Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 181

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng

“Harus menunggu sampai kapan?” “sampai bertemu dengan Seng Toa—nio” Lui—pian Lojin menggelengkan kepalanya berulang kali sambil tertawa. “Dasar budak yang banyak akal” serunya, “terkadang bahkan lohu pun bisa kau tipu habis habisan, sudah, tak usah menggubris dia lagi, ayoh kita teguk tiga cawan arak” Sekali lagi dia menepuk bahu Im Gi lalu membalikkan badan dan beranjak pergi dengan langkah lebar. Memandang bayangan punggungnya Im Gi rada sangsi sejenak, tapi akhirnya dia mengikuti dari belakang dengan langkah lebar. Kedua orang ini bukan saja memiliki perawakan tubuh yang sama, gaya, watak maupun penampilannya pun tidak banyak berbeda, jadi tidak aneh kalau mereka berdua saling tertarik. Bedanya, Lui—pian Lojin selalu hidup santai dan mengembara dalam dunia persilatan sebagai orang yang latah, dia tak pernah pandang sebelah matapun terhadap umat persilatan di dunia, karena itu sikapnya lebih terbuka dan seenaknya. Berbeda dengan Im Gi yang mesti memikul dendam kesumat perguruan, bertanggung jawab atas keselamatan serta keutuhan Perguruan Tay-ki-bun, dalam keadaan seperti ini tak aneh dia selalu tampil serius dan jarang sekali tertawa. Begitulah, berangkatlah rombongan manusia itu menerobos masuk ke balik padang rumput, sepanjang jalan hanya rerumputan lebat yang terbentang didepan mata, tak nampak sesosok bayangan manusiapun. Mendadak Lui—pian Lojin menghentikan langkahnya sambil memasang telinga mendengarkan sesuatu, paras mukanya seketika berubah jadi serius, agaknya ia berhasil mendengar sesuatu suara yang mencurigakan. Diam diam Un Tay—tay tertawa geli, pikirnya: “Mana mungkin ada seseorang disitu? Jangan lagi manusia, bayangan setan pun mungkin tak ada, tak heran kalau semua orang mengatakan kalau sepanjang hari dia hanya curiga melulu” Berpikir sampai disitu, tak tahan serunya: “Kau . . . . . . . ..” Tapi belum sempat dia menyelesaikan perkataannya, tahu tahu mulutnya sudah dibekap oleh Lui—pian Lojin. Terdengar kakek itu berbisik disisi telinganya: “Disana ada manusia yang sangat mencurigakan, entah apa yang sedang mereka bicarakan, ayoh kita tengok ke situ” Dia baru saja berbicara dengan menggunakan ilmu Coan-im—ji—mit (ilmu menyampaikan suara), sebuah kepandaian tingkat tinggi dalam dunia persilatan, kecuali Un Tay—tay, siapa pun tidak mendengar apa yang sedang dia katakan. Pada saat yang bersamaan, kembali dia berbisik pula ke telinga semua orang yang lain: “Harap kalian menunggu sejenak disini, jangan bicara, jangan bergerak, lohu segera akan balik lagi kemari” suara itu meski dikirim dengan ilmu menyampaikan suara, namun setiap patah kata dapat didengar Im Gi sekalian berempat dengan jelas sekali. Tanpa terasa Im Gi saling bertukar pandangan sekejap dengan Im Kiu—siau, dengan perasaan kagum pikirnya: “Sebuah kepandaian yang sangat hebat, ternyata nama besarnya bukan nama kosong belaka, tapi sekeliling tempat ini sepi tak nampak bayangan manusia pun, kenapa secara tiba tiba dia mengajak pergi Un Tay—tay? Apa yang hendak dia perbuat?” Sebaliknya Un Tay—tay juga sedang berpikir: “Mana mungkin ada yang sedang berbicara disitu? Mungkin orang tua ini salah dengar, mendingan tidak usah ke sana!” Tapi lantaran mulutnya dibekap, maka perkataan semacam itu tak mungkin diucapkan keluar. Pada saat itulah terasa tubuhnya sudah melayang meninggalkan permukaan tanah, hanya dalam dua tiga kali lompatan saja mereka sudah meninggalkan Im Gi dan rombongan sejauh belasan kaki lebih. Gerakan tubuh Lui—pian Lojin sama sekali tidak menimbulkan suara, selain ringan juga sangat Cepat, baru saja Un Tay—tay mengagumi kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, mendadak dari sisi kiri ia mendengar ada suara seperti orang sedang berbicara. Ternyata Lui—pian Lojin memang tidak salah mendengar, ditempat itu benar—benar ada orang sedang berkasak kusuk, yang hebat adalah suara bisikan itu sangat lirih bagaikan suara bisikan serangga, namun dia yang berada sejauh dua puluhan kaki masih sempat mendengarnya dengan jelas. Un Tay—tay semakin kagum, pikirnya: “siapa lagi yang sedang berbincang? Jangan jangan Suto Siau sekalianpun sedang merundingkan siasat busuk? Wah, kalau diapun sedang mengundang Hek Seng—thian untuk mencelakai Seng Toa-nio, ini baru hebat namanya!” Tampak paras muka Lui—pian Lojin berubah sangat se rius, agaknya ia sedang menguping pembicaraan yang sedang berlangsung. Un Tay—tay mencoba ikut mendengarkan, sayang dia hanya mampu menangkap suara pembicaran yang kabur, sama sekali tak jelas apa yang sedang dibicarakan. Dalam gelisahnya satu ingatan cerdas melintas dalam benaknya, Cepat dia menempelkan telinganya keatas permukaan tanah, kebetulan ke dua orang yang berada diseberang sana pun sedang berbicara sambil menempelkan badannya ke tanah, dengan begitu dia dapat mengikuti jalannya pembicaraan itu dengan jelas. Terdengar salah satu diantaranya sedang berkata: “setelah berada di tempat yang begini rahasia, sekalipun ada orang lain rasanya kita pasti akan mengetahui kehadirannya, kenapa hengtai masih harus berbicara sambil berbaring ditanah? Apakah hengtai tidak merasa tindakanmu kelewat berlebihan?” Kalau didengar dari logat bicaranya, orang itu seharusnya seorang anak muda, tapi Un Tay—tay belum pernah mendengar nada suara orang ini sehingga dia tak dapat menebak siapa gerangan orang tersebut. Terdengar seseorang yang lain segera menjawab: “Saudara Liong, kau tidak tahu kalau ketajaman pendengaran ayahku luar biasa hebatnya, aku berani bilang kehebatannya tiada keduanya dikolong langit, bila kita bersikap sedikit gegabah saja, biarpun dia berada puluhan kaki jauhnya dari posisi kita pun, suara pembicaraan kita berdua pasti dapat kedengaran olehnya” Begitu mendengar suara orang ini, Un Tay—tay betul betul dibuat tertegun, mimpipun dia tak menyangka kalau orang yang sedang berkasak kusuk saat ini ternyata tak lain adalah putra Lui—pian Lojin sendiri. Sebenarnya dia mempunyai rahasia apa? Kenapa harus bicara secara sembunyi ditempat itu? Kenapa dia harus mengelabuhi ayahnya? Manusia macam apa pula pemuda dari marga Liong itu? Sementara itu pemuda she-Liong itu sudah bertanya kembali: “Apakah persoalan yang hendak hengtai sampaikan kepada siaute tidak boleh diketahui ayahmu?” “Betul, ayahku memang tak boleh tahu” Diam diam Un Tay—tay mencoba melirik sekejap, terlihat olehnya Lui—pian Lojin sedang berdiri dengan wajah penuh amarah. Walaupun timbul rasa ingin tahu dihati kecilnya, tak urung Un Tay—tay mulai kuatir juga atas keselamatan pemuda itu, bagaimanapun juga, pemuda ini pernah membantu dia dan Im Ceng, ia merasa berhutang budi kepadanya. Terdengar pemuda she-Liong itu menghela napas, ujarnya: “Walaupun siaute kurang tahu persoalan apa yang membuat hengtai harus mengelabuhi ayahmu, tapi asalkan siaute dapat menyumbangkan sedikit tenaga bagi hengtai, siaute pasti akan melakukannya” “Sebetulnya siaute hanya ingin menanyakan satu hal kepada hengtai” “Soal apa?” kelihatannya pemuda she—Liong itu agak keheranan. Kembali putra Lui—pian Lojin menghela napas. “Persoalan ini sudah tersimpan selama banyak tahun dalam hati kecilku, persoalan yang membuat siaute makan tak enak tidurpun tak nyenyak, apa mau dikata justru siaute tak sanggup menyelesaikan sendiri persoalan ini” “Katakan saja hengtai” “Belakangan, nama besar tujuh pedang pelangi sudah tersohor diseantero jagad, khususnya nama besar dari Meh—lion g—lan-hong (angin biru naga hitam) yang sudah dikenal sampai ke mana—mana, karena itulah siaute ingin mencari tahu kabar berita dari seseorang” Kini Un Tay—tay baru tahu kalau pemuda she-Liong itu ternyata tak lain adalah salah satu tokoh penting dalam kelompopk tujuh pedang pelangi . . . . . . .. si jago pedang naga hitam Liong Kian—sik. “Boleh tahu kabar berita siapa yang ingin hengtai ketahui?” “orang itu adalah seorang wanita, sahabat karib siaute dimasa lalu, tapi selam berapa tahun belakangan siaute justru kehilangan jejaknya, bahkan sama sekali tidak kuketahui kabar beritanya lagi” “Kalau toh dia adalah sahabat hengtai, kenapa hengtai bisa kehilangan jejaknya?” tanya Liong Kian-sik keheranan. Untuk kesekian kalinya putra Lui—pian menghela napas panjang. “Aaaai . . . . ..! bicara sejujurnya, antara dia dengan aku sebenarnya sudah terikat tali perkawinan, apa lacur . . . . . . .. aaai! Ibunya tak pernah akur dengan ayahku, maka . . . . ...” “Maka perkawinan kalian pun terhalang?” “Tepat sekali, dalam sedih dan kecewanya dia pergi meninggalkan aku, aaai . . . . .! yang paling kusesali adalah, tidak seharusnya dia pergi tanpa pamit, bahkan memberi kabar pun tidak, selama banyak tahun diapun tak pernah berkirim surat kepadaku, aaai . . . . .. dengan wataknya yang begitu keras kepala, dapat dipastikan banyak penderitaan dan kesedihan yang harus dia alami dalam dunia persilatan” Dibalik nada suaranya yang rendah dan berat, masih terselip perasaan cinta yang mendalam. Diam—diam Un Tay—tay berpikir: “Tak aneh kalau dia enggan mengawini aku, ternyata dia sudah mempunyai kekasih hati, hanya saja . . . . . .. sikap dan tindakan yang diambil perempuan itu memang sedikit kelewatan, selain pergi tanpa pamit, diapun enggan mengirim kabar, sementara pemuda ini . . . . . .. walaupun hatinya dibuat sedih, kecewa dan gelisah, namun sama sekali tidak menggerutu ataupun menyalahkan perempuan tersebut, sebaliknya dia justru menaruh rasa kuatir terhadapnya, dari sini bisa disimpulkan kalau pemuda ini memang seorang lelaki yang romantis . . . . .. aaaai, lelaki yang begitu teguh memegang rasa cintanya” Berpikir sampai disitu, tanpa terasa timbul perasaan kasihan dan simpatik yang sangat mendalam terhadap putra Lui—pian inim selain itu diapun dibuat trenyuh, orang lain masih ada yang dirindukan, sementara dia sendiri? Kini, dia harus hidup sebatang kara bagaikan sukma gentayangan, jangan lagi orang yang dicintai, seseorang yang pantas dipikirkan dan dirindukan pun tak ada. Tampaknya Liong Kian—sik pun dibuat sangat terharu oleh ucapan tersebut, setelah termenung berapa saat kembali dia bertanya: “Boleh aku tahu siapa nama nona itu?” “Dia adalah putri Yan—yu (si hujan kabut) Hoa Bu-soat!” “Aaah, rupanya putri Yan—yu Hoa Bu-soat!” “Betul, apakah belakangan hengtai pernah mendengar orang persilatan menyinggung tentang nama orang ini?” “Tidak, tidak pernah” setelah berhenti sejenak, tambahnya: “Kalau memang dia putri Hoa Bu-soat apalagi menjadi kekasih hengtai, kepandaian silat maupun status sosialnya jelas tak perlu diragukan lagi, bila nona semacam ini terjun ke dalam dunia persilatan, aku yakin tak sampai dua bulan nama besarnya sudah menggetarkan sungai telaga, tapi hingga hari ini siaute belum pernah dengar orang menyinggung tentang nama ini, jadi aku kira . . . . . . ..” “Dengan tabiatnya yang keras, tak mungkin dia betah hidup menyendiri ditengah gunung yang terpencil dan jauh dari pergaulan” tukas putra Lui—pian Cepat, “siaute sudah banyak tahun bergaul dengannya, berdasarkan hal ini aku yakin dia bakalan berganti nama andai terjun ke dalam dunia persilatan, bila dia . . . . .. dia sudah melangkah keluar dari rumah, dapat dipastikan kalau diapun tak ingin ditemukan kembali oleh ibunya, Hoa Bu-soat” “Waah, kalau dia sudah berganti nama, hal ini semakin susah lagi” keluh Liong Kian—sik sambil menghela napas. “Hengtai, coba kau pikir lagi dengan seksama, apakah belakangan dalam dunia persilatan pernah muncul seorang gadis yang gemar mengenakan baju berwarna hijau, berilmu silat tinggi dan berwajah dingin, kaku dan angkuh?” “Rasanya tak ada” sahut Liong Kian—sik setelah berpikir sejenak. Dengan perasaan kecewa putra Lui—pian menghela napas panjang. “sepanjang tahun siaute selalu mengintil ayahku, meski hatiku gelisah namun kurang leluasa bagiku untuk pergi sendiri mencari jejaknya, aku berharap bila hengtai berkelana dalam dunia persilatan, tolong bantu aku perhatikan soal ini, untuk itu siaute mengucapkan banyak terima kasih.....aaaai! sekalipun siaute beruntung menjadi putra Lui—pian, tapi..... tapi.... justru karena itu aku tak memiliki seorang sahabatpun . . . . . . ..” semacam perasaan kesepian yang mendalam, terlintas dibalik perkataannya itu. Tiba tiba Un Tay—tay teringat akan sesuatu, dia jadi terbayang kembali wajah nona berbaju hijau yang meski berwajah cantik namun dinginnya bagaikan es, nona yang pernah dijumpai di dusun tukang besi. Dengan perasaan girang segera pikirnya: “Bukankah nona berbaju hijau itu cantik tapi dingin dan angkuh? Bukankah dia gemar mengenakan baju hijau dan berilmu tinggi? Jangan jangan dia adalah . . . . . . .. Hoa Ling—ling, putri Hoa Bu-soat yang sedang dia Cari?” Dalam pada itu Liong Kian—sik telah berkata: “Pesan dari hengtai pasti akan siaute perhatikan” “Kalau begitu siaute ucapkan banyak terima kasih, hengtai, bila . . . . . ..” “Belum selesaikah pembicaraanmu?” tiba tiba Lui—pian Lojin menghardik dengan suara berat. Tak terlukiskan rasa kaget dua orang yang berada dibalik semak itu, dengan hati tercekat mereka berdua segera melompat bangun. “Ayah..... rupanya... rupanya kau?” seru putra Lui—pian tergagap. “Apa lagi yang kau tanyakan? Cepat kemari!” bentak Lui—pian Lojin lagi. Rerumputan disingkap orang, dengan kepala tertunduk Liong Kian—sik dan putra Lui—pian berjalan keluar. Diam diam Un Tay—tay merasakan jantungnya berdebar keras, dia ikut menguatirkan keselamatan kedua orang itu. Tampak Lui—pian Lojin menatap tajam wajah putranya, kemudian bertanya perlahan: “Kau masih memikirkan dia?” “Benar ayah” jawab pemuda itu tertunduk lesu. “Dia pergi tanpa pamit, selama banyak tahun menulis secarik kertas pun tak pernah, bahkan Hoa Bu-soat menganggap kau seperti ular berbisa, tapi kenyataannya, kau masih memikirkan dia?” “Benar ayah” kembali sahut putra Lui—pian sambil menggigit bibir. Tiba tiba Lui—pian Lojin mendongakkan kepalanya dan tertawa seram. “Hahahaha..... bagus, Lui Siau—tiau wahai Lui Siau-tiau, tak kusangka kau memang benar benar seorang lelaki romantis sejati, aku sungguh merasa kagum kepadamu” Un Tay—tay dapat menangkap rasa gusar yang luar biasa dibalik gelak tertawa seram kakek itu, Lui siau-tiau putra Lui—pian itu tertunduk semakin rendah, dia makin tak berani bicara. Mendadak Lui—pian Lojin berhenti tertawa, bentaknya: “Cepat berlutut!” Lui Siau—tiau tak berani membantah, Cepat dia berlurut. Terpaksa Liong Kian—sik ikut menemaninya. sambil menuding ke arah Un Tay—tay kembali Lui—pian Lojin berseru: “sudah kau lihat dia?” “sudah, ananda sedang keheranan . . . . . ..” “Apa yang kau herankan? Ingat, dia adalah binimu, sejak hari ini kau tak boleh memikirkan dia lagi, kecuali dia, siapa pun tak boleh kau pikirkan lagi!” Berubah hebat paras muka Lui Siau—tiau, serunya: “Tapi dia..... dia adalah . . . . . . ..” “Apa?” tukas Lui—pian Lojin gusar, “kau tak usah mencampuri urusan lain, Cepat berdiri dan ikuti aku, berani membantah sepatah kata saja, akan kupatahkan kakimu!” Habis berkata ia segera membalikkan badan dan beranjak pergi dengan langkah lebar. Lui Siau—tiau masih berlutut, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi dengan Cepat Un Tay-tay menarik bajunya sambil mengerling sekejap memberi tanda, Lui Siau—tiau tertegun namun akhirnya dia bangkit berdiri. sambil miringkan kepalanya Un Tay—tay mengangkat tangannya dan digoyang sekejap, setelah menuding diri sendiri dia manggut manggut. Melihat itu Lui Siau—tiau kegirangan. Un Tay—tay pun sambil tersenyum beranjak pergi dari situ.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>