Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Biarpun sepintas kelihatannya kedua orang itu sedang berbincang, padahal secara diam diam mereka telah menghimpun tenaga dalamnya sambil menunggu kesempatan dan peluang baik, begitu muncul titik kelemahan ditubuh lawan, gempuran mematikan segera akan dilancarkan. Dalam keadaan seperti ini, seluruh perhatian mereka berdua sudah terpusat jadi satu, bukan saja sudah tak punya sisa tenaga untuk perhatikan pembicaraan lawan, bahkan apa yang diucapkan sendiri pun diutarakan sekenanya, oleh seb ab itu pembicaraan yang berlangsung pun kelihatan sangat biasa . . . . .. bahkan omong kosong. “Bagus benar tempat ini” “Tinggallah disini!” “Tentu, bersama kau” “Sama sama, sama sama” Sui Leng—kong sekalian makin mendengar semakin kebingungan, tapi Un Tay—tay yang pandai melihat keadaan semakin sadar kalau situasi semakin gawat, karena semakin membingungkan bahan pembicaraan kedua orang itu berarti hawa pembunuhan semakin tebal. Un Tay-tay mulai mengukur jarak, dari tempat dimana dia dan Sui Leng—kong berada paling tidak masih selisih delapan jengkal lebih dari posisi manusia berbaju hitam serta Siang-tok Thaysu, itu berarti bentrokan yang terjadi diantara kedua orang itu, sebesar apapun daya kekuatannya, tak bakalan Sampai membuat cedera mereka semua. Kini Un Tay-tay boleh merasa lega, dia dapat menonton jalannya pertarungan dengan perasaan tenang, harapannya kini, bentrokan itu bisa terjadi dalam kekuatan yang paling hebat bahkan semakin dahsyat semakin menguntungkan. Tampak paras muka Siang-tok Thaysu makin lama kelihatan makin serius sementara hawa napsu membunuh yang terpancar dari balik mata manusia berbaju hitam itu makin lama semakin menyeramkan. Tapi anehnya gempuran yang menentukan tak pernah dilontarkan . . . . .. Sampai lama sekali kedua orang itu masih belum juga bergerak. Kembali lewat berapa saat...... ke dua orang itu masih juga berdiam diri. Un Tay—tay mulai gelisah, pikirnya: “Mereka berdua mau bertahan sampai kapan? Kenapa gempuran yang mematikan belum juga dilontarkan?” Belum selesai ingatan tersebut melintas lewat, mendadak dadanya terasa sesak seolah tertindih benda yang sangat berat, ke empat anggota badan pun terasa dingin membeku. Pada mulanya dia tidak terlalu menaruh perhatian, tapi begitu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, seketika ia merasakan ke empat anggota badannya terasa linu dan kaku, sama sekali tak mampu digerakkan lagi dengan leluasa. Sekarang dia baru terkejut, cepat tenaga dalamnya dihimpun ke dalam tan-tian, sayang usahanya kembali gagal, tenaga dalamnya sudah tak mampu digerakkan lagi, tak terlukiskan rasa kaget perempuan itu, saking ngerinya hampir saja dia menjerit keras. Dia mencoba berpaling, sekalipun dalam kegelapan malam sulit baginya untuk melihat jelas paras muka Sui Leng—kong dan Gi Beng, namun ia dapat menangkap bahwa sepasang biji mata mereka berdua sudah kehilangan cahaya serta gairahnya. Un Tay-tay hanya berharap kehilangan gairah yang diperlihatkan kedua orang itu hanya disebabkan baru saja menangis, maka setelah berusaha menenangkan diri, bisiknya: “Kenapa kalian berdua?” “Kenapa?” Gi Beng balik bertanya dengan wajah tertegun. “Apakah kalian berdua merasakan tubuhmu kurang sehat?” Tampaknya Gi Beng sangat keheranan. “Tidak, aku tidak merasakan apa apa . . . . . . . .. aaah..... Mendadak perkataannya terpotong setengah jalan, dibawah cahaya rembulan tampak matanya terbelalak lebar dengan wajah dicekam rasa ngeri bercampur seram. “Bagaimana?” tanya Un Tay—tay kaget, “apakah merasa ada yang tak beres?” “Aku..... dadaku terasa..... agak sesak, bahkan . . . . .. panasnya setengah mati...aku.... tangan dan kakiku..... semuanya linu, II kaku dan kesemutan” Bukan hanya tubuhnya yang gemetar, suaranya pun kedengaran gemetar sekali, jelas perasaan hatinya sudah dicekam perasaan takut dan ngeri yang luar biasa. Tak terlukiskan rasa ngeri Un Tay-tay setelah menyaksikan kenyataan itu, dia mencoba menengok ke arah Sui Leng—kong sambil berbisik: “Bagaimana perasaanmu nona Sui?” Sorot mata Sui Leng—kong mulai kalut dan tak berat uran, jawabnya tergagap: “Sama seperti dia . . . . . ..” Un Tay—tay berdiri terbelalak, untuk sesaat dia tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun. “Sebe....sebenarnya apa yang telah terjadi?” tanya Gi Beng gelisah. “Kita..... kita semua sudah . . . . . . .. sudah keracunan” Bibirnya terasa mulai kaku dan sakit, untuk mengucapkan perkataan itu dia harus menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki. “Keracunan?” teriak Sui Leng—kong dan Gi Beng hampir berbareng. “Bukan hanya keracunan bahkan racun sudah merasuk ke tubuh kita semua” Gi Beng dan Sui Leng—kong mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, tampak Siang-tok Thaysu maupun orang berbaju hitam itu masih belum juga bergerak, sementara sekeliling tempat itu sudah tak nampak manusia lain. Ketika menengok kembali ke arah Gi Teng, terlihat pemuda itu masih berdiri kaku disitu bagaikan sebuah patung, jelas dia tak mirip orang yang melepaskan racun. “Sebenarnya racun apa yang dimaksud?” tak tahan Gi Beng bertanya, “siapa yang telah melepaskan racun?” Belum sempat Un Tay-tay menjawab, satu ingatan telah melintas dalam benak Sui Leng—kong, seolah teringat akan sesuatu yang sangat menakutkan dia menjerit: “Jangan jangan . . . . .. jangan jangan ulah dia?” Ternyata sorot matanya ditujukan ke arah Siang-tok Thaysu. “Dia?” seru Gi Beng keheranan, “mana mungkin bisa dia? Betulkah ulah dia?” “Betul!” sahut Un Tay-tay sambil menghela napas panjang. “Tapi . . . . . .. dia sama sekali tidak menggerakan jari tangannya” “Setiap jago dikolong langit tahu kalau Siang-tok Thaysu adalah jago nomor wahid dalam hal ilmu melepaskan racun, sementara kita justru menunggu dia melepaskan gempuran, aaaai..... perbuatan kita bertiga betul betul sangat dungu” kembali Un Tay-tay menghela napas. “Masa dalam posisi hanya berdiri tanpa bergerak pun dia mampu melepaskan racun?” teriak Gi Beng terperanjat. “Benar, yang lebih hebat lagi adalah racun yang dia lepas bukan saja tanpa wujud tanpa bentuk bahkan mampu membuat korbannya keracunan hebat tanpa ia sadari” “Menunggu korbannya sadar, ia sudah keracunan hebat” sambung Sui Leng—kong sedih, “kungfunya sudah lenyap separuh bagian, kalau menyadari pada saat seperti ini, keadaan sudah terlambat, sudah tak berguna lagi:” II “Sungguh lihay . . . . ..sungguh lihay . . . . .. terkesiap. Untuk kesekian kalinya kembali Un Tay—tay menghela napas panjang. “Sudah seharusnya kita duga akan hal itu” katanya, “bagi seorang jago lihay dalam ilmu melepas racun, buat apa dia mesti gumam Gi Beng gunakan ilmu silat?” “Tak heran dia hanya berdiri melulu . . . . .. dia..... ternyata tanpa bergerak pun dia sanggup melancarkan serangan mematikan, aaai.... seharusnya sudah kita duga sejak awal, sudah seharusnya kita waspada dan bersiap diri sejak tadi.....” Makin bicara suaranya makin lirih, semakin tak bertenaga. “Sekilas pandang, kedua orang itu seperti lagi berdiri tanpa bergerak, padahal mereka sudah terlibat dalam pertarungan mati hidup, hanya saja orang lain tak mengetahuinya” “Apa.....apa kau bilang?” tanya Gi Beng sambil berkerut kening. Un Tay—tay tertegun, teriaknya keras: “Kau tidak mendengar apa yang kukatakan?” “Kau . . . . . . . . . . ..” wajah Gi Beng tampak semakin kebingungan. Un Tay—tay hanya sempat mendengar kata ‘kau’, sedang ucapan berikut sama sekali tak kedengaran lagi, dia hanya melihat bibir Gi Beng sedang bergetar seakan sedang mengucapkan sesuatu namun sama sekali tak terdengar suara apapun. Tak kuasa lagi ketiga orang perempuan itu tercekam perasaan cemas, takut dan ngeri yang luar biasa, tangan mereka pun tanpa terasa saling bergandengan tangan . . . . .. Ternyata telapak tangan mereka terasa dingin bagaikan salju, keringat dingin telah membasahi tangan mereka bahkan mulai gemetar keras...... Mereka sudah tak dapat mendengar suara pembicaraan lawan, mereka tak tahu, telinga sendiri atau telinga rekannya yang sudah kehilangan fungsi, atau mungkin mereka sudah kehilangan kemampuan untuk berbicara? Angin kencang berhembus lewat, mengibarkan ujung baju yang dikenakan manusia berbaju hitam itu. Mendadak ujung baju itu terobek sebagian oleh hembusan angin, dibalik angin yang berhembus lewat seakan akan tersembunyi sebilah pisau yang amat tajam, pisau yang menyambar ujung baju dan merobeknya. Menyusul kemudian ujung baju yang terobek kembali membelah jadi dua bagian, dari dua bagian berubah jadi empat bagian dan akhirnya terurai jadi benang yang berhelai helai dan tersebar ke mana mana. Kembali segulung angin berhembus lewat dan merobek dua lembar ujung baju manusia berbaju hitam itu. Dalam waktu singkat lagi lagi lembaran kain itu hancur berkeping dan tersebar ke empat penjuru. Tak Sampai berapa saat kemudian seluruh pakaian yang dikenakan manusia berbaju hitam itu sudah berubah jadi hancuran yang tak karuan bentuknya, disisi kiri robek sebagian, disisi kanan robek pula sebagian... Ternyata pakaian yang dikenakan telah berubah jadi lapuk karena terserang racun jahat tanpa wujud tanpa bau itu sehingga tak mampu menahan hembusan angin, dari sini bisa dibayangkan betapa lihaynya sifat racun itu. Biarpun pakaian yang dikenakan sebagian sudah hancur, manusia berbaju hitam itu masih tetap berdiri tegak bagai sebatang tombak, sorot matanya masih tajam bagaikan kilat, kain kerudung hitam yang dikenakan pun sama sekali tak nampak rusak atau robek. Bukan saja sama sekali tidak robek bahkan selembar kain sutera yang tipis dan halus itu bagaikan sebuah lapisan baja saja, hembusan angin yang lebih kuat pun rasanya tak mungkin bisa merusak atau menghancurkannya. Dari sini bisa dilihat betapa lihay dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki manusia berbaju hitam itu! Jelas seluruh tubuhnya sudah keras bagaikan baja, tidak mempan serangan racun bahkan dibalik kain cadar hitamnya sudah dipenuhi tenaga dalam yang luar biasa untuk melindungi panca inderanya. Biarpun tubuh mereka berdua sama sekali tak bergerak, namun pertarungan sengit antara mati dan hidup yang sedang berlangsung sudah cukup mencekam hati setiap penonton yang berada disekeliling arena. Dengan perasaan terkesiap pikir Un Tay-tay: “Mati hidup manusia berbaju hitam ini sudah berada diujung tanduk dan tinggal masalah waktu, sementara Siang-tok Thaysu sama sekali tidak terancam mara bahaya, kelihatannya pertarungan ini berhasil dia menangkan” Perlu diketahui, sekalipun Un Tay-tay bertiga tidak kenal siapa gerangan manusia berbaju hitam itu, namun mereka tetap berharap manusia berbaju hitam itulah yang menang, tak heran mereka mulai kebat kebit hatinya setelah menyaksikan jagoan yang mereka harapkan ternyata tidak ada peluang untuk meraih kemenangan, bahkan cenderung terancam pula jiwanya. Genggaman tangan mereka bertiga semakin bertambah kencang, telapak tangan Un Tay—tay berada pada urutan yang paling buncit. Ia dapat merasakan telapak tangan Sui Leng—kong maupun Gi Beng
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Biarpun sepintas kelihatannya kedua orang itu sedang berbincang, padahal secara diam diam mereka telah menghimpun tenaga dalamnya sambil menunggu kesempatan dan peluang baik, begitu muncul titik kelemahan ditubuh lawan, gempuran mematikan segera akan dilancarkan. Dalam keadaan seperti ini, seluruh perhatian mereka berdua sudah terpusat jadi satu, bukan saja sudah tak punya sisa tenaga untuk perhatikan pembicaraan lawan, bahkan apa yang diucapkan sendiri pun diutarakan sekenanya, oleh seb ab itu pembicaraan yang berlangsung pun kelihatan sangat biasa . . . . .. bahkan omong kosong. “Bagus benar tempat ini” “Tinggallah disini!” “Tentu, bersama kau” “Sama sama, sama sama” Sui Leng—kong sekalian makin mendengar semakin kebingungan, tapi Un Tay—tay yang pandai melihat keadaan semakin sadar kalau situasi semakin gawat, karena semakin membingungkan bahan pembicaraan kedua orang itu berarti hawa pembunuhan semakin tebal. Un Tay-tay mulai mengukur jarak, dari tempat dimana dia dan Sui Leng—kong berada paling tidak masih selisih delapan jengkal lebih dari posisi manusia berbaju hitam serta Siang-tok Thaysu, itu berarti bentrokan yang terjadi diantara kedua orang itu, sebesar apapun daya kekuatannya, tak bakalan Sampai membuat cedera mereka semua. Kini Un Tay-tay boleh merasa lega, dia dapat menonton jalannya pertarungan dengan perasaan tenang, harapannya kini, bentrokan itu bisa terjadi dalam kekuatan yang paling hebat bahkan semakin dahsyat semakin menguntungkan. Tampak paras muka Siang-tok Thaysu makin lama kelihatan makin serius sementara hawa napsu membunuh yang terpancar dari balik mata manusia berbaju hitam itu makin lama semakin menyeramkan. Tapi anehnya gempuran yang menentukan tak pernah dilontarkan . . . . .. Sampai lama sekali kedua orang itu masih belum juga bergerak. Kembali lewat berapa saat...... ke dua orang itu masih juga berdiam diri. Un Tay—tay mulai gelisah, pikirnya: “Mereka berdua mau bertahan sampai kapan? Kenapa gempuran yang mematikan belum juga dilontarkan?” Belum selesai ingatan tersebut melintas lewat, mendadak dadanya terasa sesak seolah tertindih benda yang sangat berat, ke empat anggota badan pun terasa dingin membeku. Pada mulanya dia tidak terlalu menaruh perhatian, tapi begitu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, seketika ia merasakan ke empat anggota badannya terasa linu dan kaku, sama sekali tak mampu digerakkan lagi dengan leluasa. Sekarang dia baru terkejut, cepat tenaga dalamnya dihimpun ke dalam tan-tian, sayang usahanya kembali gagal, tenaga dalamnya sudah tak mampu digerakkan lagi, tak terlukiskan rasa kaget perempuan itu, saking ngerinya hampir saja dia menjerit keras. Dia mencoba berpaling, sekalipun dalam kegelapan malam sulit baginya untuk melihat jelas paras muka Sui Leng—kong dan Gi Beng, namun ia dapat menangkap bahwa sepasang biji mata mereka berdua sudah kehilangan cahaya serta gairahnya. Un Tay-tay hanya berharap kehilangan gairah yang diperlihatkan kedua orang itu hanya disebabkan baru saja menangis, maka setelah berusaha menenangkan diri, bisiknya: “Kenapa kalian berdua?” “Kenapa?” Gi Beng balik bertanya dengan wajah tertegun. “Apakah kalian berdua merasakan tubuhmu kurang sehat?” Tampaknya Gi Beng sangat keheranan. “Tidak, aku tidak merasakan apa apa . . . . . . . .. aaah..... Mendadak perkataannya terpotong setengah jalan, dibawah cahaya rembulan tampak matanya terbelalak lebar dengan wajah dicekam rasa ngeri bercampur seram. “Bagaimana?” tanya Un Tay—tay kaget, “apakah merasa ada yang tak beres?” “Aku..... dadaku terasa..... agak sesak, bahkan . . . . .. panasnya setengah mati...aku.... tangan dan kakiku..... semuanya linu, II kaku dan kesemutan” Bukan hanya tubuhnya yang gemetar, suaranya pun kedengaran gemetar sekali, jelas perasaan hatinya sudah dicekam perasaan takut dan ngeri yang luar biasa. Tak terlukiskan rasa ngeri Un Tay-tay setelah menyaksikan kenyataan itu, dia mencoba menengok ke arah Sui Leng—kong sambil berbisik: “Bagaimana perasaanmu nona Sui?” Sorot mata Sui Leng—kong mulai kalut dan tak berat uran, jawabnya tergagap: “Sama seperti dia . . . . . ..” Un Tay—tay berdiri terbelalak, untuk sesaat dia tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun. “Sebe....sebenarnya apa yang telah terjadi?” tanya Gi Beng gelisah. “Kita..... kita semua sudah . . . . . . .. sudah keracunan” Bibirnya terasa mulai kaku dan sakit, untuk mengucapkan perkataan itu dia harus menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki. “Keracunan?” teriak Sui Leng—kong dan Gi Beng hampir berbareng. “Bukan hanya keracunan bahkan racun sudah merasuk ke tubuh kita semua” Gi Beng dan Sui Leng—kong mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, tampak Siang-tok Thaysu maupun orang berbaju hitam itu masih belum juga bergerak, sementara sekeliling tempat itu sudah tak nampak manusia lain. Ketika menengok kembali ke arah Gi Teng, terlihat pemuda itu masih berdiri kaku disitu bagaikan sebuah patung, jelas dia tak mirip orang yang melepaskan racun. “Sebenarnya racun apa yang dimaksud?” tak tahan Gi Beng bertanya, “siapa yang telah melepaskan racun?” Belum sempat Un Tay-tay menjawab, satu ingatan telah melintas dalam benak Sui Leng—kong, seolah teringat akan sesuatu yang sangat menakutkan dia menjerit: “Jangan jangan . . . . .. jangan jangan ulah dia?” Ternyata sorot matanya ditujukan ke arah Siang-tok Thaysu. “Dia?” seru Gi Beng keheranan, “mana mungkin bisa dia? Betulkah ulah dia?” “Betul!” sahut Un Tay-tay sambil menghela napas panjang. “Tapi . . . . . .. dia sama sekali tidak menggerakan jari tangannya” “Setiap jago dikolong langit tahu kalau Siang-tok Thaysu adalah jago nomor wahid dalam hal ilmu melepaskan racun, sementara kita justru menunggu dia melepaskan gempuran, aaaai..... perbuatan kita bertiga betul betul sangat dungu” kembali Un Tay-tay menghela napas. “Masa dalam posisi hanya berdiri tanpa bergerak pun dia mampu melepaskan racun?” teriak Gi Beng terperanjat. “Benar, yang lebih hebat lagi adalah racun yang dia lepas bukan saja tanpa wujud tanpa bentuk bahkan mampu membuat korbannya keracunan hebat tanpa ia sadari” “Menunggu korbannya sadar, ia sudah keracunan hebat” sambung Sui Leng—kong sedih, “kungfunya sudah lenyap separuh bagian, kalau menyadari pada saat seperti ini, keadaan sudah terlambat, sudah tak berguna lagi:” II “Sungguh lihay . . . . ..sungguh lihay . . . . .. terkesiap. Untuk kesekian kalinya kembali Un Tay—tay menghela napas panjang. “Sudah seharusnya kita duga akan hal itu” katanya, “bagi seorang jago lihay dalam ilmu melepas racun, buat apa dia mesti gumam Gi Beng gunakan ilmu silat?” “Tak heran dia hanya berdiri melulu . . . . .. dia..... ternyata tanpa bergerak pun dia sanggup melancarkan serangan mematikan, aaai.... seharusnya sudah kita duga sejak awal, sudah seharusnya kita waspada dan bersiap diri sejak tadi.....” Makin bicara suaranya makin lirih, semakin tak bertenaga. “Sekilas pandang, kedua orang itu seperti lagi berdiri tanpa bergerak, padahal mereka sudah terlibat dalam pertarungan mati hidup, hanya saja orang lain tak mengetahuinya” “Apa.....apa kau bilang?” tanya Gi Beng sambil berkerut kening. Un Tay—tay tertegun, teriaknya keras: “Kau tidak mendengar apa yang kukatakan?” “Kau . . . . . . . . . . ..” wajah Gi Beng tampak semakin kebingungan. Un Tay—tay hanya sempat mendengar kata ‘kau’, sedang ucapan berikut sama sekali tak kedengaran lagi, dia hanya melihat bibir Gi Beng sedang bergetar seakan sedang mengucapkan sesuatu namun sama sekali tak terdengar suara apapun. Tak kuasa lagi ketiga orang perempuan itu tercekam perasaan cemas, takut dan ngeri yang luar biasa, tangan mereka pun tanpa terasa saling bergandengan tangan . . . . .. Ternyata telapak tangan mereka terasa dingin bagaikan salju, keringat dingin telah membasahi tangan mereka bahkan mulai gemetar keras...... Mereka sudah tak dapat mendengar suara pembicaraan lawan, mereka tak tahu, telinga sendiri atau telinga rekannya yang sudah kehilangan fungsi, atau mungkin mereka sudah kehilangan kemampuan untuk berbicara? Angin kencang berhembus lewat, mengibarkan ujung baju yang dikenakan manusia berbaju hitam itu. Mendadak ujung baju itu terobek sebagian oleh hembusan angin, dibalik angin yang berhembus lewat seakan akan tersembunyi sebilah pisau yang amat tajam, pisau yang menyambar ujung baju dan merobeknya. Menyusul kemudian ujung baju yang terobek kembali membelah jadi dua bagian, dari dua bagian berubah jadi empat bagian dan akhirnya terurai jadi benang yang berhelai helai dan tersebar ke mana mana. Kembali segulung angin berhembus lewat dan merobek dua lembar ujung baju manusia berbaju hitam itu. Dalam waktu singkat lagi lagi lembaran kain itu hancur berkeping dan tersebar ke empat penjuru. Tak Sampai berapa saat kemudian seluruh pakaian yang dikenakan manusia berbaju hitam itu sudah berubah jadi hancuran yang tak karuan bentuknya, disisi kiri robek sebagian, disisi kanan robek pula sebagian... Ternyata pakaian yang dikenakan telah berubah jadi lapuk karena terserang racun jahat tanpa wujud tanpa bau itu sehingga tak mampu menahan hembusan angin, dari sini bisa dibayangkan betapa lihaynya sifat racun itu. Biarpun pakaian yang dikenakan sebagian sudah hancur, manusia berbaju hitam itu masih tetap berdiri tegak bagai sebatang tombak, sorot matanya masih tajam bagaikan kilat, kain kerudung hitam yang dikenakan pun sama sekali tak nampak rusak atau robek. Bukan saja sama sekali tidak robek bahkan selembar kain sutera yang tipis dan halus itu bagaikan sebuah lapisan baja saja, hembusan angin yang lebih kuat pun rasanya tak mungkin bisa merusak atau menghancurkannya. Dari sini bisa dilihat betapa lihay dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki manusia berbaju hitam itu! Jelas seluruh tubuhnya sudah keras bagaikan baja, tidak mempan serangan racun bahkan dibalik kain cadar hitamnya sudah dipenuhi tenaga dalam yang luar biasa untuk melindungi panca inderanya. Biarpun tubuh mereka berdua sama sekali tak bergerak, namun pertarungan sengit antara mati dan hidup yang sedang berlangsung sudah cukup mencekam hati setiap penonton yang berada disekeliling arena. Dengan perasaan terkesiap pikir Un Tay-tay: “Mati hidup manusia berbaju hitam ini sudah berada diujung tanduk dan tinggal masalah waktu, sementara Siang-tok Thaysu sama sekali tidak terancam mara bahaya, kelihatannya pertarungan ini berhasil dia menangkan” Perlu diketahui, sekalipun Un Tay-tay bertiga tidak kenal siapa gerangan manusia berbaju hitam itu, namun mereka tetap berharap manusia berbaju hitam itulah yang menang, tak heran mereka mulai kebat kebit hatinya setelah menyaksikan jagoan yang mereka harapkan ternyata tidak ada peluang untuk meraih kemenangan, bahkan cenderung terancam pula jiwanya. Genggaman tangan mereka bertiga semakin bertambah kencang, telapak tangan Un Tay—tay berada pada urutan yang paling buncit. Ia dapat merasakan telapak tangan Sui Leng—kong maupun Gi Beng