Cerita Silat | Mustika Gaib | oleh Buyung Hok | Mustika Gaib | Cersil Sakti | Mustika Gaib pdf
Patung Hok Lok Sioe - OKT Mustika Gaib - Buyung Hok Pendekar Pulau Neraka - 28. Pedang Kawa Hijau Trio Detektif 35 - Penculikan Ikan Paus Pendekar Pulau Neraka - 52. Si Gila Dari Muara Bangkai
Matahari semakin siang, semakin memancarkan sinarnya. Di dalam ruangan besar kelenteng Su tay-ong bio mengepul asap hio, diringi dengan suara tetabuhan suci. Dari bagian cim cee kelenteng Su-tay ong-bio, berbaris beberapa orang bangsawan tangan mereka masing-masing memegang sebatang hio, mereka mulai sembahyang di depan meja sembahyang. Di belakang meja sembahyang tampak tujuh orang tosu memakai pakaian pertapaan, di tangan mereka memegang perabot untuk melakukan upacara sembahyang, mereka mulai membaca doa untuk mengundang malaikat. Di bagian bawah cim cee, terdapat tidak kurang tiga puluh ribu orang penduduk kampung yang juga turut sembahyang. Suasana di dalam kelenteng Su tay ong bio jadi hening, kecuali suara membaca doa dan alat-alat tetabuhan suci. Tidak lama, dari dalam kamar di sebelah kiri meja sembahyang keluar seorang tosu mengenakan jubah kuning berkembang Pat-kwa, itulah Hoan Sek totiang dari gunung Bong-san yang pada dua tahun yang lalu datang ke kelenteng Su-tay ong bio. Kang Hoo yang turut berjejalan di antara ribuan penduduk Cie-yang, memperhatikan semua upacara sembahyang itu. Dengan rupa yang dibikin-bikin dan rambut riap- riapan, Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, tangannya memegang pedang. Setelah Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, mendadak saja ia seperti kemasukan rokh halus, ia melompat lompat setinggi lima sampai enam kaki, kemudian duduk di atas kursi berukiran naga. Penduduk Cie-yang yang datang bersembahyang bisa melihat Hoan Sek totiang sudah mulai kemasukan setan, dan mereka tampak tak berani mengeluarkan suara, tidak terkecuali kaum bangsawan yang berada di atas cim cee dekat meja sembahyang, mereka juga tak berani bicara apa-apa memandang wajah si tosu yang sudah kemasukan rokh halus. Sementara itu Hoan Sek totiang yang sudah duduk di atas kursi kebesarannya dengan suara rokhnya berseru, “Aku adalah malaikat Kim liong su-tay ong yang mengepalai tiga ribu empat ratus lie sepanjang sungai Hong hoo karena penduduk dari bagian bawah sungai Hong hoo memiliki sifat-sifat jahat, maka telah membuat aku jadi gusar, dan akan menurunkan banjir, tapi mengingat kalian penduduk Cie-yang yang taat dan telah melakukan sam-seng, maka aku membatalkan niatku untuk membuat di sekitar tepi sungai jadi banjir. Tapi ingat, kalian harus segera mengumpulkan sebanyak seratus dua puluh ribu uang emas guna bikin betul kelenteng Siok-kok koan yang berada di atas gunung Bong-san, semua derma kalian tentu akan diketahui Thian!” Setelah mengucapkan perkataan itu, Hoan Sek totiang mendadak lompat dari atas kursinya, lalu roboh di bawah. Sesaat kemudian, baru Hoan Sek totiang bangkit bangun, ia menghela napas lalu duduk lagi di atas kursinya dan berkata seorang diri, “Aku kenapa mesti dapatkan ini siksaan. Setelah kemasukan rokh suci aku seperti orang mati, tidak bisa bernapas, aib, aku mesti minta malaikat buat pilih lain orang saja.” Penduduk kampung yang hadir dalam ruangan itu mendengar ucapan Hoan Sek totiang yang minta lain orang mewakilinya, mereka jadi kaget, lalu ramai-ramai membujuk si orang agar ia saja yang meneruskan pemimpin upacara sembahyang itu. Akhirnya upacara diteruskan. Selesai mengadakan upacara sembahyang, maka orang-orang kampung kembali ke rumah masing- masing. Menyaksikan ketololannya penduduk Cie-yang. Kang Hoo hanya bisa tertawa di dalam hati, meskipun ia tahu semua itu adalah tipu muslihatnya si tosu Hoan Sek untuk mengelabui orang bodoh guna mencari uang, tapi karena ia menjaga dalam perjalanan agar jangan sampai timbul bentrokan dari pihak manapun, lebih-lebih di badannya membawa Angsa Emas Berkepala Naga maka tindak tanduknya ia batasi. Setelah berkeliling kampung, maka ia menginap di satu losmen. Malampun tiba. Kang Hoo rebah di atas pembaringan, seruling perak dan bungkusan Angsa Emas Berkepala Naga diletakkan di bawah bantal. Api lilin menerangi ruangan kamar. Besok pagi aku harus melanjutkan perjalanan ke laut Pok hay, melihat keadaan sungai demikian rupa, maka terpaksa aku jalan darat. Lebih cepat lebih baik. Semoga dengan kuserahkannya Angsa Emas maka permusuhan antara suhuku dan suhu Hong Pin, bisa didamaikan hingga tidak akan merembet-rembet kepada muridnya, kalau dendam ini tidak akan dihabiskan sampai di sini, sampai kapan manusia harus saling bunuh untuk melampiaskan dendam masing-masing......?” Ketika Kang Hoo rebah, dengan pikiran menerawang tidak keruan, mendadak saja telinganya mendengar suara angin yang santer di atas genteng. Kang Hoo kaget, ia cepat lompat bangun dari tempat tidurnya, tangannya segera mengambil bungkusan Angsa Emas dan seruling perak di bawah bantal. Kemudian ia mendongakkan kepala ke atas memperhatikan suara kesiuran angin. Ia tahu kesiuran angin yang lewat di atas genteng itu bukanlah angin biasa, itulah angin dari gerakan seseorang yang memiliki kepandaian berlari di atas genteng, dan setelah sekian saat ia tidak mendengar ada tanda-tanda yang mencurigakan, maka cepat Kang Hoo membuka jendela, ia ingin melihat suara lari di atas genteng itu suara siapa, tapi setelah jendela dibuka keadaan di luar gelap, maka dengan membawa bungkusan Angsa Emasnya ia lompat ke atas genteng. Suasana gelap, langit hitam, bintang tak tampak, hanya sinar seruling menerangi di sekitarnya. Sepasang mata Kang Hoo memperhatikan ke arah mana bayangan tadi lewat, dan tidak lama ia bisa melihat berkelebatnya bayangan hitam di atas wuwungan kelenteng. Kang Hoo ingin tahu apa yang akan dikerjakan bayangan hitam itu, ia sudah lari mengejar, tapi baru saja tiba di tempat bayangan hitam tadi. Di sana ia tidak melihat bayangan apapun. Kembali Kang Hoo dibuat jadi heran, gerakan bayangan hitam tadi sangat gesit luar biasa. Sebentar saja sudab lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia mencari-cari kemana lenyapnya bayangan hitam tadi, mendadak saja dari sebelah kirinya terdengar suara teriakan. Kemudian suara teriakan tadi lenyap ditelan angin malam. Mendengar suara teriakan itu, Kang Hosi segara lompat ke arah kiri, jelas kalau suara teriakan tadi keluar dari bawah wuwungan kelenteng. Maka ia segera lompat turun. Begitu Kang Hoo sampai di tanah, ia melihat di depannya sebuah jendela terbuka dan api penerangan keluar dari sana. Buru-buru Kang Hoo menghampiri jendela dan melongok ke dalam, “Aaaa.......” Begitu Kang Hoo melihat apa yang ada di dalam ruangan kamar tadi, ia jadi kaget, karena di dalam kamar di atas ranjang menggeletak sesosok tubuh yang sudah terpisah kepala dan badannya, darah berceceran di sana. Melihat dari wajah kepala orang yang sudah berpisah dari lehernya Kang Hoo mengenali itulah kepala Hoan Sek totiang. Selagi Kang Hoo bengong melihat kepala Hoan Sek totiang dari dalam kamar lain terdengar suara langkah orang mendatangi, Kang Hoo kaget cepat ia lompat ke atas genteng, lalu lari kabur. Dalam perjalanan menuju kamarnya. Kang Hoo kembali melihat bayangan hitam di sebelah selatan. Ia berniat mengejar, tapi mendadak saja entah bagaimana timbul sifat masa bodohnya, ia lalu lari ke losmen. Dan setelah masuk ke dalam kamar, cepat ia menutup jendela. Setelah mematikan api lilin, lalu merebahkan dirinya di atas ranjang. “Siapa bayangan hitam itu!” Pikir Kang Hoo. “Apa anggota golongan Kalong? Dan siapa pula yang membunuh Hoan Sek totiang keterlaluan. Memang benar Hoan Sek totiang telah menipu penduduk Cie-yang dengan segala macam akal busuknya, tapi itu juga tidak perlu harus membunuh dirinya.” Seribu satu macam pertanyaan berkelebat dalam otak Kang Hoo tanpa jawab, akhirnya ia memejamkan sepasang matanya. Kang Hoo yang sudah tidur pulas di dalam kamar, tidak mengetahui kalau sejak ia masuk ke dalam kamarnya, gerak geriknya telah diintip oleh orang. Si pengintip bukan lain adalah bayangan hitam yang pernah dilihatnya di atas wuwungan kelenteng. Bayangan hitam tadi mengenakan pakaian ringkas untuk jalan malam, mukanya menggunakan topeng hitam. Di pinggangnya terselip sebatang pedang. Begitu ia mendengar suara napas Kang Hoo yang sudah tidur pulas, bayangan hitam tadi dengan mengaitkan kakinya di atas genteng, dan kepala ke bawah, ke arah jendela, sesaat ia mendengarkan suara dengkurnya Kang Hoo. Setelah yakin kalau Kang Hoo sudah tidur pulas, dengan masih menggelayut bagaikan binatang kalong, tangan bayangan hitam itu bekerja, mencongkel jendela, dan sebentar kemudian daun jendela sudah terpentang lebar. Berbarengan dengan terpentangnya daun jendela, bayangan hitam tadi lalu lompat masuk ke dalam kamar. Gerakannya sangat enteng dan ringan. Suasana di dalam kamar sangat gelap, di sana hanya terdengar suara dengkur Kang Hoo yang tidur pulas. Diiringi suara hembusan angin malam yang masuk menerobos lubang jendela. Belum lama bayangan hitam itu masuk ke dalam kamar, mendadak saja terdengar suara benda jatuh, kemudian terdengar suara keluhan tertahan yang keluar dari mulut bayangan hitam tadi. Kemudian kamarpun menjadi terang. Apa yang terjadi? Rupanya bayangan hitam tadi begitu masuk ke dalam kamar, ia lalu melakukan serangan pukulan ke arah Kang Hoo yang masih tidur terlentang. Sedang tangan kirinya, menyambar bawah bantal Kang Hoo dimana disimpan Angsa Emas. Tapi begitu serangan kepalan tangan bayangan hitam itu meluncur ke dada Kang Hoo, belum lagi mengenai sasaran, mendadak saja bayangan hitam tadi terpental dan jatuh bersandar di bawah dinding. Kang Hoo yang tidak mengetahui kalau sudah ada musuh gelap melakukan serangan dan hendak mencuri Angsa Emas, sebenarnya ia tidak sadar kalau dirinya sudah diserang lawan. Dan ia baru terjengkit kaget ketika di dalam kamarnya terdengar suara gedebrukan dari benda yang jatuh. Ia buru-buru meraba bawah bantalnya. Dan Angsa Emas masih berada di sana. Lalu ia lompat bangun dan menyalakan api lilin. Begitu kamar menjadi terang. Tampaklah sesosok bayangan hitam yang sedang duduk bersandar di bawah dinding di pojok ruangan. Dengan penerangan sinar lilin Kang Hoo bisa melihat bagaimana bentuk perawakan bayangan hitam itu, itulah seorang berseragam hitam dan berselubung muka hitam, di dada kiri orang itu terlukis sebuah lukisan Kalong Merah. “Kalong merah,” bentak Kang Hoo. “Apa kehendakmu masuk ke dalam kamar ini?' Topeng hitam tidak menjawab, dengan lemah ia bangun berdiri, kemudian sepasang matanya tampak berputaran memperhatikan seluruh ruangan. Kemudian mendadak saja tubuhnya lompat ke arah jendela. Gerakan lompatan si topeng hitam sangat gesit, tapi gerakan Kang Hoo lebih cepat lagi, begitu topeng hitam lompat ke jendela hendak kabur, ia sudah bergerak dan menarik sebelah kaki kanan dari orang itu, lalu dilemparkan ke atas pembaringan. Kalong merah mati kutu. Ia meringkuk di atas pembaringan, Hanya sinar matanya yang menatap wajah Kang Hoo. Gerakan Kang Hoo tidak sampai di situ saja, begitu si topeng hitam sudah terbanting di atas tempat tidurnya, ia menubruk datang, dan dengan ujung serulingnya ia mencongkel tutup kerudung muka orang itu, maka kain hitam penutup wajah itu jatuh di lantai. Dan ketika wajah topeng hitam tadi sudah tak berselubung muka lagi, mendadak saja Kang Hoo lompat mundur dua tindak, kemudian berseru, “Kau...kau.... Nona Siong In...?” Topeng hitam yang sudah dibikin tak berdaya bahkan tutup topeng mukanya telah dicongkel oleh seruling Kang Hoo, bukan lain adalah Siong In dengan lesu ia bangun dan duduk di atas pembaringan, menatap wajah Kang Hoo, kemudian katanya, “Kau hebat. Tak kusangka setelah beberapa tahun tidak bertemu, kau sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa.” “Beberapa tahun,” seru Kang Hoo. “Di bawah lembah, aku pernah melihatmu. Dan eh bagaimana malam ini kau menggunakan pakaian seragam hitam itu. Dan apa maksudmu masuk ke dalam kamar ini?” Dengan masih duduk di atas pembaringan Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Aku membutuhkan Angsa Emas itu!” Kang Hoo melengak, serunya, “Untuk apa? Benda ini sudah kujanjikan untuk kuserahkan pada Hong Pin.” “Aaaaah .... Aku butuh untuk menolong ayahku,” jawab Siong In. “Ayahku menjadi tawanan dari kauwcu perkumpulan Kalong.” “Eh,” Kang Hoo kaget. “Tapi ayahmu di dalam lembah, bukankah memimpin rombongan orang- orang Kalong hitam, mengapa ia bisa menjadi tawanan kauwcu? Apa maksudmu?” Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Ayahku hanyalah seorang pemimpin salah satu cabang. Di atas dia masih ada seorang yang lebih berkuasa dan memiliki kepandaian tinggi. Karena ayah mendapat fitnah gara-gara aku mengenal dan pernah menolong dirimu, maka ia telah ditahan, dan sebagai tebusan aku harus mencari Angsa Emas itu. Nah sekarang pinjamkan aku benda yang ada pada dirimu itu.”
Patung Hok Lok Sioe - OKT Mustika Gaib - Buyung Hok Pendekar Pulau Neraka - 28. Pedang Kawa Hijau Trio Detektif 35 - Penculikan Ikan Paus Pendekar Pulau Neraka - 52. Si Gila Dari Muara Bangkai
Matahari semakin siang, semakin memancarkan sinarnya. Di dalam ruangan besar kelenteng Su tay-ong bio mengepul asap hio, diringi dengan suara tetabuhan suci. Dari bagian cim cee kelenteng Su-tay ong-bio, berbaris beberapa orang bangsawan tangan mereka masing-masing memegang sebatang hio, mereka mulai sembahyang di depan meja sembahyang. Di belakang meja sembahyang tampak tujuh orang tosu memakai pakaian pertapaan, di tangan mereka memegang perabot untuk melakukan upacara sembahyang, mereka mulai membaca doa untuk mengundang malaikat. Di bagian bawah cim cee, terdapat tidak kurang tiga puluh ribu orang penduduk kampung yang juga turut sembahyang. Suasana di dalam kelenteng Su tay ong bio jadi hening, kecuali suara membaca doa dan alat-alat tetabuhan suci. Tidak lama, dari dalam kamar di sebelah kiri meja sembahyang keluar seorang tosu mengenakan jubah kuning berkembang Pat-kwa, itulah Hoan Sek totiang dari gunung Bong-san yang pada dua tahun yang lalu datang ke kelenteng Su-tay ong bio. Kang Hoo yang turut berjejalan di antara ribuan penduduk Cie-yang, memperhatikan semua upacara sembahyang itu. Dengan rupa yang dibikin-bikin dan rambut riap- riapan, Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, tangannya memegang pedang. Setelah Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, mendadak saja ia seperti kemasukan rokh halus, ia melompat lompat setinggi lima sampai enam kaki, kemudian duduk di atas kursi berukiran naga. Penduduk Cie-yang yang datang bersembahyang bisa melihat Hoan Sek totiang sudah mulai kemasukan setan, dan mereka tampak tak berani mengeluarkan suara, tidak terkecuali kaum bangsawan yang berada di atas cim cee dekat meja sembahyang, mereka juga tak berani bicara apa-apa memandang wajah si tosu yang sudah kemasukan rokh halus. Sementara itu Hoan Sek totiang yang sudah duduk di atas kursi kebesarannya dengan suara rokhnya berseru, “Aku adalah malaikat Kim liong su-tay ong yang mengepalai tiga ribu empat ratus lie sepanjang sungai Hong hoo karena penduduk dari bagian bawah sungai Hong hoo memiliki sifat-sifat jahat, maka telah membuat aku jadi gusar, dan akan menurunkan banjir, tapi mengingat kalian penduduk Cie-yang yang taat dan telah melakukan sam-seng, maka aku membatalkan niatku untuk membuat di sekitar tepi sungai jadi banjir. Tapi ingat, kalian harus segera mengumpulkan sebanyak seratus dua puluh ribu uang emas guna bikin betul kelenteng Siok-kok koan yang berada di atas gunung Bong-san, semua derma kalian tentu akan diketahui Thian!” Setelah mengucapkan perkataan itu, Hoan Sek totiang mendadak lompat dari atas kursinya, lalu roboh di bawah. Sesaat kemudian, baru Hoan Sek totiang bangkit bangun, ia menghela napas lalu duduk lagi di atas kursinya dan berkata seorang diri, “Aku kenapa mesti dapatkan ini siksaan. Setelah kemasukan rokh suci aku seperti orang mati, tidak bisa bernapas, aib, aku mesti minta malaikat buat pilih lain orang saja.” Penduduk kampung yang hadir dalam ruangan itu mendengar ucapan Hoan Sek totiang yang minta lain orang mewakilinya, mereka jadi kaget, lalu ramai-ramai membujuk si orang agar ia saja yang meneruskan pemimpin upacara sembahyang itu. Akhirnya upacara diteruskan. Selesai mengadakan upacara sembahyang, maka orang-orang kampung kembali ke rumah masing- masing. Menyaksikan ketololannya penduduk Cie-yang. Kang Hoo hanya bisa tertawa di dalam hati, meskipun ia tahu semua itu adalah tipu muslihatnya si tosu Hoan Sek untuk mengelabui orang bodoh guna mencari uang, tapi karena ia menjaga dalam perjalanan agar jangan sampai timbul bentrokan dari pihak manapun, lebih-lebih di badannya membawa Angsa Emas Berkepala Naga maka tindak tanduknya ia batasi. Setelah berkeliling kampung, maka ia menginap di satu losmen. Malampun tiba. Kang Hoo rebah di atas pembaringan, seruling perak dan bungkusan Angsa Emas Berkepala Naga diletakkan di bawah bantal. Api lilin menerangi ruangan kamar. Besok pagi aku harus melanjutkan perjalanan ke laut Pok hay, melihat keadaan sungai demikian rupa, maka terpaksa aku jalan darat. Lebih cepat lebih baik. Semoga dengan kuserahkannya Angsa Emas maka permusuhan antara suhuku dan suhu Hong Pin, bisa didamaikan hingga tidak akan merembet-rembet kepada muridnya, kalau dendam ini tidak akan dihabiskan sampai di sini, sampai kapan manusia harus saling bunuh untuk melampiaskan dendam masing-masing......?” Ketika Kang Hoo rebah, dengan pikiran menerawang tidak keruan, mendadak saja telinganya mendengar suara angin yang santer di atas genteng. Kang Hoo kaget, ia cepat lompat bangun dari tempat tidurnya, tangannya segera mengambil bungkusan Angsa Emas dan seruling perak di bawah bantal. Kemudian ia mendongakkan kepala ke atas memperhatikan suara kesiuran angin. Ia tahu kesiuran angin yang lewat di atas genteng itu bukanlah angin biasa, itulah angin dari gerakan seseorang yang memiliki kepandaian berlari di atas genteng, dan setelah sekian saat ia tidak mendengar ada tanda-tanda yang mencurigakan, maka cepat Kang Hoo membuka jendela, ia ingin melihat suara lari di atas genteng itu suara siapa, tapi setelah jendela dibuka keadaan di luar gelap, maka dengan membawa bungkusan Angsa Emasnya ia lompat ke atas genteng. Suasana gelap, langit hitam, bintang tak tampak, hanya sinar seruling menerangi di sekitarnya. Sepasang mata Kang Hoo memperhatikan ke arah mana bayangan tadi lewat, dan tidak lama ia bisa melihat berkelebatnya bayangan hitam di atas wuwungan kelenteng. Kang Hoo ingin tahu apa yang akan dikerjakan bayangan hitam itu, ia sudah lari mengejar, tapi baru saja tiba di tempat bayangan hitam tadi. Di sana ia tidak melihat bayangan apapun. Kembali Kang Hoo dibuat jadi heran, gerakan bayangan hitam tadi sangat gesit luar biasa. Sebentar saja sudab lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia mencari-cari kemana lenyapnya bayangan hitam tadi, mendadak saja dari sebelah kirinya terdengar suara teriakan. Kemudian suara teriakan tadi lenyap ditelan angin malam. Mendengar suara teriakan itu, Kang Hosi segara lompat ke arah kiri, jelas kalau suara teriakan tadi keluar dari bawah wuwungan kelenteng. Maka ia segera lompat turun. Begitu Kang Hoo sampai di tanah, ia melihat di depannya sebuah jendela terbuka dan api penerangan keluar dari sana. Buru-buru Kang Hoo menghampiri jendela dan melongok ke dalam, “Aaaa.......” Begitu Kang Hoo melihat apa yang ada di dalam ruangan kamar tadi, ia jadi kaget, karena di dalam kamar di atas ranjang menggeletak sesosok tubuh yang sudah terpisah kepala dan badannya, darah berceceran di sana. Melihat dari wajah kepala orang yang sudah berpisah dari lehernya Kang Hoo mengenali itulah kepala Hoan Sek totiang. Selagi Kang Hoo bengong melihat kepala Hoan Sek totiang dari dalam kamar lain terdengar suara langkah orang mendatangi, Kang Hoo kaget cepat ia lompat ke atas genteng, lalu lari kabur. Dalam perjalanan menuju kamarnya. Kang Hoo kembali melihat bayangan hitam di sebelah selatan. Ia berniat mengejar, tapi mendadak saja entah bagaimana timbul sifat masa bodohnya, ia lalu lari ke losmen. Dan setelah masuk ke dalam kamar, cepat ia menutup jendela. Setelah mematikan api lilin, lalu merebahkan dirinya di atas ranjang. “Siapa bayangan hitam itu!” Pikir Kang Hoo. “Apa anggota golongan Kalong? Dan siapa pula yang membunuh Hoan Sek totiang keterlaluan. Memang benar Hoan Sek totiang telah menipu penduduk Cie-yang dengan segala macam akal busuknya, tapi itu juga tidak perlu harus membunuh dirinya.” Seribu satu macam pertanyaan berkelebat dalam otak Kang Hoo tanpa jawab, akhirnya ia memejamkan sepasang matanya. Kang Hoo yang sudah tidur pulas di dalam kamar, tidak mengetahui kalau sejak ia masuk ke dalam kamarnya, gerak geriknya telah diintip oleh orang. Si pengintip bukan lain adalah bayangan hitam yang pernah dilihatnya di atas wuwungan kelenteng. Bayangan hitam tadi mengenakan pakaian ringkas untuk jalan malam, mukanya menggunakan topeng hitam. Di pinggangnya terselip sebatang pedang. Begitu ia mendengar suara napas Kang Hoo yang sudah tidur pulas, bayangan hitam tadi dengan mengaitkan kakinya di atas genteng, dan kepala ke bawah, ke arah jendela, sesaat ia mendengarkan suara dengkurnya Kang Hoo. Setelah yakin kalau Kang Hoo sudah tidur pulas, dengan masih menggelayut bagaikan binatang kalong, tangan bayangan hitam itu bekerja, mencongkel jendela, dan sebentar kemudian daun jendela sudah terpentang lebar. Berbarengan dengan terpentangnya daun jendela, bayangan hitam tadi lalu lompat masuk ke dalam kamar. Gerakannya sangat enteng dan ringan. Suasana di dalam kamar sangat gelap, di sana hanya terdengar suara dengkur Kang Hoo yang tidur pulas. Diiringi suara hembusan angin malam yang masuk menerobos lubang jendela. Belum lama bayangan hitam itu masuk ke dalam kamar, mendadak saja terdengar suara benda jatuh, kemudian terdengar suara keluhan tertahan yang keluar dari mulut bayangan hitam tadi. Kemudian kamarpun menjadi terang. Apa yang terjadi? Rupanya bayangan hitam tadi begitu masuk ke dalam kamar, ia lalu melakukan serangan pukulan ke arah Kang Hoo yang masih tidur terlentang. Sedang tangan kirinya, menyambar bawah bantal Kang Hoo dimana disimpan Angsa Emas. Tapi begitu serangan kepalan tangan bayangan hitam itu meluncur ke dada Kang Hoo, belum lagi mengenai sasaran, mendadak saja bayangan hitam tadi terpental dan jatuh bersandar di bawah dinding. Kang Hoo yang tidak mengetahui kalau sudah ada musuh gelap melakukan serangan dan hendak mencuri Angsa Emas, sebenarnya ia tidak sadar kalau dirinya sudah diserang lawan. Dan ia baru terjengkit kaget ketika di dalam kamarnya terdengar suara gedebrukan dari benda yang jatuh. Ia buru-buru meraba bawah bantalnya. Dan Angsa Emas masih berada di sana. Lalu ia lompat bangun dan menyalakan api lilin. Begitu kamar menjadi terang. Tampaklah sesosok bayangan hitam yang sedang duduk bersandar di bawah dinding di pojok ruangan. Dengan penerangan sinar lilin Kang Hoo bisa melihat bagaimana bentuk perawakan bayangan hitam itu, itulah seorang berseragam hitam dan berselubung muka hitam, di dada kiri orang itu terlukis sebuah lukisan Kalong Merah. “Kalong merah,” bentak Kang Hoo. “Apa kehendakmu masuk ke dalam kamar ini?' Topeng hitam tidak menjawab, dengan lemah ia bangun berdiri, kemudian sepasang matanya tampak berputaran memperhatikan seluruh ruangan. Kemudian mendadak saja tubuhnya lompat ke arah jendela. Gerakan lompatan si topeng hitam sangat gesit, tapi gerakan Kang Hoo lebih cepat lagi, begitu topeng hitam lompat ke jendela hendak kabur, ia sudah bergerak dan menarik sebelah kaki kanan dari orang itu, lalu dilemparkan ke atas pembaringan. Kalong merah mati kutu. Ia meringkuk di atas pembaringan, Hanya sinar matanya yang menatap wajah Kang Hoo. Gerakan Kang Hoo tidak sampai di situ saja, begitu si topeng hitam sudah terbanting di atas tempat tidurnya, ia menubruk datang, dan dengan ujung serulingnya ia mencongkel tutup kerudung muka orang itu, maka kain hitam penutup wajah itu jatuh di lantai. Dan ketika wajah topeng hitam tadi sudah tak berselubung muka lagi, mendadak saja Kang Hoo lompat mundur dua tindak, kemudian berseru, “Kau...kau.... Nona Siong In...?” Topeng hitam yang sudah dibikin tak berdaya bahkan tutup topeng mukanya telah dicongkel oleh seruling Kang Hoo, bukan lain adalah Siong In dengan lesu ia bangun dan duduk di atas pembaringan, menatap wajah Kang Hoo, kemudian katanya, “Kau hebat. Tak kusangka setelah beberapa tahun tidak bertemu, kau sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa.” “Beberapa tahun,” seru Kang Hoo. “Di bawah lembah, aku pernah melihatmu. Dan eh bagaimana malam ini kau menggunakan pakaian seragam hitam itu. Dan apa maksudmu masuk ke dalam kamar ini?” Dengan masih duduk di atas pembaringan Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Aku membutuhkan Angsa Emas itu!” Kang Hoo melengak, serunya, “Untuk apa? Benda ini sudah kujanjikan untuk kuserahkan pada Hong Pin.” “Aaaaah .... Aku butuh untuk menolong ayahku,” jawab Siong In. “Ayahku menjadi tawanan dari kauwcu perkumpulan Kalong.” “Eh,” Kang Hoo kaget. “Tapi ayahmu di dalam lembah, bukankah memimpin rombongan orang- orang Kalong hitam, mengapa ia bisa menjadi tawanan kauwcu? Apa maksudmu?” Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Ayahku hanyalah seorang pemimpin salah satu cabang. Di atas dia masih ada seorang yang lebih berkuasa dan memiliki kepandaian tinggi. Karena ayah mendapat fitnah gara-gara aku mengenal dan pernah menolong dirimu, maka ia telah ditahan, dan sebagai tebusan aku harus mencari Angsa Emas itu. Nah sekarang pinjamkan aku benda yang ada pada dirimu itu.”