Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Lewat lama kemudian tubuhnya yang tinggi kekar bagaikan bukit karang itu mulai gemetar keras, tiba tiba ia menjerit lengking, sambil merobek pakaian dibagian dadanya dia membentak nyaring: “Siapa yang telah mencelakainya?” Un Tay-tay menggeleng, dia hanya pejamkan mata tanpa menjawab. Dengan sekali sambaran Im Gi mencengkeram rambut perempuan itu, jeritnya lagi: “Katakan! Cepat katakan! Hutang darah ini harus ditebus dengan lelehan darah!” Un Tay-tay masih tetap menggertak gigi rapat rapat, tak sepatah kata pun yang diucapkan. Tiba tiba Im Ting-ting menjatuhkan diri berlutut dihadapannya, dengan air mata berlinang pintanya: “Kumohon . . . . .. kumohon kepadamu, katakanlah nama musuh besar pembunuh samko ku, kalau tidak . . . . .. kalau tidak aku akan segera bunuh diri dihadapanmu” Air mata mulai bercucuran membasahi wajah Un Tay-tay, katanya pedih: “Bukan aku enggan menyebutkan nama musuh besarnya, justru karena sudah kukatakan pun tak ada gunanya . . . . .." “Kenapa? Kenapa tak berguna?” teriak Thiat Cing-su nyaring. “Karena tak seorang manusia pun di dunia ini yang sanggup membalaskan dendam sakit hatinya” kata Un Tay-tay sambil roboh ke tanah, “karena orang yang memaksanya mati adalah . . . . ..adalah Jit—h0 Nionio dari Pulau Siang-cun-to yang tak ada tandingannya” Sambil menjerit keras Im gi mundur tiga langkah ke belakang, ia jatuh terduduk diatas sebuah batu hijau. Dengan wajah pucat keabu abuan seru Im Kiu-siau pula: “Dia sudah mati? Apakah Tiong-tong tahu?” Tiba tiba Un Tay-tay mendongakkan kepalanya, sekarang dia sendiripun tak tahu yang meleleh diwajahnya itu air mata atau darah segar? “Thiat Tiong-tong sama sekali tidak tahu” sahutnya dengan suara parau, “karena.... karena Thiat Tiong-tong sudah mati duluan!” Sekalipun kawanan jago dari Perguruan Tay-ki-bun terhitung manusia dengan hati sekuat baja pun, tak urung mereka sangat terpukul juga setelah mendengar berita ini. Ketika Un Tay-tay selesai berkata, perubahan mimik muka Im Gi sekalian benar benar tak terlukiskan dengan perkataan apapun . . . . . . . .. memang tak seorangpun yang tega melukiskan perubahan wajah orang orang itu. Lama, lama kemudian, Im gi baru bertanya: “Ke....kenapa dia bisa mati?” Kakek yang selama ini tampil gagah dan ulet bagaikan lempengan baja itu sekarang gemetaran keras, semua kewibawan dan keangkerannya seolah tersapu bersih oleh air mata. “Aku terlebih tak boleh menyebut nama orang yang telah mencelakainya” jawab Un Tay-tay kaku. Mendadak Im Ting-ting meloloskan sebilah golok tajam dari balik sakunya lalu ditempelkan diatas dada sendiri. Dengan air mata bercucuran dan mata memerah bagaikan darah, sepatah demi sepatah dia mengancam: “Kalau kau enggan bicara, aku segera akan bunuh diri!” Sambil menggertak gigi dan air mata berlinang Un Tay-tay tetap menggeleng. “Baiklah!” mendadak Im Ting—ting menekan tangannya ke dalam, ujung golok pun seketika menghujam diatas dadanya, percikan darah segar berhamburan ke mana mana, asal dia menghujam sedikit lebih ke dalam niscaya ujung golok itu akan merobek jantungnya. Mati matian Un Tay-tay menarik tangannya, sambil menangis tersedu jeritnya: “Apakah kalian ingin aku mengatakannya? Baik, akan kukatakan, orang yang telah mencelakai Thiat Tiong-tong adalah . . . . . .. adalah..... Im Ceng . . . . . . .!” “Trangg!” golok itu jatuh rontok ke tanah. Im Ting-ting langsung jatuh tak sadarkan diri, sementara Thiat Cing—su tak sanggup bangkit berdiri. “Apa? Im Ceng?” seru Im Kiu-siau pula seperti kehilangan sukma, “benarkah begitu?” “Tidak! Bukan begitu, kalian..... lebih baik bunuhlah aku!” Sambil berseru dia segera menjatuhkan diri ke tanah. Cepat Im Kiu-siau membimbingnya bangun, katanya dengan nada mengenaskan: “Hidup sekian tahun memangnya aku belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak? Aku.....aku hanya merasa sayang, semestinya Tiong-tong adalah . . . . .. adalah seorang bocah yang mempunyai kemampuan hebat . . . . .." “Betul” sambung Im Gi pula sambil manggut manggut, “dia adalah seorang anak baik, bila Thian membiarkan dia hidup lebih lama lagi, niscaya dia akan melakukan karya maha besar untuk Perguruan Tay-ki-bun kita, hanya sayang . . . . .. hanya sayang.....” Mendadk ia mendongakkan kepalanya sambil berteriak kesal: “Thian, oooh Thian! Kenapa kau biarkan dia mati muda? Perguruan Tay-ki-bun sangat membutuhkan tenaganya, kenapa kau biarkan dia mati? Bagaimana dengan kami sekarang? Selama hidupnya dia memang banyak melakukan kesalahan, tapi semua kesalahan dia lakukan demi orang lain, kesalahan yang pantas dimaafkan . . . . . .. Selama hidup dia belum pernah melakukan kesalahan karena urusan pribadi . . . . . . .. “Betul” ujar Un Tay-tay pula sambil menangis, “kalian semua telah salah menuduhnya, kalau kalian sudah tahu bahwa dia itu II orang baik, semasa masih hidupnya kenapa kalian selalu memojokkan dirinya?” Sambil memukul tanah dengan tangannya, ia berteriak lebih jauh: “Bila kalian tahu kalau semua perbuatannya selama ini hanya demi orang lain, demi Perguruan Tay-ki-bun, kenapa semasa masih hidupnya, kalian justru menuduhnya sebagai murid murtad, penghianat perguruan? Sekarang dia sudah mati, percuma kalian mengucapkan perkataan semacam itu, sudah kelewat terlambat! selamanya dia..... dia tak pernah akan mendengar lagi” Im Gi mengepal sepasang tinjunya kuat kuat, meski tak berbicara maupun bergerak namun sorot matanya telah berubah jadi merah darah, rambutnya pada berdiri kaku bagai landak, tampangnya saat itu benar benar menakutkan. Pada saat itulah, mendadak dari luar gua berkumandang suara pekikan nyaring yang menusuk pendengaran.... 00000 00000 00000 Walaupun saat itu Thiat Tiong-tong belum mati, keadaannya sudah tak berbeda jauh dengan orang mati. Istana bawah tanah yang semula indah dan megah, kini telah berubah menjadi neraka dunia yang amat mengenaskan, gelak tertawa, teriakan canda yang dulu mewarnai suasana disitu kini hanya tersisa isak tangis yang memedihkan hati. Tak seorangpun diantara kawanan wanita itu yang bisa menghentikan isak tangisnya. Luka yang diderita San-san sebetulnya sudah mulai membaik, tapi sekarang tambah hari lukanya tambah parah dan berat, sampai akhirnya dia kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, Setiap hari kondisinya semakin memburuk dan tak pernah sadar. Setiap kali mendusin dari pingsannya, diapun mulai berteriak teriak: “Tolong maafkan aku . . . . .. maafkan aku..... aku mohon . . . . . . . .. Dia berusaha sekuat tenaga bergelut melawan maut, karena dia tahu, begitu mati maka selamanya tak ada kesempatan lagi baginya untuk menebus dosa. II Hanya dikarenakan dorongan emosinya, semua orang harus menanggung akibatnya, terkubur hidup hidup didalam ruang bawah yang lebih mengenaskan daripada neraka, apakah kesalahan besar yang telah dilakukan bisa ditebus hanya dengan sebuah kematian? Tapi yang membuatnya paling menyesal adalah gara-gara ulahnya, Thiat Tiong-tong ikut terkurung dalam ruang bawah tanah, dia lebih suka pemuda itu mencincangnya hingga hancur berkeping keping ketimbang menanggung rasa sesal yang membuatnya sangat tersiksa. Tapi sikap Thiat Tiong-tong terhadapnya justru amat tenang, pemuda itu malah menghiburnya: “Semuanya ini merupakan kehendak Thian, kau tak perlu menyesal” Penampilan anak muda itu memang sangat tenang dan sama sekali tak nampak panik, padahal siapa yang bisa membayangkan betapa menderita dan tersiksanya perasaan pemuda itu didalam hati? Masa hidupnya belum terlalu lama, saat itu dia masih harus berjuang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan besar, sementara orang yang paling dikasihi pun sedang menjalankan na sib tragis diluar sana. Tapi kini, dia sama sekali tak berdaya, dia tidak memiliki kemampuan untuk membantunya. Dia tak boleh mati, diapun tak ingin mati, tapi sayang dia tak berhasil menemukan cara yang tepat untuk hidup lebih jauh, diapun tak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk hidup terusm.. Kalau diharuskan hidup terus didalam ruangan bagaikan neraka ini, bukankah jauh lebih baik mati ketimbang hidup? Disamping kesemuanya itu, masih ada satu penyesalan besar yang masih mengganjal hatinya. Ia sempat bertanya kepada Yaate, memohon penjelasan dari si kaisar malam: “Aku mohon kepada kau orang tua, katakanlah rahasia yang menyelimuti Perguruan Tay-ki-bun kami, bila kau orang tua enggan mengatakannya, aku betul betul mati tak meram!” Tapi jawaban dari Kaisar Malam sungguh diluar dugaannya. “Rahasia apa? Siapa bilang ada rahasia?” Thiat Tiong-tong segera menjatuhkan diri berlutut, memohon kepadanya. Kaisar malam pun menjawab: “Sekalipun ada sesuatu rahasia, aku sendiripun tak tahu, lebih baik kau tak usah mencari tahu, dengan begitu kau bisa mati dengan perasaan tenang, Sebab kalau tidak, kau bisa menjadi gila, jadi sinting karena persoalan ini” Thiat Tiong-tong tidak paham maksud dari perkataannya itu, diapun tak mampu untuk bertanya lagi. Sebab sekalipun dia mengulang pertanyaan yang sama, belum tentu Kaisar Malam bersedia untuk menanggapi. Kakek maha sakti yang dimasa lalu menggetarkan kolong langit itu, kini hanya duduk melongo siang maupun malam, bukan Cuma tak bergerak, makan pun enggan. Ketika dia enggan melakukan sesuatu, maka tak seorang manusia pun dikolong langit yang dapat memaksanya. Ketika dia enggan mengucapkan sesuatu, Siapa pula manusia dikolong langit ini yang bisa memaksanya untuk mengucapkan sepatah kata? Kulit badannya yang semula kencang penuh berotot, kian hari kian bertambah kusut dan layu, mulai muncul banyak kerutan, sorot matanya yang semula tajam bagaikan sembilu pun makin lama semakin rendup, semakin tak bercahaya .... nu Tampaknya kekuatan hidup yang cemerlang sudah berlalu dengan mengikuti berjalannya sang waktu, seinci demi seinci bergerak lenyap dari dalam tubuhnya. Pelapukan yang terjadi tanpa suara tanpa wujud ini nampaknya segera akan memusnahkan seluruh kehidupannya, tiada seorang manusiapun didunia ini yang bisa menghalanginya, tak seorang pun dapat menolongnya. seorang manusia luar biasa kelihatannya segera akan roboh. Tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dialami Thiat Tiong-tong, kekuatan apa pula yang dia miliki untuk menopang kehidupan ini .... u? Kalau seseorang sudah kehilangan pengharapan, mungkinkah akan tumbuh semangat juang dalam dirinya? Ditengah keputus asaan, kematian makin lama semakin mendekat! Thiat Tiong-tong hanya bisa berdoa kepada Thian: “oooh Thian, kumohon kepadamu berilah penghidupan yang layak untuk Im Ceng, dialah satu satunya pengharapan untuk membangkitkan kembali kejayaan Perguruan Tay-ki-bun, semua pengharapan yang tersisa kini hanya ada diatas pundaknya” Tapi .... 0 dimanakah Im Ceng sekarang? Apakah diapun masih hidup? Thiat Tiong-tong rela mengorbankan segalanya asal bisa memperoleh berita tentang Im Ceng, tapi seandainya saat itu dia benar benar memperoleh berita tentang Im Ceng, mungkin pemuda ini sudah membenturkan kepalanya ke atas batu cadas dan bunuh diri.
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Lewat lama kemudian tubuhnya yang tinggi kekar bagaikan bukit karang itu mulai gemetar keras, tiba tiba ia menjerit lengking, sambil merobek pakaian dibagian dadanya dia membentak nyaring: “Siapa yang telah mencelakainya?” Un Tay-tay menggeleng, dia hanya pejamkan mata tanpa menjawab. Dengan sekali sambaran Im Gi mencengkeram rambut perempuan itu, jeritnya lagi: “Katakan! Cepat katakan! Hutang darah ini harus ditebus dengan lelehan darah!” Un Tay-tay masih tetap menggertak gigi rapat rapat, tak sepatah kata pun yang diucapkan. Tiba tiba Im Ting-ting menjatuhkan diri berlutut dihadapannya, dengan air mata berlinang pintanya: “Kumohon . . . . .. kumohon kepadamu, katakanlah nama musuh besar pembunuh samko ku, kalau tidak . . . . .. kalau tidak aku akan segera bunuh diri dihadapanmu” Air mata mulai bercucuran membasahi wajah Un Tay-tay, katanya pedih: “Bukan aku enggan menyebutkan nama musuh besarnya, justru karena sudah kukatakan pun tak ada gunanya . . . . .." “Kenapa? Kenapa tak berguna?” teriak Thiat Cing-su nyaring. “Karena tak seorang manusia pun di dunia ini yang sanggup membalaskan dendam sakit hatinya” kata Un Tay-tay sambil roboh ke tanah, “karena orang yang memaksanya mati adalah . . . . ..adalah Jit—h0 Nionio dari Pulau Siang-cun-to yang tak ada tandingannya” Sambil menjerit keras Im gi mundur tiga langkah ke belakang, ia jatuh terduduk diatas sebuah batu hijau. Dengan wajah pucat keabu abuan seru Im Kiu-siau pula: “Dia sudah mati? Apakah Tiong-tong tahu?” Tiba tiba Un Tay-tay mendongakkan kepalanya, sekarang dia sendiripun tak tahu yang meleleh diwajahnya itu air mata atau darah segar? “Thiat Tiong-tong sama sekali tidak tahu” sahutnya dengan suara parau, “karena.... karena Thiat Tiong-tong sudah mati duluan!” Sekalipun kawanan jago dari Perguruan Tay-ki-bun terhitung manusia dengan hati sekuat baja pun, tak urung mereka sangat terpukul juga setelah mendengar berita ini. Ketika Un Tay-tay selesai berkata, perubahan mimik muka Im Gi sekalian benar benar tak terlukiskan dengan perkataan apapun . . . . . . . .. memang tak seorangpun yang tega melukiskan perubahan wajah orang orang itu. Lama, lama kemudian, Im gi baru bertanya: “Ke....kenapa dia bisa mati?” Kakek yang selama ini tampil gagah dan ulet bagaikan lempengan baja itu sekarang gemetaran keras, semua kewibawan dan keangkerannya seolah tersapu bersih oleh air mata. “Aku terlebih tak boleh menyebut nama orang yang telah mencelakainya” jawab Un Tay-tay kaku. Mendadak Im Ting-ting meloloskan sebilah golok tajam dari balik sakunya lalu ditempelkan diatas dada sendiri. Dengan air mata bercucuran dan mata memerah bagaikan darah, sepatah demi sepatah dia mengancam: “Kalau kau enggan bicara, aku segera akan bunuh diri!” Sambil menggertak gigi dan air mata berlinang Un Tay-tay tetap menggeleng. “Baiklah!” mendadak Im Ting—ting menekan tangannya ke dalam, ujung golok pun seketika menghujam diatas dadanya, percikan darah segar berhamburan ke mana mana, asal dia menghujam sedikit lebih ke dalam niscaya ujung golok itu akan merobek jantungnya. Mati matian Un Tay-tay menarik tangannya, sambil menangis tersedu jeritnya: “Apakah kalian ingin aku mengatakannya? Baik, akan kukatakan, orang yang telah mencelakai Thiat Tiong-tong adalah . . . . . .. adalah..... Im Ceng . . . . . . .!” “Trangg!” golok itu jatuh rontok ke tanah. Im Ting-ting langsung jatuh tak sadarkan diri, sementara Thiat Cing—su tak sanggup bangkit berdiri. “Apa? Im Ceng?” seru Im Kiu-siau pula seperti kehilangan sukma, “benarkah begitu?” “Tidak! Bukan begitu, kalian..... lebih baik bunuhlah aku!” Sambil berseru dia segera menjatuhkan diri ke tanah. Cepat Im Kiu-siau membimbingnya bangun, katanya dengan nada mengenaskan: “Hidup sekian tahun memangnya aku belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak? Aku.....aku hanya merasa sayang, semestinya Tiong-tong adalah . . . . .. adalah seorang bocah yang mempunyai kemampuan hebat . . . . .." “Betul” sambung Im Gi pula sambil manggut manggut, “dia adalah seorang anak baik, bila Thian membiarkan dia hidup lebih lama lagi, niscaya dia akan melakukan karya maha besar untuk Perguruan Tay-ki-bun kita, hanya sayang . . . . .. hanya sayang.....” Mendadk ia mendongakkan kepalanya sambil berteriak kesal: “Thian, oooh Thian! Kenapa kau biarkan dia mati muda? Perguruan Tay-ki-bun sangat membutuhkan tenaganya, kenapa kau biarkan dia mati? Bagaimana dengan kami sekarang? Selama hidupnya dia memang banyak melakukan kesalahan, tapi semua kesalahan dia lakukan demi orang lain, kesalahan yang pantas dimaafkan . . . . . .. Selama hidup dia belum pernah melakukan kesalahan karena urusan pribadi . . . . . . .. “Betul” ujar Un Tay-tay pula sambil menangis, “kalian semua telah salah menuduhnya, kalau kalian sudah tahu bahwa dia itu II orang baik, semasa masih hidupnya kenapa kalian selalu memojokkan dirinya?” Sambil memukul tanah dengan tangannya, ia berteriak lebih jauh: “Bila kalian tahu kalau semua perbuatannya selama ini hanya demi orang lain, demi Perguruan Tay-ki-bun, kenapa semasa masih hidupnya, kalian justru menuduhnya sebagai murid murtad, penghianat perguruan? Sekarang dia sudah mati, percuma kalian mengucapkan perkataan semacam itu, sudah kelewat terlambat! selamanya dia..... dia tak pernah akan mendengar lagi” Im Gi mengepal sepasang tinjunya kuat kuat, meski tak berbicara maupun bergerak namun sorot matanya telah berubah jadi merah darah, rambutnya pada berdiri kaku bagai landak, tampangnya saat itu benar benar menakutkan. Pada saat itulah, mendadak dari luar gua berkumandang suara pekikan nyaring yang menusuk pendengaran.... 00000 00000 00000 Walaupun saat itu Thiat Tiong-tong belum mati, keadaannya sudah tak berbeda jauh dengan orang mati. Istana bawah tanah yang semula indah dan megah, kini telah berubah menjadi neraka dunia yang amat mengenaskan, gelak tertawa, teriakan canda yang dulu mewarnai suasana disitu kini hanya tersisa isak tangis yang memedihkan hati. Tak seorangpun diantara kawanan wanita itu yang bisa menghentikan isak tangisnya. Luka yang diderita San-san sebetulnya sudah mulai membaik, tapi sekarang tambah hari lukanya tambah parah dan berat, sampai akhirnya dia kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, Setiap hari kondisinya semakin memburuk dan tak pernah sadar. Setiap kali mendusin dari pingsannya, diapun mulai berteriak teriak: “Tolong maafkan aku . . . . .. maafkan aku..... aku mohon . . . . . . . .. Dia berusaha sekuat tenaga bergelut melawan maut, karena dia tahu, begitu mati maka selamanya tak ada kesempatan lagi baginya untuk menebus dosa. II Hanya dikarenakan dorongan emosinya, semua orang harus menanggung akibatnya, terkubur hidup hidup didalam ruang bawah yang lebih mengenaskan daripada neraka, apakah kesalahan besar yang telah dilakukan bisa ditebus hanya dengan sebuah kematian? Tapi yang membuatnya paling menyesal adalah gara-gara ulahnya, Thiat Tiong-tong ikut terkurung dalam ruang bawah tanah, dia lebih suka pemuda itu mencincangnya hingga hancur berkeping keping ketimbang menanggung rasa sesal yang membuatnya sangat tersiksa. Tapi sikap Thiat Tiong-tong terhadapnya justru amat tenang, pemuda itu malah menghiburnya: “Semuanya ini merupakan kehendak Thian, kau tak perlu menyesal” Penampilan anak muda itu memang sangat tenang dan sama sekali tak nampak panik, padahal siapa yang bisa membayangkan betapa menderita dan tersiksanya perasaan pemuda itu didalam hati? Masa hidupnya belum terlalu lama, saat itu dia masih harus berjuang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan besar, sementara orang yang paling dikasihi pun sedang menjalankan na sib tragis diluar sana. Tapi kini, dia sama sekali tak berdaya, dia tidak memiliki kemampuan untuk membantunya. Dia tak boleh mati, diapun tak ingin mati, tapi sayang dia tak berhasil menemukan cara yang tepat untuk hidup lebih jauh, diapun tak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk hidup terusm.. Kalau diharuskan hidup terus didalam ruangan bagaikan neraka ini, bukankah jauh lebih baik mati ketimbang hidup? Disamping kesemuanya itu, masih ada satu penyesalan besar yang masih mengganjal hatinya. Ia sempat bertanya kepada Yaate, memohon penjelasan dari si kaisar malam: “Aku mohon kepada kau orang tua, katakanlah rahasia yang menyelimuti Perguruan Tay-ki-bun kami, bila kau orang tua enggan mengatakannya, aku betul betul mati tak meram!” Tapi jawaban dari Kaisar Malam sungguh diluar dugaannya. “Rahasia apa? Siapa bilang ada rahasia?” Thiat Tiong-tong segera menjatuhkan diri berlutut, memohon kepadanya. Kaisar malam pun menjawab: “Sekalipun ada sesuatu rahasia, aku sendiripun tak tahu, lebih baik kau tak usah mencari tahu, dengan begitu kau bisa mati dengan perasaan tenang, Sebab kalau tidak, kau bisa menjadi gila, jadi sinting karena persoalan ini” Thiat Tiong-tong tidak paham maksud dari perkataannya itu, diapun tak mampu untuk bertanya lagi. Sebab sekalipun dia mengulang pertanyaan yang sama, belum tentu Kaisar Malam bersedia untuk menanggapi. Kakek maha sakti yang dimasa lalu menggetarkan kolong langit itu, kini hanya duduk melongo siang maupun malam, bukan Cuma tak bergerak, makan pun enggan. Ketika dia enggan melakukan sesuatu, maka tak seorang manusia pun dikolong langit yang dapat memaksanya. Ketika dia enggan mengucapkan sesuatu, Siapa pula manusia dikolong langit ini yang bisa memaksanya untuk mengucapkan sepatah kata? Kulit badannya yang semula kencang penuh berotot, kian hari kian bertambah kusut dan layu, mulai muncul banyak kerutan, sorot matanya yang semula tajam bagaikan sembilu pun makin lama semakin rendup, semakin tak bercahaya .... nu Tampaknya kekuatan hidup yang cemerlang sudah berlalu dengan mengikuti berjalannya sang waktu, seinci demi seinci bergerak lenyap dari dalam tubuhnya. Pelapukan yang terjadi tanpa suara tanpa wujud ini nampaknya segera akan memusnahkan seluruh kehidupannya, tiada seorang manusiapun didunia ini yang bisa menghalanginya, tak seorang pun dapat menolongnya. seorang manusia luar biasa kelihatannya segera akan roboh. Tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dialami Thiat Tiong-tong, kekuatan apa pula yang dia miliki untuk menopang kehidupan ini .... u? Kalau seseorang sudah kehilangan pengharapan, mungkinkah akan tumbuh semangat juang dalam dirinya? Ditengah keputus asaan, kematian makin lama semakin mendekat! Thiat Tiong-tong hanya bisa berdoa kepada Thian: “oooh Thian, kumohon kepadamu berilah penghidupan yang layak untuk Im Ceng, dialah satu satunya pengharapan untuk membangkitkan kembali kejayaan Perguruan Tay-ki-bun, semua pengharapan yang tersisa kini hanya ada diatas pundaknya” Tapi .... 0 dimanakah Im Ceng sekarang? Apakah diapun masih hidup? Thiat Tiong-tong rela mengorbankan segalanya asal bisa memperoleh berita tentang Im Ceng, tapi seandainya saat itu dia benar benar memperoleh berita tentang Im Ceng, mungkin pemuda ini sudah membenturkan kepalanya ke atas batu cadas dan bunuh diri.