Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
"OOOOH! Kiranya Mao toa-enghiong," seru Pek In Hoei, "Mao-heng hidup makmur di wilayah Kam-siok sebagai raja, mau apa engkau datang kemari sebagai utusan orang? Apakah sudah ganti pekerjaan sebagai penyamun..." Mao Bong tertawa dingin. "Aku sendirilah yang mengajukan diri secara suka rela untuk menghantar surat tantangan tersebut, tujuanku bukan lain adalah untuk menyaksikan manusia macam apakah Jago Pedang Berdarah Dingin yang amat tersohor namanya di wilayah selatan itu, Hehmm... heeehhmmm... orangnya sih lumayan, cuma sayang terlalu lembut..." Rupanya ia merasa curiga atas ketenaran nama Pek In Hoei yang dianggapnya masih terlalu muda itu, sedikit banyak hatinya merasa agak kecewa juga setelah bertemu dengan orangnya sesudah jauh-jauh dari wilayah Kam-siok datang kemari dengan tujuan bertemu dengan jago muda itu. "Hmmm! Meskipun usia Pek sau-hiap masih muda namun ilmu silatnya tidak muda lagi," seru Gan In dengan suara dingin, "janganlah menganggap setelah engkau menempati kursi pertama di wilayah Kam- siok lantas dalam pandanganmu tiada orang pintar lagi, ketahuilah jago lihay yang ada dalam Bu-lim banyak sekali, dan engkau Mao Bong masih belum terhitung seberapa..." "Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " Mao Bong tertawa seram, "perkataanmu enak benar kalau dinikmati, aku orang she Mao memang belum pernah menjumpai keadaan seperti ini saudara Gan, kedatanganku kemari bukanlah untuk menengok dirimu, karena itu lebih baik tutup saja mulut anjingmu itu..." "Ooooh! Jadi kalau begitu Mao-heng sangat memandang tinggi diriku!..." seru Pek In Hoei sambil tertawa hambar. "Hmmm! Memandang tinggi apa? Sungguh mengecewakan sekali..." Pek In Hoei tertawa dingin. "Engkau sendiri pun tak terhitung seberapa hebat, aku rasa tidak lebih engkau cuma seorang jago bayaran..." "Apa kau bilang???" teriak Mao Bong sambil melototkan matanya bulat-bulat, "engkau anggap aku orang she Mao cuma seorang jago bayaran? Hmmm... Pek In Hoei, kau jangan terlalu pandang rendah diriku, selama berada di wilayah Kam-siok asal aku Mao Bong berteriak maka semua orang akan memanggil diriku sebagai Mao toako, kau ini cuma manusia apa?? Bocah cilik yang masih ingusan dan paling banter baru belajar ilmu pedang beberapa hari, berani betul engkau tak pandang sebelah mata kepadaku... hmm... hmmm... engkau terlalu halus sahabat..." "Haaaah... haaaah... haaaah...... kiranya begitu, maaf... maaf... " seru Gan In secara tiba-tiba. "Apa maksudmu?" tanya Mao Bong dengan wajah tertegun. "Haaaah... haaaah... haaaah... kalau engkau berteriak maka orang akan sebut dirimu sebagai Mao toako, tahukah engkau jiwa Pek toako kami ini yang berteriak, apa sebutan orang kepadanya..." "Orang sebut dia sebagai apa??" "Ooooh... bapakku..." Mao Bong tidak menyangka kalau Gan In sedang memperolok-olok dirinya, apalagi ketika diingat betapa keras gelak tertawa orang itu, saking mendongkolnya dia segera membentak keras, cambangnya pada berdiri semua bagaikan landak, teriaknya dengan amat gusar : "Beranikah engkau berduel melawan aku orang she Mao..." "Selama berlangsung konfrontasi antara dua negara, selamanya utusan ke-dua belah pihak tak berani diganggu, aku tak sudi bertarung melawan dirimu pada saat ini, jika Mao-heng punya kegembiraan maka silahkan mencoba waktunya berada di gunung Siau-in-san nanti, lebih baik sekarang simpanlah tenagamu dan pamerkan saja kemampuan di bukit Siau-in-san nanti..." "Hmmm! Aku sudah tahu kalau engkau tak berani..." "Huuuh...! Engkau toh cuma seorang jago bayaran.. ketahuilah aku adalah seorang wakil ketua dari Perkumpulan Bunga Merah, aku tak sudi ribut-ribut dengan jago bayaran macam dirimu itu... Mao-heng sekarang kamu boleh berlalu dari sini..." "Hmmm! Manusia yang ada di sini tidak lebih hanya serombongan gentong nasi..." teriak Mao Bong dengan gemas. "Apa yang kau katakan??" tegur Pek In Hoei sambil melangkah maju ke depan. Mao Bong melirik sekejap ke arah Pek In Hoei dengan pandangan dingin, lalu teriaknya : "Aku bilang manusia yang berkumpul di sini tidak lebih cuma serombongan gentong nasi!" Plaaak! Ploook! Dengan suatu gerakan yang amat cepat Jago Pedang Berdarah Dingin ayunkan telapaknya memerseni dua gablokan keras ke atas wajah Mao Bong, begitu keras gablokan tersebut membuat tubuh sang jago dari wilayah Kam-siok ini mundur beberapa langkah ke belakang dengan sempoyongan. Pek In Hoei tertawa dingin, serunya : "Anggaplah gablokan tersebut sebagai suatu peringatan bagi kamu si keparat yang bermulut anjing, lain kali kalau berani bicara sembarangan lagi... Hmmmm jangan salahkan kalau mulutmu akan kurobek sampai telinganya..." Meminjam kesempatan baik itu Gan In pun mengejek tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... sahabat Mao, andaikata engkau mencari diriku maka akibatnya tak akan separah itu, siapa suruh kamu cari gara-gara dengan Pek-heng, Heeeeh... heeeeh... heeeeh... dia sih tak suka bicara seperti diriku ini..." "Kamu berani memukul aku??" bentak Mao Bong dengan penuh kebencian... "Hmmm... Hmmm... rupanya kamu memang benar-benar sudah bosan di kolong langit..." Selama berada di wilayah Kam-siok ia menduduki kursi pertama, selama hidup hingga kini boleh dibilang belum pernah mengalami peristiwa memalukan seperti ini, kontan hawa amarah berkobar hingga seluruh ototnya pada menonjol keluar, matanya berapi-api dan air mukanya berubah jadi merah padam... "Apa salahku?" jawab Pek In Hoei dengan nada menghina, "aku toh cuma menggablok gentong nasi yang sesungguhnya..." "Bajingan... aku hendak cabut jiwa anjingmu..." jerit Mao Bong dengan kalap. Criiing...! Sekilas cahaya pedang bergetar dari tangannya, setelah menggetar sebentar kemudian berputar membentuk gerakan lingkaran busur di udara, laksana kilat ia bacok tubuh pemuda itu. "Hmmm! Bagus sekali," jengek Pek In Hoei dengan hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, "aku hendak memberi suatu tanda mata di atas tubuhmu, agar semua anggota Komplotan Tangan Hitam tahu bahwa Mao Bong dalam pandanganku tidak lebih cuma seorang badut cilik, seorang kerbau tua yang pandainya cuma mengibul..." Tubuhnya meloncat maju ke depan dan menerobos lewat di bawah sambaran pedang lawan, gerakan tubuh yang begitu hebat benar-benar mengerikan hati orang yang melihat, sekalipun meluncur lewat di bawah senjata musuh namun tubuhnya sama sekali tidak terluka. Criiing...! Pek In Hoei meloloskan pedang penghancur sang surya-nya dari dalam sarung, bayangan senjata meluncur ke muka dan memaksa Mao Bong tak mampu membuka matanya kembali. "Itukah pedang mestika penghancur sang surya??" bisiknya dengan suara gemetar. "Sedikit pun tidak salah, engkau dapat mencicipi bagaimana rasanya pedang mestika dari partai Thiam cong ini, boleh dikata perjalananmu kali ini sama sekali tidak sia-sia belaka..." Sambil berkata pedang mestika penghancur sang surya-nya menggetarkan tiga titik cahaya tajam di udara, di tengah getaran yang enteng ke-tiga titik cahaya tersebut dengan mengandung desiran angin tajam segera menggulung ke muka. Air muka Mao Bong berubah hebat, pikirnya : "Ooooh... rupanya ilmu pedang yang dia miliki luar biasa juga..." Dia sendiri pun merupakan seorang ahli pedang maka barang siapa pun memainkan satu jurus serangan dengan cepat dia akan mengetahui sampai di manakah taraf tenaga dalam yang dimiliki lawannya. Karena itulah meskipun Pek In Hoei cuma mengayunkan pedangnya akan tetapi Mao Bong sudah menyadari bahwa hari ini dia telah menjumpai musuh tangguh. Ia tak berani melawan serangan musuh dengan kekerasan, pedangnya secara beruntun melancarkan tiga bacokan ke tengah udara, tubuhnya bergerak maju dan membentak keras, pedangnya dari bacokan berubah jadi suatu tusukan mengancam pinggang si anak muda itu. Pek In Hoei tertawa ewa katanya : "Hmmm! Perhitungan sie poa mu ternyata lumayan juga..." Sang badan maju ke muka dan berada di bawah serangan musuh yang sangat aneh itu, bukannya mundur tiba-tiba dia maju ke depan, laksana kilat pedangnya dilancarkan ke muka menyongsong datangnya serangan lawan... Triiing...! Sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya menimbulkan suara dentingan yang sangat nyaring, tiba-tiba Jago Pedang Berdarah Dingin menarik kembali pedangnya di saat ia putar badan sang pedang kembali diayun ke muka. "Aduuuh..." Mao Bong menjerit kesakitan, sambil mencekal lengannya ia mundur ke belakang, saking sakitnya keringat dingin sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya, memandang darah segar yang mengucur keluar dari lengannya ia menggertak kencang-kencang, teriaknya dengan penuh kebencian : "Sungguh kejam engkau..." "Hmmm! Anggaplah tusukan pedangku itu sebagai pelajaran bagimu," kata Pek In Hoei dengan suara dingin, "lain kali kalau ingin bicara berhati-hati sedikit..." "Kentut busuk!" bentak Mao Bong dengan gusar, "belum tentu aku kalah dengan dirimu orang she Pek, kalau engkau punya keberanian ayoh kita bertemu lagi di atas bukit siau-in-san, aku Mao Bong pasti akan menuntut balas atas sakit hati ini..." Buru-buru dia mengajak dua orang pria lainnya untuk loncat naik ke atas kuda, kemudian mendeprak kudanya dan kabur secepat-cepatnya dari tempat itu diiringi gelak tertawa dari para anggota Perkumpulan Bunga Merah... ****** Di bawah kaki gunung Siau-in-san para anggota Perkumpulan Bunga Merah mendirikan kemahnya, selama akan berlangsungnya pertemuan itu para anggota dari Komplotan Tangan Hitam tak seorang pun yang munculkan diri, hal ini membuat pikiran Gan In jadi amat kalut, ia menitahkan seluruh anggotanya untuk tidak naik gunung secara sembarangan kemudian berpesan pula bila terjadi pertemuan yang tak terduga dengan pihak lawan maka janganlah melakukan pertarungan. Dengan wajah yang tegang Pertapa Nelayan dari Lam-beng berkata : "Mungkinkah ketua kita bisa ikut hadir di dalam pertemuan ini masih merupakan suatu pertanyaan besar, kali ini rupanya kehadiran para Komplotan Tangan Hitam disertai dengan persiapan yang cukup sempurna, sebaliknya jumlah kekuatan yang kita miliki terlalu minim sekali, berhasilkah kita rebut kemenangan masih merupakan suatu pertanyaan yang tak bisa dijawab." "Nelayan tua, kau tak usah terlalu bersedih hati," jawab Gan In dengan wajah serius, "mereka berani menantang kita untuk bertemu di tempat ini tentunya disebabkan mereka sudah menduga kalau ketua kita pasti tak bisa hadir sedang mereka hendak menggunakan siasat ikan besar menelan ikan kecil untuk menyikat kita semua. Sampai waktunya asal kita berjuang dengan segala kemampuan yang kita miliki, aku percaya pihak Komplotan Tangan Hitam pun tak akan mendapat keuntungan apa-apa..." Pada saat itulah Jago Pedang Berdarah Dingin kebetulan sedang berjalan mendekat, setelah memandang sekejap sekeliling bukit itu tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, kepada Gan In dia segera berkata : "Saudara Gan, aku ada satu persoalan yang hendak dirundingkan dengan dirimu..." "Katakanlah saudara Pek," jawab Gan In sambil tertawa, "kita toh orang-orang sendiri, ada persoalan utarakanlah agar bisa kita rundingkan secara baik- baik." Pek In Hoei berpikir sebentar, lalu berkata : "Bentuk dari bukit Siau-in-san ini tegak lurus dan curam sekali batu karang berserakan di mana-mana, asal Komplotan Tangan Hitam berjaga di sekitar tempat itu lalu menyerang kita dengan batu serta senjata rahasia niscaya kita tak mampu untuk menerjang ke atas. Menurut pendapat siau-te, apa salahnya kalau kita berdua memutar ke bukit sebelah belakang sana kemudian menyerbu ke atas hingga bikin mereka jadi kalang kabut dan gelagapan sendiri, setelah pertahanan serta jebakan-jebakan yang mereka siapkan berhasil kita singkirkan, menggunakan kesempatan yang sangat baik itu bukankah saudara-saudara kita dan Perkumpulan Bunga Merah bisa menyerbu ke atas..." "Betul!" teriak Gan In sambil bertepuk tangan, "akal ini memang bagus sekali..." Dia serta Pek In Hoei secara diam-diam segera melakukan persiapan, setelah meninggalkan pesan kepada Pertapa Nelayan dari Lam-beng ke-dua orang itu segera memutar ke gunung sebelah belakang. Para Komplotan Tangan Hitam yang berjaga-jaga di bukit sebelah depan dan menghimpun kekuatannya di situ tentu saja tak pernah menyangka kalau pihak lawan bisa menyergap dari arah belakang. Sepanjang perjalanan Pek In Hoei serta Gan In bergerak dengan sangat berhati-hati, ternyata tiada seorang manusia pun yang menghalangi jalan pergi mereka, ketika mencapai lambung bukit dijumpainya para jago dari Komplotan Tangan Hitam ada yang melakukan perondaan di situ. Tiga orang anggota Komplotan Tangan Hitam duduk berjejer di belakang sebuah batu besar, waktu itu mereka sedang merokok sehingga asap tembakau membocorkan jejak orang-orang itu. Pek In Hoei segera memberi tanda kepada Gan In, dua orang jago lihay itu dengan gerakan tubuh bagaikan dua gulung asap meluncur ke tengah udara, setelah berputar satu lingkaran busur tiba-tiba mereka melayang turun di sisi ke-tiga orang musuhnya itu.
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
"OOOOH! Kiranya Mao toa-enghiong," seru Pek In Hoei, "Mao-heng hidup makmur di wilayah Kam-siok sebagai raja, mau apa engkau datang kemari sebagai utusan orang? Apakah sudah ganti pekerjaan sebagai penyamun..." Mao Bong tertawa dingin. "Aku sendirilah yang mengajukan diri secara suka rela untuk menghantar surat tantangan tersebut, tujuanku bukan lain adalah untuk menyaksikan manusia macam apakah Jago Pedang Berdarah Dingin yang amat tersohor namanya di wilayah selatan itu, Hehmm... heeehhmmm... orangnya sih lumayan, cuma sayang terlalu lembut..." Rupanya ia merasa curiga atas ketenaran nama Pek In Hoei yang dianggapnya masih terlalu muda itu, sedikit banyak hatinya merasa agak kecewa juga setelah bertemu dengan orangnya sesudah jauh-jauh dari wilayah Kam-siok datang kemari dengan tujuan bertemu dengan jago muda itu. "Hmmm! Meskipun usia Pek sau-hiap masih muda namun ilmu silatnya tidak muda lagi," seru Gan In dengan suara dingin, "janganlah menganggap setelah engkau menempati kursi pertama di wilayah Kam- siok lantas dalam pandanganmu tiada orang pintar lagi, ketahuilah jago lihay yang ada dalam Bu-lim banyak sekali, dan engkau Mao Bong masih belum terhitung seberapa..." "Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " Mao Bong tertawa seram, "perkataanmu enak benar kalau dinikmati, aku orang she Mao memang belum pernah menjumpai keadaan seperti ini saudara Gan, kedatanganku kemari bukanlah untuk menengok dirimu, karena itu lebih baik tutup saja mulut anjingmu itu..." "Ooooh! Jadi kalau begitu Mao-heng sangat memandang tinggi diriku!..." seru Pek In Hoei sambil tertawa hambar. "Hmmm! Memandang tinggi apa? Sungguh mengecewakan sekali..." Pek In Hoei tertawa dingin. "Engkau sendiri pun tak terhitung seberapa hebat, aku rasa tidak lebih engkau cuma seorang jago bayaran..." "Apa kau bilang???" teriak Mao Bong sambil melototkan matanya bulat-bulat, "engkau anggap aku orang she Mao cuma seorang jago bayaran? Hmmm... Pek In Hoei, kau jangan terlalu pandang rendah diriku, selama berada di wilayah Kam-siok asal aku Mao Bong berteriak maka semua orang akan memanggil diriku sebagai Mao toako, kau ini cuma manusia apa?? Bocah cilik yang masih ingusan dan paling banter baru belajar ilmu pedang beberapa hari, berani betul engkau tak pandang sebelah mata kepadaku... hmm... hmmm... engkau terlalu halus sahabat..." "Haaaah... haaaah... haaaah...... kiranya begitu, maaf... maaf... " seru Gan In secara tiba-tiba. "Apa maksudmu?" tanya Mao Bong dengan wajah tertegun. "Haaaah... haaaah... haaaah... kalau engkau berteriak maka orang akan sebut dirimu sebagai Mao toako, tahukah engkau jiwa Pek toako kami ini yang berteriak, apa sebutan orang kepadanya..." "Orang sebut dia sebagai apa??" "Ooooh... bapakku..." Mao Bong tidak menyangka kalau Gan In sedang memperolok-olok dirinya, apalagi ketika diingat betapa keras gelak tertawa orang itu, saking mendongkolnya dia segera membentak keras, cambangnya pada berdiri semua bagaikan landak, teriaknya dengan amat gusar : "Beranikah engkau berduel melawan aku orang she Mao..." "Selama berlangsung konfrontasi antara dua negara, selamanya utusan ke-dua belah pihak tak berani diganggu, aku tak sudi bertarung melawan dirimu pada saat ini, jika Mao-heng punya kegembiraan maka silahkan mencoba waktunya berada di gunung Siau-in-san nanti, lebih baik sekarang simpanlah tenagamu dan pamerkan saja kemampuan di bukit Siau-in-san nanti..." "Hmmm! Aku sudah tahu kalau engkau tak berani..." "Huuuh...! Engkau toh cuma seorang jago bayaran.. ketahuilah aku adalah seorang wakil ketua dari Perkumpulan Bunga Merah, aku tak sudi ribut-ribut dengan jago bayaran macam dirimu itu... Mao-heng sekarang kamu boleh berlalu dari sini..." "Hmmm! Manusia yang ada di sini tidak lebih hanya serombongan gentong nasi..." teriak Mao Bong dengan gemas. "Apa yang kau katakan??" tegur Pek In Hoei sambil melangkah maju ke depan. Mao Bong melirik sekejap ke arah Pek In Hoei dengan pandangan dingin, lalu teriaknya : "Aku bilang manusia yang berkumpul di sini tidak lebih cuma serombongan gentong nasi!" Plaaak! Ploook! Dengan suatu gerakan yang amat cepat Jago Pedang Berdarah Dingin ayunkan telapaknya memerseni dua gablokan keras ke atas wajah Mao Bong, begitu keras gablokan tersebut membuat tubuh sang jago dari wilayah Kam-siok ini mundur beberapa langkah ke belakang dengan sempoyongan. Pek In Hoei tertawa dingin, serunya : "Anggaplah gablokan tersebut sebagai suatu peringatan bagi kamu si keparat yang bermulut anjing, lain kali kalau berani bicara sembarangan lagi... Hmmmm jangan salahkan kalau mulutmu akan kurobek sampai telinganya..." Meminjam kesempatan baik itu Gan In pun mengejek tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... sahabat Mao, andaikata engkau mencari diriku maka akibatnya tak akan separah itu, siapa suruh kamu cari gara-gara dengan Pek-heng, Heeeeh... heeeeh... heeeeh... dia sih tak suka bicara seperti diriku ini..." "Kamu berani memukul aku??" bentak Mao Bong dengan penuh kebencian... "Hmmm... Hmmm... rupanya kamu memang benar-benar sudah bosan di kolong langit..." Selama berada di wilayah Kam-siok ia menduduki kursi pertama, selama hidup hingga kini boleh dibilang belum pernah mengalami peristiwa memalukan seperti ini, kontan hawa amarah berkobar hingga seluruh ototnya pada menonjol keluar, matanya berapi-api dan air mukanya berubah jadi merah padam... "Apa salahku?" jawab Pek In Hoei dengan nada menghina, "aku toh cuma menggablok gentong nasi yang sesungguhnya..." "Bajingan... aku hendak cabut jiwa anjingmu..." jerit Mao Bong dengan kalap. Criiing...! Sekilas cahaya pedang bergetar dari tangannya, setelah menggetar sebentar kemudian berputar membentuk gerakan lingkaran busur di udara, laksana kilat ia bacok tubuh pemuda itu. "Hmmm! Bagus sekali," jengek Pek In Hoei dengan hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, "aku hendak memberi suatu tanda mata di atas tubuhmu, agar semua anggota Komplotan Tangan Hitam tahu bahwa Mao Bong dalam pandanganku tidak lebih cuma seorang badut cilik, seorang kerbau tua yang pandainya cuma mengibul..." Tubuhnya meloncat maju ke depan dan menerobos lewat di bawah sambaran pedang lawan, gerakan tubuh yang begitu hebat benar-benar mengerikan hati orang yang melihat, sekalipun meluncur lewat di bawah senjata musuh namun tubuhnya sama sekali tidak terluka. Criiing...! Pek In Hoei meloloskan pedang penghancur sang surya-nya dari dalam sarung, bayangan senjata meluncur ke muka dan memaksa Mao Bong tak mampu membuka matanya kembali. "Itukah pedang mestika penghancur sang surya??" bisiknya dengan suara gemetar. "Sedikit pun tidak salah, engkau dapat mencicipi bagaimana rasanya pedang mestika dari partai Thiam cong ini, boleh dikata perjalananmu kali ini sama sekali tidak sia-sia belaka..." Sambil berkata pedang mestika penghancur sang surya-nya menggetarkan tiga titik cahaya tajam di udara, di tengah getaran yang enteng ke-tiga titik cahaya tersebut dengan mengandung desiran angin tajam segera menggulung ke muka. Air muka Mao Bong berubah hebat, pikirnya : "Ooooh... rupanya ilmu pedang yang dia miliki luar biasa juga..." Dia sendiri pun merupakan seorang ahli pedang maka barang siapa pun memainkan satu jurus serangan dengan cepat dia akan mengetahui sampai di manakah taraf tenaga dalam yang dimiliki lawannya. Karena itulah meskipun Pek In Hoei cuma mengayunkan pedangnya akan tetapi Mao Bong sudah menyadari bahwa hari ini dia telah menjumpai musuh tangguh. Ia tak berani melawan serangan musuh dengan kekerasan, pedangnya secara beruntun melancarkan tiga bacokan ke tengah udara, tubuhnya bergerak maju dan membentak keras, pedangnya dari bacokan berubah jadi suatu tusukan mengancam pinggang si anak muda itu. Pek In Hoei tertawa ewa katanya : "Hmmm! Perhitungan sie poa mu ternyata lumayan juga..." Sang badan maju ke muka dan berada di bawah serangan musuh yang sangat aneh itu, bukannya mundur tiba-tiba dia maju ke depan, laksana kilat pedangnya dilancarkan ke muka menyongsong datangnya serangan lawan... Triiing...! Sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya menimbulkan suara dentingan yang sangat nyaring, tiba-tiba Jago Pedang Berdarah Dingin menarik kembali pedangnya di saat ia putar badan sang pedang kembali diayun ke muka. "Aduuuh..." Mao Bong menjerit kesakitan, sambil mencekal lengannya ia mundur ke belakang, saking sakitnya keringat dingin sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya, memandang darah segar yang mengucur keluar dari lengannya ia menggertak kencang-kencang, teriaknya dengan penuh kebencian : "Sungguh kejam engkau..." "Hmmm! Anggaplah tusukan pedangku itu sebagai pelajaran bagimu," kata Pek In Hoei dengan suara dingin, "lain kali kalau ingin bicara berhati-hati sedikit..." "Kentut busuk!" bentak Mao Bong dengan gusar, "belum tentu aku kalah dengan dirimu orang she Pek, kalau engkau punya keberanian ayoh kita bertemu lagi di atas bukit siau-in-san, aku Mao Bong pasti akan menuntut balas atas sakit hati ini..." Buru-buru dia mengajak dua orang pria lainnya untuk loncat naik ke atas kuda, kemudian mendeprak kudanya dan kabur secepat-cepatnya dari tempat itu diiringi gelak tertawa dari para anggota Perkumpulan Bunga Merah... ****** Di bawah kaki gunung Siau-in-san para anggota Perkumpulan Bunga Merah mendirikan kemahnya, selama akan berlangsungnya pertemuan itu para anggota dari Komplotan Tangan Hitam tak seorang pun yang munculkan diri, hal ini membuat pikiran Gan In jadi amat kalut, ia menitahkan seluruh anggotanya untuk tidak naik gunung secara sembarangan kemudian berpesan pula bila terjadi pertemuan yang tak terduga dengan pihak lawan maka janganlah melakukan pertarungan. Dengan wajah yang tegang Pertapa Nelayan dari Lam-beng berkata : "Mungkinkah ketua kita bisa ikut hadir di dalam pertemuan ini masih merupakan suatu pertanyaan besar, kali ini rupanya kehadiran para Komplotan Tangan Hitam disertai dengan persiapan yang cukup sempurna, sebaliknya jumlah kekuatan yang kita miliki terlalu minim sekali, berhasilkah kita rebut kemenangan masih merupakan suatu pertanyaan yang tak bisa dijawab." "Nelayan tua, kau tak usah terlalu bersedih hati," jawab Gan In dengan wajah serius, "mereka berani menantang kita untuk bertemu di tempat ini tentunya disebabkan mereka sudah menduga kalau ketua kita pasti tak bisa hadir sedang mereka hendak menggunakan siasat ikan besar menelan ikan kecil untuk menyikat kita semua. Sampai waktunya asal kita berjuang dengan segala kemampuan yang kita miliki, aku percaya pihak Komplotan Tangan Hitam pun tak akan mendapat keuntungan apa-apa..." Pada saat itulah Jago Pedang Berdarah Dingin kebetulan sedang berjalan mendekat, setelah memandang sekejap sekeliling bukit itu tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, kepada Gan In dia segera berkata : "Saudara Gan, aku ada satu persoalan yang hendak dirundingkan dengan dirimu..." "Katakanlah saudara Pek," jawab Gan In sambil tertawa, "kita toh orang-orang sendiri, ada persoalan utarakanlah agar bisa kita rundingkan secara baik- baik." Pek In Hoei berpikir sebentar, lalu berkata : "Bentuk dari bukit Siau-in-san ini tegak lurus dan curam sekali batu karang berserakan di mana-mana, asal Komplotan Tangan Hitam berjaga di sekitar tempat itu lalu menyerang kita dengan batu serta senjata rahasia niscaya kita tak mampu untuk menerjang ke atas. Menurut pendapat siau-te, apa salahnya kalau kita berdua memutar ke bukit sebelah belakang sana kemudian menyerbu ke atas hingga bikin mereka jadi kalang kabut dan gelagapan sendiri, setelah pertahanan serta jebakan-jebakan yang mereka siapkan berhasil kita singkirkan, menggunakan kesempatan yang sangat baik itu bukankah saudara-saudara kita dan Perkumpulan Bunga Merah bisa menyerbu ke atas..." "Betul!" teriak Gan In sambil bertepuk tangan, "akal ini memang bagus sekali..." Dia serta Pek In Hoei secara diam-diam segera melakukan persiapan, setelah meninggalkan pesan kepada Pertapa Nelayan dari Lam-beng ke-dua orang itu segera memutar ke gunung sebelah belakang. Para Komplotan Tangan Hitam yang berjaga-jaga di bukit sebelah depan dan menghimpun kekuatannya di situ tentu saja tak pernah menyangka kalau pihak lawan bisa menyergap dari arah belakang. Sepanjang perjalanan Pek In Hoei serta Gan In bergerak dengan sangat berhati-hati, ternyata tiada seorang manusia pun yang menghalangi jalan pergi mereka, ketika mencapai lambung bukit dijumpainya para jago dari Komplotan Tangan Hitam ada yang melakukan perondaan di situ. Tiga orang anggota Komplotan Tangan Hitam duduk berjejer di belakang sebuah batu besar, waktu itu mereka sedang merokok sehingga asap tembakau membocorkan jejak orang-orang itu. Pek In Hoei segera memberi tanda kepada Gan In, dua orang jago lihay itu dengan gerakan tubuh bagaikan dua gulung asap meluncur ke tengah udara, setelah berputar satu lingkaran busur tiba-tiba mereka melayang turun di sisi ke-tiga orang musuhnya itu.