Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng
Benar saja, diantara tumpukan rumput terdapat berapa macam benda yang berbentuk aneh. Tapi..... darimana dia bisa tahu kalau dibalik tumpukan rumput ilalang terdapat benda yang berbentuk aneh? 00000 00000 00000 Akhirnya Gi Beng dan Gi Teng mendusin kembali dari pingsannya. Yang sadar terlebih dulu adalah Gi Beng, dia mengucak matanya berulang kali sambil mengawasi sekeliling tempat itu, tampak cahaya matahari menyinari seluruh bumi, tempat itu masih sama pemandangannya seperti apa yang terlihat sebelum ia pejamkan matanya tadi. Secara lamat lamat dia mencoba untuk mengingat kembali kejadian semalam, dia masih ingat secara tiba tiba dirinya tak bisa mendengar, kemudian tak bisa melihat, apa yang terjadi bagaikan sebuah impian yang buruk. Tapi ke mana perginya kawanan iblis jahat yang dijumpai dalam mimpi buruknya itu? Ke mana pula perginya ke dua orang perempuan yang sedang menangisi Thiat Ti0ng—t0ng? Ke mana pula perginya enci Sui? Keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhnya, masih untung kakaknya masih berada disisinya, dengan sekuat tenaga ia menggoncang tubuh Gi Teng lalu teriaknya: “Ayoh sadar, cepat sadar . . . . ..” Dengan perasaan terperanjat Gi Teng melompat bangun, dia baru menghembuskan napas lega setelah melihat Gi Beng berada disana, tapi setelah memandang sekejap seputar sana, dengan wajah bingung dan tak habis mengerti tanyanya: “Kenapa aku bisa berada disini?” “Kenapa kau bisa berada disini?” seru Gi Beng jengkel, “masa kau sendiripun tidak tahu?” “Aku . . . . .. aku tak ingat jelas . . . . ..” Gi Teng menggeleng. “Memangnya kau orang mati?” teriak Gi Beng sambil menghentakkan kakinya, “semalam kau.....” “semalam . . . . .. aaah, betul, semalam sepeninggal kau dan Sui Leng-kong, aku menunggu lama sekali, ketika tidak menjumpai kalian segera kembali maka aku pun menyusul untuk mencari kalian” “Aaaai, seharusnya kau sudah melakukan pencarian sejak awal” Gi Beng menghela napas panjang. Gi Teng mengernyitkan sepasang alis matanya, seakan sedang berusaha mengingat kembali kejadian yang telah dialami, katanya: “Aku sudah mencari kalian cukup lama namun tidak berhasil, pada saat itulah tiba tiba kudengar ada suara manusia maka segera kuhampiri, ternyata dia adalah seorang manusia berbaju serba hitam yang bercakar hitam, hanya sepasang mata iblisnya yang kelihatan, dia muncul dari balik kegelapan dan menghalangi perjalananku sambil merentangkan tangannya” “Aaah betul, dialah orangnya” jerit Gi Beng kaget. “Jadi kau.... kau pun sudah bertemu dengannya?” tanya Gi Teng terperanjat. “Jangan kau tanya dulu persoalan itu, katakan bagaimana selanjutnya?” “Dalam terperanjatnya aku segera menghardik, siapa tahu orang itu hanya menatapku dengan sepasang mata iblisnya, begitu dipandang berapa saat, entah kenapa mendadak timbul perasaan takut dihati kecilku, aku pingin kabur, tapi.... kakiku seakan sudah kabur dari tubuhku, aku tak sanggup bergerak, aku pingin menghindar dari tatapan matanya, itupun tak berhasil, s epasang mataku seolah melekat dengan tatapan matanya, seperti tak tahan untuk menengok dia terus” “Ke....kemudian?” Gi Beng semakin tercekat. Dengan wajah kebingungan, semakin tak mengerti Gi Teng melanjutkan: “Kemudian, entah bagaimana ceritanya aku berubah makin kebingungan, seakan menjadi tak sadar, aku tak paham apa yang telah kulakukan, akupun tak tahu apa yang telah kuucapkan, bahkan aku juga tak habis mengerti kenapa bisa tiba disini” “Aaah..... ilmu pembetot sukma!” bisik Gi Teng sambil menarik napas dingin. “Betul” sahut Gi Teng sambil tertawa getir, “kelihatannya aku bakal ketibang rejeki, kungfu yang ingin dilihat orang lainpun susahnya setengah mati ternyata malah sudah kucicipi kehebatannya . . . . . . ..” Setelah memandang sekejap sekitar sana, tiba tiba ia menjerit kaget: “Ke mana perginya Sui..... Sui Leng-kong?” Begitu menyinggung soal Sui Leng—k0ng, air mata kembali berderai membasahi pipi Gi Beng. “Dia . . . . .. dia . . . . . ..” Baru berucap dua kata, ia sudah menubruk Gi Teng sa mbil menangis tersedu sedu. Gi Teng makin terperanjat setelah menyaksikan ulah adiknya, bisiknya gemetar: “Jangan jangan dia sudah . . . . . . ..” Diiringi isak tangis yang amat sedih, Gi Beng menuturkan kembali kisah pengalaman yang dialami mereka selama ini. Belum selesai mendengarkan kisah pengalaman itu, tangan dan kaki Gi Teng sudah menjadi dingin bagaikan es, dia merasa seakan tubuhnya dilempar orang ke dalam kubangan salju yang sangat dingin, membuatnya menggigil kedinginan. Mereka berdua mencoba untuk menduga, mengapa bisa jatuh tak sadarkan diri? Mengapa tinggal mereka berdua disitu? peristiwa apa pula yang telah terjadi sehabis mereka jatuh tak sadarkan diri. Saat itu mereka berdua berada ditengah tanah perbukitan yang terpencil, selain tak dapat menentukan arah, tubuh merekapun terasa masih sangat lemas, dua bersaudara yang belum pernah merasa panik dan gelisah itu, kini nyaris dibuat gila saking bingungnya. “Bagaimanapun, kita harus segera menemukan dirinya” bisik Gi Teng kemudian. “Tapi.... ke mana kita harus mencarinya?” tanya Gi Beng dengan air mata berlinang. Gi Teng berdiri termangu, dia sendiripun tak tahu apa yang harus diperbuat. sampai lama kemudian, satu ingatan baru melintas dalam benak Gi Beng, segera serunya: “Aaah, ada akal, lebih baik kita temui Seng toako sekalian, minta mereka membantu kita untuk melakukan pelacakan, dengan jumlah yang lebih banyak, mungkin hasilnya juga beda” Usul ini memang usul terbaik diantara usul lainnya, tapi dimanakah posisi mereka sekarang? Kuil Sang—cing=—k0an dibukit Lau-san berada dimana? Ke dua orang itu tidak mengerti. Sekarang mereka hanya berharap bisa bertemu seseorang untuk ditanyai arah yang benar. Maka dengan langkah lebar mereka pun berjalan meninggalkan tempat itu, namun sudah sekian lama berjalan, belum juga dijumpai seorang manusiapun. Gi Beng sudah mulai merasakan matanya berkunang, kakinya lemas tak bertenaga, kini dia betul betul merasa sangat kecewa. Saat itulah mendadak terdengar suara bentakan nyaring berkumandang datang dari balik bukit di depan sana, terdengar seseorang mengumpat dengan penuh amarah: “Sudah lama aku mencarimu dan kaupun tahu akan hal ini, buat apa masih berlagak pilon?” Terdengar seseorang yang lain menyahut sambil tertawa: “Cayhe sungguh tak habis mengerti, ada urusan apa cianpwee mencari aku?” Walaupun Gi Beng dan Gi Teng tak dapat mengenali suara siapa orang yang menjawab belakangan, tapi mereka segera mengenali suara bentakan yang pertama tadi berasal dari Chee T0a—h0. Tak terlukiskan rasa girang dua bersaudara ini, tanpa ragu lagi cepat mereka berlarian menghampiri sumber suara itu. Terdengar Chee Toa-ho kembali membentak gusar: “Biar kau tidak tahu pun, hari ini aku tetap akan berusaha melenyapkan kau si bangsat cabul dari muka bumi, akan kulihat apakah kau masih berani merusak pagar ayu orang lain lagi” Menyusul suara bentakan nyaring, terdengarlah suara bentrokan senjata yang sangat ramai. Dengan perasaan girang Gi Beng serta Gi Teng mempercepat langkah kakinya, tak lama kemudian tibalah mereka didepan sebuah hutan, dari kejauhan sudah terdengar deruan angin serangan yang memekikkan telinga. Begitu asyiknya pertarungan itu berlangsung, hingga dua bersaudara Gi tiba disisi arena pun Chee Toa-ho masih belum menyadarinya. Dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang ganas dan telengas, setiap serangan yang dilancarkan saat itu boleh dibilang semuanya merupakan jurus jurus mematikan, seolah dia mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan lawannya hingga ingin secepatnya menghabisi nyawa musuh. Musuh yang sedang dihadapi adalah seorang pemuda berbaju perlente, seorang pemuda yang tidak dikenal Gi Beng maupun Gi Teng. Walaupun kungfu yang dimiliki pemuda itu cukup tangguh, nampak jelas dia masih bukan tandingan dari salah satu jago pedang pelangi itu, permainan pedangnya makin lama semakin kacau dan keteter hebat, kini dia hanya mampu bertahan. Dua bersaudara Gi merasa kurang leluasa untuk turut campur dalam pertarungan itu, merekapun tidak berusaha mencegah, karenanya hanya berdiri menonton disisi arena. Kelihatannya kedua orang yang sedang bertarung itu sama sekali tidak sadar akan kehadiran pihak ke tiga, mereka masih terlibat dalam pertarungan yang amat seru.] Khususnya Chee Toa-ho, semakin bertarung dia semakin naik pitam, bukan Cuma rambutnya pada berdiri bagai landak, sepasang matanya ikut berubah jadi merah padam. Sudah cukup lama Gi Beng dan Gi Teng kenal dengan jagoan ini, mereka pun seringkali menyaksikan ia bertarung melawan orang lain, namun selama ini belum pernah menyaksikan ia menyerang dengan begitu buas, kejam dan telengas seperti hari ini. Kini dia sudah mengembangkan ilmu pedangnya hingga mencapai pada puncaknya, setiap serangan yang dilancarkan ibarat pelangi yang membelah angkasa, membuat daun dan ranting berguguran, hawa pedang menyelimuti seluruh angkasa, pemandangan saat itu betul betul membetot sukma dan menggetarkan hati. Mendadak Chee T0a—h0 membentak nyaring, ditengah getaran cahaya pedang, satu tusukan kilat dilontarkan ke muka. Tak sempat menghindarkan diri. bahu pemuda itu segera tersambar hingga muncul sebuah luka memanjang yang cukup dalam. Sambil menjerit kesakitan kontan pemuda itu mengumpat: “Chee T0a—h0, apa maksudmu menghalangi perjalananku dan memaksa aku bertarung melawanmu? Kalau beraninya hanya menganiaya kau.muda, terhitung enghiong macam apa dirimu itu?” “Jika hari ini aku tak mampu melenyapkan bajingan cabul macam kau, nama besarku sebagai jago pedang berkopiah kuning baru terhitung hancur ditangan binatang macam dirimu” bala s Chee T0a—h0 penuh amarah. Sementara berbicara, secepat kilat ia lancarkan kembali tujuh tusukan maut. Kembali muncul berapa luka dalam di dada kiri pemuda itu, darah segar segera bercucuran membasahi tubuhnya, darah yang membentuk kuntum bunga merah diatas jubah suteranya yang halus. Dengan rasa takut bercampur ngeri pemuda itu berteriak keras: “Suhu! Susiok! Cepat kemari, tolong aku . . . . . ..! Chee T0a—h0 lagi edan, dia ingin membunuhku . . . . ..” “Ayoh berteriaklah!” jengek Chee Toa-ho sambil tertawa seram, “teriak lagi yang keras.... Hmm, biar kau berteriak sampai serak pun jangan harap Hek Seng-thian serta Suto Siau datang menolongmu” Sekarang Gi Teng serta Gi Beng baru tahu kalau pemuda perlente itu ternyata adalah murid Hek Seng-thian serta Suto Siau, mereka saling bertukar pandangan sekejap sambil berpikir: “Bukankah Sim Sin—pek satu aliran dengan Hek Seng-thian maupun Suto Siau? Kenapa Chee T0a—h0 begitu membenci pemuda itu seakan punya dendam kesuat sedalam lautan dan bersikeras ingin menghabisi nyawanya?” Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, tiba tiba terdengar
Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng
Benar saja, diantara tumpukan rumput terdapat berapa macam benda yang berbentuk aneh. Tapi..... darimana dia bisa tahu kalau dibalik tumpukan rumput ilalang terdapat benda yang berbentuk aneh? 00000 00000 00000 Akhirnya Gi Beng dan Gi Teng mendusin kembali dari pingsannya. Yang sadar terlebih dulu adalah Gi Beng, dia mengucak matanya berulang kali sambil mengawasi sekeliling tempat itu, tampak cahaya matahari menyinari seluruh bumi, tempat itu masih sama pemandangannya seperti apa yang terlihat sebelum ia pejamkan matanya tadi. Secara lamat lamat dia mencoba untuk mengingat kembali kejadian semalam, dia masih ingat secara tiba tiba dirinya tak bisa mendengar, kemudian tak bisa melihat, apa yang terjadi bagaikan sebuah impian yang buruk. Tapi ke mana perginya kawanan iblis jahat yang dijumpai dalam mimpi buruknya itu? Ke mana pula perginya ke dua orang perempuan yang sedang menangisi Thiat Ti0ng—t0ng? Ke mana pula perginya enci Sui? Keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhnya, masih untung kakaknya masih berada disisinya, dengan sekuat tenaga ia menggoncang tubuh Gi Teng lalu teriaknya: “Ayoh sadar, cepat sadar . . . . ..” Dengan perasaan terperanjat Gi Teng melompat bangun, dia baru menghembuskan napas lega setelah melihat Gi Beng berada disana, tapi setelah memandang sekejap seputar sana, dengan wajah bingung dan tak habis mengerti tanyanya: “Kenapa aku bisa berada disini?” “Kenapa kau bisa berada disini?” seru Gi Beng jengkel, “masa kau sendiripun tidak tahu?” “Aku . . . . .. aku tak ingat jelas . . . . ..” Gi Teng menggeleng. “Memangnya kau orang mati?” teriak Gi Beng sambil menghentakkan kakinya, “semalam kau.....” “semalam . . . . .. aaah, betul, semalam sepeninggal kau dan Sui Leng-kong, aku menunggu lama sekali, ketika tidak menjumpai kalian segera kembali maka aku pun menyusul untuk mencari kalian” “Aaaai, seharusnya kau sudah melakukan pencarian sejak awal” Gi Beng menghela napas panjang. Gi Teng mengernyitkan sepasang alis matanya, seakan sedang berusaha mengingat kembali kejadian yang telah dialami, katanya: “Aku sudah mencari kalian cukup lama namun tidak berhasil, pada saat itulah tiba tiba kudengar ada suara manusia maka segera kuhampiri, ternyata dia adalah seorang manusia berbaju serba hitam yang bercakar hitam, hanya sepasang mata iblisnya yang kelihatan, dia muncul dari balik kegelapan dan menghalangi perjalananku sambil merentangkan tangannya” “Aaah betul, dialah orangnya” jerit Gi Beng kaget. “Jadi kau.... kau pun sudah bertemu dengannya?” tanya Gi Teng terperanjat. “Jangan kau tanya dulu persoalan itu, katakan bagaimana selanjutnya?” “Dalam terperanjatnya aku segera menghardik, siapa tahu orang itu hanya menatapku dengan sepasang mata iblisnya, begitu dipandang berapa saat, entah kenapa mendadak timbul perasaan takut dihati kecilku, aku pingin kabur, tapi.... kakiku seakan sudah kabur dari tubuhku, aku tak sanggup bergerak, aku pingin menghindar dari tatapan matanya, itupun tak berhasil, s epasang mataku seolah melekat dengan tatapan matanya, seperti tak tahan untuk menengok dia terus” “Ke....kemudian?” Gi Beng semakin tercekat. Dengan wajah kebingungan, semakin tak mengerti Gi Teng melanjutkan: “Kemudian, entah bagaimana ceritanya aku berubah makin kebingungan, seakan menjadi tak sadar, aku tak paham apa yang telah kulakukan, akupun tak tahu apa yang telah kuucapkan, bahkan aku juga tak habis mengerti kenapa bisa tiba disini” “Aaah..... ilmu pembetot sukma!” bisik Gi Teng sambil menarik napas dingin. “Betul” sahut Gi Teng sambil tertawa getir, “kelihatannya aku bakal ketibang rejeki, kungfu yang ingin dilihat orang lainpun susahnya setengah mati ternyata malah sudah kucicipi kehebatannya . . . . . . ..” Setelah memandang sekejap sekitar sana, tiba tiba ia menjerit kaget: “Ke mana perginya Sui..... Sui Leng-kong?” Begitu menyinggung soal Sui Leng—k0ng, air mata kembali berderai membasahi pipi Gi Beng. “Dia . . . . .. dia . . . . . ..” Baru berucap dua kata, ia sudah menubruk Gi Teng sa mbil menangis tersedu sedu. Gi Teng makin terperanjat setelah menyaksikan ulah adiknya, bisiknya gemetar: “Jangan jangan dia sudah . . . . . . ..” Diiringi isak tangis yang amat sedih, Gi Beng menuturkan kembali kisah pengalaman yang dialami mereka selama ini. Belum selesai mendengarkan kisah pengalaman itu, tangan dan kaki Gi Teng sudah menjadi dingin bagaikan es, dia merasa seakan tubuhnya dilempar orang ke dalam kubangan salju yang sangat dingin, membuatnya menggigil kedinginan. Mereka berdua mencoba untuk menduga, mengapa bisa jatuh tak sadarkan diri? Mengapa tinggal mereka berdua disitu? peristiwa apa pula yang telah terjadi sehabis mereka jatuh tak sadarkan diri. Saat itu mereka berdua berada ditengah tanah perbukitan yang terpencil, selain tak dapat menentukan arah, tubuh merekapun terasa masih sangat lemas, dua bersaudara yang belum pernah merasa panik dan gelisah itu, kini nyaris dibuat gila saking bingungnya. “Bagaimanapun, kita harus segera menemukan dirinya” bisik Gi Teng kemudian. “Tapi.... ke mana kita harus mencarinya?” tanya Gi Beng dengan air mata berlinang. Gi Teng berdiri termangu, dia sendiripun tak tahu apa yang harus diperbuat. sampai lama kemudian, satu ingatan baru melintas dalam benak Gi Beng, segera serunya: “Aaah, ada akal, lebih baik kita temui Seng toako sekalian, minta mereka membantu kita untuk melakukan pelacakan, dengan jumlah yang lebih banyak, mungkin hasilnya juga beda” Usul ini memang usul terbaik diantara usul lainnya, tapi dimanakah posisi mereka sekarang? Kuil Sang—cing=—k0an dibukit Lau-san berada dimana? Ke dua orang itu tidak mengerti. Sekarang mereka hanya berharap bisa bertemu seseorang untuk ditanyai arah yang benar. Maka dengan langkah lebar mereka pun berjalan meninggalkan tempat itu, namun sudah sekian lama berjalan, belum juga dijumpai seorang manusiapun. Gi Beng sudah mulai merasakan matanya berkunang, kakinya lemas tak bertenaga, kini dia betul betul merasa sangat kecewa. Saat itulah mendadak terdengar suara bentakan nyaring berkumandang datang dari balik bukit di depan sana, terdengar seseorang mengumpat dengan penuh amarah: “Sudah lama aku mencarimu dan kaupun tahu akan hal ini, buat apa masih berlagak pilon?” Terdengar seseorang yang lain menyahut sambil tertawa: “Cayhe sungguh tak habis mengerti, ada urusan apa cianpwee mencari aku?” Walaupun Gi Beng dan Gi Teng tak dapat mengenali suara siapa orang yang menjawab belakangan, tapi mereka segera mengenali suara bentakan yang pertama tadi berasal dari Chee T0a—h0. Tak terlukiskan rasa girang dua bersaudara ini, tanpa ragu lagi cepat mereka berlarian menghampiri sumber suara itu. Terdengar Chee Toa-ho kembali membentak gusar: “Biar kau tidak tahu pun, hari ini aku tetap akan berusaha melenyapkan kau si bangsat cabul dari muka bumi, akan kulihat apakah kau masih berani merusak pagar ayu orang lain lagi” Menyusul suara bentakan nyaring, terdengarlah suara bentrokan senjata yang sangat ramai. Dengan perasaan girang Gi Beng serta Gi Teng mempercepat langkah kakinya, tak lama kemudian tibalah mereka didepan sebuah hutan, dari kejauhan sudah terdengar deruan angin serangan yang memekikkan telinga. Begitu asyiknya pertarungan itu berlangsung, hingga dua bersaudara Gi tiba disisi arena pun Chee Toa-ho masih belum menyadarinya. Dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang ganas dan telengas, setiap serangan yang dilancarkan saat itu boleh dibilang semuanya merupakan jurus jurus mematikan, seolah dia mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan lawannya hingga ingin secepatnya menghabisi nyawa musuh. Musuh yang sedang dihadapi adalah seorang pemuda berbaju perlente, seorang pemuda yang tidak dikenal Gi Beng maupun Gi Teng. Walaupun kungfu yang dimiliki pemuda itu cukup tangguh, nampak jelas dia masih bukan tandingan dari salah satu jago pedang pelangi itu, permainan pedangnya makin lama semakin kacau dan keteter hebat, kini dia hanya mampu bertahan. Dua bersaudara Gi merasa kurang leluasa untuk turut campur dalam pertarungan itu, merekapun tidak berusaha mencegah, karenanya hanya berdiri menonton disisi arena. Kelihatannya kedua orang yang sedang bertarung itu sama sekali tidak sadar akan kehadiran pihak ke tiga, mereka masih terlibat dalam pertarungan yang amat seru.] Khususnya Chee Toa-ho, semakin bertarung dia semakin naik pitam, bukan Cuma rambutnya pada berdiri bagai landak, sepasang matanya ikut berubah jadi merah padam. Sudah cukup lama Gi Beng dan Gi Teng kenal dengan jagoan ini, mereka pun seringkali menyaksikan ia bertarung melawan orang lain, namun selama ini belum pernah menyaksikan ia menyerang dengan begitu buas, kejam dan telengas seperti hari ini. Kini dia sudah mengembangkan ilmu pedangnya hingga mencapai pada puncaknya, setiap serangan yang dilancarkan ibarat pelangi yang membelah angkasa, membuat daun dan ranting berguguran, hawa pedang menyelimuti seluruh angkasa, pemandangan saat itu betul betul membetot sukma dan menggetarkan hati. Mendadak Chee T0a—h0 membentak nyaring, ditengah getaran cahaya pedang, satu tusukan kilat dilontarkan ke muka. Tak sempat menghindarkan diri. bahu pemuda itu segera tersambar hingga muncul sebuah luka memanjang yang cukup dalam. Sambil menjerit kesakitan kontan pemuda itu mengumpat: “Chee T0a—h0, apa maksudmu menghalangi perjalananku dan memaksa aku bertarung melawanmu? Kalau beraninya hanya menganiaya kau.muda, terhitung enghiong macam apa dirimu itu?” “Jika hari ini aku tak mampu melenyapkan bajingan cabul macam kau, nama besarku sebagai jago pedang berkopiah kuning baru terhitung hancur ditangan binatang macam dirimu” bala s Chee T0a—h0 penuh amarah. Sementara berbicara, secepat kilat ia lancarkan kembali tujuh tusukan maut. Kembali muncul berapa luka dalam di dada kiri pemuda itu, darah segar segera bercucuran membasahi tubuhnya, darah yang membentuk kuntum bunga merah diatas jubah suteranya yang halus. Dengan rasa takut bercampur ngeri pemuda itu berteriak keras: “Suhu! Susiok! Cepat kemari, tolong aku . . . . . ..! Chee T0a—h0 lagi edan, dia ingin membunuhku . . . . ..” “Ayoh berteriaklah!” jengek Chee Toa-ho sambil tertawa seram, “teriak lagi yang keras.... Hmm, biar kau berteriak sampai serak pun jangan harap Hek Seng-thian serta Suto Siau datang menolongmu” Sekarang Gi Teng serta Gi Beng baru tahu kalau pemuda perlente itu ternyata adalah murid Hek Seng-thian serta Suto Siau, mereka saling bertukar pandangan sekejap sambil berpikir: “Bukankah Sim Sin—pek satu aliran dengan Hek Seng-thian maupun Suto Siau? Kenapa Chee T0a—h0 begitu membenci pemuda itu seakan punya dendam kesuat sedalam lautan dan bersikeras ingin menghabisi nyawanya?” Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, tiba tiba terdengar