Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 171

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng

keputusan, memutuskan nyawa mana diantara mereka berdua yang harus segera ditolong, kembali Un Tay—tay merasakan goncangan jiwa yang luar biasa, tubuhnya Sampai menggigil keras. Tanggung jawab moral yang terbeban dipundaknya kelewat berat, keputusan yang harus diambil kelewat menyiksa batin. Sekali lagi dia bertanya kepada diri sendiri: “Terlepas siapa yang bakal hidup, ketika rekannya tahu kalau kehidupannya diperoleh dari kematian rekannya, dapatkah dia menerima kenyataan itu? Sanggupkah dia melanjutkan hidup?” Tanpa sadar sorot matanya kembali dialihkan ke wajah Sui Leng-kong. Dibawah cahaya rembulan, wajah Sui Leng-kong nampak begitu tenang, kelihatan begitu cantik dan menawan.... Kecantikan yang luar biasa, ibarat bidadari yang turun dari kahyangan, kecantikan yang tidak seharusnya hidup di alam dunia. Un Tay—tay merasakan hatinya pedih, pikirnya: “Thiat Tiong—tong telah mati, Im Ceng pun telah mati, cepat atau lambat aku juga bakal mati, apa senangnya ia hidup seorang diri? Membiarkan dia tetap hidup hanya akan membuatnya makin sengsara, makin menderita!” Sekali lagi dia menengok ke arah Sui Leng-kong, terlihat gadis itu memejamkan matanya rapat rapat, bulu matanya yang panjang terkatup pada kelopak matanya yang lembut, seluruh kesedihan, semua penderitaan seolah sudah jauh meninggalkan dirinya. Un Tay—tay ikut pejamkan matanya. “Dia persis sama seperti aku” gumamnya, “hanya akan peroleh kedamaian dalam kematian, sementara dua orang yang lain perlu hidup terus untuk saling menunjang. Membiarkan dia hidup terus hanya akan menambah penderitaannya, sedang dua orang yang lain masih punya kebahagiaan dan kegembiraan dalam perjalanan hidup mereka, kebahagiaan dan kegembiraan yang mustahil bisa aku maupun dia rasakan lagi” Sementara dia masih termenung, Siang-tok Thaysu kembali sudah bertanya: “Sudah kau putuskan?” “Sudah, sudah kuputuskan!” jawab Un Tay—tay sambil menarik napas panjang. cahaya kegembiraan yang aneh kembali terbesit dibalik sorot mata Siang-tok Thaysu, dia seolah berharap bisa memperoleh sedikit kepuasan yang sadis dari balik keputusan yang diambil Un Tay—tay. Dengan penuh rasa ingin tahu dia ingin segera tahu siapa yang akan dikorbankan Un Tay—tay, rasa ingin tahu kebinatangannya segera menyelimuti seluruh pikiran dan perasaan hatinya. Dengan lantang dia berteriak: “Siapa? Siapa yang akan kau tolong?” Un Tay—tay masih pejamkan matanya, namun dia sudah menuding ke dua arah..... Yang ditunjuk adalah Gi Beng serta Gi Teng, dua bersaudara dari keluarga Gi. Sampai Siang-tok Thaysu sudah selesai mencekoki Gi Beng dan Gi Teng dengan obat penawar racun, Un Tay—tay masih duduk kaku tanpa bergerak, ia tetap duduk bagaikan sebuah patung batu, sama sekali tak bergerak, sama sekali tak mambuka matanya. Sambil bertepuk tangan kata Siang-tok Thaysu lagi: “Tak seberapa lama lagi mereka berdua akan segera tersadar kembali” “Ooh, benarkah?” Un Tay—tay mengangguk dengan wajah linglung, menyahut dengan nada hambar. Dengan wajah keheranan, rasa ingin tahu, Siang-tok Thaysu menatap wajahnya, mendadak ujarnya sambil tertawa: “Loceng sama sekali tak menyangka kalau kau tidak selamatkan gadis itu sebaliknya malah selamatkan pria ini, dapatkah kau menjelaskan apa alasanmu memutuskan begitu?” Un Tay—tay menggetarkan bibirnya namun tak ada suara yang muncul, dia hanya menggeleng dengan wajah linglung. Lewat berapa saat kemudian, akhirnya dia buka suara juga, sahutnya: “Masa tidak kau lihat, dia mati dengan begitu tenang dan damai, sementara kedua orang ini justru amat berharap bisa hidup terus.....” Sebetulnya dia enggan mengucapkan perkataan itu, namun entah mengapa akhirnya diucapkan juga, dia bahkan tak bisa membedakan Sebetulnya perkataan itu tertuju kepada Siang-tok Thaysu atau justru ditujukan kepada diri sendiri. Siang-tok Thaysu memandang sekejap Gi Beng serta Gi Teng yang belum sadar, kemudian menengok Sui Leng-kong dan akhirnya memandang wajah Un Tay—tay, tiba tiba ia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak bahak. Un Tay-tay membuka kembali matanya tapi segera dipejamkan kembali, sekali lagi dia membuka matanya, menengok ke arah Siang-tok Thaysu. Akhirnya dia tak kuasa menahan diri, tegurnya: “Apa yang kau tertawakan?” “Padahal wajah ke tiga orang itu sama satu dengan lainnya, tapi kau bersikeras mengatakan kalau gadis itu meram dengan tenang sedang dua orang yang lain menderita, bukankah alasan tersebut hanya kau gunakan untuk mengungkap jalan pemikiranmu sendiri?” Perkataan itu bagaikan tusukan jarum tajam, tusukan yang menghujam ke dasar lubuk hati Un Tay—tay. Tiba tiba sekujur badannya gemetar keras, teriaknya: “Kau . . . . .. kau ngaco belo!” “Hahahaha.... dulu, loceng pun pernah hidup bergelimpangan dalam keduniawian, rahasia yang ada didasar hatimu mungkin saja dapat mengelabuhi orang lain, tapi jangan harap bisa mengelabuhi diriku” “Rahasia..... rahasia apa yang ada di dasar hatiku?” “Kau pasti pernah menaruh perasaan iri dan cemburu kepadanya” ujar Siang-tok Thaysu sambil tertawa, “oleh sebab itu kau berharap dia bisa mati, mati dengan tenang? Bebas dari segala penderitaan? Itu semua hanya alasan yang kau buat buat untuk membohongi diri sendiri’ Gelak tertawanya dipenuhi perasaan bangga, Sebab dia menganggap berhasil menelanjangi lawannya, lagi lagi dia peroleh sebuah kepuasan, kepuasan yang diperoleh secara sadis. Gelak tertawanya bagaikan sebuah cambuk, cambuk berduri yang berderai ditubuh Un Tay—tay, mencambuk hatinya, mencambuk sukmanya hingga sama sekali tak mampu bergerak. “Benarkah aku iri kepadanya?” terdengar ia bergumam, “benarkah aku cemburu kepadanya? Kenapa aku harus iri? Kenapa aku harus cemburu?” Tiba tiba ia tertawa keras, tertawa seperti orang kalap, jeritnya: “Aku iri kepadanya? Kenapa aku harus iri kepadanya?” Gelak tertawanya makin lama makin bertambah seram...... semakin tak bisa dibedakan antara tangisan dan suara tertawa . . . . .. akhirnya ia menubruk tubuh Sui Leng-kong, menangis secara kalap, menangis tersedu sedu. “Dimasa lalu kalian berdua pasti pernah mencintai seorang lelaki yang sama” ujar Siang-tok Thaysu lagi, “dan pria itu ternyata hanya mencintai dia seorang, maka kau membencinya, kau iri kepadanya . . . . . ..” Walaupun nada suaranya rendah dan berat namun kedengaran begitu tajam, begitu melengking, setiap patah kata bagaikan tusukan jarum yang menghujam hatinya, bila kau berusaha menutupi telingamu dengan tangan maka dia akan menembusi telapak tanganmu dan menyusup masuk ke dalam. Terdengar ia berkata lagi: “Kemudian.... setelah lewat lama sekali, rasa cintamu terhadap pria itu makin memudar, tapi perasaan benci, perasaan irimu tak pernah ikut memudar, tahukah kau mengapa bisa begitu?” II “Kau setan alas . . . . .. jerit Un Tay—tay penuh penderitaan, “iblis busuk! Tutup mulutmu!” Sekali lagi Siang-tok Thaysu tertawa sadis, lanjutnya: “Karena iri dan benci merupakan luapan emosi yang paling kuat, khususnya didalam hati seorang wanita, perasaan itu jauh lebih kuat daripada perasaan cinta. Sebab sedalam apapun cinta seorang wanita, perasaan itu gampang berubah, biarpun kau mencintainya secara khusuk namun tak akan langgeng, sama seperti cinta seorang lelaki, walaupun dapat berlangsung langgeng namun tak akan bisa mencintai secara khusus” “Tolong . . . . . .. jangan kau lanjutkan” pinta Un Tay—tay dengan wajah memelas. Siang-tok Thaysu menyeringai seram, terusnya: “oleh Sebab itu seorang pria bisa mencintai banyak wanita pada saat yang bersamaan, namun tidak mungkin bagi seorang wanita, ketika seorang wanita mencintai seorang pria, dia pasti mencintainya hingga tergila gila, tak mungkin dia bisa mencintai lelaki kedua. Menanti dia mulai mencintai lelaki ke dua, saat itu perasaan cintanya terhadap pria pertama pasti sudah hilang lenyap tak berbekas” Setelah tertawa seram berulang kali, lanjutnya: “Sayang rasa dengki, rasa iri, rasa cemburu seorang wanita terhadap wanita lain tak pernah bisa lenyap untuk selamanya, jika seorang wanita membenci wanita yang lain maka dia akan membencinya Sepanjang masa!” “Aku tak mau mendengarkan . . . . .. tak mau mendengarkan!” jerit Un Tay—tay Sambil berusaha menutupi sepasang telinganya dengan tangan. Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha..... tentu saja kau tak mau mendengarkan, sebab selain kau tahu bahwa teori ini seratus persen benar, kaupun sadar, rasa iri yang kau anggap sudah terlupakan sesungguhnya sudah berakar didasar hatimu, maka.....” Tiba tiba Un Tay—tay menjerit keras, Sambil membopong tubuh Sui Leng-kong dia kabur secepatnya meninggalkan tempat itu. Memandang bayangan punggungnya yang makin menjauh, Siang-tok Thaysu kembali tertawa keras, tertawa seperti orang gila. Dia tahu, perbuatannya telah berhasil menghancur lumatkan perasaan hati perempuan itu. Sepanjang hidup, dia baru bisa merasa sangat gembira ketika menyaksikan seorang perempuan hancur lebur hatinya, Sebab dahulu, diapun pernah dibuat hancur lebur hatinya karena ulah seorang wanita . . . . . ..

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>