Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Berkeliling Dunia Di Bawah Laut - 14

$
0
0

Cerita Fiksi | Berkeliling Dunia Di Bawah Laut | by Jules Verne | Berkeliling Dunia Di Bawah Laut | Cersil Sakti | Berkeliling Dunia Di Bawah Laut pdf

Lelaki Kabut dan Boneka - Helvy Tiana Rosa Bukan di Negeri Dongeng - Helvy Tiana Rosa Hingga Batu Bicara - Helvy Tiana Rosa Sebab Aku Ingin - Helvy Tiana Rosa Ketika Cinta Berbuah Surga - Habiburrahman El-Shirazy

s.
    Nikmat sekali rasanya, bisa beristirahat sebentar. Sayang, kami tak dapat bercakap-cakap. Kudekatkan ketopong ke penutup kepala Conseil. Kulihat matanya bersinar-sinar. Untuk menyatakan kepuasannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dalam ketopong yang menutupi. Kelihatan kocak sekali.
    Aku heran, karena tak merasa lapar. Padahal kami sudah berjalan beberapa jam lamanya. Aku
    t08
    tak mampu menerangkan, mengapa demikian halnya. Tapi aku merasa sangat mengantuk. Keadaan ini biasa dialami para penyelam. Dengan cepat mataku terkatup di balik kaca tebal. Aku tertidur pulas. Kapten Nemo serta kedua teman kami juga terlena.
    Tak kuketahui, berapa lama aku terbuai alam mimpi. Namun ketika aku bangun kembali, sinar matahari sudah condong ke barat. Kapten Nemo sudah bangun. Aku sedang menggeliat untuk melemaskan persendian yang kaku. Tiba-tiba suatu makhluk muncul mendekat, menyebabkan aku meloncat bangkit.
    Hanya beberapa langkah saja dari tempatku berbaring, seekor laba-laba laut yang sangat besar, kira-kira satu meter tingginya sedang siap untuk menerpa. Walau pakaian selam cukup tebal untuk melindungi diriku dari gigitannya, tapi badanku gemetar juga karena ngeri. Saat itu Conseil dan awak kapal terbangun. Kapten Nemo menunjuk ke arah binatang laut berkulit keras itu. Kelasi mengayunkan senapan, dan laba-laba mati sekali pukul. Kulihat jepit menyeramkan dari binatang itu bergerak-gerak pada saat sekaratnya. Peristiwa itu mengingatkan aku pada binatang-binatang lain yang lebih mengerikan lagi, yang mungkin hidup di tempat dalam itu. Mungkin pakaian selam tak cukup aman! Sebelumnya kemungkinan tersebut tak terpikir olehku. Aku bertekat untuk berjaga-jaga. Timbul sangkaanku, kami akan menghentikan pengembaraan sampai di situ saja. Tapi perkiraan itu keliru, karena Kapten Nemo melanjutkan perjalanan. Dasar laut masih tetap menurun. Rasanya makin curam saja, menuju tempat lebih dalam. Aku menduga. waktu sudah kira-kira pukul tiga siang, ketika kami tiba di sebuah lembah sempit. Letaknya terjepit di antara tebing-tebing curam
    109
    yang tinggi, kira-kira seratus lima puluh meter di bawah permukaan laut. Berkat kesempurnaan alat selam, kami bisa bergerak sembilan puluh meter di bawah batas kemampuan manusia di dalam air.
    Aku mengatakan seratus lima puluh meter, meski tak ada peralatan yang dibawa untuk mengukur jarak kedalaman. Tapi aku tahu, dalam air yang paling jemih sekalipun cahaya matahari tak mampu menembus lebih jauh. Sesuai dengannya, makin dalam kami berjalan, semakin gelap pula sekeliling kami. Benda-benda yang sepuluh langkah dari kami, sudah tak dapat kelihatan lagi. Aku berjalan sambil meraba-raba. Tiba-tiba di depanku memancar cahaya putih yang terang. Rupanya Kapten Nemo menghidupkan lentera listriknya. Kami bertiga mengikuti. Kuputar sebuah tombol yang menyambungkan aliran listrik antara kawat dengan tabung kaca spiral. Air sekeliling kami diterangi empat lentera, dengan garis tengah tiga puluh lima meter.
    Kapten Nemo terus berjalan, semakin dalam masuk rimba. Pepohonan menipis. Kuperhatikan bahwa kehidupan tumbuh-tumbuhan lebih dulu tidak ada, dibandingkan dengan alam hewan.
    Sementara berjalan, kupikir cahaya lampu Ruhmkorff kami pasti akan menarik perhatian beberapa penghuni perairan dalam. Memang betul dugaanku itu, tapi mereka tak berani mendekat. Kapten Nemo berhenti beberapa kali, lalu meletakkan senapannya ke bahu. Tapi kemudian diturunkan lagi, lalu melanjutkan perjalanan. Akhirnya perkelanaan di rimba berhenti juga, sesudah empat jam kami berjalan. Sebuah dinding batu cadas menjulang tinggi di depan kami. Itulah dia, kaki tebing curam dari Pulau Crespo. Kami berhadap-hadapan dengan kaki daratan. Kapten Nemo menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Ia
    110
    mengisyaratkan, agar kami juga berhenti. Betapa inginnya pun mendaki dinding, namun aku terpaksa patuh. Di sinilah akhir daerah kekuasaan Kapten Nemo. Dan dia tak mau melangkahkan kaki melampauinya. Di depan menjulang bagian bumi yang tak mau diinjaknya lagi
    Kami kembali. Kapten Nemo mendahului, berjalan dengan langkah-langkah pasti. Menurut perasaanku, kami tidak mengambil jalan yang sama untuk kembali ke 'Nautilus'. Jalan yang baru sangat terjal, sehingga melelahkan. Dengan cepat kami mendekati permukaan. Tapi juga tak terlalu cepat! Kalau tekanan air berkurang terlalu pesat, badan kami tak akan kuat menahan akibatnya. Tak lama kami berjalan, sekeliling kami mulai terang kembali. Cahaya matahari menembus air dengan sudut yang sudah sangat condong. Di tempat sedalam kira-kira sepuluh meter, kami berjalan di tengah kawanan besar ikan-ikan kecil dari berbagai jenis. Juml ahnya jauh lebih banyak dari burung yang beterbangan di udara.
    Tapi kami masih belum b erpapasan dengan hewan yang layak dijadikan perburu an. Tiba-tiba kulihat Kapten Nemo menyandang senapa n dengan cepat, mengikuti gerak sesuatu yang menyeli nap masuk semak. Pelatuk ditarik: kudengar bunyi desi san pelan, dan seekor hewan rebah di depan. Ternyata seekor berang-berang laut. Panjangnya sekitar satu set engah meter, dan mestinya sangat berharga. Bulunya s ebelah atas berwarna coklat kemerahan, sedang bagian perut berwarna perak. Jenis bulu seperti itu sangat digemari di pasaran bulu hewan di Rusia dan Cina.
    Pengiring Kapten memanggul hasil perburuan itu, dan kami melanjutkan perjalanan. Sejam lamanya kami bergerak di atas dataran pasir, yang kadang-kadang meninggi sampai tinggal dua meter
    111
    saja lagi di bawah permukaan. Aku melihat diri kami tercermin di atas.
    Pada saat itulah aku menyaksikan keahlian menembak yang luar biasa. Seekor burung bersayap lebar terbang melayang di udara, tepat di atas kami. Pengiring Kapten Nemo mengangkat senapan, lalu menembak ketika burung melayang rendah. Burung itu jatuh ke air. Kuperhatikan dari dekat, ternyata seekor elang laut yang sangat indah.
    Kami berjalan terus, melintasi dasar laut yang ditumbuhi tumbuhan ganggang yang sangat sukar dilalui. Karena itu aku sudah hampir kehabisan tenaga, ketika di kejauhan nampak sinar lampu kapal 'Nautilus' menembus kegelapan. Sudah kubayangkan, dua puluh menit lagi kami pasti akan sudah sampai. Aku akan bisa bernafas dengan leluasa kembali. Cadangan udara segar dalam tangki sudah mulai habis. Tapi aku menyangka begitu, tanpa memperhitungkan hal-hal yang bisa menghambat perjalanan.
    Karena sudah letih, aku berjalan agak ketinggalan di belakang. Sekonyong-konyong kulihat Kapten Nemo membalik, dan bergegas menghampiri. Tangannya menekan tubuhku dengan kuat, sehingga aku terbungkuk ke tanah. Masih sempat kulihat pengiringnya melakukan hal sama terhadap Conseil. Mula-mula aku bingung mengalami serangan begitu; tetapi perasaan was-was lenyap kembali, ketika Kapten Nemo ikut merebahkan diri dan berbaring tanpa bergerak.
    Aku menengadah, sambil baring di bawah lindungan semak ganggang. Di atas kami nampak bayangan besar sekali, bersinar pendar. Darahku berhenti mengalir, ketika kukenali wujud bayangan
    112
    itu. Dua ekor ikan hiu yang sangat besar berenang di atas kami. Rupanya menyeramkan sekali, dengan ekor mengibas pelan dan mata yang menatap tanpa berkejap. Sinar pendar yang kelihatan tadi memancar dari lubang-lubang di atas moncong. Wah, seram sekali kelihatannya! Manusia pasti akan langsung mati, jika terjebak di antara dua baris gigi tajam itu. Aku tak tahu, apakah Conseil masih sempat memandang dan menggolongkan jenisnya, atau barangkali dia menyembunyikan muka karena takut. Tapi aku memandang perutnya yang putih perak, serta moncongnya yang lebar dengan deretan gigi tajam, bukan sebagai ahli ilmu alam, tapi sebagai orang yang mungkin bernasib naas dan menjadi korbannya.
    Tapi untung saja, kedua ikan itu tidak awas matanya. Mereka lewat tanpa melihat kami, padahal sirip mereka nyaris menyentuh kepala yang merunduk. Berkat nasib mujur, kami selamat dari bahaya, yang sudah pasti lebih menyeramkan daripada berjumpa harimau dalam hutan! Setengah jam kemudian, kami sampai juga di 'Nautilus'. Pintu luar dibiarkan terbuka sewaktu kami meninggalkannya. Begitu kami masuk kembali dalam sel sempit, Kapten Nemo menutup pintu kembali. Sudah itu ditekannya sebuah tombol. Kudengar pompa-pompa bekerja dalam kapal. Terasa air terisap ke luar sel, makin lama makin rendah. Dalam beberapa detik saja, air dalam sel sudah habis. Kemudian pintu sebelah dalam terbuka, dan kami masuk ke bilik perlengkapan.
    Pakaian selam kami dibuka, dengan agak susah. Aku sudah kehabisan tenaga, karena lapar dan mengantuk, karena itu dengan segera menuju ke kamarku. Tapi aku masih tetap terpesona, kagum mengalami pesiar yang menakjubkan di dasar laut.
    113
    XVII
    BERLAYAR EMPAT RIBU MIL DI BAWAH PERMUKAAN PASIFIK
    KEESOKAN harinya, tanggal 18 Nopember, aku sudah merasa segar kembali. Aku naik ke geladak, tepat pada saat ajudan menggumamkan kalimat yang selalu diucapkannya setiap hari.
    Aku sedang asyik menikmati pemandangan laut yang indah, ketika Kapten Nemo muncul ke atas. Nampaknya ia tak menyadari kehadiranku, karena ia langsung mulai dengan berbagai pengukuran langit. Sesudah selesai, ia lantas menyandarkan diri ke kotak tempat lentera. Pandangnya merenung ke laut. Sementara itu sejumlah awak kapal naik juga ke geladak. Semuanya kelihatan sehat dan kuat. Nyata sekali mereka berasal dari berbagai negara, meski semuanya orang Eropa. Ada yang kukenali sebagai orang Irlandia, ada yang kelihatan berbangsa Perancis, beberapa di antara mereka berasal dari daerah Slavia, serta seorang bangsa Yunani atau Kreta. Mereka bersikap sopan. Namun mereka bercakap-cakap hanya dalam bahasa asing, yang tak kukenal itu. Jadi aku tak dapat bertanya-tanya.
    Mereka menghela jala, yang berwujud pukat. Hari itu banyak sekali tangkapan kami; bermacam-macam jenis ikan yang menggelepar, mulai dari yang kecil sampai ke tiga ekor ikan tuna.
    Menurut perkiraanku, hampir setengah ton ikan yang berhasil ditangkap dengan pukat hari itu. Kami takkan kekurangan bahan makanan yang lezat. Sedang kelajuan kapal 'Nautilus' serta daya penarik lentera akan selalu memikat ikan-ikan mendekat. Dengan segera hasil pukat diturunkan le-
    114
    wat lubang masuk ke kamar kerja dapur. Beberapa di antara ikan-ikan akan dihidangkan hari itu juga, sedang yang lainnya diawetkan.
    Penangkapan ikan sudah selesai. Pergantian udara segar juga sudah dilakukan. Karenanya kukira kami akan melanjutkan perjalanan menyelam; jadi aku sudah siap untuk kembali ke kamar, ketika sekonyong-konyong Kapten Nemo berpaling memandang ke arahku sambil berkata,
    "Profesor, bukankah samudera ini penuh dengan kehidupan? Lautan bisa marah, dan bisa pula bersifat le mbut. Kemarin dia tidur seperti kita, dan sekarang bang un lagi setelah beristirahat satu malam. Lihatlah!" katan ya sambil menunjuk ke depan, "sekarang lautan bangu n kembali, dibelai sinar matahari. Menarik sekali untuk mempelajarinya. Lautan mempunyai denyut nadi dan g ejolak perasaan. Aku setuju dengan sarjana, yang men gatakan bahwa lautan memiliki peredaran yang sama seperti peredaran darah binatang." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Ya, samudera benar-benar mempuny ai peredaran. Dan untuk memeliharanya, Sang Pencipta memberikan kemungkinan pada berbagai jenis makhluk untuk berkembang biak dalamnya."
    Pada saat Kapten Nemo berbicara begitu, dia kelihatan berubah dari biasanya. Perasaanku ikut tergetar karenanya.
    "Dalam laut terdapat kehidupan sejati," tambahnya, "dan dapat kubayangkan tercipta kota-kota samudera, kelompok perumahan bawah air, yang seperti 'Nautilus' muncul ke permukaan untuk menghirup udara segar. Dapat kubayangkan ter-ciptanya kota-kota bebas merdeka. Tapi siapa tahu, mungkin ada lagi penguasa lalim -"
    Kalimat itu dipotong sendiri oleh Kapten Nemo, dengan tepisan tangan. Kemudian ia berbicara pa-
    115
    daku, seakan-akan hendak menyingkirkan pikiran sedih.
    "Tuan Aronnax, tahukah Tuan berapa dalamnya samudera ?"
    "Saya hanya mengetahuinya, berdasarkan pengukuran-pengukuran yang sudah dilakukan."
    "Dapatkah Anda mengatakannya, supaya dapat kujadikan perbandingan?"
    "Ada beberapa di antaranya yang masih saya ingat. Kalau tak salah, kedalaman tujuh ribu dua ratus meter sudah pernah diukur di perairan Atlantik Utara. Kalau di Laut Tengah, pernah diukur dasar sedalam dua ribu meter. Laut terdalam yang pernah diukur, adalah di Atlantik Selatan."
    "Kalau begitu, mudah-mudahan saja kita bisa mencapai tempat yang lebih dalam lagi


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>