Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Matahari Di Batas Cakrawala - 9

$
0
0

Cerita Cinta | Matahari Di Batas Cakrawala | by Mira W | Matahari Di Batas Cakrawala | Cersil Sakti | Matahari Di Batas Cakrawala pdf

The Spiderwick Chronicles 5 Amarah Mulgarath Berkeliling Dunia Di Bawah Laut - Jules Verne Sisi Merah Jambu - Mira W Kelelawar tanpa Sayap - Huang Ying Misteri Empat Jam Yang Hilang - L. Ron Hubbard

a Nike baik-baik."
  "Mas tidak pesan apa-apa?"
  Dia menatapku sejenak. Lalu senyum merekah di bibirnya.
  "Bawakan aku rokok," katanya malu-malu. "Sebungkus saja, ya?"
  Kutahan air mata keharuan yang hampir menyembul di kelopak mataku. Tetapi sebelum aku sempat memutar tubuh, air mata itu telah bergulir menuruni pipiku. Dan Mas Irwan keburu melihatnya.
  "Wita." Disambarnya lenganku. Diraihnya aku kembali sehingga terpaksa bertatap muka.
  Sia-sia kusembunyikan air mataku. Begitu aku menunduk, Mas Irwan segera mngangkat daguku dengan ujung jarinya.
  "Jangan nangis, Wita," bisiknya lembut "Derita macam apa pun dapat kutahan, kecuali melihatmu
  menangis."
  "Mas!" Berbareng kami saling merangkul. "Ceritakan yang sebenarnya. Mas! Ceritakan pada mereka! Sampai kapan mereka mau menahanmu di sini?"
  "Sabarlah, Wita. Pemeriksaan pendahuluan telah selesai. Mereka tak mungkin menahanku terus dalam ketidakpastian begini! Aku satu-satunya tenaga medis di sini. Mereka memerlukan tenagaku."
  Mas Irwan benar. Selama dia ditahan, entah sudah berapa banyak pasien yang terpaksa pulang dengan kecewa Tapi kenyataan pun benar. Di daerah terpencil seperti ini, siapa pun tak dapat meragukan lagi pengaruh dan kekuasaan seorang camat!
  ***
  Begitu banyak kesulitan datang susul-menyusul dalam hidupku akhir-akhir ini. Mula-mula Mas Irwan ditahan. Lalu Nike sakit. Tak ada pemasukan uang sama sekali. Sementara pengeluaran mengalir se-perti air
  Uang simpananku sudah semakin menipis. Ngeri kalau memikirkannya. Hampir membuatku tidak bisa tidur lelap kalau malam. Jika uangku habis dan Mas irwan belum dibebaskan juga, ke mana aku harus pergi?
  90
  l
  Satu-satunya pelarian adalah rumah orangtuaku.
  Meskipun mulanya Ayah tidak merestui perkawinanku dengan Mas Irwan, Ayah tidak menolak kedatanganku pada tahun-tahun pertama aku tak tahan didera kesepian di tempat ini. Ibu malah menyelundupkan perhiasan-perhiasannya diam-diam kepadaku. Walaupun pada mulanya kutolak, akhirnya terpaksa kuterima juga. Tanpa perhiasan Ibu, entah sudah jadi apa keluargaku sekarang.
  Hidup toh akhirnya mengajarkan pelajaran yang paling pahit padaku. Cinta tak dapat mengubah batu menjadi nasi. Dan mengawini seorang dokter tidak lagi seenak impian ibu-ibu zaman dulu. Tapi betapapun pahitnya, aku tak pernah menyesal menjadi istri Mas Irwan. Karena semakin terbenam dalam lumpur penderitaan, semakin bercahaya pula mutiara di hatinya. Dia seorang lelaki yang patut dibanggakan. Lelaki yang untuk siapa seorang perempuan seperti aku rela menyerahkan seluruh hidupku.
  "Kau telah memilihnya sebagai suamimu," kata Ayah hari itu, ketika aku melarikan diri dari tempat ini. "Sekarang kau harus konsekwen mendampinginya sebagai istrinya. Jangan mau enaknya saja. Ketika datang kesusahan lantas kabur ke rumah orangtuamu."
  Sama sekali tak ada balas dendam dalam nada suara Ayah. Nasihatnya itu sama sekali tidak berbau sindiran.
  Ayah benar. Walaupun Ayah tidak meyukai pilihanku, ia menghormati hakku untuk memilih. Dan
  91
  setelah aku bebas memilih. Ayah ingin mengajarkan untuk mempertanggungjawabkan pilihanku sendiri.
  Nasihat Ayah itulah akhirnya yang mengantarkan aku kembali ke sisi Mas Irwan. Bersama-sama menentang badai yang tengah mengombang-ambingkan biduk kehidupan kami. Tetapi pada saat ombak yang paling hebat tengah melanda diriku, aku kehilangan pegangan.
  Orangtuaku pindah ke Amerika. Dibawa kakakku yang menikah dengan orang asing. Aku tak punya tempat berlindung lagi. Terpaksa berjuang sendiri mengayuh bidukku ke pantai. Apalagi setelah Mas Irwan ditahan.
  Aku betul-betul seperti perahu kehilangan kemudi. Lebih-lebih waktu Nike jatuh sakit lagi. Baru sebulan dia sehat, tiba-tiba badannya panas kembali.
  Sebenarnya sebelum meninggalkan rumah sakit pun, Dokter Mochtar telah berpesan agar membawanya kembali ke sana. Nike harus mengalami beberapa pemeriksaan lagi. Tetapi dalam keadaan serumit ini, siapa yang ingat pada seagala macam pesan dokter?
  Apalagi dalam sebulan ini Nike sudah tampak sehat. Kaki kirinya sudah berangsur sembuh. Dia rajin belajar jalan. Dan tidak pernah.rewel.
  Nike seolah-olah dapat memahami kesusahan I ibunya. Kalau biasanya dia sangat manja, lebih-lebih kalau ada ayahnya, sekarang dia tak pernah merengek-rengek lagi. Paling-paling Nike cuma ribut menanyakan ayahnya. Dan menangis kalau tidak boleh ikut menengok Mas Irwan.
  Tapi ketika dia mulai panas kembali, dan berbagai obat-obatan penurun panas tidak berhasil menyembuhkannya, aku baru teringat lagi pesan Dokter Mochtar.
  "Besok kita ketemu Oom Dokter Mochtar lagi, Nike," bujukku ketika menemani Nike tidur. . Kuusap-usap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Alangkah panasnya. Seakan-akan kompres yang kutaruh di atas kepalanya tidak berdaya sama I sekali mengusir panas itu.
  Tetapi tidak seperti biasanya, Nike tidak bergairah menanggapi kata-kataku. Bukannya gembira hendak menemui dokter kesayangannya itu, dia malah menggelengkan kepalanya dengan malas, p' "Nike tidak mau ketemu Oom Doktel Mochtal!" ii "Tidak kangen?" "Nike kepingin ketemu Papa." "Kita temui Oom Dokter Mochtar dulu ya, Sayang. Baru lihat Papa."
  "Nggak." Nike menggigil sedikit. Aku jadi heran. Dalam keadaan sepanas ini, kenapa dia justru menggigil? Apakah Nike kena malaria? Daerah ini memang terkenal sebagai daerah endemik malaria. "Nike mau lihat Papa dulu." "Oke, Neng." Kukecup keningnya sambil tersenyum.
  "Kita lihat Papa besok, ya. Sekarang Nike bobo dulu dong."
  Tapi yang terjadi sepanjang malam itu benar-benar menggelisahkan. Bukan salahku kalau keesokan paginya terpaksa kulanggar janjiku pada Nike.
  93
  Malam itu dia bukan hanya panas. Bukan hanya mengigau sepanjang tidurnya. Bukan hanya ngom-pol. Hidungnya mengeluarkan darah!
  Mula-mula kukira hanya mimisan biasa. Sudah kusumbat lubang hidungnya dengan kapas yang dibasahi adrenalin seperti yang diajarkan Mas Irwan dulu. Soalnya di tempat ini sulit mencari daun sirih. Lebih mudah menemukan seampul adrenalin di lemari obat Tapi tatkala paginya Nike muntah-muntah, dan muntahannya berwarna hitam, aku benar-benar panik. Anak kecil yang demam memang sering mimisan. Tapi muntah darah! Aduh. takutnya aku pagi itu! Sampai lupa aku pada janjiku untuk menengok Mas Irwan!
  Ya Allah. Siapa sih yang masih ingat dengan segala macam janji? Ibu mana yang tidak panik pada saat-saat seperti ini?
  Ingatanku hanyalah secepatnya membawa Nike ke rumah sakit. Dan untuk membawa Nike ke sana, aku perlu menyewa perahu motor. Celakanya, tidak setiap hari ada perahu lewat di daerah kami. Kalaupun ada, pasti sudah penuh oleh orang-orang yang hendak pergi ke kota.
  Jalan air memang jalan yang paling praktis di daerah ini. Karena jalan melalai darat, baru ular . dan harimau yang mampu melewatinya.
  O, seandainya aku tidak harus tinggal di daerah terpencil ini, aku pasti dapat membawa Nike secepatnya ke rumah sakit! Dan selagi gelisah tidak keruan begitu, aku baru menyadari pentingnya ada rumah sakit di daerah semacam ini.
  Ya, daripada membangun gedung-gedung mewah dan hotel-hotel mentereng di Jakarta, kenapa tidak
  ada yang berpikir untuk membangun rumah sakit di
  sini?
  Hanya sebuah puskesmas kecil. Itu pun dokternya sedang ditahan. Diusut. Diusut terus! Sampai kapan pasien mesti ditelantarkan? Apakah mereka masih menunggu sampai anak mereka sendiri yang sakit dan perlu pertolongan dokter? Sampai mereka merasakan artinya panik seperti yang sekarang kurasakan?
  Oh, Mas Irwan! Mas Irwan!
  Tak terasa air mata meleleh di pipiku. Baru sekarang kusadari mengapa engkau memilih hidup di tempat terpencil seperti ini. Baru kini kumengerti kenapa engkau tidak ribut minta ditarik ke pusat meskipun sesungguhnya ikatan dinasmu telah selesai.
  Kau telah jatuh kasihan pada pasien-pasienmu di sini. Kau dapat merasakan penderitaan mereka. Kau dapat merasakan arti dirimu bagi mereka
  Akulah selama ini yang selalu mendorong-dorong-mu untuk minta ditarik pulang. Sekarang baru dapat kurasakan bagaimana paniknya seorang ibu yang anaknya sedang sakit dan tidak menemukan seorang dokter pun di sini!
  ***
  "Sudah penuh, Bu," protes pemilik perahu itu kebingungan. "Tambah satu lagi bisa karam."
  Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, kadang-kadang otak pun jadi licik. Kusumpalkan segeng-gam uang ke tangannya. Dan sogokan memang jarang gagal. Di tempat seperti ini sekalipun.
  Entah siapa yang akhirnya disingkirkan. Pokoknya aku dapat tempat. Dan tidak sempat lagi memikirkan siapa yang jadi korban. Apalagi memikirkan dosa atau tidaknya.
  Bergegas aku pulang. Dan mempersiapkan Nike untuk berangkat hari itu juga. "Nengok Papa, Maf
  Matanya yang bening itu redup menatapku. Ah, cepatnya dia berubah! Mata itu tidak sebening biasanya lagi. Mula-mula kupikir hanya karena cuaca yang agak gelap di dalam kamar.
  Di luar kusadari, selaput bening mata Nike tidak putih lagi. Tidak jernih lagi. Kemerah-merahan. Semerah langit yang memayungi kami ketika I melangkah ke tepi sungai.
  "Nengok Papa, Ma?"
  Sekali lagi Nike mendesak. Dan sekali lagi aku I membisu. Haruskah kubohongi lagi dia?
  Ah, tak sampai hati rasanya. Lebih baik berterus terang. Walaupun agak menyakitkan.
  "Kita ketemu Oom Dokter Mochtar dulu ya, Sayang? Bara nengok Papa."
  Nike menggeleng putus asa. Belum pernah kulihat parasnya sesedih itu. Aku malah tidak menyangka anak sekecil dia dapat demikian sedihnya. 1
  "Kalau udah di tana, Oom Doktel Muktal pati nggak katih Nike nengok Papa."
  "Kalau begitu Papa yang akan nengok Nike, ya," bujukku pahit.
  Kucoba mewarnai suaraku dengan nada-nada " cerah. Tapi sejak malapetaka-malapetaka ini beruntun menimpa diriku, tak pernah kutemukan lagi nada cerah dalam suaraku. Hilang entah ke mana.
  Lebih-lebih melihat Nike tengah membenahi boneka-bonekanya, sementara aku memasukkan pakaian-pakaiannya ke kopor.
  "Mau dibawa semua?" tanyaku sambil lalu ketika kulihat Nike sedang merenungi boneka-bonekanya satu per satu. "Nanti kamar Nike sesak. Mereka kan selalu berebutan mau tidur sama Nike."
  Nike cuma menggeleng lemah. Tapi matanya tidak lepas-lepas memandangi boneka-bonekanya.
  "Jadi yang mana yang mau dibawa?" Kumasukkan sebuah rok lagi ke dalam kopor.
  Ketika tak ada jawaban juga, aku menoleh. Dan melihat Nike masih termenung mengawasi boneka-bonekanya.
  Dia pasti sedang bingung memilih siapa yang boleh ikut! Maklum bonekanya begitu banyak. Mas Irwan memang terlalu. Anak cuma satu, bonekanya segudang. Harus kubantu dia memilih. Kalau tidak, sampai malam dia bisa bengong terus di situ.
  "Bawa Siska saja, ya?"
  Kuambil boneka yang paling bagus. Paling besar. Dan tentu saja: paling baru. Pemberian ayahnya sesaat sebelum ditahan. Khusus dia titip pada seorang rekan yang kebetulan ke Jakarta.
  Siska sudah kuangkat ketika kulihat Nike menggeleng.
  'Tidak?" gumamku heran, '"Siska tidak dibawa? Kalau begitu siapa dong yang ikut? Rim? Atau... LiaT'
  Kuletakkan Siska di tempatnya semula. Lalu kuambil boneka yang lain. Tetapi sekali lagi Nike menggeleng.
  "Lia juga tidak ikut?"
  "Nggak ada yang ikut."
  "Lho!" Ada sedikit perasaan tidak enak mampir di benakku. Tapi cepat-cepat kuusir pergi.
  "Nike mau pelgi tendili. Jangan ada yang ikut."
  "Lho, kok begitu?" Kuraih Nike ke dalam pelukanku. "Mama kan selalu ikut Nike? Jangan tinggal Mama sendirian dong, ya? Mama sayaaaaang sekali sama Nike."
  "Ma..." Nike menengadah menatap mataku. Ketika kubalas tatapannya, ada kepedihan yang menyengat hati terpancar dari mata itu. "Nike nggak mau dituntik, Ma... takit...."
  "Nggak, Sayang. Oom 'Dokter Mochtar cuma mau periksa Nike." % *'
  Tapi sekali lagi aku terpaksa berdusta. Sesampainya di rumah sakit, Nike bukannya hanya disuntik, dia ditransfusi!
  "Hb-nya 4, Dok," lapor laboran itu pada Dokter Itbtli^ 16000 lymphocytosis
  Tentu saja aku tidak mengerti arti laporan itu.
  Tapi dari ekspresi Dokter Mochtar, aku dapat menduga, artinya pasti jelek. "Minta darah pada PMI, Suster," instruksinya
  pada perawat yang menyertainya. Lalu kepada laboran itu, katanya tanpa menoleh, "Ambil sekali lagi
  darahnya. Akan saya lihat sendiri."
  99
  98
  6
  Pukul sebelas malam baru darah yang dipesan itu tiba di ramah sakit Nike yang sudah tidur terpaksa dibangunkan. Dan kalau tadinya aku mengira jarum transfusi itu akan dimasukkan ke pembuluh darah di lengannya seperti yang pernah kualami waktu dioperasi dulu, aku kecewa!
  Pembuluh darah Nike masih terlalu kecil, dan sudah hampir collapse pula. Amat susah dicarinya. Apalagi untuk dim


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>