Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Matahari Di Batas Cakrawala - 10

$
0
0

,Cerita Cinta | Matahari Di Batas Cakrawala | by Mira W | Matahari Di Batas Cakrawala | Cersil Sakti | Matahari Di Batas Cakrawala pdf

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi

asukkan sebuah jarum tranfusi, betapa pun kecilnya jarum itu.
  Terpaksa Dokter Mochtar melakukan venaseksi. Membuka kulit Nike di daerah dekat mata kakinya. Mengiris dagingnya sedikit Mencari pembuluh darah yang cukup besar di sana. Dan langsung memasukkan jarum tranfusi itu ke pembuluh darahnya.
  Sakitnya jangan ditanya lagi. Walaupun Nike telah disuntik dengan obat pemati rasa, tak urung ia masih menangis menjerit-jerit!
  Dan aku yang tidak tahan mendengar jeritannya, apa lagi melihat cara kerja Dokter Mochtar, lebih baik cepat -cepat menyingkir sebelum jatuh pingsan!
  : Semalam-malaman aku menunggui Nike di sisi tempat tidurnya. Entah karena sakit, entah karena merasa dib ohongi, dia sama sekali tidak mau bicara padaku. Hany a sepasang matanya menatap sayu.
  "Takit, Ma...," rintihnya sambil mencoba menggerak-gerakkan kakinya yang diikat.
  "Jangan digerakkan d ulu, Sayang," bujukku menahan tangis. Tidak tahan meli hat penderitaannya Jangankan anak kecil. Orang dewasa saja pun pegal kalau terus-menerus mesti tidur telentang seperti itu. Apalagi anak yang baru berumur empat tahun!
  Ya Tuhan! Betapa berat cobaan-Mu! Ingin rasa-nya aku menggantikan Nike. Kalau harus men-I derita, biar aku saja yang sengsara, jangan anakku! "Diam-diam dulu ya, manis," bujuk Suster Ida sambil mengganti kompres di kepala Nike. Badan- " nya memang panas lagi. Tapi kata Suster Ida, sebagian demamnya disebabkan oleh transfusi darah 1 itu. "Jangan goyang-goyang dulu, ya Nanti kalau jarumnya lepas sebelum botol berisi darah itu kosong, Nike mesti ditusuk lagi."
  Tapi dalam keadaan seperti itu, Nike memang sudah sulit dibujuk. Siapa pun yang membujuknya I dia tetap mengerang sambil menangis. Dan celaka-f- nya, tranfusi darah semacam ini mesti diulang tiap . dua hari. Karena dalam dua hari, jumlah butir-butir darah merah Nike sudah kembali lagi seperti sebelum ditranfusi. Dua ratus lima puluh cc darah yang dimasukkan ke dalam tubuh Nike itu hilang entah ke mana t
  "Sebenarnya Nike sakit apa. Dokter?" tanyaku
  antara kesah sedih, dan putus asa. "Mengapa dia mengaiami r^rdarahan seperti kttT*
  "Saya tidak berani mengatakan sebelum memastikan diagnosisnya." sahut Dokter Mochtar dengan suara tertekan.
  Jelas dia mencoba bersikap setenang mungkin. Tapi matanya tidak dapat berdusta. Dan melihat tatapannya, tiba-tiba saja aku merasa dingin.
  "Di mana ayahnya? Dapatkah saya berbicara dengannya?"
  'Tidak mungkin." sahutku menggagap. "Ayahnya tak bisa kemari."
  Dokter Mochtar menghela napas panjang Dan aku tak sabar menunggu sampai n mau bicara lagi.
  "Katakan pada saya. Dokter. Nike sakit apa? Parahkah sakitnya?" "Jauh lebih gawat dari yang semula kita sangka." "Apa... apa maksud Dokter?" "Dia bisa meninggal karenanya" "Tidak mungkin!" teriakku hampir histeris. "Memang kejam mengatakannya" Dokter Mochtar menundukkan kepalanya. Barangkali tidak sampai hati melihat keadaanku, "Saya menyesal. Bu. Tapi saya terpaksa mengatakannya" "Dw... dia tidak bisa ditolong Jagi7" "Kami tidak memiliki obat untuk menolongnya." , "Katakan di mana saya dapat memperoleh obat' itu, Dokter!" "Ibu bisa menanyakannya di Jakarta...." "Saya akan ke sana. Dokter!"
  "Tapi saya kualir... Nike tak dapat menunggu
  lagi....
  "Saya akan berangkat sekurang juga, Dokter! Untuk menyembuhkan Nike..." i- "Obat itu tidak menyembuhkan Nike. Hanya memperpanjang hidupnya...."
  Tidak menyembuhkan! Hanya memperpanjang hidupnya! Memperpanjang penderitaannya? Oh, , Tuhan! Obat apa itu! Obat apa! Sakit apa dia? Air mata meleleh deras dari mataku. Aku hampir tak dapat bernapas. Tapi kupaksakan juga mencetuskan pertanyaan yang kubenci itu. Pertanyaan yang hampir tak sanggup kuucapkan! "Berapa lama lagi. Dokter?" "Hanya Tuhan yang tahu, Iba." Oh, jawaban yang diplomatis itu! Aku ingin jawaban yang pasti! Berapa lama lagi? Berapa lama lagi aku boleh memiliki Nike? "Menurut pengalaman kami, paling lama tiga bulan."
  Tiga bulan! Ya Tuhan! Hanya tiga bulan! Aku betul-betul shock.
  "Umurnya buru empat tahun, Dokter!" protesku separo berteriak.
  Aku lupa. Bukan kepadanya aku harus berteriak. Bukan kepadanya aku harus memprotes,
  Lalu Suster Ida membawaku duduk di bangku. Dia memaksaku minum seteguk teh panas. Terasa sepi di kepalaku ketika lambat-lambat teh itu menghangati kerongkonganku.
  Aku mulai mencoba berpikir. Tiga bulan lagi. Tak ada obat yang menyembuhkan. Hanya memperpanjang hidup. Oh. Tuhan! Mereka pasti keliru. Rumah sakit kecil ini pasti salah mendiagnosis. Peralatan mereka sangat sederhana. Bagaimana mereka bisa mendiagnosis dengan fasilitas ini! "Akan kubawa Nike ke Jakarta." Kutunggu sejenak reaksi Dokter Mochtar. Tapi ia masih diam saja. Masih tegak membisu membelakangi jendela.
  "Sebaiknya Ibu membawanya ke seorang hema-tologist." katanya akhirnya. "Dokter yang ahli tentang penyakit darah."
  "Darah?" Bibirku menggeletar tanpa dapat ku-kuasai lagi. "Ada apa dalam darah Nike?"
  "Tiga kali berturut-turut saya memeriksa sediri darahnya. Ibu. Karena saya kuatir laboran saya membuat kekeliruan." Dia menatapku dengan sedih. Menunggu sebentar reaksiku. Ketika dilihatnya aku juga menunggu, dilanjut kannya dengan lebih perlahan.
  "Begitu ban yak sel-sel muda dalam darahnya...."
  "Sel muda?" Aku merasa genggaman Suster Ida di lenganku bertambah erat. "Apa hubungannya dengan penyakit Nike? Demi Allah, Dokter! Dia sakit apa?"
  K ali ini Dokter Mochtar menatapku dengan iba. Menimba ng-nimbang sebentar apakah aku masih cukup kuat un tuk mendengar penjelasannya. Tapi ketika dia membuk a mulutnya lagi, hanya sepat ah kata yang mampu diuc apkannya. Itu pun dengan suara yang amat getir.
  "Leukemia."
  104
  Leukemia! Alangkah kejamnya! Alangkah kejamnya! Nike baru berumur empat tahun! Dan dia
  anakku satu-satunya!
  Leukemia. Tentu saja aku pernah mendengarnya. Dari Mas Irwan. Dari majalah. Dari buku. Dari
  film. Tapi selalu mengenai orang lain. Bukan anakku sendiri!
  Mula-mula aku cuma bisa menangis. Menjerit Memohon kepada Tuhan. Kalau Tuhan punya meja tulis, pasti hanya surat-surat permohonankulah yang bertum puk-tumpuk di meja-Nya hari-hari belakangan ini. Tapi ketika permohonanku tidak dikabulkan juga, ketika dari hari ke hari keadaan Nike semakin parah, aku bukan hanya meminta. Aku mendesak. Memaksa. Menggerutu. Tentu saja tidak di depan Nike. Di depannya aku harus bersikap biasa! Biasa! Sebiasa mungkin!
  Kucoba mengabulkan apa pun permintaannya. Kucoba mengingat-ingat apa keinginannya. Tapi pada saat aku mengharapkan Nike minta sesuatu, dia justru tidak minta apa-apa. Dan pada saat dia minta sesuatu, aku justru tidak bisa mengabulkan permintaanya yang satu itu!
  "Nike mau nengok Papa, Ma." Terngiang lagi di telingaku pembicaraan kami sesaat sebelum berangkat ke rumah sakit.
  "Kita ketemu Oom Dokter Mochtar dulu ya, Sayang? Baru nengok Papa."
  105
  "Kalau udah di tana. Oom Doktel Muktal pati nggak katih Nike nengok Papa." "Kalau begitu. Papa yang akan nengok Nike, ya.** Dan aku telah bertekad untuk menemui Mas Irwan. Menemui Pak Camat Menemui Letnan Usman. Menemui mereka. Siapa saja. Aku harus membawa orang yang paling Nike rindukan. Ayahnya sendiri.
  Mereka manusia juga, bukan? Nah, mereka pasti punya perasaan! Di sini ada seorang anak kecil berumur empat tahun yang sakit kanker. Kanker darah. Leukemia!
  Ya Tuhan! Mudah-mudahan saja mereka pernah dengar apa itu leukemia. Mudah-mudahan mereka tahu ganasnya penyakit itu! Mudah-mudahan mereka mengerti bagaimana perasaan seorang gadis kecil yang hampir meninggal, yang begitu ingin menemui ayahnya sebelum meninggal!
  "Memang sebaiknya ayah Nike di beri tahu," sahut Dokter Mochtar menanggapi rencanaku itu. 'Tapi jangan Ibu yang pergi ke sana. Saya pikir, sebaiknya Nike jangan ditinggal." ...
  "Lantas bagaimana saya harus mengabarinya, Dokter?"
  "Bagaimana kalau dengan surat saja?"
  Surat. Kalau dengan pos, masih sempatkah Mas Irwan menerimanya sebelum Nike pergi?
  Tbu.,," tegur Dokter Mochtar lunak.
  Ketika kuangkat kembali wajahku, aku baru menyadari, dia sedang menatapku. Pasti sudah dari tadi. Dan tatapannya berbeda, amat berbeda dari biasanya.
  Dari caranya menatap saja, aku merasa, dia telah mengerti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan suamiku. Tapi sebaliknya dari mendesakku untuk berterus terang, Dokter Mochtar hanya mengajukan
  satu pertanyaan yang simpatik sekali. "Dapatkah saya menolong Ibu? Menghubungi
  ayah Nike dengan sepucuk surat barangkali?"
  ***
  Tetapi sebelum aku dapat memutuskan untuk berterus terang atau tidak pada Dokter Mochtar, telah timbul kesulitan.
  "Tak ada persediaan darah lagi," kata Dokter Mochtar pahit. "Perawat-perawat yang bergolongan darah sama dengan Nike rela mendonor lagi. Tapi mereka tidak mungkin diambil dua kali." "Darah saya saja, Dokter." "Darah Ibu O. Nike perlu dar ah golongan A." Jadi genaplah sudah penderitaanku. Ba hkan darahku pun tidak mampu menolong Nike! Ya Tuh an. Inikah hukuman yang harus kutanggung?
&nb sp; Mula-mula kusia-siakan anak yang Kaupercaya-kan padaku. Sekarang Kauambil anakku yang lain. Anakku satu-satunya"!
  "Jadi apa yang.harus saya la kukan, Dokter?" jeritku putus asa. "Apa?"
  " Besok Dokter Atmo ke Jakarta. Dia bersedia mencarika n obet untuk Nike. Tapi obat itu bukan
  han ya mahal. Juga agak sukar didapat. Dan khasiatnya cuma untuk memperpanjang hidup. Bukan menyembuhkan. Tetapi bagaimanapun. Dokter Atmo ingin membelikan obat itu untuk Nike. Cuma saya kuatir. kita sudah terlambat."
  ***
  Terlambat. Terlambat Terlambat.
  Hanya sepotong kata itu yang berulang-ulang selalu memantul kembali di telingaku. Tak ada harapan lagi. Betapapun kecilnya. Oh.
  "Sebagai dokter, kami tetap akan berusaha merawatnya sebaik mungkin," kata Dokter Mochtar tadi. Tapi jika ibu memilih jalan lain, terserah Ibu Wjpa."
  Terserah aku! Apa lagi yang mesti kulakukan? Kalau dokter saja sudah tidak sanggup, apalagi akui
  "Barangkali Ibu ingin membawa Nike ke Jakarta." Cepat-cepat Dokter Mochtar melanjutkan tatkala dilihatnya mataku bersinar marah. "Atau Ibu ingin berunding dulu dengan Bapak?"
  Berunding! O, alangkah terhiburnya kalau aku masih dapat berunding dengan Mas Irwan! Membagi -penderitaan ini bersamanya! Dan... ke Jakarta! Dari mana lagi aku harus memperoleh biayanya? Kalaupun aku punya uang, akan pernahkah Nike sampai ke sana?
  Dari hari ke hari, keadaannya memburuk dengan
  cepat. Walaupun tidak dikatakannya dengan terus terang, aku tahu. Dokter Mochtar sendiri meragukan kesanggupan Nike untuk bertahan sampai
  minggu depan.
  Hari-harinya sudah dapat dihitung dengan jari, katanya kepada Suster Ida. Lebih baik minta Nyonya Purwanto untuk memberi tahu suaminya
  Pada saat-saat terakhir, Nike memang sangat ingin menemui ayahnya. Barangkali dia yakin, ayahnya dapat menolongnya. Nike percaya, cuma ayahnya yang mampu melepaskannya dari penderitaan ini.
  Angin malam yang mendesir menusuk tulang tidak sempat kurasakan lagi. Kutelusuri lorong panjang yang gelap di belakang rumah sakit itu. Di sana sepi. Amat sepi. Tapi di sini otakku terasa lebih tenang.
  Nike baru saja tertidur. Dan aku merasa sesak berdiam di kamar terus. Suster Ida yang baik hati menganjurkan aku supaya pergi tidur. Dia rela menjaga Nike, tapi bagaimana aku bisa tidur? Bagaimana bisa pulas dengan kesedihan seperti ini? Lebih baik aku jalan-jalan sebentar. Kalau sudah capek, barangkali aku bisa tidur.
  "Dik Wita!" tegur Bidan Narti ketika kami berpapasan di muka bangsal kebidanan. "Tumben kemari."
  "Pengap, Mbak, di kamar melulu."
  Dua kali menunggui Nike di rumah sakit ini, aku memang sudah kenal pada hampir seluruh karyawan di sini. Dan Mbak Narti ini kebetulan berasal dari kota yang sama dengan Mas Irwan di.,,
  Jawa Tengah. Tidak heran dia jadi cepat akrab denganku. Dia kenal Mas Irwan sejak masih di sekolah dasar. Kalau sedang tidak dinas, Mbak Narti sering datang ke kamar Nike untuk mengobrol.
  "Nah begitu! Jangan diam di kamar saja. Sekali-sekali jalan-jalan kemari! Nike bagaimana?"
  "Masih begitu-begitu juga, Mbak." Kutatap botol darah di tangannya. Dan tiba-tiba saja aku ingat Nike. Persediaan darahnya hampir habis....
  "Buat siapa, Mbak?"
  "Pasien baru." Dengan ekor matanya Mbak Narti menunjukkan seorang perempuan muda yang tengah didorong di atas brankar menuju kamar operasi. I Seorang laki-laki muda, pasti suaminya, berjalan di sisinya dengan wajah kusut masai.
  "Dioperasi, Mbak?" Mendadak aku merasa ngeri. Ingat pengalamanku sendiri waktu melahirkan Nike.
  "Kehamilan di luar rahim. Perdarah


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>