Cerita Silat | Rahasia Bukit Iblis | terjmh Kauw Tan Seng | Rahasia Bukit Iblis | Cersil Sakti | Rahasia Bukit Iblis pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Akan tetapi karena ia telah mengetahui dengan jelas mengenai perhubungan puterinya dengan Lim Lam, dan Lim Lam.mengatakannya bahwa apabila kakaknya yang ketiga tahun ini tidak kembali dan menghilang tanpa karena, maka pada tahun yang akan datang, giliran dialah yang menjadi tugas mengantar ibunya pergi. Hal ini menyangkut soal penghidupan puterinya kelak kemudian hari, maka dengan tidak memperdulikan akan dicela orang, ia terpaksa harus membuka pintu kamar itu, untuk mengetahui apa yang tersembunyi didalam—nya. Sama sekali tidak diduganya bahwa kesudahannya nihil. Maka dengan menghela napas panjang ia berkata pada Lim Lam: "Sie—heng, kemana sebenarnya ibumu pergi, dan apa yang dikerjakannya, hanya ia seorang yang mengetahuinya !" Lim Lam berkata : "Kiranya tidak akan hanya seorang yang mengetahui. Aku sudah terlebih dahulu berunding dengan kakakku yang ketiga." Lie Kie buru2 menyelakz "Ada siapa lagi ? Mari kita lekas2 menemuinya !" "Kakakku yang sulung dan yang kedua. Kini kukira kakakku yang ketiga pun sudah dapat mengetahuinya. Lain tahun aku sendiri pun akan mengetahui-nya juga!" Tak terhingga kegirangan Lie Kie, mendengar akan keterangan itu. Tengah mereka bertiga berdiri dikamar dengan termenung dan ingin meninggalkan kamar itu guna memikirkan lain daya yang harus diambil, mendadak Lie Kie menunjuk kepada patung itu seraya katanya: "Eh, apakah itu ?" Ketika Lie Tay Heng dan Lo Gek memandangnya, kiranya pada ce1ah2 baju asli yang dikenakan kepada patung itu nampak terkulai sehelai kertas putih. Lie Tay Heng segera menghampiri serta dicabut saja kertas itu, nampak bahwa kertas itu hanya sebesar telapak tangan dan pinggirnya ada bekas terbakar. Diketahuilah bahwa semula kertas itu tidak sekecil itu, tapi karena terbakar dan terbang tertiup angin ber—sama2 abu kertas dan melekat pada celah2 jahitan baju. Lim Lam berkata: "Kira2 dua bulan yang lampau, aku berdua kakakku ketiga sudah merasa curiga atas tingkah laku ibuku, maka dengan diam2 kami memperhatikan-nya. Pada suatu pagi, pernah nampak ibu mendukung abu kertas, dan dihamburkan keudara, setelah mana masih ia memandangnya untuk beberapa saat, baru ia kembali kedalam kamar !" Lie Tay Heng berkata: "Kertas ini masih tertampak tulisannya !" Bertiga mereka sama melihat, nampak ada tiga deretan tulisan, tetapi sudah tidak mengandung maksud yang sempu rna, tulisan itu sebagai berikut: " . . . . . . . .. dibawah bukit Mo Gay . . . . . . . .. puluhan tahun hati . . . . . . . .. tahun sembahyang . . . . . . . .. lima... II masih ada setengah baris tulisan yang telah terbakar separuh, hanya merupakan huruf Tionghoa "kati", dan beberapa coretan yang sudah tidak merupakan tulisan pula. coretan itu bagus sekali bentuknya. Lie Tay Heng berkata dengan hela—an napasnya: "orang mengatakan bahwa Tiat Pie Sian K0 mempunyai kepandaian ilmu surat berbareng ilmu silat yang sempurna, sungguh suatu perempuan yang jarang terdapat pada jaman ini, kebenarannya akan perkataan ini dapat kita percayai—nya !" Sebaliknya Lie Kie yang membacanya berulang kali, masih tidak mengerti apa maksud—nya. Maka diteruskannya sekalian meneliti keadaan patung itu, setelah diperiksanya seluruh tubuh patung itu. apapun tidak diketemukan lagi. Akhirnya Lie Tay Heng berkata: "Nampaknya sudah tiada apa2 lagi, mari kita pergi !" Lim Lam berkata : "Apa kita hanya begini saja sudah dapat pergi ? Jika ibu kembali dan mengetahuinya, apa nanti akan jadinya ?" Lie Tay Heng berkata: "Sie—heng legakanlah hatimu. Aku tentu dapat mencari Si Louw Pan Hidup Lo Gek. Nanti kita pulihkan keadaannya seperti semula." Sehabis berkata begitu lalu ia selipkan kembali kertas itu di—celah2 jahitan baju. Ketiga orang itu sudah dapat mengingat semua huruf2 yang terdapat dikertas itu, mereka diam2 meninggalkan kamar itu, pintunya dirapatkan begitu saja. Lie Tay Heng berdua anak perempuannya kembali kerumahnya sendiri, Lim Lam tinggal dikamarnya sendiri, berbolak-balik tak dapat tidur. Diulangnya tulisan2 diatas kertas tadi sampai beratus kali, tapi tidak juga dapat menebak apa arti maksudnya, hingga sampai hari sudah fajar baru ia dapat tidur. Entah sudah tidur berapa lamanya, tiba2 ia rasakan ditelingannya agak gatal, dan agaknya ada orang disampingnya. Ia terperanjat, dan hilanglah rasa gatalnya. Ia bangun sambil melompat, belum juga berdiri tetap, sudah terdengar suara ketawa yang empuk dan katanya: "Matahari sudah naik tinggi, masih kau belum bangun dari tempat tidur, betapa malasnya orang ini !" Mendengar akan suara itu Lim Lam jadi lega hatinya dan berkatalah: "Adik Kie, kau benar nakal ! Dan dimana Lo-pek ?" Dengan menyingkap rambutnya yang bagus Lie Kie menyawab: "Ayah ma1am2 juga telah berangkat ke kota Siang Yang mencari Lo Gek. Karena urusanmu, ia menjadi repot bukan main, siapa tahu kau enak2 tidur ?" Lim Lam jadi merah mukanya dan berkata: "Adik Kie, semalam Lo-pek mengatakan . . . . . . . . . . . .." "Mengatakan apa ?" tanya Lie Kie tak sabaran. Lim.Lam tersenyum tidak menyahut. Lie Kie teringat perkataan ayahnya semalam yang tidak2, maka disabat—kannya tangannya dan lari keluar, Lim.Lam mengejar dari belakang, berdua mereka kejar—mengejar sampai dipinggir jalan baru Lie Kie tercandak dan dicekal lengannya, berdua rubuh ditanah kerumput. Ketika itu hari raya Peh Cun baru saja berlalu, justru pada permulaan musim.panas. Lie Kie hanya mengenakan sepotong baju rangkap kain berwarna hijau. Walaupun sederhana nampaknya, tetapi tak dapat menutupi keelokannya yang menggiurkan orang. Lim.Lam tergerak hatinya. Maka berkatalah ia: "Adik Kie Lie Kie memotong perkataannya sambil balas menyebut: "Kakak Lam." Diwaktu ada kesempatan mereka berada berdua, Lie Kie selalu menggunakan sebutan ini memanggil Lim Lam. Tetapi hari ini sebutan itu pada telinga Lim Lam didengarnya sangat luar biasa manisnya, ia kesengsam hingga lupa menyahut. Lie Kie membelalakkan matanya kepada Lim Lam serta berseru : "Lim Lam!" Lim Lam tengah termenung, maka terkaget ia karena-nya, buru2 ia menanya: "Ada apa ?" Lie Kie berkata: "Beberapa huruf dalam halaman kertas itu sebenarnya apa maksudnya, apa kau sudah dapat menerangkannya ?" Lim.Lam berkata: "Belum, dan bagaimana dengan kau ?" Lie Kie berkata: "sudah tentu belum. Jika sudah mengerti, perlu apa aku menanyakannya kepadamu.” setelah berkata begitu ia lompat bangun, mematahkan sebuah ranting cabang pohon, ia duduk pada sebuah tonggak dan mencorat—coret tanah dengan ranting itu. Lim Lam jalan mendekati, maka nampaklah apa yang dicoret itu, kiranya Lie Kie ingat bagian2 yang terputus pada kertas itu, maka di jajarkan-nya tulisan itu menjadi begini: Dibawah bukit Mogai Puluhan tahun hati Tahun sembahyang Lima Kati. Lim Lam sendiri tadi malam semalam suntuk, pernah mengasah otaknya untuk memikirkan bagaimana kiranya yang dimaksudkan dengan sebelas huruf itu. Maka setelah nampak tulisan itu ia berkata: "M0 GAY nama bukit, artinya dibawah bukit Mo Gay." Lie Kie berkata: "Ini sudah selayaknya, dibawah huruf "puluhan tahun hati" mungkin ada huruf "darah', yang artinya selama puluhan tahun telah memeras tenaga yang memerlukan hati pikiran darah dan daging. Ini berarti bahwa selama puluhan tahun ini ibumu atau ayahmu dibawah bukit Mo Gay entah berbuat apa yang membutuhkan tenaga pikiran hati serta membuang darah daging dan keringat." Lim Lam berkata: "Ini tidak benar, andai kata mereka berbuat apa2 untuk suatu hal, mengapa ada itu huruf "sembahyang" ? Apakah ayahku mengalami suatu tangan jahat dan mendapat bencana sehingga tiap tahun ibuku pergi menyembahyangi—nya ? Dan kakakku yang sulung dan yang kedua, kemana pula perginya ? Lagi pula itu huruf "lima" dan huruf "kati" apa pula artinya ?" Lie Kie berkata: "Bolehkah kau tak ber—gegas2 semacam ini ?" Setelah mana ia meneruskan coretannya, sehingga dapat dirangkaikan menjadi maksud yang berikut : "Dibawah bukit Mo Gay, kami pernah menguras tenaga yang memerlukan banyak cape hati dan pikiran serta tenaga yang membutuhkan banyak darah dan daging, menyelesaikan suatu perkara yang hari sembahyangnya jatuh pada tanggal lima bulan lima tiap tahun." masih tinggal satu huruf "kati" belum juga mendapat tempat yang sesuai dalam rangkaian kata- ;tu, Lim Lam.membanyol katanya: "Tulis terus, aku akan dapat menebaknya !" Lie Kie dapat mempercayai—nya dan dikiranya sungguhz, maka ia menengadah seraya menanya : "Apa ? Coba lekas utarakan !" Lim.Lam menyawab dengan sedikitpun tiada berubah pada wajah mukanya, seraya katanya: "Masa sembahyang—nya tanggal lima. Barang sembahyangnya daging babi sepuluh kati !" Kakinya Lie Kie menjejak, tangannya mendadak menggentakkan ranting cabang pohon, dengan cepat ia menyerang jalan darah Kian Cee Hiat dibagian bahu Lim Lam. Dari siang2 Lim.Lam sudah menduga bahwa setelah Lie Kie mengetahui dirinya diperolok tentu akan turun tangan, maka ia sudah siap waspada, maka begitu nampak gerakan Lie Kie, ia segera lompat mundur. Amarahnya Lie Kie belum juga reda, maka sekali lagi tangannya mengayun, melesatlah sebuah biji teratai emas, sehelai sinar kuning emas dibawah sinar matahari meluncur kearah dimana Lim Lam sedang melompat. Tubuh Lim Lam sedang berada diangkasa, maka meskipun ia mengetahui Lie Kie tentu tidak dengan sepenuh tenaga menyerangnya, tetapi tubuhnya sedang mnmbul, tidak leluasa ia bergerak, jika sampai terkena Kim Lian Cie tentu mendapat malu, tengah ia mencabut pedang—nya yang panjang guna menyampok Kim Lian Cie itu, atau mendadak terdengar suara "S E R !" yang datang dari arah jalan, dan berbareng dengan itu nampak sehelai sinar hijau beradu dengan Kim Lian Cie dan ke—dua2nya meluncur jatuh kebawah. Nampak akan hal itu, Lim Lam jadi terkejut, pikir—nya Kim Lian Cie itu meskipun ditimpukkan oleh Lie Kie secara main2, tetapi jalannya sangat pesat, ditambah pula benda ini sangat kecil bentuknya. Sinar hijau yang datang belakangan itu kiranya adalah sinar Am Gie sebangsa paku segi—tiga, tapi toh dapat mengenai dengan tepat dan menyatuhkan Kim Lian Cie, maka ketepatan akan serangannya, serta iapun berdiri dan menunjuk-kan roman terkejut dan ke-heran2an. Buru2 ia lari menghampiri dan berdiri berendeng, akan kemudian terdengarlah suara tindakan orang keluar dari hutan bambu dan nampak seorang Hweshio (padri) besar, kakinya mengenakan kasut dari rumput, jalan menuju kearah mereka. Lim Lam berdua Lie Kie merasa heran, karena selama mereka tinggal disitu belu pernah ada orang beribadat berkunjung ketempatnya. Kiranya ternyata Hweeshio itulah yang tadi menimpuk jatuh Kim Lian Cie ! Entah siapakah Hweeshio ini, dan apa maksudnya dia datang kesitu. Tengah kedua orang itu berpikir, Hweeshio itu sudah mendatangi dengan per—1ahan2, sehingga membuatnya orang terperanjat, kiranya Hweeshio itu tubuhnya besar, tetapi roman mukanya luar biasa kurus keringnya, se—akan2 hanya tulang belaka, kedua alisnya sangat jarang dan kuning, begitupun matanya sangat celong dan kuning kering. Bentuk badan dengan kepalanya begitu tidak seimbangnya sehingga tak sedap dipandang. Pikirnya Lim Lam bahwa andai k ata mereka bersua diwaktu malam hari, tentu dikiranya dia seorang mayat hidup. Berhubung selewatnya hutan bambu tiada jalan besar, hanya satu jalan kecil yang menuju kerumah Lim Lam, maka setelah Hweeshio itu melewati hutan bambu, tidak dapat tidak Lim Lam harus maju menghampiri serta menegur dengan suara nyaring katanya: "Twa Suhu datang kesini ada keperluan apa ?" Hweeshio itu mengambil jalannya sendiri, ia tidak menoleh juga tidak menyahut, hanya mengawasi beberapa kali kearah tiga buah rumah petak itu, dengan rupa wayahnya makin buruk dan aneh nampaknya. Lim Lam sangat bercuriga dalam hatinya, ia memburu kesana dengan tangan memegang pegangan pedang seraya berkata: "Twa Hweeshio hendak mencari siapa?"
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Akan tetapi karena ia telah mengetahui dengan jelas mengenai perhubungan puterinya dengan Lim Lam, dan Lim Lam.mengatakannya bahwa apabila kakaknya yang ketiga tahun ini tidak kembali dan menghilang tanpa karena, maka pada tahun yang akan datang, giliran dialah yang menjadi tugas mengantar ibunya pergi. Hal ini menyangkut soal penghidupan puterinya kelak kemudian hari, maka dengan tidak memperdulikan akan dicela orang, ia terpaksa harus membuka pintu kamar itu, untuk mengetahui apa yang tersembunyi didalam—nya. Sama sekali tidak diduganya bahwa kesudahannya nihil. Maka dengan menghela napas panjang ia berkata pada Lim Lam: "Sie—heng, kemana sebenarnya ibumu pergi, dan apa yang dikerjakannya, hanya ia seorang yang mengetahuinya !" Lim Lam berkata : "Kiranya tidak akan hanya seorang yang mengetahui. Aku sudah terlebih dahulu berunding dengan kakakku yang ketiga." Lie Kie buru2 menyelakz "Ada siapa lagi ? Mari kita lekas2 menemuinya !" "Kakakku yang sulung dan yang kedua. Kini kukira kakakku yang ketiga pun sudah dapat mengetahuinya. Lain tahun aku sendiri pun akan mengetahui-nya juga!" Tak terhingga kegirangan Lie Kie, mendengar akan keterangan itu. Tengah mereka bertiga berdiri dikamar dengan termenung dan ingin meninggalkan kamar itu guna memikirkan lain daya yang harus diambil, mendadak Lie Kie menunjuk kepada patung itu seraya katanya: "Eh, apakah itu ?" Ketika Lie Tay Heng dan Lo Gek memandangnya, kiranya pada ce1ah2 baju asli yang dikenakan kepada patung itu nampak terkulai sehelai kertas putih. Lie Tay Heng segera menghampiri serta dicabut saja kertas itu, nampak bahwa kertas itu hanya sebesar telapak tangan dan pinggirnya ada bekas terbakar. Diketahuilah bahwa semula kertas itu tidak sekecil itu, tapi karena terbakar dan terbang tertiup angin ber—sama2 abu kertas dan melekat pada celah2 jahitan baju. Lim Lam berkata: "Kira2 dua bulan yang lampau, aku berdua kakakku ketiga sudah merasa curiga atas tingkah laku ibuku, maka dengan diam2 kami memperhatikan-nya. Pada suatu pagi, pernah nampak ibu mendukung abu kertas, dan dihamburkan keudara, setelah mana masih ia memandangnya untuk beberapa saat, baru ia kembali kedalam kamar !" Lie Tay Heng berkata: "Kertas ini masih tertampak tulisannya !" Bertiga mereka sama melihat, nampak ada tiga deretan tulisan, tetapi sudah tidak mengandung maksud yang sempu rna, tulisan itu sebagai berikut: " . . . . . . . .. dibawah bukit Mo Gay . . . . . . . .. puluhan tahun hati . . . . . . . .. tahun sembahyang . . . . . . . .. lima... II masih ada setengah baris tulisan yang telah terbakar separuh, hanya merupakan huruf Tionghoa "kati", dan beberapa coretan yang sudah tidak merupakan tulisan pula. coretan itu bagus sekali bentuknya. Lie Tay Heng berkata dengan hela—an napasnya: "orang mengatakan bahwa Tiat Pie Sian K0 mempunyai kepandaian ilmu surat berbareng ilmu silat yang sempurna, sungguh suatu perempuan yang jarang terdapat pada jaman ini, kebenarannya akan perkataan ini dapat kita percayai—nya !" Sebaliknya Lie Kie yang membacanya berulang kali, masih tidak mengerti apa maksud—nya. Maka diteruskannya sekalian meneliti keadaan patung itu, setelah diperiksanya seluruh tubuh patung itu. apapun tidak diketemukan lagi. Akhirnya Lie Tay Heng berkata: "Nampaknya sudah tiada apa2 lagi, mari kita pergi !" Lim Lam berkata : "Apa kita hanya begini saja sudah dapat pergi ? Jika ibu kembali dan mengetahuinya, apa nanti akan jadinya ?" Lie Tay Heng berkata: "Sie—heng legakanlah hatimu. Aku tentu dapat mencari Si Louw Pan Hidup Lo Gek. Nanti kita pulihkan keadaannya seperti semula." Sehabis berkata begitu lalu ia selipkan kembali kertas itu di—celah2 jahitan baju. Ketiga orang itu sudah dapat mengingat semua huruf2 yang terdapat dikertas itu, mereka diam2 meninggalkan kamar itu, pintunya dirapatkan begitu saja. Lie Tay Heng berdua anak perempuannya kembali kerumahnya sendiri, Lim Lam tinggal dikamarnya sendiri, berbolak-balik tak dapat tidur. Diulangnya tulisan2 diatas kertas tadi sampai beratus kali, tapi tidak juga dapat menebak apa arti maksudnya, hingga sampai hari sudah fajar baru ia dapat tidur. Entah sudah tidur berapa lamanya, tiba2 ia rasakan ditelingannya agak gatal, dan agaknya ada orang disampingnya. Ia terperanjat, dan hilanglah rasa gatalnya. Ia bangun sambil melompat, belum juga berdiri tetap, sudah terdengar suara ketawa yang empuk dan katanya: "Matahari sudah naik tinggi, masih kau belum bangun dari tempat tidur, betapa malasnya orang ini !" Mendengar akan suara itu Lim Lam jadi lega hatinya dan berkatalah: "Adik Kie, kau benar nakal ! Dan dimana Lo-pek ?" Dengan menyingkap rambutnya yang bagus Lie Kie menyawab: "Ayah ma1am2 juga telah berangkat ke kota Siang Yang mencari Lo Gek. Karena urusanmu, ia menjadi repot bukan main, siapa tahu kau enak2 tidur ?" Lim Lam jadi merah mukanya dan berkata: "Adik Kie, semalam Lo-pek mengatakan . . . . . . . . . . . .." "Mengatakan apa ?" tanya Lie Kie tak sabaran. Lim.Lam tersenyum tidak menyahut. Lie Kie teringat perkataan ayahnya semalam yang tidak2, maka disabat—kannya tangannya dan lari keluar, Lim.Lam mengejar dari belakang, berdua mereka kejar—mengejar sampai dipinggir jalan baru Lie Kie tercandak dan dicekal lengannya, berdua rubuh ditanah kerumput. Ketika itu hari raya Peh Cun baru saja berlalu, justru pada permulaan musim.panas. Lie Kie hanya mengenakan sepotong baju rangkap kain berwarna hijau. Walaupun sederhana nampaknya, tetapi tak dapat menutupi keelokannya yang menggiurkan orang. Lim.Lam tergerak hatinya. Maka berkatalah ia: "Adik Kie Lie Kie memotong perkataannya sambil balas menyebut: "Kakak Lam." Diwaktu ada kesempatan mereka berada berdua, Lie Kie selalu menggunakan sebutan ini memanggil Lim Lam. Tetapi hari ini sebutan itu pada telinga Lim Lam didengarnya sangat luar biasa manisnya, ia kesengsam hingga lupa menyahut. Lie Kie membelalakkan matanya kepada Lim Lam serta berseru : "Lim Lam!" Lim Lam tengah termenung, maka terkaget ia karena-nya, buru2 ia menanya: "Ada apa ?" Lie Kie berkata: "Beberapa huruf dalam halaman kertas itu sebenarnya apa maksudnya, apa kau sudah dapat menerangkannya ?" Lim.Lam berkata: "Belum, dan bagaimana dengan kau ?" Lie Kie berkata: "sudah tentu belum. Jika sudah mengerti, perlu apa aku menanyakannya kepadamu.” setelah berkata begitu ia lompat bangun, mematahkan sebuah ranting cabang pohon, ia duduk pada sebuah tonggak dan mencorat—coret tanah dengan ranting itu. Lim Lam jalan mendekati, maka nampaklah apa yang dicoret itu, kiranya Lie Kie ingat bagian2 yang terputus pada kertas itu, maka di jajarkan-nya tulisan itu menjadi begini: Dibawah bukit Mogai Puluhan tahun hati Tahun sembahyang Lima Kati. Lim Lam sendiri tadi malam semalam suntuk, pernah mengasah otaknya untuk memikirkan bagaimana kiranya yang dimaksudkan dengan sebelas huruf itu. Maka setelah nampak tulisan itu ia berkata: "M0 GAY nama bukit, artinya dibawah bukit Mo Gay." Lie Kie berkata: "Ini sudah selayaknya, dibawah huruf "puluhan tahun hati" mungkin ada huruf "darah', yang artinya selama puluhan tahun telah memeras tenaga yang memerlukan hati pikiran darah dan daging. Ini berarti bahwa selama puluhan tahun ini ibumu atau ayahmu dibawah bukit Mo Gay entah berbuat apa yang membutuhkan tenaga pikiran hati serta membuang darah daging dan keringat." Lim Lam berkata: "Ini tidak benar, andai kata mereka berbuat apa2 untuk suatu hal, mengapa ada itu huruf "sembahyang" ? Apakah ayahku mengalami suatu tangan jahat dan mendapat bencana sehingga tiap tahun ibuku pergi menyembahyangi—nya ? Dan kakakku yang sulung dan yang kedua, kemana pula perginya ? Lagi pula itu huruf "lima" dan huruf "kati" apa pula artinya ?" Lie Kie berkata: "Bolehkah kau tak ber—gegas2 semacam ini ?" Setelah mana ia meneruskan coretannya, sehingga dapat dirangkaikan menjadi maksud yang berikut : "Dibawah bukit Mo Gay, kami pernah menguras tenaga yang memerlukan banyak cape hati dan pikiran serta tenaga yang membutuhkan banyak darah dan daging, menyelesaikan suatu perkara yang hari sembahyangnya jatuh pada tanggal lima bulan lima tiap tahun." masih tinggal satu huruf "kati" belum juga mendapat tempat yang sesuai dalam rangkaian kata- ;tu, Lim Lam.membanyol katanya: "Tulis terus, aku akan dapat menebaknya !" Lie Kie dapat mempercayai—nya dan dikiranya sungguhz, maka ia menengadah seraya menanya : "Apa ? Coba lekas utarakan !" Lim.Lam menyawab dengan sedikitpun tiada berubah pada wajah mukanya, seraya katanya: "Masa sembahyang—nya tanggal lima. Barang sembahyangnya daging babi sepuluh kati !" Kakinya Lie Kie menjejak, tangannya mendadak menggentakkan ranting cabang pohon, dengan cepat ia menyerang jalan darah Kian Cee Hiat dibagian bahu Lim Lam. Dari siang2 Lim.Lam sudah menduga bahwa setelah Lie Kie mengetahui dirinya diperolok tentu akan turun tangan, maka ia sudah siap waspada, maka begitu nampak gerakan Lie Kie, ia segera lompat mundur. Amarahnya Lie Kie belum juga reda, maka sekali lagi tangannya mengayun, melesatlah sebuah biji teratai emas, sehelai sinar kuning emas dibawah sinar matahari meluncur kearah dimana Lim Lam sedang melompat. Tubuh Lim Lam sedang berada diangkasa, maka meskipun ia mengetahui Lie Kie tentu tidak dengan sepenuh tenaga menyerangnya, tetapi tubuhnya sedang mnmbul, tidak leluasa ia bergerak, jika sampai terkena Kim Lian Cie tentu mendapat malu, tengah ia mencabut pedang—nya yang panjang guna menyampok Kim Lian Cie itu, atau mendadak terdengar suara "S E R !" yang datang dari arah jalan, dan berbareng dengan itu nampak sehelai sinar hijau beradu dengan Kim Lian Cie dan ke—dua2nya meluncur jatuh kebawah. Nampak akan hal itu, Lim Lam jadi terkejut, pikir—nya Kim Lian Cie itu meskipun ditimpukkan oleh Lie Kie secara main2, tetapi jalannya sangat pesat, ditambah pula benda ini sangat kecil bentuknya. Sinar hijau yang datang belakangan itu kiranya adalah sinar Am Gie sebangsa paku segi—tiga, tapi toh dapat mengenai dengan tepat dan menyatuhkan Kim Lian Cie, maka ketepatan akan serangannya, serta iapun berdiri dan menunjuk-kan roman terkejut dan ke-heran2an. Buru2 ia lari menghampiri dan berdiri berendeng, akan kemudian terdengarlah suara tindakan orang keluar dari hutan bambu dan nampak seorang Hweshio (padri) besar, kakinya mengenakan kasut dari rumput, jalan menuju kearah mereka. Lim Lam berdua Lie Kie merasa heran, karena selama mereka tinggal disitu belu pernah ada orang beribadat berkunjung ketempatnya. Kiranya ternyata Hweeshio itulah yang tadi menimpuk jatuh Kim Lian Cie ! Entah siapakah Hweeshio ini, dan apa maksudnya dia datang kesitu. Tengah kedua orang itu berpikir, Hweeshio itu sudah mendatangi dengan per—1ahan2, sehingga membuatnya orang terperanjat, kiranya Hweeshio itu tubuhnya besar, tetapi roman mukanya luar biasa kurus keringnya, se—akan2 hanya tulang belaka, kedua alisnya sangat jarang dan kuning, begitupun matanya sangat celong dan kuning kering. Bentuk badan dengan kepalanya begitu tidak seimbangnya sehingga tak sedap dipandang. Pikirnya Lim Lam bahwa andai k ata mereka bersua diwaktu malam hari, tentu dikiranya dia seorang mayat hidup. Berhubung selewatnya hutan bambu tiada jalan besar, hanya satu jalan kecil yang menuju kerumah Lim Lam, maka setelah Hweeshio itu melewati hutan bambu, tidak dapat tidak Lim Lam harus maju menghampiri serta menegur dengan suara nyaring katanya: "Twa Suhu datang kesini ada keperluan apa ?" Hweeshio itu mengambil jalannya sendiri, ia tidak menoleh juga tidak menyahut, hanya mengawasi beberapa kali kearah tiga buah rumah petak itu, dengan rupa wayahnya makin buruk dan aneh nampaknya. Lim Lam sangat bercuriga dalam hatinya, ia memburu kesana dengan tangan memegang pegangan pedang seraya berkata: "Twa Hweeshio hendak mencari siapa?"