Cerita Silat | Patung Hok Lok Sioe | oleh OKT | Patung Hok Lok Sioe | Cersil Sakti | Patung Hok Lok Sioe pdf
Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng
Detektip To dari belakang pohon terus memasang mata. Ia melihat sepak-terdjangnja si pemuda tampan. Ia membiarkannja, ia mengawasi terus. Tapi ia merasa tegang sendirinja. Maka ia mengeluarkan revolvernja, ia bersiapsedia. ia mau menunggu sampai tangan orang mendjumppit untuk ke-dua kalinja, baru ia mau turun tangan. Ia menghendaki pendjahat berikut barang buktinja. Si pemuda menoleh ke arah si agen polisi. Dia ini tidak hanja menghisap sigaret. Dengan membalik tubuh, membelakangi, dia lagi dahar manisan, ia tidak mau mensia-siakan tempo lagi, untuk ke-dua kalinja, ia mengulur tangannja, jang terus dimasukkan ke dalam sakunja. Hampir berbareng dengan itu, Detektip To lompat keluar dari tempatnja bersembunji. Ia lari kedalam, lekas ia tiba di dekat pemuda itu, punggung siapa ia lantas todong dengan sendjata apinja. „Angkat tangan!” ia mengantjam bengis. „Djangan melawan!” Bukan main girangnja detektip ini. Ia telah menawan In Hong alias Oey Eng si Burung Kenari, si pendjahat wanita jang litjin......... „Bagaimana eh?” menanja si pemuda tampan, heran. „Mengapa kau mengantjam aku dengan sendjata api?” Ketika itu, selain si agen polisi jang menghisap sigaret dan makan kembang gula, djuga ketiga kawannja telah balik dengan tjepat. Maka mereka lantas membantui sep mereka memasang mata atas si pemuda. „Aku telah membekuk pendjahat berikut barang bukti, kau hendak bilang apa?” Tjie An menjahuti. „Artinja kau membekuk pendjahat berikut barang buktinja?” „Memang, tanpa bukti, kau tidak mempunjai urusan apa-apa di sini!.........” djawab Detektip To. „Kau hebat, ketjuali pandai menjamar, kau pun dapat mengubah lagu suaramu!” Suara si pemuda tampan tidak mirip suaranja In Hong. „Aku tidak mengerti!” kata dia. „Mana barang buktinja?” „Di dalam saku badjumu!” „Silahkan kau geledah!” Detektip To lantas menggeledah. Patung sapir itu tak ada. „Sep, dia mentjuri apa?” tanja si agen, jang menghisap sigaret. „Tentu sekali patung malaikat! Aku melihat sendiri dia mengambilnja dan dimasuki ke dalam sakunja!” „Tetapi, tuan, bukankah ketiga patung tetap berada di tempatnja?” tanja si agen. „Tadi aku menggunai tali jang kuat untuk mengikat ketiga patung kepada medja.” Detektip To menoleh ke arah medja patung, di sana ia melihat tiga buah patung itu tetap di tempatnja. Ia mendjadi melongoh. Njata ia terlalu sembrono, rupanja disebabkan ketegangannja, tadi ia tidak memperhatikan lain ketjuali gerakan tangan si pemuda tampan. Ia sampai tidak melihat bahwa orang sebenarnja tidak merabah patung-patung itu. „Nona In, sungguh beruntung kau lolos dari tanganku.........” katanja kemudian. „Aku bukan Nona In,” berkata si anak muda. „Aku she Eng. Mustahil seorang detektip tak dapat membedakan prija dari wanita?” „Apa?” tanja detektip itu. „Kau Tuan?” Saking penasaran, Tjie An menjamber rambut orang serta hidungnja, hingga ia mendapat bukti dari rambut dan hidung tulen. Saking djengah, ia mengawasi sadja, dan membiarkannja orang bertindak pergi......... Sampai djam 12.00 tengah-malam maka bubarlah pesta. In Hong bertiga Kat Po dan Hiang Kat terus tidak muntjul. Ketiga patung Hok Lok Sioe tetap bertjokol di atas medja, tidak hilang-lenjap, tidak rusak djuga. Dan Seng Yoe Tek. dengan hati-hati tetapi girang, membawanja sendiri ke lauwteng tingkat ke-dua di mana ada kamar istimewanja peranti dia menjimpannja. Detektip To telah selesai mendjalankan tugasnja, dengan mengadjak orang-orangnja, ia berangkat pulang. Dua djam kemudian, sunjilah gedung Yoe Tek itu. Semua orang tidur njenjak setelah bekerdja berat dan letih. Adalah di saat demikian itu, di belakang taman tampak bajangan satu orang, jang gerak-geriknja gesit sekali. Bajangan itu lari ke gedung, memasukinja, terus naik ke lauwteng tingkat ke-dua. Tidak sulit dia membuka pintu, karena dia membekal seperangkat kuntji maling. Maka di lain saat, terbukalah pintu kamar istimewa Yoe Tek. Dia masuk ke dalam, sama tjepatnja dia keluar pula, untuk lari turun di tangga. Tiba di dalam taman, dia lari ke arah kamarnja budjang. Djusteru itu di belakangnja, ada suara tindakan mcngedjar. „Berhenti! Atau aku akan tembak padamu!” demikian antjaman jang halus tetapi tadjam dari pengedjar itu. Bajangan itu lari masuk ke dalam, ia membuka pintunja sebuah kamar dengan merusak kuntji dengan pisau belatinja. Selagi pintu terbuka, suara andjing ketjil menggonggong berulang-ulang. Yo Lee In mendusin dari tidurnja. atau ia segera diantjam dengan pisau belati hingga ia terguguh dan bungkam, maka dengan gampang sadja kepalanja dibungkus dengan selimut hingga ia mendjadi tidak berdaja. Si pengedjar sudah lantas tiba, ia mendengar suara andjing, menduga orang lari ke dalam kamarnja Lee In, ia memburu masuk, ia membawa sendjata api, ia mendjadi tidak takut-takut. Lee In dengan kepala terbungkus rapat mendengar suara pintu menggabruk, disusul sama djeritan tertahan, lalu kamarnja itu mendjadi sunji-senjap. Sesaat kemudian ia mendengar suara sangat perlahan dari andjing pekingese. Dengan perlahan ia membuka bungkusan jang membungkus kepalanja, lantas paling dulu ia menekan kenop listrik di samping pembaringannja. Begitu kamar mendjadi terang dan ia bisa melihat segala apa, Lee In kaget tidak terkira. Di pinggir pintu rebah seorang wanita dengan badju dan tjelana tidur, tangannja mentjekal revolver, tetapi dia mandi darah. Teranglah, dia sudah tidak ada njawanja. Tanpa melihat muka orang, ia bisa menduga kepada Nona Seng Pek Hoa, jalah nona rumah atau gadisnja Yoe Tek. Sebaliknja di situ tidak lagi ada bajangan orang jang mentjekal pisau belati tadi. Saking kaget dan bingung, njonja muda ini duduk diam sadja. Lama djuga Lee in bertjokol bagaikan patung, lalu ia disandingi rasa takutnja, ia segera menginsafi bahaja jang mengantjam atas dirinja. Bukankah ia bisa dituduh sebagai pembunuh oleh Yoe Tek jang kedjam itu? Mana dapat ia menjangkal? Sedjenak itu ia ingat: Lari! ke mana? Itulah ia tidak tahu. Ia pun tidak mempunjai uang. Tapi ia mesti menjingkir! Dengan tubuh bergemetaran, ia turun dari pembaringannja. Di atas pembaringannja ada badjunja warna abu-abu, ketika ia melihatnja, ia terkedjut. Badju itu telah terkena darah. Maka batal ia mengambil itu; ia mengambil sepotong jang lain, jang warnanja biru, ia lekas mengenakannja. Ia mengasi bangun pada Siauw Lee, ia menolongi anak itu memakai pakaian. „Kakek bakal menganiaja kita sampai mati, mari kita lari......” ia berbisik di kuping anak itu, jang ia dustakan. „Djangan berisik.........” Siauw Lee tjerdik, ia mengerti, maka sambil mengempo andjingnja, tanpa bersuara ia mengikuti ibunja. Tiba di pintu taman, mereka terintang pintu, jang dikuntji. „Pintu dikuntji....." kata Siauw Lee. „Hus, djangan berisik!” sang ibu berbisik. „Kau tunggu di sini, nanti aku minta dari tukang kebun.........” Dengan tindakan perlahan, Lee In menudju ke gubuknja si tukang kebun jang terpisahnja tjuma beberapa puluh tindak, ia tahu anak kuntji digantung di samping djendela, maka ia menghampirkan djendela, ia menolaknja dengan perlahan, dengan merabah-rabah, ia dapat memegang anak kuntji. Ia ambil itu, dengan lekas ia kembali ke pintu. Setelah pintu terbuka, ia melemparkan anak kuntji itu, ia mengadjak anaknja lari ke djalan besar. Ketika ia menoleh ke belakang, ia melihat satu bajangan orang berkelebat di atas wuwungan gedung mertuanja, bajangan mana lantas lenjap. Ia tidak berani berdiam lama-lama di situ, ia menikung di sebuah pengkolan, lantas ia lari tanpa tudjuan. „Mama,” kata Siauw Lee di tengah djalan, „bukankah kita sudah lari tjukup djauh? Bukankah kakek tidak bakal dapat mengedjar kita?" „Kita masih perlu lari, lari sampai sangat djauh,” ibunja menjahuti. Di malam jang sunji itu, jang tjuma diterangi sang rembulan, ibu dan anak ini menjingkir terus, tubuh mereka berbajang di djalanan jang litjin dan mengkilap. „Kita lari ke mana, mama?” si anak tanja lagi. Itulah pertanjaan jang Lee In tidak dapat djawab. „Mama, mari kita pergi ke rumah paman Eng,” si anak berkata pula. „Dia membuka paberik kembang gula, di sana setiap hari aku dapat makan kembang gula.........” Lee In seperti disadarkan, ia mendjadi ingat Eng Sie Tjiang, kakak misan dari Pek Hoa, Sie Tjiang bersimpati kepadanja, pemuda itu menentang perlakuan kedjam dari Yoe Tek terhadap mereka ibu dan anak. Tadi sore pun Sie Tjiang berdjandji akan membudjuki Yoe Tek agar Yoe Tek mengubah perlakuannja jang buruk itu, supaja mereka diidjinkan meninggalkan rumah Yoe Tek. Tidak disangka sekarang terdjadi peristiwa hebat ini. Ia pertjaja, kalau ia pergi pada Sie Tjiang, tidak nanti Sie Tjiang menolak mereka. „Baiklah, anak, kita pergi ke rumah pamanmu itu.” *** Besoknja pagi-pagi, Detektip To masih tidur ketika ia dikasi bangun dengan kaget oleh bel tilponnja. Dengan tangan kirinja mengutjak-ngutjak mata, dengan tangan kanan ia menjamber alat pendengar, guna memasang kupingnja. „Hallo!” „Hallo! Detektip To di sana? Aku Seng Yoe Tek! Lekas datang ke rumahku! Lekas! Tiga patungku lenjap! Anak perempuanku dibunuh si bintang sapu Lee In!.........” Detektip itu terkedjut. „Apakah kau telah tangkap dia?” „Kalau aku telah menangkap, buat apa aku minta bantuanmu?” djawab Yoe Tek mendongkol. „Baiklah, aku segera datang!” Di lain saat, To Tjie An, bersama A Poan serta dua orang sersi, jang menaiki oto polisi, jang membuatnja berisik di sepandjang djalan, tiba di rumah Seng Yoe Tek, djusteru hartawan itu lagi mentjatji dan mengutuk kalang-kabutan. Umpama kata kutukannja mandjur, pastilah Yo Lee In dan anaknja telah mati sendirinja......... Lantas Yoe Tek membawa Detektip To semua ke kamar Lee In. „Menggunai waktu kami semua lagi tidur njenjak, si bintang sapu pergi mentjuri tiga patungku itu!” kata Yoe Tek, tetap sengit, suaranja menjalakan sangat membentjinja ia terhadap menantunja. „Dia kena dipergoki anakku, dia dikedjar, tetapi dengan pisau belati dia membunuh anakku, jang ditikam tenggorokannja. Lihat itu badjunja, jang masih ada tanda darahnja! Setelah itu, ibu dan anak itu mentjuri kuntji kebun, untuk kabur! Maka itu, Tuan To. lekas kau tangkap kedua bintang sapu jang djahat itu, dan kau rampas pulang patung-patungku jang harganja tak terkirakan! Awas, atau kau nanti tidak dapat melindungi kedudukanmu!” „Baiklah, Tuan Seng,” berkata si detektip, jang tidak dapat banjak omong, ia ketahui baik sekali, hartawan ini erat perhubungannja sama banjak orang besar, djadi benar, kalau ia diganggu, ia dapat ditjopot dengan gampang dari pangkatnja. Dalam pemeriksaan, Tjie An mendapatkan buku tjatatan hari2 dari Yo Lee In — buku tahun 1944, djadi tjatatan dari satu tahun jang baru berselang. Di situ ada ditjatat perlakuan buruk Yoe Tek pada menantu dan tjutjunja, antaranja ini: „Hari ini, dengan tidak disengadja, aku menjebut- njebut kepada Siauw Lee bahwa ia mempunjai seorang bibi serta seorang paman. Mertuaku mendengar perkataanku itu, aku lantas digampari hingga belasan kali.....” Tidak tertarik hatinja detektip ini, tjatatan itu tidak ada hubungannja sama perkara djiwa itu, maka ia melemparkannja pula ke atas pembaringan. Dari situ ia naik ke lauwteng ke-dua, ke kamar tempat simpan patung malaikat. Kamar itu berdampingan sama kamar tulis Yoe Tek. Bagian luar, tembok kamarnja itu berlapisan tembaga, untuk pentjegah kebakaran dan di antara tiga bagian, jang dua terlindung terali besi serta pintunja pun pintu besi, sedang kuntji pintu ada kuntji rahasia, jang tak dapat dibuka dengan anak kuntji sembarangan. Di dalam kamar, jang mendjadi gudang istimewa itu, ada dua buah lemari besi jang besar dalam mana biasa disimpan pelbagai surat-surat penting dan berharga. Di tengah ruang ada sebuah medja dengan bok-djie-kam kaju tjendana. Itulah tempat disimpan, atau dipudjanja, ketiga patung Hok Lok Sioe jang lenjap itu. Yoe Tek menganggap ketiga patungnja bukanlah barang kuno, dari itu ia tidak menjimpannja di dalam lemari besi. Ia kuatir nanti kwalat dan nanti mendapat tjelaka karenanja, maka ia memudjanja di atas medja itu, medja mana dikurung dengan terali besi, supaja, andaikata pendjahat dapat memasuki gudangnja itu, si pendjahat masih tidak dapat mengambilnja ketjuali terali besi itu dirusak. Orang tentunja tjuma dapat memandang sadja dari luar terali......... Di luar terali ada diatur medja serta alasannja, peranti berlutut. Di atas medja ada teratur tjiaktay, hiolouw, lilin dan hio, djuga bunga segar dan bebuahan peranti suguhan atau pemudjaan. Sebab biasanja setiap pagi Seng Yoe Tek datang ke situ, guna berlutut, guna memasang hio, untuk bersudjut. Terali besi itu dipasang djarang tiga dim, karena mana, orang tidak bisa nelusup masuk ke situ. Bok- djie-kam pun terpisah kira delapanbelas kaki dari terali, mendjadi tangan djuga tidak dapat diulur sampai kepada patung. Semua itu menjatakan ketiga patung telah terdjaga sempurna sekali. Setelah memperhatikan semua itu, pusing kepalanja Detektip To. „Ketika tadi malam kau membawa ketiga patung ke mari, kuntjinja dikuntji betul atau tidak?” ia tanja. „Mustahil aku tidak kuntji! Bahkan habis dikuntji, aku periksa pula!” Yoe Tek tidak senang ditanja begitu, ia mendongkol sekali. „Apakah tidak ada lain orang jang ketahui rahasianja kuntji ini?” „Ketjuali aku sendiri, tidak ada orang jang ke-dua!” sahut Yoe Tek, kaku. „Kalau begitu, tak mungkin ketiga patung lenjap!” kata Tjie An, jang alisnja berkerut. „Tidak ada orang dapat membuka pintu kamar ini, kuntji terali ini tidak dapat diganggu, tidak ada tubuh jang dapat molos di terali ini, pula tidak ada tangan jang dapat disodorkan sampai ke bokdjiekam untuk mentjuri patung.....” „Djadi kau tidak pertjaja ketiga patung ilu lenjap?” tanja Yoe Tek gusar, kakinja dibanting. „Habis, ke mana perginja ketiga patung itu ?” Tjie An mengawasi bokdjiekam jang kosong. Pentjurian jalah kenjataan, tetapi untuk itu tidak ada alasannja......... „Tolong kau buka pintu teralinja, ingin aku memeriksa,” ia minta. „Tjoba kamu keluar dulu, nanti aku buka,” kata Yoe Tek, jang masih hendak menjimpan rahasia kuntjinja itu. Detektip To dan A Poan menurut, mereka pergi keluar. Mereka mendengar suara bergelotak, habis mana, tuan rumah memanggil mereka masuk. Mereka terus masuk ke dalam ruang jang terkurung bagaikan pendjara itu, akan mulai memeriksa. Di lantai kedapatan tapak-tapak bundar dan persegi seperti tapak uang tembaga. Di kursi kedapatan pula beberapa lembar bulu halus warna putih, dan di kolong medja ada sekuntum bunga putih terbikin dari benang wol. „Bulu putih halus ini,” kata Yoe Tek, „dan bunga wol itu jalah bunga wol putih jang dipakai di rambutnja si bintang sapu Yo Lee In. Inilah njata luar biasa: Yo Lee In telah masuk ke dalam sini mentjuri patung mustikaku itu, terus dia lari ke kamarnja di mana dia dapat ditjandak anakku Pek Hoa, lalu dengan pisau belati dia menikam mati anakku itu. Tuan To, asal kau dapat bekuk Yo Lee In, kau akan mendapatkan djuga tiga patungku itu. Nah pergilah lekas bekuk si bintang sapu, lekas!” Kemarin sore Detektip To sendiri pernah melihat Yo Lee In memakai bunga wol putih di rambutnja, maka itu, dengan adanja bunga itu di dalam terali, teranglah Yo Lee In telah masuk ke dalam situ dan mentjuri. Hanja masih mendjadi satu pertanjaan, tjara bagaimana dia masuknja? Pula adalah hal wadjar kalau habis mentjuri dan membunuh nrang, Lee In kabur, supaja dia tidak manda ditangkap. Dia tentu kabur bersama anaknja. Hanja, ke mana kaburnja dia? Tjie An mengasa otaknja memikirkan dua rupa pertanjaan itu. Karena ia berpikir keras, ia mendjadi ingat si Tuan Eng, jang mentjurigai. Tuan Eng itu telah bitjara lama dengan Lee In. Mungkin mereka mendamaikan pekerdjaan mentjuri patung itu. Mungkin djuga, si Tuan Eng jang mendjadi biang......... „Tuan Seng, kenalkah kau seorang muda she Eng jang romannja tampan sekali?” ia tanja Yoe Tek. „Kau maksudkan pemuda kemarin jang hadir di sini memberi selamat padaku?” tegaskan Yoe Tek. „Ialah itu pemuda dengan pakaian Barat? Dialah Eng Sie Tjiang.” „Benar, benar dia.” „Dia keponakan-luarku. Memang dia tidak menjetudjui sikapku terhadap Yo Lee In ibu dan anak akan tetapi dia tidak ada sangkutannja sama perkara ini. Dia djudjur dan boleh dipertjaja! Ada apa kau menanja tentang dia?” „Aku merasa pasti seratus persen Yo Lee In dan anaknja kabur ke rumahnja dia,” Detektip To mengutarakan dugaannja. Ia memasuki bulu putih dan kembang wol itu ke dalam sebuah sampul. Ia pertjaja itulah bukti penting untuk perkara ini. „Mungkin mereka pergi kerumah keponakanku itu,” bilang Yoe Tek. „Di sini mereka tidak mempunjai sanak lainnja. Pergi kau lekas tangkap ibu dan anak itu untuk dimasuki dalam tahanan. Hanja keponakanku itu, djangan kau ganggu. Aku berani mendjamin dia tidak sangkut-pautnja!” Yoe Tek pun memberitahukan alamatnja keponakan itu. Detektip To lantas berpamitan, bersama orang- orangnja ia mengendarai mobilnja pergi ke rumah Eng Sie Tjiang. Ketika oto polisi mendekati rumah Sie Tjiang, Lee In takut bukan main. Ia mendengar suara mobil, hatinja berdebaran. „Pasti polisi datang hendak melakukan penangkapan.....” katanja. „Belum tentu,” kata Sie Tjiang. „Mungkin mereka kebetulan lewat sadja. „Hanjalah tidak ada salahnja kalau kita bersedia-sedia.” „Bersedia bagaimana?” „Kau berdua serta andjingmu menjembunjikan diri.” „Bagaimana? Di mana kami bersembunjinja?” tanja Lee In. „Kemarin polisi telah mentjurigai kau, sudah tentu mereka datang untuk menjeret-njeret kau ” „Mari!” mengadjak Sie Tjiang. Mereka berputaran mentjari tempat sembunji, tidak ada jang kelihatan tepat. Suara oto datang semakin dekat, suara itu membuat mereka bingung. „Penasaranku ini sulit untuk diterangkan dengan mulut,” kata Lee In putus asa. „Daripada aku ditangkap dan dihukum tanpa bersalah, lebih baik aku mati sadja! Kau baik sekali, kau tolong rawat anakku ini, asal dia djangan terdjatuh kedalam tangannja Seng Yoe Tek ” Lee In lari ke djendela lauwteng, niat menerdjunkan diri. Sie Tjiang menubruk, memegangi erat-erat. „Djangan!” tjegahnja. „Mama, bukankah kakek menjuruh orang mengedjar kita untuk menangkap aku untuk nanti dipukuli hingga mati?” Siauw Lee tanja. Botjah ini pun takut sekali. Djusteru itu, oto sudah tiba di depan pintu, lalu disusul sama ketukan keras pada daun pintu, jang terus digedor, hingga suaranja bagaikan geruman hantu.........
Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng
Detektip To dari belakang pohon terus memasang mata. Ia melihat sepak-terdjangnja si pemuda tampan. Ia membiarkannja, ia mengawasi terus. Tapi ia merasa tegang sendirinja. Maka ia mengeluarkan revolvernja, ia bersiapsedia. ia mau menunggu sampai tangan orang mendjumppit untuk ke-dua kalinja, baru ia mau turun tangan. Ia menghendaki pendjahat berikut barang buktinja. Si pemuda menoleh ke arah si agen polisi. Dia ini tidak hanja menghisap sigaret. Dengan membalik tubuh, membelakangi, dia lagi dahar manisan, ia tidak mau mensia-siakan tempo lagi, untuk ke-dua kalinja, ia mengulur tangannja, jang terus dimasukkan ke dalam sakunja. Hampir berbareng dengan itu, Detektip To lompat keluar dari tempatnja bersembunji. Ia lari kedalam, lekas ia tiba di dekat pemuda itu, punggung siapa ia lantas todong dengan sendjata apinja. „Angkat tangan!” ia mengantjam bengis. „Djangan melawan!” Bukan main girangnja detektip ini. Ia telah menawan In Hong alias Oey Eng si Burung Kenari, si pendjahat wanita jang litjin......... „Bagaimana eh?” menanja si pemuda tampan, heran. „Mengapa kau mengantjam aku dengan sendjata api?” Ketika itu, selain si agen polisi jang menghisap sigaret dan makan kembang gula, djuga ketiga kawannja telah balik dengan tjepat. Maka mereka lantas membantui sep mereka memasang mata atas si pemuda. „Aku telah membekuk pendjahat berikut barang bukti, kau hendak bilang apa?” Tjie An menjahuti. „Artinja kau membekuk pendjahat berikut barang buktinja?” „Memang, tanpa bukti, kau tidak mempunjai urusan apa-apa di sini!.........” djawab Detektip To. „Kau hebat, ketjuali pandai menjamar, kau pun dapat mengubah lagu suaramu!” Suara si pemuda tampan tidak mirip suaranja In Hong. „Aku tidak mengerti!” kata dia. „Mana barang buktinja?” „Di dalam saku badjumu!” „Silahkan kau geledah!” Detektip To lantas menggeledah. Patung sapir itu tak ada. „Sep, dia mentjuri apa?” tanja si agen, jang menghisap sigaret. „Tentu sekali patung malaikat! Aku melihat sendiri dia mengambilnja dan dimasuki ke dalam sakunja!” „Tetapi, tuan, bukankah ketiga patung tetap berada di tempatnja?” tanja si agen. „Tadi aku menggunai tali jang kuat untuk mengikat ketiga patung kepada medja.” Detektip To menoleh ke arah medja patung, di sana ia melihat tiga buah patung itu tetap di tempatnja. Ia mendjadi melongoh. Njata ia terlalu sembrono, rupanja disebabkan ketegangannja, tadi ia tidak memperhatikan lain ketjuali gerakan tangan si pemuda tampan. Ia sampai tidak melihat bahwa orang sebenarnja tidak merabah patung-patung itu. „Nona In, sungguh beruntung kau lolos dari tanganku.........” katanja kemudian. „Aku bukan Nona In,” berkata si anak muda. „Aku she Eng. Mustahil seorang detektip tak dapat membedakan prija dari wanita?” „Apa?” tanja detektip itu. „Kau Tuan?” Saking penasaran, Tjie An menjamber rambut orang serta hidungnja, hingga ia mendapat bukti dari rambut dan hidung tulen. Saking djengah, ia mengawasi sadja, dan membiarkannja orang bertindak pergi......... Sampai djam 12.00 tengah-malam maka bubarlah pesta. In Hong bertiga Kat Po dan Hiang Kat terus tidak muntjul. Ketiga patung Hok Lok Sioe tetap bertjokol di atas medja, tidak hilang-lenjap, tidak rusak djuga. Dan Seng Yoe Tek. dengan hati-hati tetapi girang, membawanja sendiri ke lauwteng tingkat ke-dua di mana ada kamar istimewanja peranti dia menjimpannja. Detektip To telah selesai mendjalankan tugasnja, dengan mengadjak orang-orangnja, ia berangkat pulang. Dua djam kemudian, sunjilah gedung Yoe Tek itu. Semua orang tidur njenjak setelah bekerdja berat dan letih. Adalah di saat demikian itu, di belakang taman tampak bajangan satu orang, jang gerak-geriknja gesit sekali. Bajangan itu lari ke gedung, memasukinja, terus naik ke lauwteng tingkat ke-dua. Tidak sulit dia membuka pintu, karena dia membekal seperangkat kuntji maling. Maka di lain saat, terbukalah pintu kamar istimewa Yoe Tek. Dia masuk ke dalam, sama tjepatnja dia keluar pula, untuk lari turun di tangga. Tiba di dalam taman, dia lari ke arah kamarnja budjang. Djusteru itu di belakangnja, ada suara tindakan mcngedjar. „Berhenti! Atau aku akan tembak padamu!” demikian antjaman jang halus tetapi tadjam dari pengedjar itu. Bajangan itu lari masuk ke dalam, ia membuka pintunja sebuah kamar dengan merusak kuntji dengan pisau belatinja. Selagi pintu terbuka, suara andjing ketjil menggonggong berulang-ulang. Yo Lee In mendusin dari tidurnja. atau ia segera diantjam dengan pisau belati hingga ia terguguh dan bungkam, maka dengan gampang sadja kepalanja dibungkus dengan selimut hingga ia mendjadi tidak berdaja. Si pengedjar sudah lantas tiba, ia mendengar suara andjing, menduga orang lari ke dalam kamarnja Lee In, ia memburu masuk, ia membawa sendjata api, ia mendjadi tidak takut-takut. Lee In dengan kepala terbungkus rapat mendengar suara pintu menggabruk, disusul sama djeritan tertahan, lalu kamarnja itu mendjadi sunji-senjap. Sesaat kemudian ia mendengar suara sangat perlahan dari andjing pekingese. Dengan perlahan ia membuka bungkusan jang membungkus kepalanja, lantas paling dulu ia menekan kenop listrik di samping pembaringannja. Begitu kamar mendjadi terang dan ia bisa melihat segala apa, Lee In kaget tidak terkira. Di pinggir pintu rebah seorang wanita dengan badju dan tjelana tidur, tangannja mentjekal revolver, tetapi dia mandi darah. Teranglah, dia sudah tidak ada njawanja. Tanpa melihat muka orang, ia bisa menduga kepada Nona Seng Pek Hoa, jalah nona rumah atau gadisnja Yoe Tek. Sebaliknja di situ tidak lagi ada bajangan orang jang mentjekal pisau belati tadi. Saking kaget dan bingung, njonja muda ini duduk diam sadja. Lama djuga Lee in bertjokol bagaikan patung, lalu ia disandingi rasa takutnja, ia segera menginsafi bahaja jang mengantjam atas dirinja. Bukankah ia bisa dituduh sebagai pembunuh oleh Yoe Tek jang kedjam itu? Mana dapat ia menjangkal? Sedjenak itu ia ingat: Lari! ke mana? Itulah ia tidak tahu. Ia pun tidak mempunjai uang. Tapi ia mesti menjingkir! Dengan tubuh bergemetaran, ia turun dari pembaringannja. Di atas pembaringannja ada badjunja warna abu-abu, ketika ia melihatnja, ia terkedjut. Badju itu telah terkena darah. Maka batal ia mengambil itu; ia mengambil sepotong jang lain, jang warnanja biru, ia lekas mengenakannja. Ia mengasi bangun pada Siauw Lee, ia menolongi anak itu memakai pakaian. „Kakek bakal menganiaja kita sampai mati, mari kita lari......” ia berbisik di kuping anak itu, jang ia dustakan. „Djangan berisik.........” Siauw Lee tjerdik, ia mengerti, maka sambil mengempo andjingnja, tanpa bersuara ia mengikuti ibunja. Tiba di pintu taman, mereka terintang pintu, jang dikuntji. „Pintu dikuntji....." kata Siauw Lee. „Hus, djangan berisik!” sang ibu berbisik. „Kau tunggu di sini, nanti aku minta dari tukang kebun.........” Dengan tindakan perlahan, Lee In menudju ke gubuknja si tukang kebun jang terpisahnja tjuma beberapa puluh tindak, ia tahu anak kuntji digantung di samping djendela, maka ia menghampirkan djendela, ia menolaknja dengan perlahan, dengan merabah-rabah, ia dapat memegang anak kuntji. Ia ambil itu, dengan lekas ia kembali ke pintu. Setelah pintu terbuka, ia melemparkan anak kuntji itu, ia mengadjak anaknja lari ke djalan besar. Ketika ia menoleh ke belakang, ia melihat satu bajangan orang berkelebat di atas wuwungan gedung mertuanja, bajangan mana lantas lenjap. Ia tidak berani berdiam lama-lama di situ, ia menikung di sebuah pengkolan, lantas ia lari tanpa tudjuan. „Mama,” kata Siauw Lee di tengah djalan, „bukankah kita sudah lari tjukup djauh? Bukankah kakek tidak bakal dapat mengedjar kita?" „Kita masih perlu lari, lari sampai sangat djauh,” ibunja menjahuti. Di malam jang sunji itu, jang tjuma diterangi sang rembulan, ibu dan anak ini menjingkir terus, tubuh mereka berbajang di djalanan jang litjin dan mengkilap. „Kita lari ke mana, mama?” si anak tanja lagi. Itulah pertanjaan jang Lee In tidak dapat djawab. „Mama, mari kita pergi ke rumah paman Eng,” si anak berkata pula. „Dia membuka paberik kembang gula, di sana setiap hari aku dapat makan kembang gula.........” Lee In seperti disadarkan, ia mendjadi ingat Eng Sie Tjiang, kakak misan dari Pek Hoa, Sie Tjiang bersimpati kepadanja, pemuda itu menentang perlakuan kedjam dari Yoe Tek terhadap mereka ibu dan anak. Tadi sore pun Sie Tjiang berdjandji akan membudjuki Yoe Tek agar Yoe Tek mengubah perlakuannja jang buruk itu, supaja mereka diidjinkan meninggalkan rumah Yoe Tek. Tidak disangka sekarang terdjadi peristiwa hebat ini. Ia pertjaja, kalau ia pergi pada Sie Tjiang, tidak nanti Sie Tjiang menolak mereka. „Baiklah, anak, kita pergi ke rumah pamanmu itu.” *** Besoknja pagi-pagi, Detektip To masih tidur ketika ia dikasi bangun dengan kaget oleh bel tilponnja. Dengan tangan kirinja mengutjak-ngutjak mata, dengan tangan kanan ia menjamber alat pendengar, guna memasang kupingnja. „Hallo!” „Hallo! Detektip To di sana? Aku Seng Yoe Tek! Lekas datang ke rumahku! Lekas! Tiga patungku lenjap! Anak perempuanku dibunuh si bintang sapu Lee In!.........” Detektip itu terkedjut. „Apakah kau telah tangkap dia?” „Kalau aku telah menangkap, buat apa aku minta bantuanmu?” djawab Yoe Tek mendongkol. „Baiklah, aku segera datang!” Di lain saat, To Tjie An, bersama A Poan serta dua orang sersi, jang menaiki oto polisi, jang membuatnja berisik di sepandjang djalan, tiba di rumah Seng Yoe Tek, djusteru hartawan itu lagi mentjatji dan mengutuk kalang-kabutan. Umpama kata kutukannja mandjur, pastilah Yo Lee In dan anaknja telah mati sendirinja......... Lantas Yoe Tek membawa Detektip To semua ke kamar Lee In. „Menggunai waktu kami semua lagi tidur njenjak, si bintang sapu pergi mentjuri tiga patungku itu!” kata Yoe Tek, tetap sengit, suaranja menjalakan sangat membentjinja ia terhadap menantunja. „Dia kena dipergoki anakku, dia dikedjar, tetapi dengan pisau belati dia membunuh anakku, jang ditikam tenggorokannja. Lihat itu badjunja, jang masih ada tanda darahnja! Setelah itu, ibu dan anak itu mentjuri kuntji kebun, untuk kabur! Maka itu, Tuan To. lekas kau tangkap kedua bintang sapu jang djahat itu, dan kau rampas pulang patung-patungku jang harganja tak terkirakan! Awas, atau kau nanti tidak dapat melindungi kedudukanmu!” „Baiklah, Tuan Seng,” berkata si detektip, jang tidak dapat banjak omong, ia ketahui baik sekali, hartawan ini erat perhubungannja sama banjak orang besar, djadi benar, kalau ia diganggu, ia dapat ditjopot dengan gampang dari pangkatnja. Dalam pemeriksaan, Tjie An mendapatkan buku tjatatan hari2 dari Yo Lee In — buku tahun 1944, djadi tjatatan dari satu tahun jang baru berselang. Di situ ada ditjatat perlakuan buruk Yoe Tek pada menantu dan tjutjunja, antaranja ini: „Hari ini, dengan tidak disengadja, aku menjebut- njebut kepada Siauw Lee bahwa ia mempunjai seorang bibi serta seorang paman. Mertuaku mendengar perkataanku itu, aku lantas digampari hingga belasan kali.....” Tidak tertarik hatinja detektip ini, tjatatan itu tidak ada hubungannja sama perkara djiwa itu, maka ia melemparkannja pula ke atas pembaringan. Dari situ ia naik ke lauwteng ke-dua, ke kamar tempat simpan patung malaikat. Kamar itu berdampingan sama kamar tulis Yoe Tek. Bagian luar, tembok kamarnja itu berlapisan tembaga, untuk pentjegah kebakaran dan di antara tiga bagian, jang dua terlindung terali besi serta pintunja pun pintu besi, sedang kuntji pintu ada kuntji rahasia, jang tak dapat dibuka dengan anak kuntji sembarangan. Di dalam kamar, jang mendjadi gudang istimewa itu, ada dua buah lemari besi jang besar dalam mana biasa disimpan pelbagai surat-surat penting dan berharga. Di tengah ruang ada sebuah medja dengan bok-djie-kam kaju tjendana. Itulah tempat disimpan, atau dipudjanja, ketiga patung Hok Lok Sioe jang lenjap itu. Yoe Tek menganggap ketiga patungnja bukanlah barang kuno, dari itu ia tidak menjimpannja di dalam lemari besi. Ia kuatir nanti kwalat dan nanti mendapat tjelaka karenanja, maka ia memudjanja di atas medja itu, medja mana dikurung dengan terali besi, supaja, andaikata pendjahat dapat memasuki gudangnja itu, si pendjahat masih tidak dapat mengambilnja ketjuali terali besi itu dirusak. Orang tentunja tjuma dapat memandang sadja dari luar terali......... Di luar terali ada diatur medja serta alasannja, peranti berlutut. Di atas medja ada teratur tjiaktay, hiolouw, lilin dan hio, djuga bunga segar dan bebuahan peranti suguhan atau pemudjaan. Sebab biasanja setiap pagi Seng Yoe Tek datang ke situ, guna berlutut, guna memasang hio, untuk bersudjut. Terali besi itu dipasang djarang tiga dim, karena mana, orang tidak bisa nelusup masuk ke situ. Bok- djie-kam pun terpisah kira delapanbelas kaki dari terali, mendjadi tangan djuga tidak dapat diulur sampai kepada patung. Semua itu menjatakan ketiga patung telah terdjaga sempurna sekali. Setelah memperhatikan semua itu, pusing kepalanja Detektip To. „Ketika tadi malam kau membawa ketiga patung ke mari, kuntjinja dikuntji betul atau tidak?” ia tanja. „Mustahil aku tidak kuntji! Bahkan habis dikuntji, aku periksa pula!” Yoe Tek tidak senang ditanja begitu, ia mendongkol sekali. „Apakah tidak ada lain orang jang ketahui rahasianja kuntji ini?” „Ketjuali aku sendiri, tidak ada orang jang ke-dua!” sahut Yoe Tek, kaku. „Kalau begitu, tak mungkin ketiga patung lenjap!” kata Tjie An, jang alisnja berkerut. „Tidak ada orang dapat membuka pintu kamar ini, kuntji terali ini tidak dapat diganggu, tidak ada tubuh jang dapat molos di terali ini, pula tidak ada tangan jang dapat disodorkan sampai ke bokdjiekam untuk mentjuri patung.....” „Djadi kau tidak pertjaja ketiga patung ilu lenjap?” tanja Yoe Tek gusar, kakinja dibanting. „Habis, ke mana perginja ketiga patung itu ?” Tjie An mengawasi bokdjiekam jang kosong. Pentjurian jalah kenjataan, tetapi untuk itu tidak ada alasannja......... „Tolong kau buka pintu teralinja, ingin aku memeriksa,” ia minta. „Tjoba kamu keluar dulu, nanti aku buka,” kata Yoe Tek, jang masih hendak menjimpan rahasia kuntjinja itu. Detektip To dan A Poan menurut, mereka pergi keluar. Mereka mendengar suara bergelotak, habis mana, tuan rumah memanggil mereka masuk. Mereka terus masuk ke dalam ruang jang terkurung bagaikan pendjara itu, akan mulai memeriksa. Di lantai kedapatan tapak-tapak bundar dan persegi seperti tapak uang tembaga. Di kursi kedapatan pula beberapa lembar bulu halus warna putih, dan di kolong medja ada sekuntum bunga putih terbikin dari benang wol. „Bulu putih halus ini,” kata Yoe Tek, „dan bunga wol itu jalah bunga wol putih jang dipakai di rambutnja si bintang sapu Yo Lee In. Inilah njata luar biasa: Yo Lee In telah masuk ke dalam sini mentjuri patung mustikaku itu, terus dia lari ke kamarnja di mana dia dapat ditjandak anakku Pek Hoa, lalu dengan pisau belati dia menikam mati anakku itu. Tuan To, asal kau dapat bekuk Yo Lee In, kau akan mendapatkan djuga tiga patungku itu. Nah pergilah lekas bekuk si bintang sapu, lekas!” Kemarin sore Detektip To sendiri pernah melihat Yo Lee In memakai bunga wol putih di rambutnja, maka itu, dengan adanja bunga itu di dalam terali, teranglah Yo Lee In telah masuk ke dalam situ dan mentjuri. Hanja masih mendjadi satu pertanjaan, tjara bagaimana dia masuknja? Pula adalah hal wadjar kalau habis mentjuri dan membunuh nrang, Lee In kabur, supaja dia tidak manda ditangkap. Dia tentu kabur bersama anaknja. Hanja, ke mana kaburnja dia? Tjie An mengasa otaknja memikirkan dua rupa pertanjaan itu. Karena ia berpikir keras, ia mendjadi ingat si Tuan Eng, jang mentjurigai. Tuan Eng itu telah bitjara lama dengan Lee In. Mungkin mereka mendamaikan pekerdjaan mentjuri patung itu. Mungkin djuga, si Tuan Eng jang mendjadi biang......... „Tuan Seng, kenalkah kau seorang muda she Eng jang romannja tampan sekali?” ia tanja Yoe Tek. „Kau maksudkan pemuda kemarin jang hadir di sini memberi selamat padaku?” tegaskan Yoe Tek. „Ialah itu pemuda dengan pakaian Barat? Dialah Eng Sie Tjiang.” „Benar, benar dia.” „Dia keponakan-luarku. Memang dia tidak menjetudjui sikapku terhadap Yo Lee In ibu dan anak akan tetapi dia tidak ada sangkutannja sama perkara ini. Dia djudjur dan boleh dipertjaja! Ada apa kau menanja tentang dia?” „Aku merasa pasti seratus persen Yo Lee In dan anaknja kabur ke rumahnja dia,” Detektip To mengutarakan dugaannja. Ia memasuki bulu putih dan kembang wol itu ke dalam sebuah sampul. Ia pertjaja itulah bukti penting untuk perkara ini. „Mungkin mereka pergi kerumah keponakanku itu,” bilang Yoe Tek. „Di sini mereka tidak mempunjai sanak lainnja. Pergi kau lekas tangkap ibu dan anak itu untuk dimasuki dalam tahanan. Hanja keponakanku itu, djangan kau ganggu. Aku berani mendjamin dia tidak sangkut-pautnja!” Yoe Tek pun memberitahukan alamatnja keponakan itu. Detektip To lantas berpamitan, bersama orang- orangnja ia mengendarai mobilnja pergi ke rumah Eng Sie Tjiang. Ketika oto polisi mendekati rumah Sie Tjiang, Lee In takut bukan main. Ia mendengar suara mobil, hatinja berdebaran. „Pasti polisi datang hendak melakukan penangkapan.....” katanja. „Belum tentu,” kata Sie Tjiang. „Mungkin mereka kebetulan lewat sadja. „Hanjalah tidak ada salahnja kalau kita bersedia-sedia.” „Bersedia bagaimana?” „Kau berdua serta andjingmu menjembunjikan diri.” „Bagaimana? Di mana kami bersembunjinja?” tanja Lee In. „Kemarin polisi telah mentjurigai kau, sudah tentu mereka datang untuk menjeret-njeret kau ” „Mari!” mengadjak Sie Tjiang. Mereka berputaran mentjari tempat sembunji, tidak ada jang kelihatan tepat. Suara oto datang semakin dekat, suara itu membuat mereka bingung. „Penasaranku ini sulit untuk diterangkan dengan mulut,” kata Lee In putus asa. „Daripada aku ditangkap dan dihukum tanpa bersalah, lebih baik aku mati sadja! Kau baik sekali, kau tolong rawat anakku ini, asal dia djangan terdjatuh kedalam tangannja Seng Yoe Tek ” Lee In lari ke djendela lauwteng, niat menerdjunkan diri. Sie Tjiang menubruk, memegangi erat-erat. „Djangan!” tjegahnja. „Mama, bukankah kakek menjuruh orang mengedjar kita untuk menangkap aku untuk nanti dipukuli hingga mati?” Siauw Lee tanja. Botjah ini pun takut sekali. Djusteru itu, oto sudah tiba di depan pintu, lalu disusul sama ketukan keras pada daun pintu, jang terus digedor, hingga suaranja bagaikan geruman hantu.........