Cerita Fiksi | Berkeliling Dunia Di Bawah Laut | by Jules Verne | Berkeliling Dunia Di Bawah Laut | Cersil Sakti | Berkeliling Dunia Di Bawah Laut pdf
Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi
satu syarat yang mengikat Anda."
"Syarat apakah itu, Kapten?"
"Anda kularang bergerak bebas. Begitu juga dengan kedua teman Anda. Kalian tak boleh keluar, sampai kuizinkan lagi."
"Anda yang berkuasa di sini," jawabku sambil menatap mukanya. "Tapi bolehkah saya mengajukan satu pertanyaan?"
"Tidak!"
Jawabannya tandas sekali. Tak ada gunanya membantah lagi. Aku turun dan masuk ke kamar yang ditempati oleh Ned Land dan Conseil. Kukatakan pada mereka tentang perintah Kapten. Ned Land bangkit marahnya.
&nbs p; Tapi kami tak punya waktu lagi untuk berbantahan. Empat awak kapal sudah menunggu di pintu. Kami dian tar masuk ke bilik, di mana kami ditahan pada malam pertama di 'Nautilus'.
Ned Land ma sih hendak memprotes, tapi pintu dibanting di depan hi dungnya.
"Maukah Tuan mengatak an, kenapa hal ini terjadi?" tanya Conseil.
Kuceritakan pada kedua orang itu, apa yang terjadi di atas geladak; mereka juga merasa heran, serta tak bisa menerangkan sebab-sebabnya.
Sementara itu aku termenung. Pikiranku dipenuhi bayangan wajah Kapten, yang kelihatan seperti ngeri. Aku benar-benar tak mengerti kenapa dia
151
begitu. Tapi renunganku diganggu kata-kata Ned Land.
"Profesor! Sarapan sudah disiapkan untuk kita."
Ternyata memang telah disiapkan sarapan untuk kami. Rupanya Kapten Nemo memerintahkannya, pada waktu bersamaan de ngan petunjuk untuk mempercepat jalan kapal.
& nbsp; "Bolehkah saya mengusulkan sesuatu pad a Tuan?" tanya Conseil.
"Katakanlah ."
"Saya usulkan, agar Tuan sarapan sekarang. Siapa tahu apa yang terjadi sesudah ini."
"Benar juga katamu itu, Conseil."
"Sayangnya, kita hanya diberi sarapan yang biasa di kapal," ujar Ned Land kecewa.
"Bung Ned, apa yang akan Anda katakan, kalau sarapan sama sekali tak disediakan oleh mereka?" Conseil yang selalu tenang menasihati juru tombak pengomel itu. Dan mendengar pertimbangan demikian, Ned tak berkata apa-apa lagi. Kami pun sarapan sambil membisu.
Begitu kami selesai sarapan, lampu dalam bilik padam. Kami berada dalam kegelapan pekat. Dengan segera Ned tidur nyenyak. Yang mengherankan bagiku, Conseil juga ikut pulas. Aku masih berpikir-pikir, hendak menebak penyebab rasa mengantuk mereka, ketika kurasakan kepalaku menjadi berat. Meski kupaksakan mata agar tetap nyalang, tapi kelopak rasanya berat sekali. Timbul kecurigaanku. Rupanya makanan yang dihidangkan, dicampuri obat bius. Penahanan rupanya dirasakan belum mencukupi, untuk melindungi rahasia Kapten Nemo dari pengetahuan kami. Kami harus tidur.
Kudengar pelat-pelat ditutup. Goyangan kapal dibuai ombak terhenti. Apakah 'Nautilus' menyelam? Kucoba menahan rasa kantuk, tapi tak sang-
152
gup. Nafasku mulai berat. Kurasakan semua persendian menjadi lemas. Mataku terkatup, seolah-olah terselimut kabut. Aku tertidur, diganggu bermacam-macam mimpi. Kemudian semua bayangan lenyap, dan aku tak sadarkan diri.
XXIII
KERAJAAN KARANG
KEESOKAN harinya aku bangun dengan enak. Aku heran, karena sudah berada dalam kamar kembali. Mestinya Ned dan Conseil juga sudah dipindahkan ke bilik mereka; tanpa mengetahui apa-apa, seperti aku. Mereka sama-sama tak mengetahui hal yang terjadi selama kami tidur. Aku hanya bisa mengharapkan kesempatan baik berikutnya, untuk menyibakkan rahasia itu.
Kemudian aku kepingin keluar kamar. Sudah bebas kembalikah aku, atau masih tetap terkurung. Kucoba membuka tombol pintu. Ternyata aku bebas. Dengan segera aku menuju ke lorong, dan menaiki tangga tengah. Penutup lubang yang kemarin malam ditutup, kini sudah terbuka lagi. Aku naik ke geladak atas.
Di sana, Ned Land dan Conseil sudah menunggu. Mereka tak tahu apa-apa, ketika kutanyai. Mereka tidur pulas, dan juga heran ketika melihat sudah berada dalam bilik mereka kembali.
'Nautilus' tetap sunyi dan penuh rahasia seperti sediakala. Kami bergerak di permukaan, dengan kecepatan sedang. Di kapal tak kelihatan terjadi perubahan sama sekali.
Ajudan naik ke geladak, dan mengucapkan kalimat petunjuk yang biasa ke bawah.
153
Tapi Kapten Nemo tak muncul. Dari awak kapal yang l ain, aku hanya berjumpa dengan pelayan, yang melaya ni tanpa berkata-kata.
Sekitar puku l dua siang, ketika aku sedang sibuk dengan catatanku di ruang duduk, tiba-tiba pintu terbuka. Kapten Nemo masuk, kusambut dengan membungkukkan badan. Ia membalas dengan anggukan kepala, tapi tanpa membuka mulut. Aku kembali pada catatanku. Kuharapkan, dia akan memberikan keterangan mengenai peristiwa yang terjadi kemarin malam. Tapi ternyata tidak. Aku melihat ke arahnya. Kelihatan dia letih sekali. Matanya kuyu, seperti kurang tidur. Wajahnya sayu. Ia berjalan mondar-mandir; duduk sebentar, sudah itu berdiri lagi. Tangannya meraih ke rak, mengambil sebuah buku sembarang saja yang kemudian diletakkan tanpa dibuka. Diperhatikannya alat-alat pengukur, tanpa membuat catatan seperti biasanya. Kapten Nemo rupanya gelisah. Akhirnya ia datang mendekati, lalu berkata,
"Tuan ini seorang dokter atau bukan, Profesor Aronnax?"
Pertanyaan itu sama sekali tak kuduga-duga, sehingga lama aku menatapnya tanpa menjawab.
"Dokterkah Tuan?" ulangnya. "Beberapa di antara rekan Anda menuntut ilmu kedokteran."
"Saya dokter, dan bertugas selaku ahli bedah di rumah sakit," jawabku. "Saya pernah berpraktek beberapa tahun, sebelum bekerja di museum."
"Baiklah, kalau begitu."
Rupanya jawabanku memuaskan Kapten Nemo. Kutunggu pertanyaan berikutnya, sambil memandang dengan penuh perhatian.
"Tuan Aronnax. Bersediakah Tuan untuk memeriksa salah seorang dari anak buahku?"
"Sakitkah dia?"
"Ya."
"Saya sudah siap."
154
"Kalau begitu ikutlah sekarang."
Jantungku berdebar, entah kenapa. Aku merasakan ada hubungan antara jatuh sakitnya seorang awak kapal, dengan peristiwa yang terjadi kemarin. Dan rahasia itu masih tetap merangsang ingin tahuku.
Kapten Nemo mengantar ke bagian buritan 'Nautilus', lalu menyilakan masuk ke sebuah bilik. Letaknya berdekatan dengan ruangan kelasi.
Di dalamnya berbaring seorang pria. Umurnya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya menunjukkan ketetapan hati. Kelihatannya dia berdarah Inggris.
Kubungkukkan badan memandangnya. Orang itu bukan saja sakit, ia juga mengalami cedera. Kepalanya terbungkus kain pembalut yang basah karena darah. Pembalut kubuka, sementara orang itu menatapku dengan mata nyalang. Ia sama sekali tak menunjukkan rasa sakit. Kuperiksa lukanya, seram sekali kelihatannya. Tulang tengkoraknya remuk terpukul suatu benda keras. Otaknya kelihatan memar dan berlumuran darah.
Nafas orang itu pelan sekali. Sekali-sekali mukanya menggerenyut. Kuraba denyut nadinya. Saat itu terasa bahwa tubuhnya sudah mulai dingin. Dengan segera kuketahui, tak lama lagi dia pasti meninggal. Tak ada lagi yang dapat kulakukan untuknya. Karena itu kubalut kembali luka orang malang itu, lalu berpaling pada Kapten Nemo.
"Apakah penyebab luka ini?" tanyaku.
"Pentingkah hal itu Anda ketahui?" balasnya mengelak. "Suatu kejutan mematahkan salah satu tuas mesin. Aku juga kena. Tapi bagaimana pendapat Anda mengenai keadaannya?"
Aku ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Katakan saja," ujar Kapten. "Dia tak memahami bahasa Perancis."
155
Kupandang orang luka itu sekali lagi. "Dua jam lagi dia akan mati." "Tak ada lagi yang dapat menyelamatkan nyawanya?" "Begitulah keadaannya."
Kelihatan tangan Kapten terkejat. Matanya membasah, padahal kukira dia tak bisa mencucurkan air mata.
Sesaat lamanya kuperhatikan orang yang sudah hampir mati di depanku. Wajahnya yang pucat, semakin pasi saja kelihatannya sebagai akibat sinar lampu listrik yang menerangi. Kupandang kening tinggi, tergores kerutan yang terlalu pagi datangnya. Pasti orang ini banyak mengalami kemalangan dan kesedihan. Aku mengharapkan akan dapat mengetahui rahasia hidupnya, dari kata-kata terakhir yang keluar dari mulut yang sudah tak berdarah lagi.
"Anda bisa pergi sekarang, Tuan Aronnax," kata Kapten.
Dia kutinggalkan, lalu kembali ke kamar. Perasaanku haru biru karena peristiwa sedih itu. Sepanjang hari aku dihantui berbagai syak wasangka, dan malamnya tidurku lasak. Di sela-sela mimpi, aku merasa mendengar suara nyanyian pelan, seperti irama lagu kematian. Apakah itu doa untuk orang mati, digumamkan dalam bahasa yang tak kupahami ?
Keesokan harinya aku naik ke anjung. Kapten Nemo sudah ada di sana. Begitu melihat aku datang, dengan seger
↧
Berkeliling Dunia Di Bawah Laut - 21
↧