Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
“Hahahaha . . . . . . .. Thian memang maha adil, akhirnya kita mendapatkan kesempatan untuk hidup terus, hahahaha . . . . .. mimpi pun lohu tidak menyangka kalau secara tanpa sengaja bisa menemukan benda penolong nyawa” Sambil tertawa terus diapun menggapai: “Kemarilah, coba kau ikut periksa” Sebetulnya Un Tay-tay sudah tak sabar untuk ikut memeriksa benda itu, cepat dia maju mendekat, berita gembira yang muncul di sela sela putus harapan ini seketika mendatangkan tenaga kehidupan yang lebih segar di tubuhnya. Betul saja, diatas bule bule batu kemala itu tertera berapa huruf kecil, huruf itu berbunyi: “obat mestika, penawar segala racun” “Ternyata dugaanku tak salah . . . . . ..” dengan penuh kegembiraan Un Tay-tay segera bersorak, “tak nyana dugaanku tepat sekali, isi bule bule itu memang obat mustika penawar segal racun ramuan makhluk tua beracun itu, sekarang semua orang bakal tertolong” Im Ting-ting, Thiat Cing-su maupun Liu Ji-uh seketika merasakan semangatnya berkobar kembali, mereka sangat gembira, sementara Pek Seng—bu, Hek Seng—thian serta Seng Toa—nio hanya bisa saling berpandangan dengan wajah lesu, sedih bercampur kecewa. “Moga moga saja obat penawar racun ini bisa memunahkan pengaruh jahat dari racun coat-cing-hoa” gumam Liu Ji-uh dengan suara gemetar. Lui-pian Lojin tertawa. “Walaupun Siang-tok Thaysu si makhluk tua beracun itu edan dan tak tahu malu, namun kemampuannya menggunakan racun harus diakui sebagai jagoan nomor wahid dikolong langit, kemampuannya memang tanpa tandingan . . . . . . ..” katanya. “Setiap orang yang pandai menggunakan racun, pasti pandai pula memunahkan pengaruh racun” sela Un Tay-tay tak tahan, “kalau memang kepandaian makhluk tua beracun itu dalam penggunaan racun merupakan jagoan nomor wahid dikolong langit, semestinya kemampuannya untuk menawarkan segala racun pun bisa diandalkan” “Betul, kalau dia sampai berani mengatakan kalau obat mujarab nya bisa menawarkan segala racun, aku rasa ucapan tersebut sudah pasti bukan omongan sembarangan” Tidak menunggu sampai perkataan itu selesai diucapkan, Liu Ji-uh sudah menubruk ke depan, berlutut dilantai dan memeluk sepasang kaki Lui-pian Lojin dengan air mata bercucuran, jangan dilihat dihari biasa ia tampil angkuh dan dingin, saat ini wajahnya penuh diliputi rasa terharu dan gembira yang luar biasa. Buru buru Lui-pian Lojin berseru: “Kalau ada yang ingin dibicarakan, bicaralah baik baik, buat apa kau mesti bersikap begitu?” “Aku mohon kepada kau orang tua, berilah sebutil pil mujarab itu untuk menolong Kian-sik, boanpwee . . . . . .. selama hidup boanpwee tak akan melupakan budi kebaikanmu” kata Liu Ji-uh dengan nada parau. Lui-pian Lojin kembali tertawa terbahak bahak. “Hahahaha.... sekalipun kau tidak mohon kepadaku pun, aku tetap akan memberinya . . . . . .. setiap orang yang hadir disini dan keracunan berhak memperoleh sebutir. Tak ada pengecualian” “Tapi bagaimana kalau jumlah obatnya tidak cukup?” Tiba tiba saja Lui-pian Lojin tertegun. “soal ini . . . . . ..soal ini . . . . . . . . ..” Saking gembiranya, dia seolah sudah melupakan akan hal ini. Paras muka Un Tay-tay berubah makin hebat sesudah mendengar perkataan itu, sebab ucapan tersebut telah menyentuh kembali luka dalam hatinya, ia teringat kembali pengalaman getir yang pernah dialaminya, diapun teringat akan Sui Leng—kong. Dengan wajah mengejang karena menahan rasa sedih dan penderitaan yang mendalam, ia berbisik dengan suara gemetar: “Benar, kalau obatnya tak cukup, apa yang harus kita lakukan . . . . ..? siapa yang akan ditolong . . . . ..? siapa pula yang tak akan ditolong.....? siapa yang harus ditolong.....? siapa pula yang tak pantas ditolong. . . . . ..?” Perlahan sinar matanya menyapu sekejap orang orang yang berada disana, Im Gi, Im Kiu—siau, Lui siau—tiau, Liong Kian-sik . . . . .. hampir semuanya dalam kondisi kritis, napasnya sangat lemah dan setiap orang perlu obat penawar untuk secepatnya selamatkan nyawa mereka. Bukan Cuma berapa orang itu, Lui-pian Lojin sendiripun masih perlu obat penawar, lalu Seng Cun—hau . . . . . ..bukankah kondisi orang inipun sama seperti Lui-pian Lojin? Tiba tiba Un Tay-tay menjerit keras: “siapa yang harus ditolong . . . . . . . ..? siapa pula yang tak harus ditolong . . . . . . ..?” Benaknya seolah sudah dipenuhi oleh berbagai masalah, yang membuatnya pening, yang membuatnya berkunang kunang, hampir saja ia jatuh tak sadarkan diri. Terdengar Liu Ji-uh berkata lagi dengan gemetar: “Itulah sebabnya boanpwee mohon kepada kau orang tua, bagaimana pun hadiahkan sebutir pil penawar racun untuk Kian-sik, dia..... dia tak boleh mati” “Dia tak boleh mati, siapa pun tak boleh mati, memangnya hanya cun—hau yang pantas mati?” mendadak terdengar Seng Toa—nio ikut berteriak keras. “Bila Kian-sik mati, akupun tak ingin hidup sendirian” ujar Liu Ji-uh lagi dengan air mata bercucuran, “nyawa orang lain hanya selembar, tapi nyawa kami adalah dua lembar yang tergabung jadi satu” “Kentut! Kentut! Kau . . . . . . . ..” teriakan Seng Toa—nio makin keras. “Bila ayah mati, akupun tak ingin hidup” teriak Im Ting-ting pula. Liu Ji-uh menangis semakin keras, rengeknya: “Aku mohon kepadamu . . . . . .. aku mohon . . . . . . . . ..” Suara teriakan histeris ditambah suara isak tangis yang memedihkan hati seketika menyelimuti seluruh ruang gua, membuat suasana disitu jadi sangat kalut. Lui-pian Lojin menghentakkan kakinya berulang kali, hardiknya: “Tutup mulut! Semuanya tutup mulut!” Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu dan menunggu hingga suasana reda, ia berkata lebih jauh: “Kita masih belum tahu berapa biji obat yang tersimpan disitu, buat apa kalian ribut lebih dahulu?" Kemudian setelah sedikit sangsi, dia sodorkan bule bule kemala itu ke tangan Un Tay-tay, katanya lagi: “Coba kau periksa ada berapa butir obat disitu?” Bukannya menerima, Un Tay-tay malah menutupi wajah sendiri dengan ke dua belah tangan sambil menjerit sedih: “Aku tak mau lihat . . . . . .. aku tak mau lihat . . . . . . ..” “Disini hanya posisi mu yang paling istimewa” tegur Lui-pian Lojin gusar, “hampir semua orang yang keracunan tak punya hubungan khusus denganmu, kalau bukan kau yang periksa, memangnya siapa yang akan periksa?” “Aku . . . . . .. aku . . . . . . ..” air mata makin deras berlinang membasahi wajah Un Tay-tay. Ia benar benar merasa sangat terpukul, ia merasa pendiriannya telah hancur berantakan, dia tak ingin memikul kembali beban yang sangat berat itu. Tapi waktu itu Lui-pian Lojin telah sodorkan bule bule kemala itu ke tangannya. Bersentuhan dengan batu kemala yang halus lagi lembut, bagi Un Tay-tay seolah bersentuhan dengan ular atau kalajengking berbisa, tubuhnya gemetar keras, bahkan perasaan hati pun ikut gemetar. “Moga moga saja jumlah obat penawarnya cukup..... moga moga cukup dibagi . . . . ..” doa nya didalam hati. Padahal di hari biasa ia tak percaya dengan segala dewa dan Buddha, tapi kini, dalam kondisi kritis dan terdesak, tiba tiba saja ia seperti teringat untuk berdoa, mohon bantuan para dewa untuk memenuhi keinginannya, asal jumlah obat penawar itu cukup dibagi, dia merasa rela untuk menanggung segala penderitaan dari orang orang itu. Setelah dituang, ternyata ada tujuh butir pil penawar racun. Tujuh butir pil berwarna merah darah bergulingan diatas telapak tangan Un Tay-tay yang dingin bagaikan es dan gemetar keras karena tekanan batin, bergulingan sambil memancarkan selapis cahaya aneh. Un Tay-tay menggenggam kencang semua pil penawar racun itu, ketika semua syarafnya mulai mengendor setelah ketegangannya mencapai puncak, ia merasa seluruh kekuatan tubuhnya seolah lenyap, hampir saja ia roboh terjungkal. Tapi air mata masih bercucuran tiada hentinya, dia tak tahu air mata itu air mata kegirangan atau kesedihan, sambil merangkap tangannya di depan dada, ia menengadah dan mulai menjerit: “Thian . . . . . .. oooh Thian . . . . . . . . . ..” Menyaksikan perubahan wajahnya itu, semua orang merasa deg degan, semua orang merasa tegang, paras muka mereka ikut berubah hebat. “Ada.... ada berapa butir?” dengan suara gemetar Lui-pian Lojin bertanya. “Tujuh butir . . . . . . .. tujuh butir . . . . . . ..” jawab Un Tay-tay dengan air mata berlinang. Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, dia seolah tertegun secara tiba tiba. Sampai lama kemudian orang tua itu baru menghela napas panjang, serunya: “Cukup! Cukup!” “Cukup . . . . .. cukup . . . . . . ..” Liu Ji-uh, Im Ting-ting, semuanya ikut bersorak sorai kegirangan. “Benar, bukan Cuma cukup, malah kelebihan satu butir” Un Tay-tay menambahkan. Seluruh ketegangan, semua kepedihan, dalam waktu singkat berubah jadi kegembiraan yang meluap. Hek Seng—thian memutar biji matanya, tiba tiba ia berkata sambil tertawa dingin: “Tujuh butir? Hehehe . . . . .. rasanya begitu kebetulan” “Hahahaha..... inilah yang dinamakan Thian mengabulkan permintaan umatnya, sebuah kejadian yang patut dige mbirakan” “Aku hanya merasa kejadian ini sangat kebetulan” “Apa maksud perkataanmu itu?” berubah paras muka Lui-pian Lojin. “Kenapa cianpwee tidak pikir, siapa tahu obat penawar itu memang sengaja ditinggalkan Siang—tok Thaysu dengan maksud agar kalian semua masuk perangkapnya” “Betul” sambung Pek Seng—bu pula, “diluar botolnya memang tertulis obat mustika penawar racun, tapi siapa yang berani jamin kalau isinya justru obat racun pengghancur usus? Tanpa harus bersusah payah, ia mampu merobohkan kalian semua, heheheha . . . . . .. satu siasat yang hebat! siasat yang amat jitu!” “Kentut!” bentak Lui-pian Lojin gusar, “kau..... kau..... kalian berdua telah meracuni arakku, belum lagi lohu bikin perhitungan sekarang kau malah berani bicara sembarangan” Sekalipun diluar ia menuduh ucapan tersebut sembarangan, padahal dihati kecilnya dia tahu dengan pasti bahwa kemungkinan semacam itu tetap ada, kembali paras muka Un Tay-tay dan Liu Ji-uh sekalian berubah hebat. Sambil tertawa dingin kembali Hek Seng—thian berkata: “Aku sengaja mengingatkan kalian karena tumbuh dari niat baik saja, soal mau percaya atau tidak terserah kalian sendiri, kenapa aku malah dituduh bicara sembarangan?” Lui-pian Lojin tidak bicara apapun, mendadak dia melompat maju dan mencengkeram bajunya. “Mau..... mau apa kau?” teriak Hek Seng—thian terperanjat. “Lohu akan bunuh dirimu!” “Tapi aku . . . . . .. aku kan berniat baik” “Kentut!” hardik Lui-pian Lojin gusar, “kau memang sengaja bicara begitu agar kami semua tak berani menelan ob at penawar itu, agar kami menunggu mati disini. Kau memang berhati busuk, berhati keji, memangnya lohu tak tahu niatmu?” “Kalau cianpwee memang tak percaya, kenapa tidak dicoba saja?” “Kentut!” kembali Lui-pian Lojin mengumpat marah, “persoalan yang menyangkut mati hidup memangnya boleh dicoba semaunya?” Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Un Tay-tay, segera teriaknya: “Ada akal!” “Apa akalmu?” Lui-pian Lojin segera berpaling. “Bukankah kita punya kelebihan sebutir obat penawar?” “Kalau ingin mengatakan sesuatu, cepat katakan, tak usah berputar putar lagi” “Kalau memang kita memiliki kelebihan sebutir obat penawar, kenapa tidak kita cekokkan saja kepadanya? Kalau obat itu betul betul penawar racun, sudah pasti dia tetap sehat, kalau memang racun . . . . . .. aaaai! Manusia macam dia mah tak perlu disayangkan kalau mampus, kalau memang keracunan, biarkan saja dia mati” “Hahahaha, . . . . . .. bagus! Bagus sekali! Akal bagus! Akal bagus!” Tak terlukiskan rasa gusar Hek Seng—thian sesudah mendengar perkataan itu, kontan saja dia mencaci maki kalang kabut: “Dasar wanita sundel, perempuan jatah berhati busuk, lonte tak laku kawin, semenjak jadi gundiknya Suto Siau, aku sudah tahu kalau manusia macam kau memang bukan manusia baik baik” Bukan saja dia mencaci maki dengan suara keras bahkan bahasa yang digunakan pun amat kasar dan busuk, untuk sesaat Im Ting-ting, Thiat Cing-su maupun Lui-pian Lojin hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, berapa saat lamanya mereka hanya berdiri mematung. Hingga saat itu mereka baru tahu asal usul Un Tay-tay yang sebenarnya, mimpi pun mereka tak mengira kalau perempuan itu dulunya adalah gundik kesayangan Suto Siau. Menyaksikan reaksi tersebut, Hek Seng—thian makin senang dan makian pun semakin kotor dan tak sedap didengar. Terdengar ia mengumpat kembali: “Sejak waktu itu aku sudah tahu kalau kau sering main serong dengan lelaki lain, apalagi kalau masih muda dan berpipi putih, kau melahapnya semua dengan rakus, karena itulah orang she-Im itu . . . . . ..” “Tutup mulut!” tiba tiba Lui-pian Lojin membentak keras. Ditengah suara bentakan, dia langsung mengayunkan tangannya dan menampar wajah Hek Seng—thian keras keras. “Ploook!” kontan separuh wajah Hek Seng—thian merah membengkak, berapa biji giginya sampai ikut rontok. Tapi dia masih belum mau berhenti mengoceh, kembali teriaknya: “Tapi..... tapi aku bicara sejujurnya” “Tidak perduli ucapanmu benar atau tidak, tidak perduli dulunya Un Tay-tay manusia macam apa, setelah hari ini lohu menginginkan dia menjadi menantuku, siapa pun tak dapat merubahnya lagi” Berlinang air mata Un Tay-tay setelah mendengar perkataan itu, selain terharu diapun merasa sangat berterima kasih. Namun Im Ting-ting dan Thiat Cing-su yang mendengar ucapan tersebut kembali tertegun dibuatnya. Diam diam mereka berdua saling berpandangan, sedang dalam hati kecilnya berpikir: “Bukankah dia sudah berjanji akan tetap menjanda? Kenapa sekarang malah jadi menantunya Lui-pian Lojin?” Terdengar Lui-pian Lojin kembali berkata dengan suara keras: “Mulai hari ini, barang siapa berani mengungkit kembali masa lalu Un Tay-tay, lohu bersumpah akan mencincangnya hingga hancur berkeping keping!” Ia segera mengambil sebutir pil dan dijejalkan ke dalam mulut Hek Seng—thian, kemudian dengan sekali tabokan di tenggorokannya, mau tak mau Hek Seng—thian segera menelan pil itu ke dalam perutnya. Dalam keadaan begini hilang sudah nyali Hek Seng—thian, ia terperosok lemas dan roboh terkapar di atas tanah.
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
“Hahahaha . . . . . . .. Thian memang maha adil, akhirnya kita mendapatkan kesempatan untuk hidup terus, hahahaha . . . . .. mimpi pun lohu tidak menyangka kalau secara tanpa sengaja bisa menemukan benda penolong nyawa” Sambil tertawa terus diapun menggapai: “Kemarilah, coba kau ikut periksa” Sebetulnya Un Tay-tay sudah tak sabar untuk ikut memeriksa benda itu, cepat dia maju mendekat, berita gembira yang muncul di sela sela putus harapan ini seketika mendatangkan tenaga kehidupan yang lebih segar di tubuhnya. Betul saja, diatas bule bule batu kemala itu tertera berapa huruf kecil, huruf itu berbunyi: “obat mestika, penawar segala racun” “Ternyata dugaanku tak salah . . . . . ..” dengan penuh kegembiraan Un Tay-tay segera bersorak, “tak nyana dugaanku tepat sekali, isi bule bule itu memang obat mustika penawar segal racun ramuan makhluk tua beracun itu, sekarang semua orang bakal tertolong” Im Ting-ting, Thiat Cing-su maupun Liu Ji-uh seketika merasakan semangatnya berkobar kembali, mereka sangat gembira, sementara Pek Seng—bu, Hek Seng—thian serta Seng Toa—nio hanya bisa saling berpandangan dengan wajah lesu, sedih bercampur kecewa. “Moga moga saja obat penawar racun ini bisa memunahkan pengaruh jahat dari racun coat-cing-hoa” gumam Liu Ji-uh dengan suara gemetar. Lui-pian Lojin tertawa. “Walaupun Siang-tok Thaysu si makhluk tua beracun itu edan dan tak tahu malu, namun kemampuannya menggunakan racun harus diakui sebagai jagoan nomor wahid dikolong langit, kemampuannya memang tanpa tandingan . . . . . . ..” katanya. “Setiap orang yang pandai menggunakan racun, pasti pandai pula memunahkan pengaruh racun” sela Un Tay-tay tak tahan, “kalau memang kepandaian makhluk tua beracun itu dalam penggunaan racun merupakan jagoan nomor wahid dikolong langit, semestinya kemampuannya untuk menawarkan segala racun pun bisa diandalkan” “Betul, kalau dia sampai berani mengatakan kalau obat mujarab nya bisa menawarkan segala racun, aku rasa ucapan tersebut sudah pasti bukan omongan sembarangan” Tidak menunggu sampai perkataan itu selesai diucapkan, Liu Ji-uh sudah menubruk ke depan, berlutut dilantai dan memeluk sepasang kaki Lui-pian Lojin dengan air mata bercucuran, jangan dilihat dihari biasa ia tampil angkuh dan dingin, saat ini wajahnya penuh diliputi rasa terharu dan gembira yang luar biasa. Buru buru Lui-pian Lojin berseru: “Kalau ada yang ingin dibicarakan, bicaralah baik baik, buat apa kau mesti bersikap begitu?” “Aku mohon kepada kau orang tua, berilah sebutil pil mujarab itu untuk menolong Kian-sik, boanpwee . . . . . .. selama hidup boanpwee tak akan melupakan budi kebaikanmu” kata Liu Ji-uh dengan nada parau. Lui-pian Lojin kembali tertawa terbahak bahak. “Hahahaha.... sekalipun kau tidak mohon kepadaku pun, aku tetap akan memberinya . . . . . .. setiap orang yang hadir disini dan keracunan berhak memperoleh sebutir. Tak ada pengecualian” “Tapi bagaimana kalau jumlah obatnya tidak cukup?” Tiba tiba saja Lui-pian Lojin tertegun. “soal ini . . . . . ..soal ini . . . . . . . . ..” Saking gembiranya, dia seolah sudah melupakan akan hal ini. Paras muka Un Tay-tay berubah makin hebat sesudah mendengar perkataan itu, sebab ucapan tersebut telah menyentuh kembali luka dalam hatinya, ia teringat kembali pengalaman getir yang pernah dialaminya, diapun teringat akan Sui Leng—kong. Dengan wajah mengejang karena menahan rasa sedih dan penderitaan yang mendalam, ia berbisik dengan suara gemetar: “Benar, kalau obatnya tak cukup, apa yang harus kita lakukan . . . . ..? siapa yang akan ditolong . . . . ..? siapa pula yang tak akan ditolong.....? siapa yang harus ditolong.....? siapa pula yang tak pantas ditolong. . . . . ..?” Perlahan sinar matanya menyapu sekejap orang orang yang berada disana, Im Gi, Im Kiu—siau, Lui siau—tiau, Liong Kian-sik . . . . .. hampir semuanya dalam kondisi kritis, napasnya sangat lemah dan setiap orang perlu obat penawar untuk secepatnya selamatkan nyawa mereka. Bukan Cuma berapa orang itu, Lui-pian Lojin sendiripun masih perlu obat penawar, lalu Seng Cun—hau . . . . . ..bukankah kondisi orang inipun sama seperti Lui-pian Lojin? Tiba tiba Un Tay-tay menjerit keras: “siapa yang harus ditolong . . . . . . . ..? siapa pula yang tak harus ditolong . . . . . . ..?” Benaknya seolah sudah dipenuhi oleh berbagai masalah, yang membuatnya pening, yang membuatnya berkunang kunang, hampir saja ia jatuh tak sadarkan diri. Terdengar Liu Ji-uh berkata lagi dengan gemetar: “Itulah sebabnya boanpwee mohon kepada kau orang tua, bagaimana pun hadiahkan sebutir pil penawar racun untuk Kian-sik, dia..... dia tak boleh mati” “Dia tak boleh mati, siapa pun tak boleh mati, memangnya hanya cun—hau yang pantas mati?” mendadak terdengar Seng Toa—nio ikut berteriak keras. “Bila Kian-sik mati, akupun tak ingin hidup sendirian” ujar Liu Ji-uh lagi dengan air mata bercucuran, “nyawa orang lain hanya selembar, tapi nyawa kami adalah dua lembar yang tergabung jadi satu” “Kentut! Kentut! Kau . . . . . . . ..” teriakan Seng Toa—nio makin keras. “Bila ayah mati, akupun tak ingin hidup” teriak Im Ting-ting pula. Liu Ji-uh menangis semakin keras, rengeknya: “Aku mohon kepadamu . . . . . .. aku mohon . . . . . . . . ..” Suara teriakan histeris ditambah suara isak tangis yang memedihkan hati seketika menyelimuti seluruh ruang gua, membuat suasana disitu jadi sangat kalut. Lui-pian Lojin menghentakkan kakinya berulang kali, hardiknya: “Tutup mulut! Semuanya tutup mulut!” Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu dan menunggu hingga suasana reda, ia berkata lebih jauh: “Kita masih belum tahu berapa biji obat yang tersimpan disitu, buat apa kalian ribut lebih dahulu?" Kemudian setelah sedikit sangsi, dia sodorkan bule bule kemala itu ke tangan Un Tay-tay, katanya lagi: “Coba kau periksa ada berapa butir obat disitu?” Bukannya menerima, Un Tay-tay malah menutupi wajah sendiri dengan ke dua belah tangan sambil menjerit sedih: “Aku tak mau lihat . . . . . .. aku tak mau lihat . . . . . . ..” “Disini hanya posisi mu yang paling istimewa” tegur Lui-pian Lojin gusar, “hampir semua orang yang keracunan tak punya hubungan khusus denganmu, kalau bukan kau yang periksa, memangnya siapa yang akan periksa?” “Aku . . . . . .. aku . . . . . . ..” air mata makin deras berlinang membasahi wajah Un Tay-tay. Ia benar benar merasa sangat terpukul, ia merasa pendiriannya telah hancur berantakan, dia tak ingin memikul kembali beban yang sangat berat itu. Tapi waktu itu Lui-pian Lojin telah sodorkan bule bule kemala itu ke tangannya. Bersentuhan dengan batu kemala yang halus lagi lembut, bagi Un Tay-tay seolah bersentuhan dengan ular atau kalajengking berbisa, tubuhnya gemetar keras, bahkan perasaan hati pun ikut gemetar. “Moga moga saja jumlah obat penawarnya cukup..... moga moga cukup dibagi . . . . ..” doa nya didalam hati. Padahal di hari biasa ia tak percaya dengan segala dewa dan Buddha, tapi kini, dalam kondisi kritis dan terdesak, tiba tiba saja ia seperti teringat untuk berdoa, mohon bantuan para dewa untuk memenuhi keinginannya, asal jumlah obat penawar itu cukup dibagi, dia merasa rela untuk menanggung segala penderitaan dari orang orang itu. Setelah dituang, ternyata ada tujuh butir pil penawar racun. Tujuh butir pil berwarna merah darah bergulingan diatas telapak tangan Un Tay-tay yang dingin bagaikan es dan gemetar keras karena tekanan batin, bergulingan sambil memancarkan selapis cahaya aneh. Un Tay-tay menggenggam kencang semua pil penawar racun itu, ketika semua syarafnya mulai mengendor setelah ketegangannya mencapai puncak, ia merasa seluruh kekuatan tubuhnya seolah lenyap, hampir saja ia roboh terjungkal. Tapi air mata masih bercucuran tiada hentinya, dia tak tahu air mata itu air mata kegirangan atau kesedihan, sambil merangkap tangannya di depan dada, ia menengadah dan mulai menjerit: “Thian . . . . . .. oooh Thian . . . . . . . . . ..” Menyaksikan perubahan wajahnya itu, semua orang merasa deg degan, semua orang merasa tegang, paras muka mereka ikut berubah hebat. “Ada.... ada berapa butir?” dengan suara gemetar Lui-pian Lojin bertanya. “Tujuh butir . . . . . . .. tujuh butir . . . . . . ..” jawab Un Tay-tay dengan air mata berlinang. Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, dia seolah tertegun secara tiba tiba. Sampai lama kemudian orang tua itu baru menghela napas panjang, serunya: “Cukup! Cukup!” “Cukup . . . . .. cukup . . . . . . ..” Liu Ji-uh, Im Ting-ting, semuanya ikut bersorak sorai kegirangan. “Benar, bukan Cuma cukup, malah kelebihan satu butir” Un Tay-tay menambahkan. Seluruh ketegangan, semua kepedihan, dalam waktu singkat berubah jadi kegembiraan yang meluap. Hek Seng—thian memutar biji matanya, tiba tiba ia berkata sambil tertawa dingin: “Tujuh butir? Hehehe . . . . .. rasanya begitu kebetulan” “Hahahaha..... inilah yang dinamakan Thian mengabulkan permintaan umatnya, sebuah kejadian yang patut dige mbirakan” “Aku hanya merasa kejadian ini sangat kebetulan” “Apa maksud perkataanmu itu?” berubah paras muka Lui-pian Lojin. “Kenapa cianpwee tidak pikir, siapa tahu obat penawar itu memang sengaja ditinggalkan Siang—tok Thaysu dengan maksud agar kalian semua masuk perangkapnya” “Betul” sambung Pek Seng—bu pula, “diluar botolnya memang tertulis obat mustika penawar racun, tapi siapa yang berani jamin kalau isinya justru obat racun pengghancur usus? Tanpa harus bersusah payah, ia mampu merobohkan kalian semua, heheheha . . . . . .. satu siasat yang hebat! siasat yang amat jitu!” “Kentut!” bentak Lui-pian Lojin gusar, “kau..... kau..... kalian berdua telah meracuni arakku, belum lagi lohu bikin perhitungan sekarang kau malah berani bicara sembarangan” Sekalipun diluar ia menuduh ucapan tersebut sembarangan, padahal dihati kecilnya dia tahu dengan pasti bahwa kemungkinan semacam itu tetap ada, kembali paras muka Un Tay-tay dan Liu Ji-uh sekalian berubah hebat. Sambil tertawa dingin kembali Hek Seng—thian berkata: “Aku sengaja mengingatkan kalian karena tumbuh dari niat baik saja, soal mau percaya atau tidak terserah kalian sendiri, kenapa aku malah dituduh bicara sembarangan?” Lui-pian Lojin tidak bicara apapun, mendadak dia melompat maju dan mencengkeram bajunya. “Mau..... mau apa kau?” teriak Hek Seng—thian terperanjat. “Lohu akan bunuh dirimu!” “Tapi aku . . . . . .. aku kan berniat baik” “Kentut!” hardik Lui-pian Lojin gusar, “kau memang sengaja bicara begitu agar kami semua tak berani menelan ob at penawar itu, agar kami menunggu mati disini. Kau memang berhati busuk, berhati keji, memangnya lohu tak tahu niatmu?” “Kalau cianpwee memang tak percaya, kenapa tidak dicoba saja?” “Kentut!” kembali Lui-pian Lojin mengumpat marah, “persoalan yang menyangkut mati hidup memangnya boleh dicoba semaunya?” Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Un Tay-tay, segera teriaknya: “Ada akal!” “Apa akalmu?” Lui-pian Lojin segera berpaling. “Bukankah kita punya kelebihan sebutir obat penawar?” “Kalau ingin mengatakan sesuatu, cepat katakan, tak usah berputar putar lagi” “Kalau memang kita memiliki kelebihan sebutir obat penawar, kenapa tidak kita cekokkan saja kepadanya? Kalau obat itu betul betul penawar racun, sudah pasti dia tetap sehat, kalau memang racun . . . . . .. aaaai! Manusia macam dia mah tak perlu disayangkan kalau mampus, kalau memang keracunan, biarkan saja dia mati” “Hahahaha, . . . . . .. bagus! Bagus sekali! Akal bagus! Akal bagus!” Tak terlukiskan rasa gusar Hek Seng—thian sesudah mendengar perkataan itu, kontan saja dia mencaci maki kalang kabut: “Dasar wanita sundel, perempuan jatah berhati busuk, lonte tak laku kawin, semenjak jadi gundiknya Suto Siau, aku sudah tahu kalau manusia macam kau memang bukan manusia baik baik” Bukan saja dia mencaci maki dengan suara keras bahkan bahasa yang digunakan pun amat kasar dan busuk, untuk sesaat Im Ting-ting, Thiat Cing-su maupun Lui-pian Lojin hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, berapa saat lamanya mereka hanya berdiri mematung. Hingga saat itu mereka baru tahu asal usul Un Tay-tay yang sebenarnya, mimpi pun mereka tak mengira kalau perempuan itu dulunya adalah gundik kesayangan Suto Siau. Menyaksikan reaksi tersebut, Hek Seng—thian makin senang dan makian pun semakin kotor dan tak sedap didengar. Terdengar ia mengumpat kembali: “Sejak waktu itu aku sudah tahu kalau kau sering main serong dengan lelaki lain, apalagi kalau masih muda dan berpipi putih, kau melahapnya semua dengan rakus, karena itulah orang she-Im itu . . . . . ..” “Tutup mulut!” tiba tiba Lui-pian Lojin membentak keras. Ditengah suara bentakan, dia langsung mengayunkan tangannya dan menampar wajah Hek Seng—thian keras keras. “Ploook!” kontan separuh wajah Hek Seng—thian merah membengkak, berapa biji giginya sampai ikut rontok. Tapi dia masih belum mau berhenti mengoceh, kembali teriaknya: “Tapi..... tapi aku bicara sejujurnya” “Tidak perduli ucapanmu benar atau tidak, tidak perduli dulunya Un Tay-tay manusia macam apa, setelah hari ini lohu menginginkan dia menjadi menantuku, siapa pun tak dapat merubahnya lagi” Berlinang air mata Un Tay-tay setelah mendengar perkataan itu, selain terharu diapun merasa sangat berterima kasih. Namun Im Ting-ting dan Thiat Cing-su yang mendengar ucapan tersebut kembali tertegun dibuatnya. Diam diam mereka berdua saling berpandangan, sedang dalam hati kecilnya berpikir: “Bukankah dia sudah berjanji akan tetap menjanda? Kenapa sekarang malah jadi menantunya Lui-pian Lojin?” Terdengar Lui-pian Lojin kembali berkata dengan suara keras: “Mulai hari ini, barang siapa berani mengungkit kembali masa lalu Un Tay-tay, lohu bersumpah akan mencincangnya hingga hancur berkeping keping!” Ia segera mengambil sebutir pil dan dijejalkan ke dalam mulut Hek Seng—thian, kemudian dengan sekali tabokan di tenggorokannya, mau tak mau Hek Seng—thian segera menelan pil itu ke dalam perutnya. Dalam keadaan begini hilang sudah nyali Hek Seng—thian, ia terperosok lemas dan roboh terkapar di atas tanah.