Cerita Silat | Patung Hok Lok Sioe | oleh OKT | Patung Hok Lok Sioe | Cersil Sakti | Patung Hok Lok Sioe pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
„Benar-benar mereka datang!” kata Lee In, mukanja putjat. „Mari turut aku!” mengadjak Sie Tjiang, jang masih lebih tenang. Lee In dan anaknja mengikuti. Mereka naik ke lauwteng ke-tiga, tempat mendjemur pakaian. Siauw Lee lupa membawa andjingnja. Di atas lauwteng itu terdapat sebuah peti kosong, jang tadinja dipakai memuatkan mesin pembuat kembang gula, karena sudah terlalu lama terdjemur, peti itu pada renggang, djadi tak dapat orang bersembunji di situ, tetapi Sie Tjiang toh mau menggunai itu. Ia membuka tutup peti dan menjuruh Lee In dan anaknja masuk ke dalamnja, setelah menutup rapi, ia lantas turun, untuk pergi ke kamar tempat duduk-duduk di mana ia menjetel radio. Ia membawa sikap tenang sekali. Sie Tjiang mempunjai dua pegawai wanita tua, jang sudah bekerdja lama. Tadi pagi mereka itu telah dipesan madjikannja, maka mereka tidak berani sembarang membukai pintu, tetapi gedoran pintu keras sekali, jang satu lantas pergi kepada madjikannja, untuk berkata: „Aku melihat polisi dengan otonja, djumlah mereka empat, lantas dua berdiam di depan, dua lagi pergi ke belakang. Kalau mereka tidak dibukai pintu, mungkin mereka menggunai kekerasan.” „Pergi kau membukai pintu!” Sie Tjiang mendjawab. „Kau tahu bagaimana harus bersikap?” Budjang itu, jang usianja sudah limapuluh lebih, mengangguk, lantas dia bertindak pergi, tiba di pintu depan, ia lantas mendumal sendiri: „Siapakah jang menggedor pintu begini berisik? Tanganku tjuma dua, kakiku tjuma dua, aku mesti lakukan ini, mesti lakukan itu, habis bagaimana aku bisa kerdjakan semua itu?” Ia terus membukai pintu, ia memegangi palangannja seraja lantas menegur: „Kau tjari siapa?” Detektip To mendelik. „Apakah ini rumahnja Eng Sie Tjiang?” dia tanja. Budjang tua itu mengangguk. „Tolong kau mengasi tahu Nona Yo Lee In, kami datang mendjenguk!” kata detektip itu. Itulah siasatnja, untuk membuat orang kaget dan bingung. Kadang-kadang siasat ini memberi hasil jang memuaskan. Budjang itu tabah hatinja. Ia rupanja telah berpengalaman. Ia menggeleng kepala. „Di sini tidak ada Nona Yo Lee In. Mungkin kau salah alamat!” Detektip To melotot pula. Ia menduga orang main gila. „Apakah Tuan Eng Sie Tjiang ada di rumah?” ia tanja pula. Budjang itu mengangguk. Melihat itu, Detektip To dan A Poan lantas bertindak masuk. „Eh, eh!” kata si budjang tua. Kedua detektip itu masuk terus, maka mereka menemui Sia Tjiang lagi mendengari radio. Detektip To mengawasi sambil tertawa dingin. „Tuan Eng, tadi malam di rumah Tuan Seng telah terdjadi keonaran, tahukah kau?” dia tanja. Dia mengawasi tadjam, untuk melihat air muka orang. „Apakah kau maksudkan Tuan Seng Yoe Tek?” Sie Tjiang tanja. Pemuda ini mentjoba menenangkan diri tetapi airmukanja tak wadjar dan suaranja pun kurang lantjar. Njata dia kalah bersandiwara daripada budjang tuanja. „Aku tidak tahui. Telah terdjadi perkara apakah?” Detektip To telah melihat perubahan airmuka orang itu, ia sudah lantas dapat membade. „Hm! Hm!” ia mengasi dengar suara di hidung. „Kau tahu, adik perempuanmu, Nona Seng Pek Hoa, telah dibunuh Yo Lee In dan tiga patung malaikat pamanmu telah ditjuri djuga oleh perempuan itu! Tadi malam Yo Lee In lari ke rumahmu ini, mustahilkah dia tidak memberitahukannja?” Sie Tjiang heran. Ia tahu Pek Hoa telah terbunuh orang, tetapi tidak tentang lenjapnja ketiga patung itu, bahkan Lee In tidak mengetahuinja djuga. „Aku tidak tahu,” Sie Tjiang menjahut, menggeleng kepala. „Yo Lee In djuga tidak datang ke rumahku ini. Kenapa dia lari? Apakah dia tersangkut dalam perkara bunuh orang dan mentjuri patung mustika itu?” „Sudah dia mentjuri, dia pun membunuh orang!” djawab Tjie An tandas. „Dialah orang jang tersangkut! Kau menjembunjikan dia, kau bisa kerembet-rembet! Maka lekas kau serahkan dia padaku!” „Aku berani tanggung dia tidak ada di rumahku!” Sie Tjiang menjangkal terus. „Djikalau begitu, terpaksa aku tidak berlaku sungkan lagi untuk menggeledah rumahmu ini!” kata si detektip, karena ia merasa sangat pasti Lee In ada di rumah itu berikut barang tjuriannja. „Silahkan geledah!" Sie Tjiang menantang. Dia tetap bimbang hatinja. „Djikalau kau tidak berhasil mendapatkan Yo Lee In, aku akan mendakwa kau!............” Detektip To tidak membilang apa-apa lagi, bersama A Poan ia mulai dengan penggeledahannja. Pemeriksaan dimulai dari bawah lauwteng dan dilakukannja sangat teliti, sampai lemari dan latji- latjinja pun dibukai, tak terketjuali lemari buku. Hasilnja nihil. Melihat tjara penggeledahan itu, hati Sie Tjiang kebat- kebit. Ia takut Lee In dapat ditjari. Maka ia menjedot sigaretnja dalam2 dan mengebulkannja dengan keras, guna menutupi kekuatirannja itu. Tepat Detektip To dan A Poan membelakangi lemari barang makanan, hati Sie Tjiang gontjang keras. Tiba- tiba ia melihat andjing-pekingese di luar kamar itu dan mengawasi ia sambil menggojang-gojang ekornja. Hawa udara tidak panas tetapi dahinja mengutjurkan keringat. Maka ia mengeluarkan saputangannja, untuk menjusuti itu, sedang mulutnja mengasi dengar suara „Hus! Hus!” dan tangannja jang lain digojang-gojangi, untuk mengusir andjingnja Siauw Lee itu. Detektip To menoleh, dengan sinar mata penuh ketjurigaan, ia mengawasi tadjam kepada si anak muda, terus ia memandang ke luar kamar. Hampir Sie Tjiang berteriak bahna kagetnja. Ia menahan napas. Sjukur di saat si detektip melihat ke luar, andjing itu sudah ngelojor pergi. Maka ia menghela napas lega. Detektip To melirik, lalu ia meneruskan penggeledahannja. Naik mulai lauwteng ke-dua, terus sampai ke lauwieng ke-tiga. Di sini sebuah kamar tidur jalah kamar jang terachir jang mesti diperiksa. Tetap Lee In dan anaknja tidak ada, dan ketiga patung terus tidak kedapatan. Segera sampailah mereka ke kamar mandi. „Tuan Eng, tolong buka pintunja kamar ini,” Tjie An minta. „Nenekku lagi mandi,” kata Sie Tjiang. „Kau periksa dulu lain kamar, sebentar baru kamar mandi ini.........” „Tidak! Mintalah nenekmu keluar dulu!” kata Tjie An. „Aku tahu Lee In berada di dalam kamar ini!” Terpaksa Sie Tjiang memanggil neneknja, mengasi tahu polisi hendak menggeledah dan ia minta neneknja itu keluar dulu. Maka keluarlah si njonja tua, dengan pakaiannja tidak rapi, romannja mendongkol. Kamar mandi itu ketjil, sebentar sadja maka selesailah pemeriksaan, jang hasilnja nihil. Tjie An keluar sambil menggaruk-garuk kepala. Benar- benar Lee In tidak kedapatan. Ke mana menjingkirnja njonja muda itu ? Ketika mereka keluar dari kamar mandi, di samping itu mereka melihat sebuah peti besar di tempat pendjemuran itu. „Achir-achirnja!” berseru si detektip. „Aku telah menemui Yo Lee In! Dia sembunji di dalam peti itu!” Ia tampaknja puas sekali. Sie Tjiang bersender pada pintu kamar mandi neneknja, kulit mukanja tanpa darah. Ia hampir tak kuat berdiri lebih lama pula. Tjie An melihat roman orang, dia semakin mendapat hati. Karena ini, dia tidak lantas menghampirkan peti itu. „Tuan Eng, paras mukamu putjat sekali,” kata dia, sengadja. „Apakah kau tidak enak badan? Maukah kau aku memanggilkan tabib?” Ia bitjara dengan sabar sekali tapi nada suaranja menjindir. „Aku sehat, tuan To, terima kasih,” mendjawab Sie Tjiang, hampir suaranja tidak terdengar. Tjie An tetap berlaku sabar, melainkan parasnja jang berubah, paras ini mengasi lihat kepuasan. „A Poan, kau buka tutupnja peti itu, kau minta Nona Yo Lee In keluar untuk berbitjara,” kemudian ia menitahkan djuga pembantunja. A Poan turut perintah. Ia menghampirkan peti itu, untuk dibuka, hanja ia tidak melongok ke dalamnja, sembari mengetuk-ngetuk samping peti, ia berkata: „Nona Yo, silahkan keluar!” Yo Lee In tapinja tidak muntjul, tidak meskipun si detektip mengulangi permintaannja. Kemudian baru ia melongok. Sekarang ia tidak pertjaja matanja sendiri. Peti itu kosong-melongpong! „Tuan sep!” katanja kemudian, setelah melongo sekian lama, „di dalam peti ini tidak ada Nona Yo Lee In! Inilah peti kosong!” Detektip To terkedjut. „Apa?” serunja. „Kosong?” Ia merasai kepalanja pusing. Maka lekas ia menghampirkan, guna membuktikan sendiri. Memang peti itu tidak ada isinja. „Tuan To, paras mukamu putjat sekali!” kata Sie Tjiang, jang mendapat hati dengan tiba-tiba. „Apakah kau tidak enak badan? Maukah kau aku panggilkan tabib?” Lee In tidak ada di dalam peti. Sebenarnja bukan tjuma Detektip To, djuga Sie Tjiang bingung bukan main. Ketjuali Lee In dan anaknja, andjing pekingese turut hilang bersama. Tengah Tjie An belum mendapat pikiran bagaimana harus bertindak terlebih djauh, budjang perempuan jang tadi muntjul pula dengan beritanja: „Tuan, di bawah ada Nona In Hong bersama Nona Kat Po mohon bertemu!” „Ah!” berseru Sie Tjiang, napasnja lega. „Aku djusteru hendak mengundjungi mereka! Lekas kau minta mereka menantikan di kamar tetamu, aku akan lantas menemuinja!” Budjang perempuan itu mengundurkan diri. Detektip To masih sadia berpikir. Yo Lee In lenjap, In Hong muntjul. Tidakkah pada ini ada sesuatu hubungannja? „Tuan To,” berkata Sie Tjiang, umpamakata kau hendak melandjuti penggeledahanmu, silahkan, lakukanlah sesukanja, maaf, tidak dapat aku menemani kamu lebih lama. Hanja Ingat, apabila kau tidak berhasil mendapatkan Yo Lee In, kau harus bertanggungdjawab untuk perbuatanmu sudah merampas kemerdekaan rakjat!” Tanpa menanti djawaban, Sie Tjiang turun dari lauwteng separuh berlari. Detektip To bersama A Poan terpaksa mengikuti turun djuga. „Aneh kedatangan mereka!” kata si detektip, mendongkol. „Aku pun ingin bitjara sama mereka itu!" Ketika mereka tiba di kamar tetamu, disana In Hong dan Kat Po lagi berduduk dengan tenang. „Nona In! Nona Kat!” berkata Detektip To, mendahului tuan rumahnja. „Tidak terlebih dulu, tidak terlebih belakang, kamu datang djusteru di saat seperti ini, sungguh kamu membuatnja kami tidak mengerti!” In Hong melirik detektip itu, ia tidak menjahuti, ia tidak mengambil mumat. „Tuan, kau tentulah Tuan Eng Sie Tjiang kakak misan dari Nona Seng Pek Hoa!" ia tanja tuan rumah jang muda. „.Benar,” Sie Tjiang mendiawab. „.Nona-nona datang ke rumahku ini, ada apatah pengadjaranmu?" Tuan rumah ini berlaku hormat. „Djikalau tidak mendjadi halangan, kami menehendaki sedikit keterangan dari kau, tuan Eng,” menjahut In Hong. „Kami bersahabat sama Nona Seng Pek Hoa, dan kami ketahui djuga hal perlakuan buruk dari Tuan Seng Yoe Tek kepada njonja mantu serta tjutjunja. Berhubung dengan itu, kami memikir untuk berbuat sesuatu agar Tuan Seng dapat mengubah sikapnja jang kolot itu. Sajang sekali kemarin, di hari pesta ulangtahunnja, lantaran ada urusan, kami tidak dapat hadir. Tadi pagi aku bitjara tilpon sama Nona Seng, menjesal kami mendapat kabar jang di luar dugaan. Menurut budjang perempuan jang menjambuti tilpon, katanja Nona Seng telah dibunuh Yo Lee In njonia mantu Tuan Seng serta njonja mantu itu sudah mentjuri tiga patung. Aku heran sekali atas kedjadian itu. Aku kenal Lee In halus dan lemah, tidak mestinja dia mentjekal sendiata tadjam dan membunuh orang. Maka itu mungkin di sini ada terselip sesuatu. Kau sanaknia keluarga Seng, Tuan Eng, aku pertjaja kau dapat memberikan sesuatu keterangan kepada kami.” „Maaf, nona, bahkan aku malu sekali,” menjahut Sie Tjiang tjepat. „Mengenai peristiwa di rumah Paman Yoe Tek, aku tidak tahu suatu apa, malah aku baru ketahui itu dari ini Tuan To, jang baru sadja berkundjung ke mari. Tuan To menjangka saudara Lee In bersembunji di rumahku ini, dia datang untuk menggeledah, tetapi dia tidak menemukan Lee In!" „Nona In,” Tjie An menjelak, „kesalahannja Yo Lee In itu sudah terang sekali, dia djadinja bukan terfitnah!” „Djikalau Seng Pek Hoa benar dibunuh Lee In, kami akan membantu dengan sekuat tenaga kami untuk membekuk dia, agar dia dapat dihukum,” berkata In Hong. „Sebaliknja djikalau dia tidak bersalah-dosa, dia tjuma difitnah, pasti kami akan membantu padanja! Tuan To, sudikah kau menuturkan duduknja perkara jang djelas kepada kami?” Mendengar suara si nona, Tjie An mau menduga nona ini tidak atau belum ada hubungannja sama Lee In, dari itu ia memberikan keterangan jang diminta itu, bahkan ia mengasi lihat djuga barang jang ditjurigai, jalah bulu putih jang halus serta bunga wol. In Hong memindjam mikroskop dari detektip itu untuk ia memeriksa dengan seksama kedua barang bukti itu, jang bisa didjadikan bahan untuk menjelidiki perkara. „Tuan To, dapatkah kau menemani aku memeriksa di tempat kedjadian?” kemudian In Hong minta pula. „Menjesal, aku tidak mempunjai tempo akan menemani kau. Tidak dapat aku membiarkan Yo Lee In kabur dengan merdeka!” „Pendjahat siapa djuga tidak pernah lolos dari genggamanmu, Tuan To, perlu apa kau begini terburu napsu?” In Hong kata dingin. Detektip To terdesak, terpaksa ia menerima baik permintaan si nona. Maka dengan bersama-sama mereka pergi ke rumah Seng Yoe Tek. Hanja kepada A Poan ia meninggalkan titah untuk pembantunja itu melandjuti usaha mentjari Lee In, supaja semua djalan umum, pelabuhan dan perhentian-perhentian pelbagai kendaraan didjaga baik-baik. Tegasnja detektip ini mau memasang thian-lo tee-bong, jaitu „djala langit dan djaring bumi,” agar Lee In tidak dapat lolos dan kabur! Pemeriksaan In Hong di rumah Yoe Tek, singkat temponja, besar hasilnja untuknja. Ialah ia telah mengantongi buku tjatatan hari-hari dari Lee In, jang Tjie An tidak memperdulikannja. Ia merasa buku itu penting dan hendak memeriksanja terlebih djauh. Ia mendapat perasaan, Lee In bukan si pembunuh dan bukan si pentjuri djuga. „Nona In, apakah jang kau peroleh?” tanja Tjie An kemudian. „Bagaimana kesanmu?” „Aku merasa sesuatu jang tidak tepat,” menjahut In Hong. „Badju Lee In jang terkena darah jalah udjung bawahnja, sebaliknja lukanja Pek Hoa di tenggorokannja, kalau benar Lee In si pembunuh, jang ketjipratan darah mesti badjunja bagian atas”. „Habis, dari mana datangnja darah di badju itu?” „Pastilah itu darah dari sendjata tadjamnja si pendjahat, jang disusutkan kepada badju itu, maksudnja untuk memfitnah! Djadi badju berdarah itu bukanlah bukti kuat bahwa Lee In si pembunuh adanja.” Bitjaranja In Hong beralasan, mau atau tidak, gontjanglah pendapat Tjie An bahwa Lee In si pembunuh. „Djikalau begitu, siapakah si pembunuh?” ia tanja pula. „Dialah mesti lain orang, hanja sekarang belum ketahuan siapa dia.” „Ketiga patung itu, siapakah pentjurinja?” „Si pembunuh. Dia lebih dulu mentjuri, lalu dia melakukan pembunuhan itu.” „Bagaimana dengan bunga putihnja Lee In? Kenapa itu bisa berada di dalam kamar terali dari patung- patung itu?” „Bunga itu bukan bunganja Lee In. Bunga jang dipakai di rambut sedikitnja mesti terkena minjak atau pomade. Pula itulah bunga jang belum pernah dipakai. Laginja kalau bunga itu djatuh dari kepalanja, djatuhnja tidak nanti di kolong medja. Maka terang sudah, Lee In tidak pernah masuk ke dalam kamar itu, lebih-lebih tidak sampaikan masuk ke dalam terali. Si pendjahat melakukan pentjuriannja dari luar terali dan ia telah melemparkan bunganja, jang sudah disediakan, untuk memfitnah.” Memangnja Tjie An heran pendjahat dapat masuk ke dalam terali, jang pintunja dikuntji dengan kuntji rahasia, jang tjuma dapat dibuka Yoe Tek sendiri, bahkan ketika Yoe Tek hendak membukanja, ia sampai diminta mengundurkan diri dulu, maka sekarang, tepat pendapat In Hong ini. Djadinja nona ini seperti telah membantu ia menerka teka-teki itu. „Hanjalah,” dia masih menanja, „djikalau orang tidak masuk ke dalam terali, bagaimana orang dapat mentjuri ketiga patung itu?” „Tak usahlah si pendjahat masuk ke dalam terali itu. Seekor andjing ketjil dapat membantu madjikannja memasukinja dan mentjurinja, setiap kalinja andjing itu menggigit sebuah patung, dengan tiga kali gigit sadja selesailah sudah tugasnja.” „Tapi di lantai tak kedapatan tapak kaki andjing...............” „Tapak-tapak persegi dan bundar itu jalah tapaknja andjing itu. Madjikan si andjing telah membungkus kaki andjingnja, dengan begitu di sana djadi tidak terdapat tapaknja." „Bulu halus itu bukan bulu benang wol, itulah bulunja si andjing ketjil. Djikalau tuan memeriksa bulu itu dengan seksama dan mentjoba mentjium membauinja, pasti akan terasa bulu itu, ada sedikit bau andjingnja.” „Djikalau demikian, bukankah Yo Lee In dapat dibantu andjing ketjilnja mentjuri patung-patung itu?” In Hong menggeleng kepala. „Bulu itu tampaknja putih, tetapi djikalau telah diperiksa teliti, njata itu ada berwarna kuning muda jang samar sekali. Hanjalah perbedaan itu sangat sukar dilihatnja.” „Djadi maksud nona, andjing pentjuri itu berbulu semu kuning muda?” „Benar. Djikalau tuan menganggap dugaanku ini tidak tepat dan tuan tetap mengusahakan ditangkapnja Yo Lee In, maka kau akan berdjalan bertentangan denganku!” berkata si nona tandas. Detektip To bersuara sangat perlahan. Ketika itu oto, jang dikendarai oleh seorang sersi dalam pakaian preman, menudju ke Hungjao Road. „Apakah kau hendak mengantarkan aku pulang?” In Hong tanja sopir itu. „Terima kasih I Aku masih ingin pergi ke lain tempat...............” Nona ini tidak meminta untuk kendaraan itu dihentikan, supaja ia dapat turun, hanja ketika ia membuka pintu, tubuhnja segera melesat keluar, gerakannja bagaikan burung walet terbang melajang, lintjah sekali, ia tiba di djalan besar, kakinja mengindjak tetap. Ia segera ditelad Kat Po, jang masih sempat menggapai kepada detektip To, hingga Tjie An dan sersinja mendjadi kagum sekali. Dengan naik kereta roda tiga, In Hong berdua kembali ke rumah Sie Tjiang. Mereka disambut pemuda tampan itu di ruang tempat duduk-duduk. „Tuan Eng,” berkata In Hong, „bukankah kau masih ingat bahwa Lee In pernah membilangi Siauw Lee jang Siauw Lee masih mempunjai seorang paman, karena mana Lee In sudah digaplok Yoe Tek? Tahukah kau apa artinja itu?” Sie Tjiang heran. „Kenapa kau ketahui hal itu, nona?” tanjanja. „Di dalam buku tjatatannja Lee In, hal itu ada ditjatat.” „Yoe Tek itu penggemar paras elok,” berkata Sie Tjiang, menerangkan. „Pada sepuluh tahun lebih jang sudah, dia telah berhasil memintjuk seorang budjangnja jang muda bernama Tjian Kiauw Kiauw. Dari perhubungan mereka itu telah terlahir seorang anak laki-laki. Lama-lama, datanglah bosannja Yoe Tek. Dia menganggapnja seorang budjang jalah seorang rendah, maka ia usir budjangnja itu berikut anaknja. Ia tjuma memberikan sedjumlah uang kepada budjang itu. Anak itu apamau beraut muka mirip ajahnja. Kemudian lagi Tjian Kiauw Kiauw tidak mau mengerti, ia mentjoba meminta pertolongan pengadilan. Pengaduan itu terdjadi beberapa kali. Yoe Tek menggunai pengaruh uangnja, ia membuat dakwaan bujar tanpa bekas-bekasnja. Sampai sekarang ini sudah delapan atau sembilan tahun, urusan itu sirap. Budjang itu serta anaknja setahu telah pergi ke mana. Kenapa kau menanja hal budjang itu, nona? Adakah ia hubungannja sama peristiwa pembunuhan dan pentjurian ini?” „Setiap urusan, jang bagaimana ketjil djuga, kadang- kadang ada pentingnja,” mendjawab si nona, „Bahkan itu satu waktu dapat mendjadi bahan terpenting.” „Perbuatannja Yoe Tek sematjam itu lumrah dan banjak sekali,” Sie Tjiang bilang pula. „Umpama jang paling belakang ini, jaitu beberapa hari sebelum dia merajakan ulangtahunnja. Dia telah mempermainkan seorang budjang perempuannja jang muda dan tjantik nama Kho Giok Hoan, tetapi budjang itu tidak sudi diperhina, dia meronta dan berkaok-kaok. Maka Yoe Tek tidak berhasil sama niatnja jang buruk itu. Besoknja Kho Giok Hoan berhenti dan pulang ke kampungnja.” In Hong berdiam tetapi otaknja bekerdja. „Yoe Tek jalah seekor binatang jang berpakaian!” kata Kat Po sengit. „Kalau begitu, dia harus dibunuh, habis perkara!” „Nona In, di manakah kau menjembunjikan Lee In dan anaknja?” Sie Tijang tanja. Inilah soal, jang sekian lama ia hendak tanjakan si nona tetapi baru sekarang ada ketikanja. „Aku tidak menjembunjikan Lee In,” sahut In Hong. „Kenapa begitu?” Sie Tjiang heran. „Djikalau begitu, dia benar-benar lenjap,” katanja. Ia lantas mengasi keterangan halnja Lee In datang untuk bersembunji tetapi sekarang dia benar-benar hilang. Ia menuturkan djuga sebabnja kenapa Lee In minggat. Keterangan Sie Tjiang ini membenarkan terkaan In Hong bahwa Lee In tidak mentjuri dan membunuh, hanja lenjapnja njonja muda itu serta anaknja menambah kesulitan, menambah pekerdjaan. Kemana mereka itu mesti ditjari? „Kalau begitu, kita mesti bekerdja berpisahan,” kata si nona kemudian. Sie Tjiang suka membantu, maka ia diperbantukan kepada Kat Po guna mentjari Lee In, Ibu dan anak. In Hong sendiri hendak mentjari si pembunuh dan pentjuri.
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
„Benar-benar mereka datang!” kata Lee In, mukanja putjat. „Mari turut aku!” mengadjak Sie Tjiang, jang masih lebih tenang. Lee In dan anaknja mengikuti. Mereka naik ke lauwteng ke-tiga, tempat mendjemur pakaian. Siauw Lee lupa membawa andjingnja. Di atas lauwteng itu terdapat sebuah peti kosong, jang tadinja dipakai memuatkan mesin pembuat kembang gula, karena sudah terlalu lama terdjemur, peti itu pada renggang, djadi tak dapat orang bersembunji di situ, tetapi Sie Tjiang toh mau menggunai itu. Ia membuka tutup peti dan menjuruh Lee In dan anaknja masuk ke dalamnja, setelah menutup rapi, ia lantas turun, untuk pergi ke kamar tempat duduk-duduk di mana ia menjetel radio. Ia membawa sikap tenang sekali. Sie Tjiang mempunjai dua pegawai wanita tua, jang sudah bekerdja lama. Tadi pagi mereka itu telah dipesan madjikannja, maka mereka tidak berani sembarang membukai pintu, tetapi gedoran pintu keras sekali, jang satu lantas pergi kepada madjikannja, untuk berkata: „Aku melihat polisi dengan otonja, djumlah mereka empat, lantas dua berdiam di depan, dua lagi pergi ke belakang. Kalau mereka tidak dibukai pintu, mungkin mereka menggunai kekerasan.” „Pergi kau membukai pintu!” Sie Tjiang mendjawab. „Kau tahu bagaimana harus bersikap?” Budjang itu, jang usianja sudah limapuluh lebih, mengangguk, lantas dia bertindak pergi, tiba di pintu depan, ia lantas mendumal sendiri: „Siapakah jang menggedor pintu begini berisik? Tanganku tjuma dua, kakiku tjuma dua, aku mesti lakukan ini, mesti lakukan itu, habis bagaimana aku bisa kerdjakan semua itu?” Ia terus membukai pintu, ia memegangi palangannja seraja lantas menegur: „Kau tjari siapa?” Detektip To mendelik. „Apakah ini rumahnja Eng Sie Tjiang?” dia tanja. Budjang tua itu mengangguk. „Tolong kau mengasi tahu Nona Yo Lee In, kami datang mendjenguk!” kata detektip itu. Itulah siasatnja, untuk membuat orang kaget dan bingung. Kadang-kadang siasat ini memberi hasil jang memuaskan. Budjang itu tabah hatinja. Ia rupanja telah berpengalaman. Ia menggeleng kepala. „Di sini tidak ada Nona Yo Lee In. Mungkin kau salah alamat!” Detektip To melotot pula. Ia menduga orang main gila. „Apakah Tuan Eng Sie Tjiang ada di rumah?” ia tanja pula. Budjang itu mengangguk. Melihat itu, Detektip To dan A Poan lantas bertindak masuk. „Eh, eh!” kata si budjang tua. Kedua detektip itu masuk terus, maka mereka menemui Sia Tjiang lagi mendengari radio. Detektip To mengawasi sambil tertawa dingin. „Tuan Eng, tadi malam di rumah Tuan Seng telah terdjadi keonaran, tahukah kau?” dia tanja. Dia mengawasi tadjam, untuk melihat air muka orang. „Apakah kau maksudkan Tuan Seng Yoe Tek?” Sie Tjiang tanja. Pemuda ini mentjoba menenangkan diri tetapi airmukanja tak wadjar dan suaranja pun kurang lantjar. Njata dia kalah bersandiwara daripada budjang tuanja. „Aku tidak tahui. Telah terdjadi perkara apakah?” Detektip To telah melihat perubahan airmuka orang itu, ia sudah lantas dapat membade. „Hm! Hm!” ia mengasi dengar suara di hidung. „Kau tahu, adik perempuanmu, Nona Seng Pek Hoa, telah dibunuh Yo Lee In dan tiga patung malaikat pamanmu telah ditjuri djuga oleh perempuan itu! Tadi malam Yo Lee In lari ke rumahmu ini, mustahilkah dia tidak memberitahukannja?” Sie Tjiang heran. Ia tahu Pek Hoa telah terbunuh orang, tetapi tidak tentang lenjapnja ketiga patung itu, bahkan Lee In tidak mengetahuinja djuga. „Aku tidak tahu,” Sie Tjiang menjahut, menggeleng kepala. „Yo Lee In djuga tidak datang ke rumahku ini. Kenapa dia lari? Apakah dia tersangkut dalam perkara bunuh orang dan mentjuri patung mustika itu?” „Sudah dia mentjuri, dia pun membunuh orang!” djawab Tjie An tandas. „Dialah orang jang tersangkut! Kau menjembunjikan dia, kau bisa kerembet-rembet! Maka lekas kau serahkan dia padaku!” „Aku berani tanggung dia tidak ada di rumahku!” Sie Tjiang menjangkal terus. „Djikalau begitu, terpaksa aku tidak berlaku sungkan lagi untuk menggeledah rumahmu ini!” kata si detektip, karena ia merasa sangat pasti Lee In ada di rumah itu berikut barang tjuriannja. „Silahkan geledah!" Sie Tjiang menantang. Dia tetap bimbang hatinja. „Djikalau kau tidak berhasil mendapatkan Yo Lee In, aku akan mendakwa kau!............” Detektip To tidak membilang apa-apa lagi, bersama A Poan ia mulai dengan penggeledahannja. Pemeriksaan dimulai dari bawah lauwteng dan dilakukannja sangat teliti, sampai lemari dan latji- latjinja pun dibukai, tak terketjuali lemari buku. Hasilnja nihil. Melihat tjara penggeledahan itu, hati Sie Tjiang kebat- kebit. Ia takut Lee In dapat ditjari. Maka ia menjedot sigaretnja dalam2 dan mengebulkannja dengan keras, guna menutupi kekuatirannja itu. Tepat Detektip To dan A Poan membelakangi lemari barang makanan, hati Sie Tjiang gontjang keras. Tiba- tiba ia melihat andjing-pekingese di luar kamar itu dan mengawasi ia sambil menggojang-gojang ekornja. Hawa udara tidak panas tetapi dahinja mengutjurkan keringat. Maka ia mengeluarkan saputangannja, untuk menjusuti itu, sedang mulutnja mengasi dengar suara „Hus! Hus!” dan tangannja jang lain digojang-gojangi, untuk mengusir andjingnja Siauw Lee itu. Detektip To menoleh, dengan sinar mata penuh ketjurigaan, ia mengawasi tadjam kepada si anak muda, terus ia memandang ke luar kamar. Hampir Sie Tjiang berteriak bahna kagetnja. Ia menahan napas. Sjukur di saat si detektip melihat ke luar, andjing itu sudah ngelojor pergi. Maka ia menghela napas lega. Detektip To melirik, lalu ia meneruskan penggeledahannja. Naik mulai lauwteng ke-dua, terus sampai ke lauwieng ke-tiga. Di sini sebuah kamar tidur jalah kamar jang terachir jang mesti diperiksa. Tetap Lee In dan anaknja tidak ada, dan ketiga patung terus tidak kedapatan. Segera sampailah mereka ke kamar mandi. „Tuan Eng, tolong buka pintunja kamar ini,” Tjie An minta. „Nenekku lagi mandi,” kata Sie Tjiang. „Kau periksa dulu lain kamar, sebentar baru kamar mandi ini.........” „Tidak! Mintalah nenekmu keluar dulu!” kata Tjie An. „Aku tahu Lee In berada di dalam kamar ini!” Terpaksa Sie Tjiang memanggil neneknja, mengasi tahu polisi hendak menggeledah dan ia minta neneknja itu keluar dulu. Maka keluarlah si njonja tua, dengan pakaiannja tidak rapi, romannja mendongkol. Kamar mandi itu ketjil, sebentar sadja maka selesailah pemeriksaan, jang hasilnja nihil. Tjie An keluar sambil menggaruk-garuk kepala. Benar- benar Lee In tidak kedapatan. Ke mana menjingkirnja njonja muda itu ? Ketika mereka keluar dari kamar mandi, di samping itu mereka melihat sebuah peti besar di tempat pendjemuran itu. „Achir-achirnja!” berseru si detektip. „Aku telah menemui Yo Lee In! Dia sembunji di dalam peti itu!” Ia tampaknja puas sekali. Sie Tjiang bersender pada pintu kamar mandi neneknja, kulit mukanja tanpa darah. Ia hampir tak kuat berdiri lebih lama pula. Tjie An melihat roman orang, dia semakin mendapat hati. Karena ini, dia tidak lantas menghampirkan peti itu. „Tuan Eng, paras mukamu putjat sekali,” kata dia, sengadja. „Apakah kau tidak enak badan? Maukah kau aku memanggilkan tabib?” Ia bitjara dengan sabar sekali tapi nada suaranja menjindir. „Aku sehat, tuan To, terima kasih,” mendjawab Sie Tjiang, hampir suaranja tidak terdengar. Tjie An tetap berlaku sabar, melainkan parasnja jang berubah, paras ini mengasi lihat kepuasan. „A Poan, kau buka tutupnja peti itu, kau minta Nona Yo Lee In keluar untuk berbitjara,” kemudian ia menitahkan djuga pembantunja. A Poan turut perintah. Ia menghampirkan peti itu, untuk dibuka, hanja ia tidak melongok ke dalamnja, sembari mengetuk-ngetuk samping peti, ia berkata: „Nona Yo, silahkan keluar!” Yo Lee In tapinja tidak muntjul, tidak meskipun si detektip mengulangi permintaannja. Kemudian baru ia melongok. Sekarang ia tidak pertjaja matanja sendiri. Peti itu kosong-melongpong! „Tuan sep!” katanja kemudian, setelah melongo sekian lama, „di dalam peti ini tidak ada Nona Yo Lee In! Inilah peti kosong!” Detektip To terkedjut. „Apa?” serunja. „Kosong?” Ia merasai kepalanja pusing. Maka lekas ia menghampirkan, guna membuktikan sendiri. Memang peti itu tidak ada isinja. „Tuan To, paras mukamu putjat sekali!” kata Sie Tjiang, jang mendapat hati dengan tiba-tiba. „Apakah kau tidak enak badan? Maukah kau aku panggilkan tabib?” Lee In tidak ada di dalam peti. Sebenarnja bukan tjuma Detektip To, djuga Sie Tjiang bingung bukan main. Ketjuali Lee In dan anaknja, andjing pekingese turut hilang bersama. Tengah Tjie An belum mendapat pikiran bagaimana harus bertindak terlebih djauh, budjang perempuan jang tadi muntjul pula dengan beritanja: „Tuan, di bawah ada Nona In Hong bersama Nona Kat Po mohon bertemu!” „Ah!” berseru Sie Tjiang, napasnja lega. „Aku djusteru hendak mengundjungi mereka! Lekas kau minta mereka menantikan di kamar tetamu, aku akan lantas menemuinja!” Budjang perempuan itu mengundurkan diri. Detektip To masih sadia berpikir. Yo Lee In lenjap, In Hong muntjul. Tidakkah pada ini ada sesuatu hubungannja? „Tuan To,” berkata Sie Tjiang, umpamakata kau hendak melandjuti penggeledahanmu, silahkan, lakukanlah sesukanja, maaf, tidak dapat aku menemani kamu lebih lama. Hanja Ingat, apabila kau tidak berhasil mendapatkan Yo Lee In, kau harus bertanggungdjawab untuk perbuatanmu sudah merampas kemerdekaan rakjat!” Tanpa menanti djawaban, Sie Tjiang turun dari lauwteng separuh berlari. Detektip To bersama A Poan terpaksa mengikuti turun djuga. „Aneh kedatangan mereka!” kata si detektip, mendongkol. „Aku pun ingin bitjara sama mereka itu!" Ketika mereka tiba di kamar tetamu, disana In Hong dan Kat Po lagi berduduk dengan tenang. „Nona In! Nona Kat!” berkata Detektip To, mendahului tuan rumahnja. „Tidak terlebih dulu, tidak terlebih belakang, kamu datang djusteru di saat seperti ini, sungguh kamu membuatnja kami tidak mengerti!” In Hong melirik detektip itu, ia tidak menjahuti, ia tidak mengambil mumat. „Tuan, kau tentulah Tuan Eng Sie Tjiang kakak misan dari Nona Seng Pek Hoa!" ia tanja tuan rumah jang muda. „.Benar,” Sie Tjiang mendiawab. „.Nona-nona datang ke rumahku ini, ada apatah pengadjaranmu?" Tuan rumah ini berlaku hormat. „Djikalau tidak mendjadi halangan, kami menehendaki sedikit keterangan dari kau, tuan Eng,” menjahut In Hong. „Kami bersahabat sama Nona Seng Pek Hoa, dan kami ketahui djuga hal perlakuan buruk dari Tuan Seng Yoe Tek kepada njonja mantu serta tjutjunja. Berhubung dengan itu, kami memikir untuk berbuat sesuatu agar Tuan Seng dapat mengubah sikapnja jang kolot itu. Sajang sekali kemarin, di hari pesta ulangtahunnja, lantaran ada urusan, kami tidak dapat hadir. Tadi pagi aku bitjara tilpon sama Nona Seng, menjesal kami mendapat kabar jang di luar dugaan. Menurut budjang perempuan jang menjambuti tilpon, katanja Nona Seng telah dibunuh Yo Lee In njonia mantu Tuan Seng serta njonja mantu itu sudah mentjuri tiga patung. Aku heran sekali atas kedjadian itu. Aku kenal Lee In halus dan lemah, tidak mestinja dia mentjekal sendiata tadjam dan membunuh orang. Maka itu mungkin di sini ada terselip sesuatu. Kau sanaknia keluarga Seng, Tuan Eng, aku pertjaja kau dapat memberikan sesuatu keterangan kepada kami.” „Maaf, nona, bahkan aku malu sekali,” menjahut Sie Tjiang tjepat. „Mengenai peristiwa di rumah Paman Yoe Tek, aku tidak tahu suatu apa, malah aku baru ketahui itu dari ini Tuan To, jang baru sadja berkundjung ke mari. Tuan To menjangka saudara Lee In bersembunji di rumahku ini, dia datang untuk menggeledah, tetapi dia tidak menemukan Lee In!" „Nona In,” Tjie An menjelak, „kesalahannja Yo Lee In itu sudah terang sekali, dia djadinja bukan terfitnah!” „Djikalau Seng Pek Hoa benar dibunuh Lee In, kami akan membantu dengan sekuat tenaga kami untuk membekuk dia, agar dia dapat dihukum,” berkata In Hong. „Sebaliknja djikalau dia tidak bersalah-dosa, dia tjuma difitnah, pasti kami akan membantu padanja! Tuan To, sudikah kau menuturkan duduknja perkara jang djelas kepada kami?” Mendengar suara si nona, Tjie An mau menduga nona ini tidak atau belum ada hubungannja sama Lee In, dari itu ia memberikan keterangan jang diminta itu, bahkan ia mengasi lihat djuga barang jang ditjurigai, jalah bulu putih jang halus serta bunga wol. In Hong memindjam mikroskop dari detektip itu untuk ia memeriksa dengan seksama kedua barang bukti itu, jang bisa didjadikan bahan untuk menjelidiki perkara. „Tuan To, dapatkah kau menemani aku memeriksa di tempat kedjadian?” kemudian In Hong minta pula. „Menjesal, aku tidak mempunjai tempo akan menemani kau. Tidak dapat aku membiarkan Yo Lee In kabur dengan merdeka!” „Pendjahat siapa djuga tidak pernah lolos dari genggamanmu, Tuan To, perlu apa kau begini terburu napsu?” In Hong kata dingin. Detektip To terdesak, terpaksa ia menerima baik permintaan si nona. Maka dengan bersama-sama mereka pergi ke rumah Seng Yoe Tek. Hanja kepada A Poan ia meninggalkan titah untuk pembantunja itu melandjuti usaha mentjari Lee In, supaja semua djalan umum, pelabuhan dan perhentian-perhentian pelbagai kendaraan didjaga baik-baik. Tegasnja detektip ini mau memasang thian-lo tee-bong, jaitu „djala langit dan djaring bumi,” agar Lee In tidak dapat lolos dan kabur! Pemeriksaan In Hong di rumah Yoe Tek, singkat temponja, besar hasilnja untuknja. Ialah ia telah mengantongi buku tjatatan hari-hari dari Lee In, jang Tjie An tidak memperdulikannja. Ia merasa buku itu penting dan hendak memeriksanja terlebih djauh. Ia mendapat perasaan, Lee In bukan si pembunuh dan bukan si pentjuri djuga. „Nona In, apakah jang kau peroleh?” tanja Tjie An kemudian. „Bagaimana kesanmu?” „Aku merasa sesuatu jang tidak tepat,” menjahut In Hong. „Badju Lee In jang terkena darah jalah udjung bawahnja, sebaliknja lukanja Pek Hoa di tenggorokannja, kalau benar Lee In si pembunuh, jang ketjipratan darah mesti badjunja bagian atas”. „Habis, dari mana datangnja darah di badju itu?” „Pastilah itu darah dari sendjata tadjamnja si pendjahat, jang disusutkan kepada badju itu, maksudnja untuk memfitnah! Djadi badju berdarah itu bukanlah bukti kuat bahwa Lee In si pembunuh adanja.” Bitjaranja In Hong beralasan, mau atau tidak, gontjanglah pendapat Tjie An bahwa Lee In si pembunuh. „Djikalau begitu, siapakah si pembunuh?” ia tanja pula. „Dialah mesti lain orang, hanja sekarang belum ketahuan siapa dia.” „Ketiga patung itu, siapakah pentjurinja?” „Si pembunuh. Dia lebih dulu mentjuri, lalu dia melakukan pembunuhan itu.” „Bagaimana dengan bunga putihnja Lee In? Kenapa itu bisa berada di dalam kamar terali dari patung- patung itu?” „Bunga itu bukan bunganja Lee In. Bunga jang dipakai di rambut sedikitnja mesti terkena minjak atau pomade. Pula itulah bunga jang belum pernah dipakai. Laginja kalau bunga itu djatuh dari kepalanja, djatuhnja tidak nanti di kolong medja. Maka terang sudah, Lee In tidak pernah masuk ke dalam kamar itu, lebih-lebih tidak sampaikan masuk ke dalam terali. Si pendjahat melakukan pentjuriannja dari luar terali dan ia telah melemparkan bunganja, jang sudah disediakan, untuk memfitnah.” Memangnja Tjie An heran pendjahat dapat masuk ke dalam terali, jang pintunja dikuntji dengan kuntji rahasia, jang tjuma dapat dibuka Yoe Tek sendiri, bahkan ketika Yoe Tek hendak membukanja, ia sampai diminta mengundurkan diri dulu, maka sekarang, tepat pendapat In Hong ini. Djadinja nona ini seperti telah membantu ia menerka teka-teki itu. „Hanjalah,” dia masih menanja, „djikalau orang tidak masuk ke dalam terali, bagaimana orang dapat mentjuri ketiga patung itu?” „Tak usahlah si pendjahat masuk ke dalam terali itu. Seekor andjing ketjil dapat membantu madjikannja memasukinja dan mentjurinja, setiap kalinja andjing itu menggigit sebuah patung, dengan tiga kali gigit sadja selesailah sudah tugasnja.” „Tapi di lantai tak kedapatan tapak kaki andjing...............” „Tapak-tapak persegi dan bundar itu jalah tapaknja andjing itu. Madjikan si andjing telah membungkus kaki andjingnja, dengan begitu di sana djadi tidak terdapat tapaknja." „Bulu halus itu bukan bulu benang wol, itulah bulunja si andjing ketjil. Djikalau tuan memeriksa bulu itu dengan seksama dan mentjoba mentjium membauinja, pasti akan terasa bulu itu, ada sedikit bau andjingnja.” „Djikalau demikian, bukankah Yo Lee In dapat dibantu andjing ketjilnja mentjuri patung-patung itu?” In Hong menggeleng kepala. „Bulu itu tampaknja putih, tetapi djikalau telah diperiksa teliti, njata itu ada berwarna kuning muda jang samar sekali. Hanjalah perbedaan itu sangat sukar dilihatnja.” „Djadi maksud nona, andjing pentjuri itu berbulu semu kuning muda?” „Benar. Djikalau tuan menganggap dugaanku ini tidak tepat dan tuan tetap mengusahakan ditangkapnja Yo Lee In, maka kau akan berdjalan bertentangan denganku!” berkata si nona tandas. Detektip To bersuara sangat perlahan. Ketika itu oto, jang dikendarai oleh seorang sersi dalam pakaian preman, menudju ke Hungjao Road. „Apakah kau hendak mengantarkan aku pulang?” In Hong tanja sopir itu. „Terima kasih I Aku masih ingin pergi ke lain tempat...............” Nona ini tidak meminta untuk kendaraan itu dihentikan, supaja ia dapat turun, hanja ketika ia membuka pintu, tubuhnja segera melesat keluar, gerakannja bagaikan burung walet terbang melajang, lintjah sekali, ia tiba di djalan besar, kakinja mengindjak tetap. Ia segera ditelad Kat Po, jang masih sempat menggapai kepada detektip To, hingga Tjie An dan sersinja mendjadi kagum sekali. Dengan naik kereta roda tiga, In Hong berdua kembali ke rumah Sie Tjiang. Mereka disambut pemuda tampan itu di ruang tempat duduk-duduk. „Tuan Eng,” berkata In Hong, „bukankah kau masih ingat bahwa Lee In pernah membilangi Siauw Lee jang Siauw Lee masih mempunjai seorang paman, karena mana Lee In sudah digaplok Yoe Tek? Tahukah kau apa artinja itu?” Sie Tjiang heran. „Kenapa kau ketahui hal itu, nona?” tanjanja. „Di dalam buku tjatatannja Lee In, hal itu ada ditjatat.” „Yoe Tek itu penggemar paras elok,” berkata Sie Tjiang, menerangkan. „Pada sepuluh tahun lebih jang sudah, dia telah berhasil memintjuk seorang budjangnja jang muda bernama Tjian Kiauw Kiauw. Dari perhubungan mereka itu telah terlahir seorang anak laki-laki. Lama-lama, datanglah bosannja Yoe Tek. Dia menganggapnja seorang budjang jalah seorang rendah, maka ia usir budjangnja itu berikut anaknja. Ia tjuma memberikan sedjumlah uang kepada budjang itu. Anak itu apamau beraut muka mirip ajahnja. Kemudian lagi Tjian Kiauw Kiauw tidak mau mengerti, ia mentjoba meminta pertolongan pengadilan. Pengaduan itu terdjadi beberapa kali. Yoe Tek menggunai pengaruh uangnja, ia membuat dakwaan bujar tanpa bekas-bekasnja. Sampai sekarang ini sudah delapan atau sembilan tahun, urusan itu sirap. Budjang itu serta anaknja setahu telah pergi ke mana. Kenapa kau menanja hal budjang itu, nona? Adakah ia hubungannja sama peristiwa pembunuhan dan pentjurian ini?” „Setiap urusan, jang bagaimana ketjil djuga, kadang- kadang ada pentingnja,” mendjawab si nona, „Bahkan itu satu waktu dapat mendjadi bahan terpenting.” „Perbuatannja Yoe Tek sematjam itu lumrah dan banjak sekali,” Sie Tjiang bilang pula. „Umpama jang paling belakang ini, jaitu beberapa hari sebelum dia merajakan ulangtahunnja. Dia telah mempermainkan seorang budjang perempuannja jang muda dan tjantik nama Kho Giok Hoan, tetapi budjang itu tidak sudi diperhina, dia meronta dan berkaok-kaok. Maka Yoe Tek tidak berhasil sama niatnja jang buruk itu. Besoknja Kho Giok Hoan berhenti dan pulang ke kampungnja.” In Hong berdiam tetapi otaknja bekerdja. „Yoe Tek jalah seekor binatang jang berpakaian!” kata Kat Po sengit. „Kalau begitu, dia harus dibunuh, habis perkara!” „Nona In, di manakah kau menjembunjikan Lee In dan anaknja?” Sie Tijang tanja. Inilah soal, jang sekian lama ia hendak tanjakan si nona tetapi baru sekarang ada ketikanja. „Aku tidak menjembunjikan Lee In,” sahut In Hong. „Kenapa begitu?” Sie Tjiang heran. „Djikalau begitu, dia benar-benar lenjap,” katanja. Ia lantas mengasi keterangan halnja Lee In datang untuk bersembunji tetapi sekarang dia benar-benar hilang. Ia menuturkan djuga sebabnja kenapa Lee In minggat. Keterangan Sie Tjiang ini membenarkan terkaan In Hong bahwa Lee In tidak mentjuri dan membunuh, hanja lenjapnja njonja muda itu serta anaknja menambah kesulitan, menambah pekerdjaan. Kemana mereka itu mesti ditjari? „Kalau begitu, kita mesti bekerdja berpisahan,” kata si nona kemudian. Sie Tjiang suka membantu, maka ia diperbantukan kepada Kat Po guna mentjari Lee In, Ibu dan anak. In Hong sendiri hendak mentjari si pembunuh dan pentjuri.