Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pedang Kunang Kunang - 84

$
0
0
Cerita Silat | Pedang Kunang Kunang | Oleh SD Liong | Pedang Kunang Kunang | Sakti Cersil | Pedang Kunang Kunang pdf

Love Latte - Phoebe Beauty Honey - Phoebe Blind Date - aliaZalea Miss Pesimis - Alia Zalea Cewek - Esti Kinasih

“Dan lagi Thian Wat totiang dari Ceng-sia-pay itu merupakan tokoh penting. Banyak rahasia dari musuh yang dapat tergali dari mulut paderi itu apabila dia dapat pulih kesadaran pikirannya. Maka yang penting yalah mengobati penyakitnya itu, makin cepat makin baik...." “Maksudmu engkau hendak suruh aku lekas-lekas bawa obat itu ke Ceng-sia ?" Siu-mey menegas. “Setidak-tidaknya engkau mengerti tentang ilmu pengobatan. Jauh lebih baik engkau yang membawa kesana daripada aku." “Hm, memang sesuai juga," akhirnya nona itu dapat ditundukkan. Dengan tertawa riang ia menerima tugas itu dan meminta kepada Gak Lui supaya memberikan obat itu kepadanya. Setelah menerima obat, sejenak Siu-mey memandang ke arah kuil tua dan akhirnya beri pesan kepada Gak Lui supaya berhati-hati jangan sampai terjebak siasat lawan. “Jangan kuatir, aku dapat menjaga diri," Gak Lui tertawa, “kuharap engkaupun harus berhati-hati dan lekas menuju ke Ceng sia. Mungkin aku dapat menyusulmu dalam waktu singkat." Demikian Siu mey menuju ke Ceng sia. Setelah nona itu lenyap dari pandang mata, barulah Gak Lui perlahan-lahan melangkah menuju ke kuil tua. Kuil itu sunyi sekali. Dinding temboknya penuh ditumbuhi pakis (lumut) dan rotan. Kedua pintunyapun tertutup rapat. Papan nama yang tergantung di atas pintu masih dapat dibaca 'Ping An Ko Si ' atau kuil Keselamatan. Tiba di pintu, diam2 Gak Lui tertawa: “Sungguh suatu sindiran yang tepat sekali. Kuil Keselamatan.... tetapi di dalamnya bersembunyi durjana2 persilatan yang ganas. Dan tempat pemujaan yang suci ini akan berobah menjadi suatu neraka." Gak Lui keliarkan pandang matanya ke sekeliling lalu mendebur pintu keras2. “Siapa !" terdengar derap kaki orang orang berjalan keluar dan berseru. Dari nada suaranya tahulah Gak Lui bahwa yang berada dalam kuil itu seorang tua yang tak mengerti ilmu silat. “Aku Gak Lui, karena kebetulan lalu di sini hendak memberi hormat pada malaekat kuil ini." “Ho, ho !" kedengaran orang tua itu berseru pula, “pintu tak dikancing, silahkan masuk." Gak Luipun mendorong dengan sebuah jarinya dan benar juga, daun pintu itu segera terbuka. Tampak seorang paderi tua berumur tujuhpuluhan tahun, rambut alisnya sudah putih, tegak berdiri di belakang pintu, ia mengulurkan sebelah tangannya yang kurus sebagai isyarat untuk mempersilahkan tetamunya masuk. Tetapi Gak Lui tak mau segera masuk. Ia memberi hormat: “Silahkan taysu berjalan dulu." “Sicu hendak mempunyai keperluan apa? Mengapa tak mau masuk ?" kata paderi tua itu. Sicu adalah sebutan yang digunakan para paderi dan imam terhadap seorang tetamu yang belum dikenal. “Tak perlulah," kata Gak Lui, “tolong taysu sampaikan saja, suruh orang2 yang bersembunyi di dalam itu keluar berhadapan dengan aku !" “Uh !" paderi itu berseru kaget, “orang2 di dalam? Paderi yang manakah yang hendak engkau cari ?" ---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--- “Bukan paderi tetapi kawanan penjahat yang mengancam pada taysu itu !" “Kawanan penjahat? Tidak, tidak! Di dalam kuil ini tiada orang, lebih2 kawanan penjahat !" “Benarkah ?" “Sudah ... tentu benar," wajah paderi itu agak berobah. Tangannya memegang pintu, “kalau sicu mau masuk, aku tentu menyambut dengan gembira. Tetapi kalau sicu tak mau masuk, aku pun tak .... memaksa dan terpaksa akan menutup daun pintu ...." "Tunggu dulu !” seru Gak Lui. "Taysu berkeras tak mengaku beradanya kawanan penjahat dalam kuil ini dan tak mau menyampaikan pesanku kepada mereka ?" Paderi tua itu gelengkan kepala: "Kuil ini benar2 tiada orang luar dan akupun tak menerima ancaman apa2. Tak peduli engkau hendak bertanya dengan cara apa, aku tetap menjawab begitu !” Gak Lui curiga tetapi ia tak mau turun tangan terhadap seorang paderi tua yang tak mengerti ilmu silat. Akhirnya ia memutuskan untuk mengganti caranya bertanya dengan pertanyaan semacam menyelidiki : "Kalau begitu, mohon tanya taysu. Apakah kedudukan taysu dalam kuil ini ?" "Ini .... ini ......," rupanya paderi itu tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu sehingga ia tersekat-sekat tak dapat menyahut apa yang ditanyakan melainkan memperkenalkan diri: "Aku ... bergelar Beng Gwat." "Dengan kedudukan ?” "Sebagai .... sebagai ... Ti-khek-ceng ...." Ti-khek-ceng yalah paderi yang bertugas menyambut tetamu. “Ti-khek ceng ?" "Ya, benar, benar, aku adalah Ti-khek-ceng, bertugas untuk menyambut setiap tetamu yang datang kekuil ini ...." "Beng Gwat hong tiang, jangan engkau bermain sandiwara! Salah sebuah pantangan dari kaum agama yalah tidak boleh BOHONG ! Mengapa engkau melanggar pantangan itu ?" Merah muka paderi tua itu seketika. Setelah menenangkan semangat ia tetap berkeras : "benar, memang aku adalah hong-tiang dikuil ini. Lain2 hal aku tak membohongimu ...." Hong-tiang yalah kepala pengurus sebuah gereja, biara atau kuil. "Karena hong-tiang tetap berkukuh, terpaksa aku akan bicara dengan terus terang untuk membuka kebohonganmu." "Silahkan .... apa salahku ?" "Pertama, pintu tertutup jelas mengandung kecurigaan. Tak ingin dilihat orang luar. Kedua, sebagai seorang hong-tiang engkau membuka pintu sendiri. Jelas kalau engkau tentu mendapat ancaman orang. Dengan kedua bukti itu, cukuplah untuk menyatakan kebohonganmu !" "Ini .... ini......" karena telah ditelanjangi, paderi tua itu tak dapat bicara lagi. Tubuhnya gemetar. Gak Lui kasihan pada paderi tua itu. Buru2 ia menghiburnya: "Ah, tak perlu hongtiang ketakutan. Karena aku datang kemari, tentu akan berusaha untuk menyelamatkan kuil ini. Jangan takut hongtiang, aku takkan merembet dirimu." "Sungguh ?" paderi tua itu menegas, "mereka mengatakan engkau ini seorang algojo besar dalam dunia persilatan. Begitu melihat orang tentu akan membunuh. Apakah engkau takkan membunuh paderi2 dalam kuil ini ?" "Harap hongtiang suka renungkan. Kalau aku hendak membunuh masakan aku mau bicara begini lama dengan engkau ? Aku tak mau mengotorkan tempat suci ini maka kumohon taysu suka menyampaikan kepada mereka agar mereka keluar menerima kematiannya." "O," Beng Gwat taysu mendesuh. Kini ia mengerti maksud anak muda itu. Ia menyurut mundur dua langkah, lalu berpaling kebelakang hendak memanggil orang. Tetapi tepat pada saat ia berpaling kebelakang, tiga sosok tubuh melesat keluar dari dalam ruangan besar. Mereka tegak berjajar dimuka pintu. Gak Lui tenang2 saja memandang ketiga pendatang itu. Cepat ia dapat mengenali mereka. Yang berdiri ditengah, paderi lama dari Segak (Tibet). Kepalanya gundul, muka merah, tubuh gagah perkasa. Tangannya memegang tongkat Hang mo-kim-go atau tongkat penunduk iblis. Yang disebelah kiri seorang imam. Kepalanya memakai kopiah sembilan segi, jenggot menjulai turun menutup dada, sepasang mata berkilat-kilat tajam dan mencekal sebatang pedang Liat-yan-kiam atau pedang Asap-panas, jelas seorang imam yang berkepandaian tinggi. Sedangkan yang berdiri disebelah kanan, seorang lelaki pertengahan umur yang aneh. Mukanya mirip seekor orangutan, lengan panjang, kaki pandak. Tangan mencekal sebatang tongkat Lan-gin-pang atau tongkat Perak-hancur. Beratnya tak kurang dari seratusan kati. Seorang yang memiliki tenaga kuat sekali. Puas memandang ketiga lawan, diam2 Gak Lui terkejut. Selain memiliki kepandaian tinggi, ketiga orang itu membekal senjata berat. Jelas tujuannya tentu hendak menghadapi pedang pusakanya. Dari hal itu saja dapatlah diketahui bahwa lawan sudah mengadakan persiapan yang sempurna. Dengan menghadang ditengah jalan itu, apabila ia (Gak Lui) mati terbunuh; dengan sendirinya pertempuran di gunung Im-leng-san nanti tentu akan batal dengan kemenangan difihak Maharaja Tio Bik- lui. Paderi muka merah hendak membuka mulut tetapi didahului Gak Lui: "Kalau mau bicara, silahkan ke halaman luar. Jangan mengganggu ketenangan tempat suci ini !" Secepat bicara, secepat itu pula Gak Lui sudah melesat keluar, dia berdiri dihalaman. Gerakan ketiga orang bukan kepalang hebatnya. Dengan bersuit aneh, mereka serempak loncat ke hadapan Gak Lui. Dan serempak dengan suitan itu, dari empat penjuru, muncul berpuluh-puluh orang dengan menghunus pedang. “Apakah kalian sudah lengkap semua ?" seru Gak Lui dengan tenang. Sambil menudingkan tongkat Penakluk-iblis, paderi muka merah itu berseru menggeledek: “Sudah lenglap semua ...." “Bagus, lekas beritahukan namamu untuk menerima kematian ....!" “Heh, heh! Ha, ha, ha, ha!" paderi muka merah itu tertawa marah dan menghambur tertawa aneh yang dilambari dengan tenaga-dalam. Lalu menggembor keras: “Budak, kabarnya engkau sombong sekali tak pernah memandang mata kepada orang. Apa yang kusaksikan saat ini, memang benar !" Sejak bertempur dengan Kaisar Persilatan, Gak Lui dapat menyelami tentang rahasia penting dalam pertempuran. Yalah tak boleh cepat2 marah kepada lawan. Maka ia hanya tertawa dingin dan menyahut: “Kusuruh kalian laporkan nama bukan ingin mendengarkan kalian merintih dan melolong seperti anjing begitu. Perlu apa kalian bertingkah seperti itu?" Mendengar ejekan itu meluaplah kemarahan si paderi muka merah. Urat2 dahinya melingkar-lingkar mengantar gemboran dahsyat: “Kalau kuberitahu namaku, engkau tentu akan melonjak kaget. Maka bersiap siaplah untuk berdiri tegak ....” “Kakiku masih kuat berdiri, tak perlu engkau jual gertakan !" “Aku adalah Hang-mo ceng atau paderi penakluk iblis dari Segak, bergelar Thong Leng.” “Dan siapakah kedua makhluk yang lain itu?” Pertanyaan Gak Lui benar2 membuat si imam tua dan siorang aneh yang berdiri di samping paderi muka merah itu seperti orang kebakaran jenggot. Baru kedua orang itu hendak membuka mulut, Gak Lui sudah menunjuk kepada paderi muka merah, serunya: “Engkau lebih tinggi kedudukanmu, engkau saja yang bicara !" “Totiang ini bergelar Siau Yau tojin, tokoh dari gunung Thian-bok, ilmu kepandaiannya amat tinggi.” “Cukup! Siapa yang satunya !" cepat Gak Lui menukas. “Dia adalah Dewa-lengan-sakti Nyo Beng. Berasal dari gunung Tiang-pek-san, mahir menggunakan tongkat timah-hancur, di dalam dunia tiada tandingan ...." “Cukup! Dia menggunakan tongkat, aku sudah mengetahui sendiri, tak perlu engkau terangkan." Karena omongannya selalu diputus oleh Gak Lui, paderi muka merah itu merah padam mukanya. Tubuhnya menggigil keras sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya. Adalah Dewa-lengan-sakti Nyo Beng yang berasal dari luar perbatasan, karena pengalamannya tentang dunia persilatan Tiong goan kurang luas, tak kenal siapa Gak Lui itu. Matanya berkilat2 tajam memandang wajah Gak Lui yang mengenakan kedok muka itu, lalu berseru : “Budak, menilik umurmu, apakah engkau ini benar2 Gak Lui sendiri ?" Gak Lui mengangguk. Serempak dengan itu si imam Siau Yau tojinpun tertawa menyeringai: “Benar, memang budak inilah si Gak Lui. Ketika di istana Lok- ong-kiong tempo hari kulihat sendiri dia pontang panting melarikan diri dari serangan pedang Maharaja!" Gak Lui menyahut dingin, “O, diantara kawanan anjing yang mengeroyok aku di Lok-ong-kiong tempo hari, terdapat engkau juga ?" “Benar, aku memang hadir di situ dan melihat engkau menjadi setan gentayangan yang dikejar pedang !" sahut Siau Yau tojin yang dapat menahan kemarahannya. Gak Lui maju setengah langkah, tertawa: “Kalau begitu engkau tentu tahu bagaimana nasib dari ketiga algojo Maharaja dan ketiga Siluman dari Goha darah itu, bukan?" “Mereka binasa ditanganmu, akupun tahu juga!" “Lalu mengapa engkau masih berani datang kemari? Apakah engkau tak tahu apa yang disebut kematian itu?" seru Gak Lui. “Ini .... aku sudah mengerti. Oleh karena itu aku mengundang beberapa tokoh berilmu untuk membasmimu, agar di kelak kemudian hari tak menimbulkan bahaya." “Berapa jumlah orangmu yang datang ?" “Semua jago2 istana Lak ong-kiong serta tokoh2 dari tiga bukit lima gunung. Semua berjumlah sembilanpuluh sembilan orang !" “Hai, belum banyak, seratus saja masih kurang satu. Tetapi ....," tiba2 Gak Lui hentikan kata-katanya sejenak, lalu berkata lagi, “tetapi yang kulihat di empat penjuru hanya sembilanpuluh tujuh orang, lalu ke mana yang dua orang?" ”Rupanya engkau menaruh perhatian besar kepada kedua orang itu. Akan kuberitahukan nama mereka tetapi di mana mereka saat ini berada, nanti engkau akan tahu sendiri !" “Katakanlah !" “Yang seorang yalah Penghitung-besi Ci Tong-lay, dia yang seorang Nyonyah pelebur-tulang Tan Jui-hong. Engkau pasti sudah mendengar nama mereka.....”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>