Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 179

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng

Bab 36. Badai di Padang rumput. Pintu gua menuju ke markas besar Perguruan Tay-ki-bun sebenarnya terletak sangat rahasia dan tertutup rapat, tapi suara pekikan nyaring yang berkumandang saat itu justru bersumber dari luar gua, begitu nyaring suaranya membuat semua orang merasa bergetar, membuat kendang telinga Semua orang merasa sakit. “Sungguh amat sempurna tenaga dalam yang dimiliki orang ini!” batin Un Tay-tay dengan perasaan terkesiap. Baru saja ingatan tersebut melintas, pikiran lain kembali menyelimuti perasaan hatinya, ia teringat kembali dengan suara pekikan panjang dari Lui-pian lojin sewaktu menggetarkan pintu gerbang kuil Siau-lim-sie tempo hari, pikirnya: “Jangan janga yang datang adalah Lui-pian lojin? Tapi kenapa pula dia berpekik nyaring seorang diri diluar Sana?” Apa yang sebenarnya terjadi? Un Tay-tay tak perlu berpikir lebih jauh karena segera diperoleh jawabannya. selesai berpekik nyaring Lui-pian lojin berseru: “Hey manusia yang bersembunyi dalam gua, cepat menggelinding keluar!” Semua orang merasa terperanjat, tiba tiba Im Gi melompat bangun, dengan satu gerakan cepat dia tampar wajah Thiat Cing-su keras keras. Dengan perasaan kaget bercampur ketakutan teriak Thiat Cing-su gemetar: “Kau..... kau orang tua . . . . .. “Kalau bukan gara gara kau membocorkan jejak kita, mana mungkin dia bisa menemukan kita berada disini?” teriak Im Gi gusar. Pucat keabu abuan wajah Thiat Cing-su saking takutnya, II bibirnya gemetar keras seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah katapun sanggup diucapkan. II “Samte, segera laksanakan hukum perguruan. . . . . .. tukas Im Gi lagi. Baru saja ia menyebut soal hukuman, suara pekikan yang bergema diluar gua kembali sudah berkumandang. “Kenapa kalian belum juga menggelinding keluar . . . . ..?” teriak Lui-pian Lojin dari luar gua, “hemmm..hemmm.... lohu sudah menduga kalau dibalik padang rumput pasti bersembunyi sesuatu, percuma saja kalian bersembunyi terus....” Begitu mendengar perkataan itu, Im Kiu—siau segera menghembuskan napas lega, ujarnya sambil menghela napas: “Ternyata dia belum berhasil menemukan jejak kita Semua, saat ini dia baru menaruh curiga saja, pekikan nyaring yang dia lakukan tak lebih hanya gertak sambal, berusaha menakut nakuti kita saja” Diam diam Thiat Cing-su ikut menghembuskan napas lega, dia berdiri sambil menundukkan kepalanya. Im Gi berdiri mematung dengan sepasang kepalannya menggenggam kencang, wajahnya nampak tersiksa dan penuh penderitaan. Melihat mimik muka orang tua itu, Un Tay-tay ikut menghela napas, pikirnya: “Kelihatannya orang tua ini sudah mulai menyesal karena salah menghajar Thiat Cing-su, tapi dengan tabiatnya yang keras . . . . . .. aaaai, dia lebih suka batinnya tersiksa ketimbang menghibur orang lain, orang macam begini tak nanti akan mengakui kesalahan sendiri” Ternyata dugaannya keliru, tiba tiba Im Gi dengan tangannya yang gemetar keras mulai membelai kepala Thiat Cing-su. Pemuda ini lahir dalam Perguruan Tay—ki—bun, tumbuh dewasa di Tay-ki-bun, selama dua puluhan tahun belum pernah ia jumpai ciangbunjin nya melakukan tindakan seperti ini, untuk sesaat dia malah berdiri tertegun dibuatnya. Dia sangka ciangbunjinnya ingin menghukum dirinya lagi, tubuhnya gemetar keras saking takutnya, meski begitu dia tetap berdiri ditempat sambil menggertak gigi, sama sekali tak berani menghindar. Im Gi semakin tersiksa batinnya setelah melihat kejadian ini, sambil menghela napas panjang katanya: “Kau tak usah takut nak, aku.... aku hanya . . . . . . ..aaaai!” Setelah menghentakkan kakinya berulang kali, lanjutnya: “Aku telah salah bersikap terhadap saudara tuamu, kini sudah seharusnya aku bersikap lebih baik terhadapmu, tapi..... aaai! Watak kerasku tak pernah bisa berubah” Perkataan semacam inipun belum pernah didengar Thiat Cing-su sebelumnya, dia nyaris tak percaya dengan pendengaran sendiri, wajahnya segera menampilkan perasaan terkejut bercampur gembira. Sepasang mata Im Gi pun menampilkan cahaya berkilat, dadanya nampak naik turun tak beraturan, lewat berapa saat kemudian akhirnya dia berkata kembali: “Nak, aku telah salah menuduhmu.... kau jangan membenciku” Thiat Cing-su segera menjatuhkan diri berlutut ke atas tanah, katanya dengan suara parau: “sudah sepantasnya bila kau orang tua melakukan sesuatu tindakan terhadap anak anaknya, kau tak usah berkata begitu . . . . . .. setelah ananda mendengar perkataan kau orang tua hari ini, sekalipun harus segera matipun aku..... aku tetap merasa gembira . . . . . ..” Pemuda keras kepala yang sebenarnya mempunyai watak ketus bagaikan seekor kerbau ini kontan mengucurkan air mata sehabis mendengar perkataan itu. Im Gi berdiri mematung bagaikan sebuah arca, diam diam dia melelehkan juga air matanya, air mata sedih. Sementara Im Kiu—siau diam diam mangut manggut, dia ikut terharu menyaksikan adegan itu, sedang Im Ting-ting mengawasi wajah ayahnya dengan penuh rasa hormat, sikapnya begitu santun seakan dia sedang memandang malaikat dari langit. Un Tay-tay sendiripun ikut terhanyut oleh suasana disana, untuk sesaat dia tak tahu haruskah merasa sedih? Atau girang? Manis? Atau getir? “Berubah, berubah . . . . . ..” gumamnya dihati, “akhirnya orang tua ini berubah juga, tapi apa alasannya hingga orang tua yang keras kepala ini tiba tiba berubah?” Terdengar Im Gi berkata dengan suara perlahan: “Kini anggota Thiat-hiat-tay-ki—bun tinggal kita berempat, mulai sekarang sampai hari kematianku, aku pasti akan bersikap baik kepada kalian, karena . . . . . . ..” Mendadak dia melengos ke arah lain sambil pejamkan matanya, setelah mengatur napas berapa saat, akhirnya ia berhasil juga menelan kembali air matanya yang nyaris meleleh keluar. Katanya dengan sedih: “Karena mulai sekarang, keadaan kita akan semakin sulit, penghidupan kita pun akan lebih sengsara ketimbang dulu, penderitaan yang harus kalian terima sudah lebih dari cukup. . . . . . ..” “Toako, lebih baik pergilah beristirahat dulu!” bujuk Im Kiu-Siau sambil menghela napas. Im Gi tertawa getir. “Bagaimana pun juga, aku harus sampaikan dulu perkataan ini” katanya. “Tapi . . . . . .. tapi..... biar tidak toako katakan pun, kami Semua sudah tahu” “Kau tahu . . . . . .. aaai! Tahukah kau, dalam menghadapi pertarungan yang sudah didepan mata, berapa besar kemungkinan bagi kita untuk meraih kemenangan? Nyaris boleh dikata tanpa harapan . . . . ..” Tiba tiba nada suaranya berubah penuh emosi, lanjutnya: “Tapi mustahil bagi kita untuk menghindari pertarungan itu, biar tahu bukan tandingan pun kita tetap akan bertarung sampai titik darah penghabisan. Inilah kewajiban yang harus kita berempat laksanakan sebagai anggota Thiat-hiat—tay—ki-bun yang penuh semangat . . . . . ..” “Bukan berempat, tapi berlima!” mendadak Un Tay-tay menyela. Perkataan itu kontan membuat paras muka Im Gi, Im Kiu-siau, Im Ting-ting maupun Thiat Cing-su berubah hebat. “Siapa bilang kau adalah anggota Perguruan Tay-ki-bun?” hardik Im Gi. “Aku adalah bini Im Ceng, tentu saja termasuk anggota Perguruan Tay-ki-bun, ketika semasa hidupnya dulu Im Ceng belum dapat mengucurkan darahnya demi Perguruan Tay—ki—bun, apa salahnya kalau sekarang aku mewakilinya untuk berjuang” “Kau bersungguh hati akan melakukannya?” Im Gi menatap tajam wajahnya sampai lama sekali sebelum bertanya. Un Tay-tay tertawa sendu, sahutnya: “Kalau bukan lantaran ingin berbuat begitu, mungkin sejak dulu aku sudah menyusul Im Ceng ke alam baka!” Baru saja ia berbicara sampai disitu, Im Ting—ting serta Thiat Cing-su sudah bercucuran air mata. Im Gi sendiripun seketika terpengaruh oleh gejolak emosi, serunya: “Kau pasti sudah mengetahui apa yang barusan kukatakan, perguruan Thiat—hiat-tay-ki-bun bakal memasuki masa yang paling sengsara dan tersiksa, apakah kau sanggup menerima penderitaan semacam itu?” “Kalau kuatir sengsara, aku sudah bunuh diri sejak dulu” Tiba tiba Im Gi melototkan sepasang matanya bulat bulat, bentaknya: “Kau benar benar rela mengorbankan nyawa demi Perguruan Tay—ki-bun?” “Un Tay-tay hidup sebagai anggota Perguruan Tay-ki-bun, matipun ingin jadi setan Perguruan Tay-ki-bun” “Apakah kau sudah tahu apa arti Thiat—hiat (darah baj a) dari perguruan kami?” Mula mula Un Tay-tay tertegun, tapi dengan cepat ia menyadari apa artinya, tanpa banyak bicara dia sambar golok milik Im Ting-ting yang terjatuh ditanah dan langsung dibabatkan keatas bahu sendiri. Dimana mata golok menyambar lewat, percikan darah segera menyembur ke mana mana. Tanpa berubah wajahnya bahkan berkerut keningpun tidak, Un Tay-tay menyahut lantang: “Inilah arti dari Thiat—hiat!” Baru selesai ia bicara, Im Ting-ting sudah memburu mendekat dan menegur dengan suara gemetar: “Enso.... kau...... kau sangat menderita” Kembali Un Tay-tay tertawa getir. “Setelah mendengar sebutan enso darimu, biar lebih sengsara pun apa artinya?” Dengan pandangan mata yang lembut ditatapnya mulut luka diatas dada Im Ting-ting, sebaliknya Im Ting-ting memperhatikan pula mulut luka dibahunya. Luka yang diderita kedua orang ini tidak terlampau parah, tapi babatan yang telah mereka lakukan bukan saja memperhatikan keberanian serta tekad mereka yang melebihi orang lain, bahkan disertai pula kobaran emosi yang membara. Mendadak Im Gi mendongakkan kepalanya dan tertawa keras, gumamnya: “Perempuan hebat! Perempuan bagus! Hanya perempuan dengan semangat semacam ini yang pantas menjadi anggota Thiat- h1at—Tay—ki—bun kami. Biarpun nasib perguruan sedang mengenaskan, tak disangka justru dapat bertemu perempuan bersemangat macam kalian” “Dimana lampau, ananda pun sudah banyak melakukan kesalahan” bisik Un Tay-tay lirih. “Manusia bukan nabi, siapa sih yang tak pernah melakukan kesalahan? Kesalahan dimasa lampau tak perlu dipikirkan lagi didalam hati, asal yang penting mulai sekarang tidak melakukan tindakan yang melanggar peraturan perguruan” Pada saat itulah suara pekikan panjang kembali bergema memekikkan telinga, bahkan berasal dari suatu tempat yang dekat sekali dari posisi mereka. Terdengar Lui-pian Lojin berteriak: “Jadi kalian benar benar tak mau keluar? Baiklah, lohu sendiripun tak berminat untuk tetap tinggal di padang rumput ini, akan lohu hitung sampai empat, jika kalian belum mau keluar juga, lohu segera akan membakar habis padang rumput ini . . . . . . . .. akan kulihat tokoh macam apakah kalian itu?” Setelah berhenti sejenak, dengan suara menggelegar bagai guntur dia mulai menghitung: “Satu. . . . . . ..” Apabila padang rumput itu sampai dibakar, maka dapat dipastikan kebakaran hebat akan melanda tempat itu, sekali kebakaran terjadi, siapa pun tak akan mampu menyelamatkannya, terlebih tak seorang pun mampu bersembunyi lagi dibalik rerumputan. Berubah hebat paras muka Im Kiu-siau, katanya: “Celaka, jika didengar dari suara menggelegar yang memekikkan telinga, jelas orang ini memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, biasanya orang semacam ini akan melaksanakan ancamannya bila tidak dituruti” “Jadi kalian belum tahu siapakah orang itu?” tanya Un Tay-tay. “sudah cukup lama kami semua bersembunyi dibalik padang rumput, baru semalam kami mendapat tahu kalau Suto Siau sekalian telah tiba disini, tapi kami tak mengira kalau mereka miliki jago silat setangguh ini, kamipun tak tahu siapa gerangan orang tersebut?” “Dia tak lain adalah Lui-pian Lojin!” bisik Un Tay-tay sambil menarik napas panjang. Begitu mendengar nama tersebut, sekujuru tubuh Im Gi sekalian gemetar keras. Dengan wajah berubah kata Im Kiu-siau: “Rupanya tokoh silat yang dimasa lalu hanya mendengar namanya dari cerita dongeng, kini sudah bermunculan di depan mata bahkan sejalan dengan Suto Siau sekalian?” “Aaaai..... panjang untuk diceritakan sebab musabab dibalik kesemuanya itu, tapi ananda yakin kawanan jago tangguh itu sedikit banyak pasti tersangkut urusan dendam dengan Perguruan Tay—ki-bun kita” Baru berbicara sampai disitu, kembali suara hitungan menggelegar: “Dua . . . . . . . .. sambil menundukkan kepala Im Kiu-Siau menghela napas. II “Pabila Lui-pian Lojin sejalan dengan Suto Siau sekalian, berarti harapan menang bagi kita semakin tipis, kini apa yang harus kita lakukan? Toako, silahkan menurunkan perintah” Im Gi ragu ragu sejenak, kemudian sepatah demi sepatah kata serunya: “Terjang . . . . . ..keluar!” Biar hanya kata yang singkat, namun terkandung perasaan gusar, sedih dan putus asa yang kental. sambil menggertak gigi ujar Im Kiu—siau pula: “Daripada kita semua dipaksa keluar oleh kobaran api, lebih baik sekarang juga kita menyerbu keluar, toh sama sama bakal mati, kenapa tidak mati dalam kondisi yang lebih gagah” sambil tertawa Im Gi menggeleng, tukasnya: “Bagus! Kau memang tak malu menjadi samte ku" Un Tay-tay tidak menyangka Im Kiu—siau yang begitu lembut penampilannya ternyata memiliki semangat yang begitu gagah, diam diam ia merasa kagum sekali. Dalam pada itu Im Kiu—siau telah melirik sekejap ke arah

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>