Cerita Silat | Mustika Gaib | oleh Buyung Hok | Mustika Gaib | Cersil Sakti | Mustika Gaib pdf
Patung Hok Lok Sioe - OKT Mustika Gaib - Buyung Hok Pendekar Pulau Neraka - 28. Pedang Kawa Hijau Trio Detektif 35 - Penculikan Ikan Paus Pendekar Pulau Neraka - 52. Si Gila Dari Muara Bangkai
GUNUNG BONG-SAN. Tiga sosok bayangan berkelebat, menuju Istana Kalong di puncak gunung. Sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu gerbang istana. Kehadiran mereka disambut oleh serangan berpuluh-puluh orang seragam hitam. Tapi serangan puluhan seragam hitam itu, tidak sanggup menahan terjangannya tiga orang yang menerobos masuk. Sebentar saja mereka sudah roboh bergelimpangan mampus dan mencair jadi biru. Kang Hoo melihat bagaitaana sepak terjang Hong Pin dan gurunya, tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bernapas, ia jadi tergidik, karena dalam hati si pemuda tak ada niat untuk membunuh orang, maka ia hanya lompat sana lompat sini mengelakkan datangnya serangan orang-orang dari istana Kalong, meskipun begitu, mereka tak sanggup melukai Kang Hoo, karena mereka bermentalan mundur dengan sendirinya terkena pukulan dari ilmu Karakhter. “Cianpwe,” teriak Kang Hoo pada Cui Ngo Kho yang terus mengamuk. “Aku ambil jalan belakang.” “Persetan!” seru Cui Ngo Kho yang terus menggerakkan kaki dan tangannya merobohkan puluhan orang-orang seragam hitam yang terus berdatangan menyerang. Gerakan Cui Ngo Kho disusul dengan gerakan tongkat Hong Pin yang luar biasa dimana tongkat berkelebat, maka di situlah manusia berbaju hitam roboh terjengkang dan binasa. Kang Hoo mengambil jalan belakang, maksudnya ia tidak mau turut campur membunuh, maka dengan berlarian di atas batu-batu gunung akhirnya si pemuda tiba di pintu belakang dari istana Kalong. Penjagaan di pintu belakang kurang kuat, meskipun ada beberapa orang yang datang menghadang Kang Hoo, tepi mereka dengan mudah terpukul mundur tanpa mendapat luka. Melihat gerakan Kang Hoo, para penjaga pintu belakang yang terpelanting jatuh mereka jadi terlongong-longong dan tidak berani bergerak. Kang Hoo berhasil masuk ke dalam Istana melalui pintu belakang. Tanpa ia sadari, akhirnya ia tiba di sebuah ruangan, itulah ruangan penjara dari Istana Kalong. Beberapa kamar berjeruji besi berderet di sana. Para penjaga penjara begitu melihat munculnya seorang gembel, mereka segera melakukan serangan, tapi serangan mereka cuma-cuma saja karena mendadak tubuh mereka berpentalan ke dinding penjara. Ketika Kang Hoo hendak lari menuju ke dalam ruangan besar, mendadak dari salah satu kamar penjara terdengar suara teriakan, “Hai! Kang Hoo.” Kang Hoo kaget ia menoleh ke arah datangnya suara panggilan, dan di salah satu kamar penjara berjerji besi tampak seraut wajah yang ia kenal, itulah wajah Siong In. “Nona Siong In,” seru Kang Hoo lari menghampiri. “Kau ambil kunci dari orang itu,” seru Siong In, menunjuk salah seorang penjaga, yang duduk numprah di lantai akibat roboh terbentur dinding. Kang Hoo tepat menghampiri orang tadi, ia meminta kunci penjara. Orang tadi sudah begitu ketakutan pada Kang Hoo, tanpa banyak bicara ia menyerahkan kunci penjara. Dan setelah mengeluarkan Siong In dari dalam penjara, kemudian Kang Hoo membebaskan ayah Siong In yang dikurung di kamar sebelah kirinya. “Bagaimana kau bisa ditahan?” tanya Kang Hoo. “Sialan!” jerit Siong In. “Kauw-cu bangsat itu manusia liar, setelah menerima Angsa Emas ia menjebloskan aku ke dalam penjara, katanya aku adalah komplotannya golongan agama baru yang mesti dibasmi.” “Ayo cepat antar aku ke kamar kauw-cumu.” Seru Kang Hoo, “Aku akan mengambil pulang itu Angsa Emas.” “Mari,” seru Siong In. “Tunggu dulu,” kata Lo Siauw Houw, “Kita harus mandi dulu di telaga penawar.” Ayah Siong In lebih tahu soal-soal yang terjadi di dalam golongan Kalong. “Ah, ya.” seru Siong In. “Tubuh kami sudah dilumuri racun pelumer, harus mandi dulu di telaga penawar. Kau jalan dulu, di sebelah kanan dari jalan ini kau akan menemukan ruangan besar di mana Kauw-cu bersama para penasehatnya sedang berusaha memecahkan rahasia Angsa Emas.” Mendengar itu, Kang Hoo segera lari ke dalam ruangan besar, dan begitu ia tiba di sana, di dalam ruangan besar sudah terjadi pertempuran hebat. Rupanya Cui Ngo Kho yang menerobos dari pintu depan sudah berhasil masuk ke dalam ruangan besar, ia sedang bertempur dengan seorang tua berambut putih, itulah Pek-kut Ie-su alias Kong sun But Ok, dan Hong Pin sedang dikeroyok oleh tiga orang tua seragam hitam. Melihat dari jalan pertempuran dapat diduga sempal dimana kekuatan meraka. Cui Ngo Kho yang menghadapi Pek-kut Ie-su seringkali mundur ke belakang. Itu membuktikan kalau kekuatan Cui Ngo Kho masih kurang setingkat di bawah Pek-kut Ie-su, sedang pukulan-pukulan Pek-kut Ie-su selalu mengeluarkan uap beracun. Kang Hoo kini tahu, uap yang keluar dari pukulan Pek-kut Ie-su itulah yang telah membuat sepasang mata Hong Pin pada beberapa belas tahun yang lewat menjadi buta. Setelah memperhatikan jalannya pertemparan, dan melihat bagaimana Hong Pin juga terdesak mundur menghadapi serangan keroyokan tiga orang. Kang Hoo memperhatikan sekitar ruangan. Begitu ia melihat di atas meja sembahyang terdapat sebuah benda emas berbentuk Angsa Berkepala Naga yang berada di atas sebuah piring porselen, cepat ia lompat ke sana. Dan mencomot Angsa Emas Berkepala Naga dari atas meja. Pek kut Ie-su, Cui Ngo Kho dan Hong Pin, serta tiga orang tua yang mengeroyok si buta, melihat gerakan Kang Hoo. Tapi mereka tidak sempat berbuat apa-apa, karena harus menghadapi serangan-serangan maut dari lawan masing- masing. Hingga dengan mudah Kang Hoo berhasil mengambil Angsa Emas Berkepala Naga dari atas piring porselen yang berada di atas meja sembahyang. Setelah ia mengambil Angsa Emas, Kang Hoo berteriak, “Hentikan pertempuran!” Suara teriakan Kang Hoo menggema di sekitar ruangan besar. Dan saat itu mereka yang sedang bertempur sudah melompat mundur, mereka serentak mengurung Kang Hoo. “Bocah gila,” seru Pek-kut Ie su. “Kau serahkan Angsa Emas itu, kalau tidak jangan sesalkan aku.” Kang Hoo yang berada di dalam kurungan orang- orang itu, ia jadi bingung, didepannya kini ia sedang menghadapi gurunya sendiri itulah Pek-kut Ie-su, dan orang itu adalah pimpinan dari manusia- manusia yang menteror ayahnya. Mendadak saja hatinya jadi panas. Ia mencabut seruling perak pemberian gurunya, kemudian dilemparnya ke depan Pek kut Ie-su, lalu katanya, “Terimalah kembali serulingmu. Angsa Emas takkan kuserahkan kepadamu. Kau telah banyak membuat dosa. Membunuh ayahku dan juga membutakan seorang pemuda yang tak berdosa, maka Angsa Emas ini akan kuserahkan pada Hong Pin. Apa kau mengerti?” “Eh kau berani mati?” seru Pak-kut Ie-su. “Kematian bukan apa-apa bagiku,”' jawab Kang Hoo “Nah kau ambillah serulingmu.'' “Apa?” Tanya Pek kut Ie-su. “Seruling apa? Kau memang anak gila, mana aku punya seruling, seumur hidup aku belum pernah memiliki seruling.” Mendengar jawaban itu Kang Hoo jadi melompongkan mulut memandang sang guru. Bukankah seruling itu pemberian gurunya ketika ia melatih ilmu karakhter di dalam goa Hoa-ie tong, bagaimana kini engkau sudah melupakannya, saking bingungnya Kang Hoo bergumam. “Bukan serulingmu? Kau siapa?” “Aku, haaa. Haaaa….” Tertawa Pek kut Ie-su, “Bocah bau sambel, mana kau ke¬nal, aku adalah Pek kut Ie-su. Haaaa.” “Kau kenal aku siapa?” Tanya Kang Hoo. “Kau, kau .... Siapa kau.....?” Seru Pek kut Ie-su. Mendengar itu Kang Hoo jadi bingung lagi, apakah gurunya ini sudah gila hingga tak mengenalnya sebagai muridnya. Maka jawabnya, “Aku muridmu. Kang Hoo. Penerima ilmu Karakhter, apa suhu masih ingat?” “Eh, apa hari ini aku bertemu anak gila, aku belum pernah mengangkat murid. Dan ilmu Karakhter itu ilmu apa? Ayo serahkan patung Angsa Emas itu!!” Kang Hoo jadi kelabakan. Bagaimana seorang guru yang memilik ilmu kepandaian tinggi, dan memahami dua aliran agama itu bisa melupakan muridnya. Dan ketika mendengar Pek kut Ie-su meminta Angsa Emas, tanpa disadari Kang Hoo berkata, “Aku akan serahkan benda ini, asalkan kau bisa membunuh diriku.” Ucapan Kang Hoo demikian rupa membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu jadi kaget, lebih-lebih Cui Ngo Kho, ia tahu sendiri sampai dimana tingginya ilmu kepandaian Pek-kut Ie-su, hampir saja ia berteriak mencegah tapi sebagai jago tua rimba persilatan cepat ia sadar, bocah ini berani mengeluarkan ucapan begitu pastilah ada yang diandalkan, dan bukankah orang yang dihadapi juga merupakan gurunya sendiri. Maka dengan wajah heran Cui Ngo Kho menantikan perkembangan selanjutnya. Sedang Hong Pin segera mendekati gurunya membisikkan sesuatu di telingan sang suhu. Mendengar bisikan Hong Pin, Cui Ngo Kbo hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Pek-kut Ie-su yang mendengar suara tantangan Kang Hoo, ia tersenyum masam. Katanya, “Baik! Inilah kehendakmu sendiri, kau akan mampus dengan mata mendelik.” Berbarengan dengan akhir ucapannya, Pek-¬kut Ie-su segera mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas, kepalan tangannya diarahkan ke atas batok kepala Kang Hoo. Kang Hoo memperhatikan gerakan tangan Pak kut Ie-su di depannya. Ia juga sudah siap dengan jurus kunci dari ilmu Karakhter yang diturunkan oleh gurunya, maka ilmu ini akan segera memakan penciptanya sendiri. Selagi Kang Hoo siap, dengan ilmu Kara k h teraya, mendadak terdengar suara teriakan Psk-kut I» su yang loaapai melambung ke atas, kepalan tangan kanannya mangeLiarkaa uap patih mengarah ke atas batok kepala Kang Hoo. Berbarengan mana, dengan masih memegang Angsa Emas Berkepala Naga di tangan kanan. Kang Hoo segera menyilangkan kedua tangannya ke atas, kemudian ia berteriak dan menggebrak bumi dengan kaki kanannya. Suara teriakan Pek-kut Ie-su disusul dengan suara teriakan Kang Hoo yang melakukan gerak kunci ilmu Karakhter dan saat itu badan Pek-kut Ie-su masih berada di tengah udara, tangannya hampir saja membentur batok kepala Kang Hoo. Cui Ngo Kho yang menyaksikan kejadian itu, ia menghela napas. Tidak berani menduga nasib apa yang akan dialami Kang Hoo.
Patung Hok Lok Sioe - OKT Mustika Gaib - Buyung Hok Pendekar Pulau Neraka - 28. Pedang Kawa Hijau Trio Detektif 35 - Penculikan Ikan Paus Pendekar Pulau Neraka - 52. Si Gila Dari Muara Bangkai
GUNUNG BONG-SAN. Tiga sosok bayangan berkelebat, menuju Istana Kalong di puncak gunung. Sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu gerbang istana. Kehadiran mereka disambut oleh serangan berpuluh-puluh orang seragam hitam. Tapi serangan puluhan seragam hitam itu, tidak sanggup menahan terjangannya tiga orang yang menerobos masuk. Sebentar saja mereka sudah roboh bergelimpangan mampus dan mencair jadi biru. Kang Hoo melihat bagaitaana sepak terjang Hong Pin dan gurunya, tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bernapas, ia jadi tergidik, karena dalam hati si pemuda tak ada niat untuk membunuh orang, maka ia hanya lompat sana lompat sini mengelakkan datangnya serangan orang-orang dari istana Kalong, meskipun begitu, mereka tak sanggup melukai Kang Hoo, karena mereka bermentalan mundur dengan sendirinya terkena pukulan dari ilmu Karakhter. “Cianpwe,” teriak Kang Hoo pada Cui Ngo Kho yang terus mengamuk. “Aku ambil jalan belakang.” “Persetan!” seru Cui Ngo Kho yang terus menggerakkan kaki dan tangannya merobohkan puluhan orang-orang seragam hitam yang terus berdatangan menyerang. Gerakan Cui Ngo Kho disusul dengan gerakan tongkat Hong Pin yang luar biasa dimana tongkat berkelebat, maka di situlah manusia berbaju hitam roboh terjengkang dan binasa. Kang Hoo mengambil jalan belakang, maksudnya ia tidak mau turut campur membunuh, maka dengan berlarian di atas batu-batu gunung akhirnya si pemuda tiba di pintu belakang dari istana Kalong. Penjagaan di pintu belakang kurang kuat, meskipun ada beberapa orang yang datang menghadang Kang Hoo, tepi mereka dengan mudah terpukul mundur tanpa mendapat luka. Melihat gerakan Kang Hoo, para penjaga pintu belakang yang terpelanting jatuh mereka jadi terlongong-longong dan tidak berani bergerak. Kang Hoo berhasil masuk ke dalam Istana melalui pintu belakang. Tanpa ia sadari, akhirnya ia tiba di sebuah ruangan, itulah ruangan penjara dari Istana Kalong. Beberapa kamar berjeruji besi berderet di sana. Para penjaga penjara begitu melihat munculnya seorang gembel, mereka segera melakukan serangan, tapi serangan mereka cuma-cuma saja karena mendadak tubuh mereka berpentalan ke dinding penjara. Ketika Kang Hoo hendak lari menuju ke dalam ruangan besar, mendadak dari salah satu kamar penjara terdengar suara teriakan, “Hai! Kang Hoo.” Kang Hoo kaget ia menoleh ke arah datangnya suara panggilan, dan di salah satu kamar penjara berjerji besi tampak seraut wajah yang ia kenal, itulah wajah Siong In. “Nona Siong In,” seru Kang Hoo lari menghampiri. “Kau ambil kunci dari orang itu,” seru Siong In, menunjuk salah seorang penjaga, yang duduk numprah di lantai akibat roboh terbentur dinding. Kang Hoo tepat menghampiri orang tadi, ia meminta kunci penjara. Orang tadi sudah begitu ketakutan pada Kang Hoo, tanpa banyak bicara ia menyerahkan kunci penjara. Dan setelah mengeluarkan Siong In dari dalam penjara, kemudian Kang Hoo membebaskan ayah Siong In yang dikurung di kamar sebelah kirinya. “Bagaimana kau bisa ditahan?” tanya Kang Hoo. “Sialan!” jerit Siong In. “Kauw-cu bangsat itu manusia liar, setelah menerima Angsa Emas ia menjebloskan aku ke dalam penjara, katanya aku adalah komplotannya golongan agama baru yang mesti dibasmi.” “Ayo cepat antar aku ke kamar kauw-cumu.” Seru Kang Hoo, “Aku akan mengambil pulang itu Angsa Emas.” “Mari,” seru Siong In. “Tunggu dulu,” kata Lo Siauw Houw, “Kita harus mandi dulu di telaga penawar.” Ayah Siong In lebih tahu soal-soal yang terjadi di dalam golongan Kalong. “Ah, ya.” seru Siong In. “Tubuh kami sudah dilumuri racun pelumer, harus mandi dulu di telaga penawar. Kau jalan dulu, di sebelah kanan dari jalan ini kau akan menemukan ruangan besar di mana Kauw-cu bersama para penasehatnya sedang berusaha memecahkan rahasia Angsa Emas.” Mendengar itu, Kang Hoo segera lari ke dalam ruangan besar, dan begitu ia tiba di sana, di dalam ruangan besar sudah terjadi pertempuran hebat. Rupanya Cui Ngo Kho yang menerobos dari pintu depan sudah berhasil masuk ke dalam ruangan besar, ia sedang bertempur dengan seorang tua berambut putih, itulah Pek-kut Ie-su alias Kong sun But Ok, dan Hong Pin sedang dikeroyok oleh tiga orang tua seragam hitam. Melihat dari jalan pertempuran dapat diduga sempal dimana kekuatan meraka. Cui Ngo Kho yang menghadapi Pek-kut Ie-su seringkali mundur ke belakang. Itu membuktikan kalau kekuatan Cui Ngo Kho masih kurang setingkat di bawah Pek-kut Ie-su, sedang pukulan-pukulan Pek-kut Ie-su selalu mengeluarkan uap beracun. Kang Hoo kini tahu, uap yang keluar dari pukulan Pek-kut Ie-su itulah yang telah membuat sepasang mata Hong Pin pada beberapa belas tahun yang lewat menjadi buta. Setelah memperhatikan jalannya pertemparan, dan melihat bagaimana Hong Pin juga terdesak mundur menghadapi serangan keroyokan tiga orang. Kang Hoo memperhatikan sekitar ruangan. Begitu ia melihat di atas meja sembahyang terdapat sebuah benda emas berbentuk Angsa Berkepala Naga yang berada di atas sebuah piring porselen, cepat ia lompat ke sana. Dan mencomot Angsa Emas Berkepala Naga dari atas meja. Pek kut Ie-su, Cui Ngo Kho dan Hong Pin, serta tiga orang tua yang mengeroyok si buta, melihat gerakan Kang Hoo. Tapi mereka tidak sempat berbuat apa-apa, karena harus menghadapi serangan-serangan maut dari lawan masing- masing. Hingga dengan mudah Kang Hoo berhasil mengambil Angsa Emas Berkepala Naga dari atas piring porselen yang berada di atas meja sembahyang. Setelah ia mengambil Angsa Emas, Kang Hoo berteriak, “Hentikan pertempuran!” Suara teriakan Kang Hoo menggema di sekitar ruangan besar. Dan saat itu mereka yang sedang bertempur sudah melompat mundur, mereka serentak mengurung Kang Hoo. “Bocah gila,” seru Pek-kut Ie su. “Kau serahkan Angsa Emas itu, kalau tidak jangan sesalkan aku.” Kang Hoo yang berada di dalam kurungan orang- orang itu, ia jadi bingung, didepannya kini ia sedang menghadapi gurunya sendiri itulah Pek-kut Ie-su, dan orang itu adalah pimpinan dari manusia- manusia yang menteror ayahnya. Mendadak saja hatinya jadi panas. Ia mencabut seruling perak pemberian gurunya, kemudian dilemparnya ke depan Pek kut Ie-su, lalu katanya, “Terimalah kembali serulingmu. Angsa Emas takkan kuserahkan kepadamu. Kau telah banyak membuat dosa. Membunuh ayahku dan juga membutakan seorang pemuda yang tak berdosa, maka Angsa Emas ini akan kuserahkan pada Hong Pin. Apa kau mengerti?” “Eh kau berani mati?” seru Pak-kut Ie-su. “Kematian bukan apa-apa bagiku,”' jawab Kang Hoo “Nah kau ambillah serulingmu.'' “Apa?” Tanya Pek kut Ie-su. “Seruling apa? Kau memang anak gila, mana aku punya seruling, seumur hidup aku belum pernah memiliki seruling.” Mendengar jawaban itu Kang Hoo jadi melompongkan mulut memandang sang guru. Bukankah seruling itu pemberian gurunya ketika ia melatih ilmu karakhter di dalam goa Hoa-ie tong, bagaimana kini engkau sudah melupakannya, saking bingungnya Kang Hoo bergumam. “Bukan serulingmu? Kau siapa?” “Aku, haaa. Haaaa….” Tertawa Pek kut Ie-su, “Bocah bau sambel, mana kau ke¬nal, aku adalah Pek kut Ie-su. Haaaa.” “Kau kenal aku siapa?” Tanya Kang Hoo. “Kau, kau .... Siapa kau.....?” Seru Pek kut Ie-su. Mendengar itu Kang Hoo jadi bingung lagi, apakah gurunya ini sudah gila hingga tak mengenalnya sebagai muridnya. Maka jawabnya, “Aku muridmu. Kang Hoo. Penerima ilmu Karakhter, apa suhu masih ingat?” “Eh, apa hari ini aku bertemu anak gila, aku belum pernah mengangkat murid. Dan ilmu Karakhter itu ilmu apa? Ayo serahkan patung Angsa Emas itu!!” Kang Hoo jadi kelabakan. Bagaimana seorang guru yang memilik ilmu kepandaian tinggi, dan memahami dua aliran agama itu bisa melupakan muridnya. Dan ketika mendengar Pek kut Ie-su meminta Angsa Emas, tanpa disadari Kang Hoo berkata, “Aku akan serahkan benda ini, asalkan kau bisa membunuh diriku.” Ucapan Kang Hoo demikian rupa membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu jadi kaget, lebih-lebih Cui Ngo Kho, ia tahu sendiri sampai dimana tingginya ilmu kepandaian Pek-kut Ie-su, hampir saja ia berteriak mencegah tapi sebagai jago tua rimba persilatan cepat ia sadar, bocah ini berani mengeluarkan ucapan begitu pastilah ada yang diandalkan, dan bukankah orang yang dihadapi juga merupakan gurunya sendiri. Maka dengan wajah heran Cui Ngo Kho menantikan perkembangan selanjutnya. Sedang Hong Pin segera mendekati gurunya membisikkan sesuatu di telingan sang suhu. Mendengar bisikan Hong Pin, Cui Ngo Kbo hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Pek-kut Ie-su yang mendengar suara tantangan Kang Hoo, ia tersenyum masam. Katanya, “Baik! Inilah kehendakmu sendiri, kau akan mampus dengan mata mendelik.” Berbarengan dengan akhir ucapannya, Pek-¬kut Ie-su segera mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas, kepalan tangannya diarahkan ke atas batok kepala Kang Hoo. Kang Hoo memperhatikan gerakan tangan Pak kut Ie-su di depannya. Ia juga sudah siap dengan jurus kunci dari ilmu Karakhter yang diturunkan oleh gurunya, maka ilmu ini akan segera memakan penciptanya sendiri. Selagi Kang Hoo siap, dengan ilmu Kara k h teraya, mendadak terdengar suara teriakan Psk-kut I» su yang loaapai melambung ke atas, kepalan tangan kanannya mangeLiarkaa uap patih mengarah ke atas batok kepala Kang Hoo. Berbarengan mana, dengan masih memegang Angsa Emas Berkepala Naga di tangan kanan. Kang Hoo segera menyilangkan kedua tangannya ke atas, kemudian ia berteriak dan menggebrak bumi dengan kaki kanannya. Suara teriakan Pek-kut Ie-su disusul dengan suara teriakan Kang Hoo yang melakukan gerak kunci ilmu Karakhter dan saat itu badan Pek-kut Ie-su masih berada di tengah udara, tangannya hampir saja membentur batok kepala Kang Hoo. Cui Ngo Kho yang menyaksikan kejadian itu, ia menghela napas. Tidak berani menduga nasib apa yang akan dialami Kang Hoo.