Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Berpikir sampai disitu, ia merasa kecewa bercampur putus asa, matanya kembali dipejamkan rapat rapat. “Kalau sudah sadar, kenapa tidak bangkit berdiri?” terdengar Siang—tok Thaysu menegur lagi. Sekalipun tidak bicara namun dalam hati kembali Un Tay—tay berpikir: “Aku sudah kau racuni hingga kepayahan, mana mungkin bisa bangkit kembali? Rupanya kau malah berlagak pilon . . . . . . .. Mendadak ia merasakan pikirannya terang dan segar, pandangan matanya jelas, tanda tanda mata buram, kehilangan kekuatan II seperti apa yang dirasakan sebagai korban keracunan sama sekali hilang tak berbekas. Dengan perasaan girang cepat dia bangkit dan duduk. Rupanya dia sudah dipindahkan ke atas sebuah bukit, sementara Sui Leng-kong, Leng Cing-peng, Gi Beng, Gi Teng dan Leng It—hong masih berbaring disampingnya, hanya tidak diketahui apakah mereka masih hidup atau sudah mati? Ketika dia melirik kembali ke arah Siang—tok Thaysu, dilihatnya pendeta pemakan ular itu sedang duduk bersila dibawah sebatang pohon, walaupun dipandang pada siang hari dia tidak seseram kemarin malam namun paras mukanya tetap kelihatan dingin bagaikan salju. “Bukankah aku keracunan hebat. . . . . . .. II gumam Un Tay—tay terkejut bercampur keheranan. “Racun yang loceng gunakan sudah pasti dapat kupunahkan secara gampang” jawab Siang-tok Thaysu dingin. “Kenapa kau . . . . .. kau menolong aku?” “Kau telah selamatkan loceng, tentu saja loceng pun selamatkan dirimu” “Aku..... aku telah menolongmu?” Un Tay—tay tertegun. Sekulum senyuman aneh tersungging diujung bibir Siang—tok Thaysu, katanya: “Ketika tubuhmu roboh terjungkal tadi, kebetulan jatuh persis disisi kaki musuh loceng, begitu ia terperanjat maka tenaga sinkang nya pun ikut buyar, kalau tidak, belum tentu semudah ini loceng mampu mengalahkan dirinya” Un Tay-tay terkesiap, saking kagetnya dia duduk tertegun dengan mata terbelalak dan mulut melongo, sampai lama kemudian ia baru tertawa keras, teriaknya: “Ternyata aku malah membantumu, membantumu mengusir lawan tangguh . . . . . . . ..” Semakin nyaring suara tertawanya, makin deras air mata bercucuran membasahi wajahnya. “Bukan hanya membantu loceng saja” ujar Siang—tok Thaysu lebih jauh, “kalau bukan dorongan tanganmu, mungkin tubuh dewa racun milik loceng pun sudah musnah terhajar lemparan batu cadas” “Siapakah manusia berbaju hitam itu?” tanya Un Tay—tay kemudian sambil membesut air mata. “Buat apa kau menanyakan soal ini?” “Aku ingin menemukan orang itu, berlutut dihadapannya, minta kepadanya untuk mencincang tubuhku hingga hancur berkeping, kalau tidak selamanya aku tak bakal bisa hidup tenang” Siang—tok Thaysu tertawa dingin. “Sekalipun kusebut nama orang itupun belum tentu kau akan mengenalinya, apalagi sekalipun kau dapat menemukan dirinya, mungkin yang kau jumpai tak lebih hanya sesosok mayat” Kembali Un Tay—tay tertegun, akhirnya dia tak sanggup menahan diri lagi, meledaklah isak tangisnya yang amat menyedihkan hati. Selama hidup baru kali ini dia menangis dengan begitu sedihnya. Siang—tok Thaysu segera mendengus dingin. “Rupanya kau menyesal karena telah menolong loceng?” tegurnya. “Benar, lebih baik bunuhlah aku . . . . . ..” Perlahan Siang—tok Thaysu mendongakkan kepalanya memandang angkasa, kemudian katanya lagi: “Walaupun loceng tahu kalau kau memang tidak berniat membantuku, namun sepanjang hidup baru pertama kali ini kuterima pertolongan dari orang lain, bagaimana pun juga, hutang budi ini tetap harus kubayarkan kepadamu” Un Tay—tay sama sekali tidak menggubris perkataan itu, dia masih mendekam ditanah sambil menangis tersedu sedu, seperminum teh kemudian isak tangisnya baru mulai mereda, lambat laun kesadarannya pulih kembali, tiba tiba dia melompat bangun. Jika berganti Gi Beng atau Im Ceng sekalian, begitu tahu kalau tanpa sengaja mereka telah membantu kaum laknat dan manusia jahat, bisa jadi mereka segera akan menumbukkan kepalanya diatas dinding untuk bunuh diri. Tapi Un Tay—tay bukan manusia semacam itu, sekalipun tadi ia menangis sedih karena luapan emosinya namun kesadaran otaknya jauh mengungguli gejolak emosi, begitu berhasil menguasahi diri teriaknya: “Baik, kau bilang mau membayar hutang budi ini? Dengan cara apa kau hendak membayarnya?” “Apapun permintaanmu, asal bisa loceng lakukan, pasti tak akan kutampik permintaanmu itu” “Kau sendiri yang berjanji?” “Selama hidup loceng pantang mengobral janji, tapi kau pun mesti ingat, tadi kau hanya dua kali membantu loceng maka mulai sekarang loceng pun hanya akan menuruti permintaanmu sebanyak dua kali” “Paling tidak kau harus selamatkan rekan rekanku terlebih dulu” “Baik...... tinggal satu permintaan” Sekarang Un Tay—tay baru merasa sedikit lega, bagaimana pun juga dia telah selamatkan nyawa berapa orang rekannya, paling tidak pertolongan ini bisa digunakan untuk menebus dosanya hari ini. Siapa tahu setelah lewat berapa saat kemudian Siang—tok Thaysu masih tetap duduk tanpa bergerak. Un Tay—tay tak mampu menahan diri lagi, segera tegurnya: “Kenapa kau belum juga turun tangan?” Siang—tok Thaysu mendengus dingin. “Hmmm, kau belum menunjuk siapa yang harus kutolong, bagaimana mungkin loceng bisa turun tangan?” Tercekat perasaan Un Tay-tay, jeritnya: “Menunjuk yang mana? Tentu saja kau harus menolong mereka bertiga” Dia memang sengaja hanya menyebut tiga orang, karena perempuan ini tahu Leng Cing-peng sudah tak punya harapan lagi untuk ditolong. Kembali Siang—tok Thaysu tertawa dingin. “Ke tiga orang itu tak ada sangkut pautnya dengan diriku, kenapa loceng mesti mengobral tenaga untuk selamatkan mereka semua?” “Tapi...... bukankah kau telah berjanji?” “Benar, loceng memang berjanji akan turun tangan dua kali untuk membayar hutang budi ini, tapi jangan lupa, hanya dua kali, sementara disini ada tiga orang” “Jadi kau.... kau hanya bersedia menolong dua orang? Begitu? Benar?” suara Un Tay—tay kedengaran sedikit gemetar. Siang—tok Thaysu manggut manggut, perlahan ia pejamkan mata dan tidak berbicara lagi. “Tapi disini terdapat tiga orang, kau suruh aku tidak memilih yang mana? Kau..... kau.... kau biarkan seseorang yang tiada dendam sakit hati denganku harus tewas secara mengenaskan dihadapanmu?” Sekalipun dia menjerit dengan suara yang mengenaskan, namun paras muka Siang—tok Thaysu tetap kaku bagaikan patung, sama sekali tak tersentuh perasaan hatinya, bagaimanapun perempuan itu merengek atau memohon, Siang—tok Thaysu tetap berlagak seolah tidak mendengar. Akhirnya Un Tay—tay jatuh terduduk ke lantai, gumamnya dengan suara gemetar: “Keji...... kau sungguh keji, tak kusangka hatimu jahat, buas dan beracun, walaupun banyak manusia jahat yang pernah kujumpai selama ini, tapi kau adalah orang pertama. . . . . . . . ..” Berbicara sampai disitu, tiba tiba satu ingatan kembali melintas lewat dalam benaknya, dengan hati gembira teriaknya: “orang pertama, tadi kau bilang ‘kau adalah orang pertama yang sadar', itu berarti masih ada orang ke dua, orang ke tiga yang bakal sadar, padahal kau sudah selamatkan mereka semua hanya sekarang, secara sengaja membohongi aku, menakut nakuti aku, agar aku merengek kepadamu, memohon kepadamu, agar aku semakin berterima kasih kepadamu, bukan begitu? Katakan, bukankah begitu?” Perlahan—lahan Siang—tok Thaysu membuka matanya kembali, menatapnya dengan sorot mata tajam, sampai lama, lama kemudian, sekulum senyuman aneh lagi misterius kembali tersungging diujung bibirnya. Walaupun Un Tay—tay merasa senyuman itu sedikit kalap, sedikit menakutkan, tapi begitu melihat senyuman tersebut, setitik pengharapan yang semula masih mengambang, kini terasa makin mantap dan meyakinkan. Akhirnya Siang—tok Thaysu berkata: “Benar, masih ada orang ke dua, orang ke tiga yang akan sadar” Un Tay—tay segera melompat bangun, serunya kegirangan: “Siapakah dia? Siapakah dia?” “orang ke dua adalah dia!” kata Siang—tok Thaysu sambil menuding ke arah Leng Cing-peng. “Dia? Dia . . . . . .. bukankah dia sudah tiada harapan lagi!” Senyuman diujung bibir Siang—tok Thaysu nampak semakin kentara, sahutnya: “Jika orang lain tak sanggup selamatkan jiwanya, memangnya loceng pun tak sanggup? Apalagi dia masih terhitung cucu muridku, tentu saja aku harus selamatkan dia” Kejut bercampur girang mencekam perasaan Un Tay-tay, lewat sesaat kemudian ia bertanya lagi: “Lalu siapa..... siapa orang ke tiga?” “Dia!” kali ini Siang—tok Thaysu menuding ke arah Leng It-hong. “Dia?” jerit Un Tay—tay tercekat, “tapi . . . . . .. tapi . . . . . ..” Siang—tok Thaysu mendongakkan kepalanya tertawa seram. “Tubuh dewa racun segera akan terwujud” teriaknya, “sekarang loceng akan menjadi jagoan tak terkalahkan dikolong langit, akulah yang akan memegang kekuasaan mati hidup setiap umat persilatan, hahahaha . . . . ..” Semakin tertawa ia semakin bangga, makin tertawa semakin kalap. Untuk kesekian kalinya Un Tay—tay jatuh terkapar, jatuh untuk tak mampu berdiri lagi. Dalam pada itu paras muka Sui Leng—kong, Gi Beng serta Gi Teng telah berubah jadi hijau keabu—abuan, jelas nyawa mereka sudah berada ditepi jurang kematian. Un Tay—tay sadar, hanya dibutuhkan sepatah kata darinya maka dua orang diantara rekannya akan lolos dari bahaya maut, tapi haruskah dia mengorbankan rekannya yang ke tiga? Siapa yang harus dikorbankan? Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia sanggup buka suara? Terdengar Siang—tok Thaysu berkata lagi dengan suara dingin: “Ke tiga orang itu sudah keracunan hebat, jika kau terlambat mengambil keputusan untuk menolong yang mana, aku kuatir nyawa mereka sudah keburu melayang lebih dahulu” Un Tay-tay menarik napas dingin, air mata kembali berlinang membasahi pipinya. Selama hidup sudah terlalu sering dia mengambil keputusan penting, tapi keputusan yang harus diambil sekarang justru punya keterkaitan yang besar dengan mati hidup seseorang, dia merasa terjerumus dalam perangkap yang sangat dalam, belum pernah ia jumpai kesulitan yang demikian besarnya seperti sekarang. Siapa yang harus ditolong? Siapa yang tidak seharusnya ditolong? Sambil menggigit bibir dia mencoba memberitahukan kepada diri sendiri: “Bagaimanapun juga aku harus selamatkan nyawa Sui Leng—kong, karena dua orang yang lain sama sekali tidak kukenal, sudahlah, kalau begitu aku tolong salah satu diantara mereka” Ia berpaling ke arah Gi Beng dan Gi Teng, kemudian bertanya lagi kepada diri sendiri: “Tapi diantara mereka berdua, siapa yang harus kutolong?” Dengan termangu dia awasi wajah kedua orang itu, kalau dilihat dari raut mukanya mereka berdua nampak begitu ramah, begitu baik, walaupun berada dalam ketidak berdayaan, sekulum pengharapan masih tersungging diujung bibir mereka. Terbayang kembali bagaimana dia harus segera mengambil keputusan, memutuskan nyawa mana diantara mereka berdua yang harus segera ditolong, kembali Un Tay—tay merasakan goncangan jiwa yang luar biasa, tubuhnya sampai menggigil keras. Tanggung jawab moral yang terbeban dipundaknya kelewat berat, keputusan yang harus diambil kelewat menyiksa batin.
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Berpikir sampai disitu, ia merasa kecewa bercampur putus asa, matanya kembali dipejamkan rapat rapat. “Kalau sudah sadar, kenapa tidak bangkit berdiri?” terdengar Siang—tok Thaysu menegur lagi. Sekalipun tidak bicara namun dalam hati kembali Un Tay—tay berpikir: “Aku sudah kau racuni hingga kepayahan, mana mungkin bisa bangkit kembali? Rupanya kau malah berlagak pilon . . . . . . .. Mendadak ia merasakan pikirannya terang dan segar, pandangan matanya jelas, tanda tanda mata buram, kehilangan kekuatan II seperti apa yang dirasakan sebagai korban keracunan sama sekali hilang tak berbekas. Dengan perasaan girang cepat dia bangkit dan duduk. Rupanya dia sudah dipindahkan ke atas sebuah bukit, sementara Sui Leng-kong, Leng Cing-peng, Gi Beng, Gi Teng dan Leng It—hong masih berbaring disampingnya, hanya tidak diketahui apakah mereka masih hidup atau sudah mati? Ketika dia melirik kembali ke arah Siang—tok Thaysu, dilihatnya pendeta pemakan ular itu sedang duduk bersila dibawah sebatang pohon, walaupun dipandang pada siang hari dia tidak seseram kemarin malam namun paras mukanya tetap kelihatan dingin bagaikan salju. “Bukankah aku keracunan hebat. . . . . . .. II gumam Un Tay—tay terkejut bercampur keheranan. “Racun yang loceng gunakan sudah pasti dapat kupunahkan secara gampang” jawab Siang-tok Thaysu dingin. “Kenapa kau . . . . .. kau menolong aku?” “Kau telah selamatkan loceng, tentu saja loceng pun selamatkan dirimu” “Aku..... aku telah menolongmu?” Un Tay—tay tertegun. Sekulum senyuman aneh tersungging diujung bibir Siang—tok Thaysu, katanya: “Ketika tubuhmu roboh terjungkal tadi, kebetulan jatuh persis disisi kaki musuh loceng, begitu ia terperanjat maka tenaga sinkang nya pun ikut buyar, kalau tidak, belum tentu semudah ini loceng mampu mengalahkan dirinya” Un Tay-tay terkesiap, saking kagetnya dia duduk tertegun dengan mata terbelalak dan mulut melongo, sampai lama kemudian ia baru tertawa keras, teriaknya: “Ternyata aku malah membantumu, membantumu mengusir lawan tangguh . . . . . . . ..” Semakin nyaring suara tertawanya, makin deras air mata bercucuran membasahi wajahnya. “Bukan hanya membantu loceng saja” ujar Siang—tok Thaysu lebih jauh, “kalau bukan dorongan tanganmu, mungkin tubuh dewa racun milik loceng pun sudah musnah terhajar lemparan batu cadas” “Siapakah manusia berbaju hitam itu?” tanya Un Tay—tay kemudian sambil membesut air mata. “Buat apa kau menanyakan soal ini?” “Aku ingin menemukan orang itu, berlutut dihadapannya, minta kepadanya untuk mencincang tubuhku hingga hancur berkeping, kalau tidak selamanya aku tak bakal bisa hidup tenang” Siang—tok Thaysu tertawa dingin. “Sekalipun kusebut nama orang itupun belum tentu kau akan mengenalinya, apalagi sekalipun kau dapat menemukan dirinya, mungkin yang kau jumpai tak lebih hanya sesosok mayat” Kembali Un Tay—tay tertegun, akhirnya dia tak sanggup menahan diri lagi, meledaklah isak tangisnya yang amat menyedihkan hati. Selama hidup baru kali ini dia menangis dengan begitu sedihnya. Siang—tok Thaysu segera mendengus dingin. “Rupanya kau menyesal karena telah menolong loceng?” tegurnya. “Benar, lebih baik bunuhlah aku . . . . . ..” Perlahan Siang—tok Thaysu mendongakkan kepalanya memandang angkasa, kemudian katanya lagi: “Walaupun loceng tahu kalau kau memang tidak berniat membantuku, namun sepanjang hidup baru pertama kali ini kuterima pertolongan dari orang lain, bagaimana pun juga, hutang budi ini tetap harus kubayarkan kepadamu” Un Tay—tay sama sekali tidak menggubris perkataan itu, dia masih mendekam ditanah sambil menangis tersedu sedu, seperminum teh kemudian isak tangisnya baru mulai mereda, lambat laun kesadarannya pulih kembali, tiba tiba dia melompat bangun. Jika berganti Gi Beng atau Im Ceng sekalian, begitu tahu kalau tanpa sengaja mereka telah membantu kaum laknat dan manusia jahat, bisa jadi mereka segera akan menumbukkan kepalanya diatas dinding untuk bunuh diri. Tapi Un Tay—tay bukan manusia semacam itu, sekalipun tadi ia menangis sedih karena luapan emosinya namun kesadaran otaknya jauh mengungguli gejolak emosi, begitu berhasil menguasahi diri teriaknya: “Baik, kau bilang mau membayar hutang budi ini? Dengan cara apa kau hendak membayarnya?” “Apapun permintaanmu, asal bisa loceng lakukan, pasti tak akan kutampik permintaanmu itu” “Kau sendiri yang berjanji?” “Selama hidup loceng pantang mengobral janji, tapi kau pun mesti ingat, tadi kau hanya dua kali membantu loceng maka mulai sekarang loceng pun hanya akan menuruti permintaanmu sebanyak dua kali” “Paling tidak kau harus selamatkan rekan rekanku terlebih dulu” “Baik...... tinggal satu permintaan” Sekarang Un Tay—tay baru merasa sedikit lega, bagaimana pun juga dia telah selamatkan nyawa berapa orang rekannya, paling tidak pertolongan ini bisa digunakan untuk menebus dosanya hari ini. Siapa tahu setelah lewat berapa saat kemudian Siang—tok Thaysu masih tetap duduk tanpa bergerak. Un Tay—tay tak mampu menahan diri lagi, segera tegurnya: “Kenapa kau belum juga turun tangan?” Siang—tok Thaysu mendengus dingin. “Hmmm, kau belum menunjuk siapa yang harus kutolong, bagaimana mungkin loceng bisa turun tangan?” Tercekat perasaan Un Tay-tay, jeritnya: “Menunjuk yang mana? Tentu saja kau harus menolong mereka bertiga” Dia memang sengaja hanya menyebut tiga orang, karena perempuan ini tahu Leng Cing-peng sudah tak punya harapan lagi untuk ditolong. Kembali Siang—tok Thaysu tertawa dingin. “Ke tiga orang itu tak ada sangkut pautnya dengan diriku, kenapa loceng mesti mengobral tenaga untuk selamatkan mereka semua?” “Tapi...... bukankah kau telah berjanji?” “Benar, loceng memang berjanji akan turun tangan dua kali untuk membayar hutang budi ini, tapi jangan lupa, hanya dua kali, sementara disini ada tiga orang” “Jadi kau.... kau hanya bersedia menolong dua orang? Begitu? Benar?” suara Un Tay—tay kedengaran sedikit gemetar. Siang—tok Thaysu manggut manggut, perlahan ia pejamkan mata dan tidak berbicara lagi. “Tapi disini terdapat tiga orang, kau suruh aku tidak memilih yang mana? Kau..... kau.... kau biarkan seseorang yang tiada dendam sakit hati denganku harus tewas secara mengenaskan dihadapanmu?” Sekalipun dia menjerit dengan suara yang mengenaskan, namun paras muka Siang—tok Thaysu tetap kaku bagaikan patung, sama sekali tak tersentuh perasaan hatinya, bagaimanapun perempuan itu merengek atau memohon, Siang—tok Thaysu tetap berlagak seolah tidak mendengar. Akhirnya Un Tay—tay jatuh terduduk ke lantai, gumamnya dengan suara gemetar: “Keji...... kau sungguh keji, tak kusangka hatimu jahat, buas dan beracun, walaupun banyak manusia jahat yang pernah kujumpai selama ini, tapi kau adalah orang pertama. . . . . . . . ..” Berbicara sampai disitu, tiba tiba satu ingatan kembali melintas lewat dalam benaknya, dengan hati gembira teriaknya: “orang pertama, tadi kau bilang ‘kau adalah orang pertama yang sadar', itu berarti masih ada orang ke dua, orang ke tiga yang bakal sadar, padahal kau sudah selamatkan mereka semua hanya sekarang, secara sengaja membohongi aku, menakut nakuti aku, agar aku merengek kepadamu, memohon kepadamu, agar aku semakin berterima kasih kepadamu, bukan begitu? Katakan, bukankah begitu?” Perlahan—lahan Siang—tok Thaysu membuka matanya kembali, menatapnya dengan sorot mata tajam, sampai lama, lama kemudian, sekulum senyuman aneh lagi misterius kembali tersungging diujung bibirnya. Walaupun Un Tay—tay merasa senyuman itu sedikit kalap, sedikit menakutkan, tapi begitu melihat senyuman tersebut, setitik pengharapan yang semula masih mengambang, kini terasa makin mantap dan meyakinkan. Akhirnya Siang—tok Thaysu berkata: “Benar, masih ada orang ke dua, orang ke tiga yang akan sadar” Un Tay—tay segera melompat bangun, serunya kegirangan: “Siapakah dia? Siapakah dia?” “orang ke dua adalah dia!” kata Siang—tok Thaysu sambil menuding ke arah Leng Cing-peng. “Dia? Dia . . . . . .. bukankah dia sudah tiada harapan lagi!” Senyuman diujung bibir Siang—tok Thaysu nampak semakin kentara, sahutnya: “Jika orang lain tak sanggup selamatkan jiwanya, memangnya loceng pun tak sanggup? Apalagi dia masih terhitung cucu muridku, tentu saja aku harus selamatkan dia” Kejut bercampur girang mencekam perasaan Un Tay-tay, lewat sesaat kemudian ia bertanya lagi: “Lalu siapa..... siapa orang ke tiga?” “Dia!” kali ini Siang—tok Thaysu menuding ke arah Leng It-hong. “Dia?” jerit Un Tay—tay tercekat, “tapi . . . . . .. tapi . . . . . ..” Siang—tok Thaysu mendongakkan kepalanya tertawa seram. “Tubuh dewa racun segera akan terwujud” teriaknya, “sekarang loceng akan menjadi jagoan tak terkalahkan dikolong langit, akulah yang akan memegang kekuasaan mati hidup setiap umat persilatan, hahahaha . . . . ..” Semakin tertawa ia semakin bangga, makin tertawa semakin kalap. Untuk kesekian kalinya Un Tay—tay jatuh terkapar, jatuh untuk tak mampu berdiri lagi. Dalam pada itu paras muka Sui Leng—kong, Gi Beng serta Gi Teng telah berubah jadi hijau keabu—abuan, jelas nyawa mereka sudah berada ditepi jurang kematian. Un Tay—tay sadar, hanya dibutuhkan sepatah kata darinya maka dua orang diantara rekannya akan lolos dari bahaya maut, tapi haruskah dia mengorbankan rekannya yang ke tiga? Siapa yang harus dikorbankan? Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia sanggup buka suara? Terdengar Siang—tok Thaysu berkata lagi dengan suara dingin: “Ke tiga orang itu sudah keracunan hebat, jika kau terlambat mengambil keputusan untuk menolong yang mana, aku kuatir nyawa mereka sudah keburu melayang lebih dahulu” Un Tay-tay menarik napas dingin, air mata kembali berlinang membasahi pipinya. Selama hidup sudah terlalu sering dia mengambil keputusan penting, tapi keputusan yang harus diambil sekarang justru punya keterkaitan yang besar dengan mati hidup seseorang, dia merasa terjerumus dalam perangkap yang sangat dalam, belum pernah ia jumpai kesulitan yang demikian besarnya seperti sekarang. Siapa yang harus ditolong? Siapa yang tidak seharusnya ditolong? Sambil menggigit bibir dia mencoba memberitahukan kepada diri sendiri: “Bagaimanapun juga aku harus selamatkan nyawa Sui Leng—kong, karena dua orang yang lain sama sekali tidak kukenal, sudahlah, kalau begitu aku tolong salah satu diantara mereka” Ia berpaling ke arah Gi Beng dan Gi Teng, kemudian bertanya lagi kepada diri sendiri: “Tapi diantara mereka berdua, siapa yang harus kutolong?” Dengan termangu dia awasi wajah kedua orang itu, kalau dilihat dari raut mukanya mereka berdua nampak begitu ramah, begitu baik, walaupun berada dalam ketidak berdayaan, sekulum pengharapan masih tersungging diujung bibir mereka. Terbayang kembali bagaimana dia harus segera mengambil keputusan, memutuskan nyawa mana diantara mereka berdua yang harus segera ditolong, kembali Un Tay—tay merasakan goncangan jiwa yang luar biasa, tubuhnya sampai menggigil keras. Tanggung jawab moral yang terbeban dipundaknya kelewat berat, keputusan yang harus diambil kelewat menyiksa batin.