi pucat pasi, sepasang matanya melotot besar, ketika dipanggil namanya, dia tidak menyahut, pemuda itu seakan telah berubah jadi bodoh, jadi idiot! Ia merasa hatinya sakit bagaikan ditusuk pisau, diapun gelisah bercampur cemas, dengan air mata berlinang bisiknya: “Kee.....kenapa kau . . . . . .. sadarlah . . . . . .. mari kita cari jalan lain . . . . . . ..” “Jalan apa . . . . ..? jalan yang mana?” gumam Im Ceng seperti orang kebingungan, tiba tiba ia menangis tersedu, “aku tak berdaya! Aku . . . . .. aku tak sanggup menghadapi mereka” “aku yakin pasti ada cara untuk menanggulanginya” bisik Un Tay-tay dengan kepala tertunduk. Im Ceng agak tertegun, mendadak ia melompat bangun, “dduuk!” kepalanya membentur di langit langit kereta namun tidak terasa sakit, teriaknya kegirangan: “Betulkah ada jalan keluar?” Un Tay-tay merasa pedih bercampur sayang, sembari membelai kepalanya ia berkata: “Biarpun kepandaian silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, toh bukan berarti dia bisa memaksaku jadi orang mati!” “Betul, betul . . . . ..” “Seandainya aku memohon kepadanya, mungkin diapun tak akan memaksakan kehendak” “Betul, betul . . . . .. biar aku temani kau” Un Tay-tay memandangnya sekejap, tiba tiba ujarnya lagi: “Tapi tak ingin pergi memohon kepadanya” “Kee.....kenapa?” “Bila suatu saat tabiat tuan besarmu kambuh kembali, bila kau mulai mengungkit kesalahan ku dulu, tidak memperdulikan aku lagi, bukankah lebih baik aku pergi mampus saja” Merah padam wajah Im Ceng saking gelisahnya, dengan keras dia berteriak: “Bila Im Ceng tidak ambil perduli lagi terhadap Un Tay-tay, biarlah Thian memberi kematian yang mengenaskan bagiku . . . . . . ..” Buru buru Un Tay-tay mendekap mulutnya sambil berseru: “Aku percaya dirimu, jangan kau lanjutkan perkataan itu, jika Thian punya mata, moga moga kami berdua diberkahi hidup bahagia hingga akhir jaman” “Betul, hidup bahagia hingga akhir jaman . . . . . . . ..” Untuk sesaat kedua orang itu hanya saling bertatap muka tanpa bicara lagi, seakan akan mereka tak ingin dipisahkan kembali walau hanya sedetikpun. Begitu mendengar pembicaraan tersebut, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau perempuan itu hanya ingin mengendorkan suasana saja dan berusaha menunda masalah. Sekalipun begitu, dia tidak marah atau membenci Un Tay-tay, sebab ia cukup memahami perasaan wanita itu. Dia sengaja berbuat demikian hanya terbatas karena dia tak ingin berpisah dengan Im Ceng, kalau dia tidak berbuat begitu, bagaimana mungkin bisa menjinakkan kuda liar macam pemuda itu. Thiat Tiong—tong hanya beranggapan bahwa cara yang dilakukan perempuan itu patut dikasihani, patut menaruh simpatik kepadanya Sekalipun ada sedikit tipu daya yang dipergunakan, namun ia bisa memakluminya. Sekalipun Thiat Tiong—tong bukan perempuan, boleh dibilang dia sangat memahami perasaan kaum wanita, sebab hanya wanita yang amat mencintai seseorang baru rela melakukan segala tindakan termasuk menggunakan siasat. Diam diam Thiat Tiong-tong tertawa geli, pikirnya: “Begitu asyik mereka tenggelam dalam masalah pribadi sampai lupa kalau kereta ini bisa bergerak tanpa kendali, yaa sudahlah, biarkan saja mereka berasyik masyuk sementara aku menjadi kusir mereka” Maka diapun balik ke tempat kusir dan mengendalikan larinya kereta. Waktu itu fajar telah menyingsing, matahari memancarkan sinar keemas emasannya menyinari seluruh jagad, diantara hembusan angin lamat lamat sudah mulai terdengar debuan ombak, kelihatannya merek sudah berada tak jauh dari pesisir. Thiat Tiong—tong merasakan semangatnya bangkit kembali, dia membuang jauh semua kekesalan serta kemurungan yang mencekamnya selama ini. setelah menyaksikan adegan mesrah dari Im Ceng dan Un Tay-tay, jangan lagi baru bergadang sehari semalam, biar harus menjadi kusir selama tiga hari tiga malam pun dia tak akan menggerutu.