Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Matahari Di Batas Cakrawala - 8

$
0
0

Cerita Cinta | Matahari Di Batas Cakrawala | by Mira W | Matahari Di Batas Cakrawala | Cersil Sakti | Matahari Di Batas Cakrawala pdf

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi

ut kami. Dia malah ikut membantuku turun dari taksi. Bersama-sama Mas Irwan. dokter yang baik hati itu memapahku ke kamar periksanya.
  "Sudah kauperiksa, Wan?" tanyanya setelah aku dibaringkan di tempat tidur.
  "Sudah. Dok," sahut Mas Irwan gugup. "Perutnya tegang sekali. Bagian-bagian anak jelas sekali teraba di bawah perut Nyeri tekan. Pekak hati hilang. Timpani. Dan keadaan umumnya jelek, Dok. Sangat kesakitan. Hampir shock."
  "Ruptiira uteri" lapat-lapat kudengar suara Dokte r Siregar setelah selesai memeriksa diriku. "Harus seger a masuk rumah sakit, Wan. Siapkan darah dua liter. Wi ta harus dioperasi segera."
  Masuk rumah s akit! Operasi! Jelas sekali kata-kata, itu menusuk teling aku. Aku sudah sangat lemah. Pusing. Kesakitan. Tetapi dalam keadaan seperti itu pun aku masih ingat bayiku! Ya Tuhan! Selamatkah dia?
  "Bagaimana... bagaimana anak saya, Dok?" tanyaku lemah.
&nb sp; "Tenanglah, Wita." Dokter Siregar meletakkan tanga nnya di atas pahaku. Tangan yang meyakinkan. Tangan yang telah menyelamatkan begitu banyak
  nyawa. Tangan yang memberi perasaan aman pada pasien-pasiennya. O, akan berhasilkah tangan itu menyelamatkan bayiku?
  "Kami akan mengeluarkan anakmu melalui suatu operasi."
  Jadi aku harus melalui pembedahan! Dan bukan itu saja. Untuk menyelamatkan jiwaku, rahimku pun harus diangkat. Rahim yang telah pecah itu tak dapat dipertahankan lagi. Aku akan menjadi seorang wanita tanpa rahim! Oh, alangkah malangnya nasibku!
  "Apa boleh buat," sempat kudengar Dokter Siregar berbisik kepada Mas Irwan. "Rasanya operasi ini harus dilanjutkan dengan hysterectomi"
  "Lakukan apa saja, Dok," pinta Mas Irwan gelisah tapi tegas. "Asal Wita selamat."
  "Tapi jangan bunuh anakku!" Ingin aku meneriakkan kata-kata itu. Ingin menjerit. Ingin meratap. Namun yang keluar dari celah-celah bibirku hanyalah erangan. Aku sudah sangat lemah. Hampir kehabisan tenaga. Mas Irwan terpaksa menempelkan telinganya ke bibirku untuk dapat mendengar suaraku.
  "Jangan biarkan mereka membunuh anak kita, Mas," rintihku dalam taksi yang membawa kami ke rumah sakit.
  "Dokter Siregar tahu apa yang mesti dilakukannya, Wita," hibur Mas Irwan sambil memelukku erat-erat. Begitu rapat dekapannya sampai-sampai bibirnya terasa melekat di telingaku. "Tetapi kalau dia terpaksa memilih, sudah kukatakan padanya siapa yang harus dipilihnya."
  "Tapi ini kesempatan yang terakhir untuk mempunyai anak, Mas!"
  "Dan kesempatanku yang terakhir pula untuk memilikimu, Wita."
  "Apakah artinya perempuan tanpa rahim, Mas!" tangisku memelas sekari. "Apalah artinya menjadi istrimu kalau tak dapat menjadi ibu anak-anakmu!"
  "Wita." Mas Irwan menggenggam tanganku erat-erat. Seakan-akan ingin menyalurkan kekuatannya untuk menabahkan hatiku. "Jangan berkata begitu lagi, Wita! Apa pun yang hilang dari dirimu, kau tetap istriku! Dan aku tetap ingin memilikimu!"
  ***
  Kami datang tepat pada saat rumah sakit yang terkenal bagus itu baru saja mengadakan pergantian tugas jaga. Tidak heran kalau sambutan yang kami terima sangat mengecewakan.
  Dari perawat yang dinas sore, Mas Irwan disuruh membawa surat pengantar dari Dokter Siregar ke tempat perawat yang jaga malam.
  "Kami sudah tutup,"/ kata perawat itu sambil berkemas-kemas hendak pulang. "Pergi saja ke P3K. Sekarang sudah giliran mereka."
  "Di mana P3K-nya?" tanya Mas Irwan tak sabar.
  Bayangan diriku yang tengah merintih meregang nyawa di dalam taksi terus-menerus menghantui
  dirinya. Masih tega perawat-perawat ini menyuruhnya bolak-balik saling melempar tanggung jawab!
  "Bukan di sini," sahut perawat yang melongokkan kepala di balik pintu yang baru digedor Mas Irwan itu. "Coba ke sana dulu, ya. Dokter jaganya belum datang."
  "Tapi dari sana saya disuruh kemari!" geram Mas Irwan separo berteriak. "Istri saya dalam keadaan gawat! Mesti dioperasi sekarang juga!"
  "Tapi buku laporannya belum diantar kemari," sanggah perawat itu lagi. "Ke sana dulu deh."
  "Persetan dengan buku laporan!" Kesabaran Mas Irwan sudah betul-betul habis. "Istri saya harus dioperasi!"
  "Tapi Saudara tidak bisa melanggar peraturan seenaknya!" jawab perawat itu sama kerasnya. "Ini rumah sakit. Bukan tempat jagal. Kalau tidak ada dokter, apa Saudara yang mau mengoperasi?"
  "Dengar, Suster," Mas Irwan mengertak gerahamnya menahan marah, "saya juga dokter. Tapi saya tidak bisa membedah istri saya sendiri. Karena itu dia saya bawa kemari. Dalam setengah jam, Dokter Siregar sudah sampai di sini. Kalau OK belum siap, dia bisa ngamuk!"
  "Di mana pasiennya?" tanya perawat itu akhirnya.
  "Di mobil."
  "Bawa kemari."
  "Dia tidak bisa jalan."
  "Sebentar saya ambil brankar."
  Lalu dengan suara yang aduhai berisikn keluar lagi mendorong brankar.
  "Mana mobilnya?" Ttu."
  "Taksi kuning itu?" "Ya."
  Tanpa "ba" atau "bu" lagi, perawat itu mendorong brankarnya ke dekat taksi kami.
  "Angkat kemari," kata perawat itu separo memerintah kepada Mas Irwan. "Bantu istri Saudara naik ke atas brankar."
  Telentang di atas usungan yang didorong cepat ke kamar periksa, kucoba mengamat-amati wajah perawat yang judes itu
  Tak terlalu muda. Dan tidak pula terlalu cantik. Lantas apa yang mendorongnya bersikap sekasar itu pada pasien?
  v "Saudara tunggu di luar," katanya kepada Mas Irwan sebelum menutup pintu yang memisahkan kami. Kemudian dia mulai sibuk memeriksa nadi, suhu, dan tekanan darahku.
  "Panggil Dokter Hidayat, Wis," katanya selesai memeriksa. Jelas terlihat perubahan di wajahnya. "Cepat sedikit, pasien sudah dalam keadaan preshock. Nadi 100, tensi 90/70, suhu 38."
  Lalu dengan gesitnya, ia mulai menyiapkan peralatan untuk infus. Dalam keadaan seperti itu, harus kuakui, dia seorang perawat yang cakap. Dan tahu sekali apa yang mesti dikerjakan. Karena j begitu dokter selesai memeriksa, infus yang diperlu- j kan telah siap. Dan cuma mereka yang mengerti, ' bagaimana cairan yang tampak sederhana itu bisa yelamatkan nyawaku.
  Hampir pukul sebelas malam ketika aku didorong
  ' di atas brankar menuju ke kamar operasi. Sepanjang lorong panjang yang gelap dan dingin itu, Mas Irwan berjalan di sisi brankarku. Tangannya \ terasa beku menggenggam jajri-jariku. Tapi sorot matanya demikian hangat. Demikian penuh cinta.
  "Doakan Wita ya, Mas," bisikku di pintu yang memisahkan kami. "Wita takut...."
  "Kuatkan hatimu, Sayang." Mas Irwan menghapus air mata yang meleleh di pipiku dengan ujung jarinya. "Jangan pikirkan apa-apa lagi, ya. Tuhan akan menolong kita."
  Hati-hati Mas Irwan membungkuk di atas wajahku. Dan mengecup dahiku dengan lembut. Lalu aku didorong masuk.
  Sia-sia kucoba mengangkat kepalaku untuk melihat Mas Irwan. Pintu telah tertutup. Dan dia telah terpisah jauh di luar sana. Menunggu dalam kecemasan.
  "Tenanglah, Bu," bujuk perawat yang mendorongku itu dengan seuntai senyum yang menyejukkan. Oh, seandainya setiap perawat semanis dia!
  "Dokter Siregar sudah datang?" tanyaku lemah.
  "Sedang ganti pakaian."
  "Dokter anak-anaknya?"
  "Dokter Tardi telah dihubungi. Sebentar kemari." "Dia pintar?"
  "Jangan kuatir. Bu. Jarang bayi yang lolos di tangannya."
  "Syukurlah." Aku menghela napas lega. Dan tidak sadar, tanganku yang tidak diinfus meraba perutku.
  Aduh, sakitnya. Ingin rasanya kubuka perut ini dan melihat ada apa di dalamnya. Mengapa begini sakitnya? Tapi kalau perut ini dibuka nanti, masih hidupkah anakku?
  Hati-hati perawat itu mendorong brankarku melewati deretan keran tempat mencuci tangan. Beberapa tenaga paramedis yang mengenakan jubah dan topi putih melontarkan sepotong senyum ramah setiap kali berpapasan dengan kereta dorongku.
  Lalu pintu yang berper itu didorong terbuka. Dan aku dibawa masuk ke sebuah ruangan bermarmer putih yang sangat bersih. Hawa di sana begitu sejuk. Sayang, bau obat sangat memusingkan kepalaku.
  Hati-hati mereka memindahkan tubuhku ke atas meja operasi. Kemudian dimulailah kesibukan-kesibukan itu.
  Seorang perawat mengganti botol infusku dengan sebotol darah. Perawat yang lain mengukur tekanan darahku. Sementara laki-laki yang menjadi penata anestesi itu mulai menyuntikkan obat biusnya ke dalam pembuluh darah di lenganku.
  "Mulailah menghitung, Bu," pintanya ramah. "Pejamkan mata Ibu dan tenang-tenang saja, ya.
  Lalu semuanya menjadi samar. Tak kulihat lagi Dokter Siregar yang memasuki kamar operasi setelah mencuci tangannya. Tak kulihat lagi asisten-asistennya menyelimutkan kain-kain steril itu ke atas tubuhku. Tak kulihat lagi meja berisi alat-alat bedah yang berkilat-kilat itu didorong ke dekat kakiku... semuanya gelap....
  Sekarang mereka pasti telah mulai bekerja. Dokter Siregar telah mencecahkan pisau operasinya ke atas perutku. Dia mengeluarkan bayiku. Dan mengangkat rahimku.
  Lalu Dokter Tardi akan mulai berjuang menghidupkan bayiku.... Oh, besar jasa dokter-dokter yang bekerja demi kemanusiaan ini! Menyelamatkan nyawa demi nyawa yang dipercayakan Tuhan kepada mereka....
  Wita! Wita!
  Masih dalam keadaan separo sadar kudengar Mas Irwan memanggil-manggil di dekat telingaku. Dan ketika kubuka mataku, ketika samar-samar kulihat wajah yang amat kukenal itu merunduk dekat wajanku, aku langsung ingat pada bayiku.
  "Mas...," rintihku lemah. "Bagaimana anak ktta^ Mas?"
  "Perempuan, Wita." Suara Mas Irwan bergetar menahan tangis. Oh, Tuhan! Pertama kalinya kulihat dia menangis!
  "Seorang bayi perempuan yang manis!"
  "Oh, Mas Irwan!"
  Ingin kupeluk dia. Ingin kurangkul. Tan masih terlalu lemah. Dan perutku terasa sakit ^ kati. Tambah menyayat kalau bergerak. Se~
  "Sakit, Wit?" bisik Mas Irwan melihat kerut k sakitan di wajahku. Mukanya jadi turut menyeru-seolah-olah ikut merasakan kesakitanku.
  Pelan aku mengangguk.
  *Tapi aku bahagia, Mas! Aku telah menjadi ibu!"
  "Aku juga, Wita." Mas Irwan menciumi.pipiku sepuas-puasnya. "Kau telah memberiku kesempatan untuk menjadi seorang ayah! Tahu bagaimana rasanya, Sayang? Bangga! Begitu bangga! Seolah-olah seluruh dunia ini sudah jadi milikku!"
  Sekali lagi aku ingin memeluknya. Ingin melekat di dadanya. Ingin melebur dalam kebahagiaannya. Tetapi aduh, sakitnya perut ini!
  "Sakit, Mas...," erangku menahan sakit. Air mata meleleh ke pipiku.
  Ya Tuhan. Hampir tak tertahankan lagi sakitnya! Ada apa lagi di dalam sini? Bukankah anakku telah lahir? Dan... rahimku! Tiba-tiba saja kesadaran itu menyentakkanku.
  "Mas...," rmtihku getir. "Bagaimana... bagaimana rahimku?" "
  "Jangan pikirkan apa-apa lagi, Wita."
  Mas Irwan membelai pipiku dengan lembut. Tapi bagaimanapun pandainya ia menyimpan perasaannya, aku dapat melihat kesedihan di dalam matanya!
  Mata itu tak dapat berdusta. Ia tak mampu menyembunyikan kepiluan hatinya dari sana.
  , tak punya... rahim... lagi, Mas?" igrf memerlukannya lagi, Wita. Kita su^bagahntapun, aku tetap merasa kehilangan.
  Z telah kehilangan milikku yang paling ber-h^ga sebagai perempuan, hanya karena ketololanku di masa remajaku dulu!
  7
  Jadi itulah alasan Mas Irwan menolong Aisah. Itulah sebabnya dia rela menanggung hukuman akibat pertolongannya mengugurkan kandungan
  gadis itu. Dia tidak rela nasibku menimpa Aisah pula Dia yakin, anak itu tidak mungkin lahir. Aisah akan melenyapkannya. Dengan jalan apa pun. Termasuk membunuh dirinya sendiri.
  Mas Irwan rela mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Tuhan dan manusia. Dia sudah pasrah. Kalau mereka menganggapnya bersalah, dia rela dihukum. Tapi tidak adil membiarkannya menanggung hukuman itu seorang diri!
  Paman Hamid juga bersalah. Kenapa dia tidak dihukum? Seseorang harus berani menceritakan kebenaran ini di muka umum. Baru mereka dapat mengerti motif tindakan Mas Irwan.
  "Kalau kauceritakan pada mereka," kata Mas Irwan dengan tenang. "Percuma saja kutolong Aisah. Abas akan tahu anak siapa itu. Dan Aisah tak punya muka lagi untuk menemuinya."
  "Tapi, kau juga harus membela dirimu sendiri,
  Mas!" protesku penasaran. "Kau juga punya anak dan istri. Kalau kauceritakan yang sebenarnya kepada Pak Camat, barangkali dia bisa menolongmu."
  "Dan kaupikir dia percaya? Dia malah menuduhku berbuat yang bukan-bukan kepada anaknya."
  "Astaga! Dia mengira kau yang melakukannya, Mas?"
  "Sudahlah." Mas Irwan menyentuh tanganku dengan sabar. "Percayalah pada Tuhan, Wita. Suatu hari nanti keadilan pasti datang."
  "Tapi kapan, Mas? Kapan? Sampai kapan aku dan Nike harus menunggu? Sampai kapan kita bisa berkumpul bersama-sama lagi?"
  "Tabahlah, Wita." Duh, tabahnya lelaki ini! Dalam penderitaan yang begini beratnya, dia toh masih dapat menghiburku! "Pulanglah. Dan jangan pikirkan apa-apa lagi. Jaga saj


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>