Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Matahari Di Batas Cakrawala - 12

$
0
0

,Cerita Cinta | Matahari Di Batas Cakrawala | by Mira W | Matahari Di Batas Cakrawala | Cersil Sakti | Matahari Di Batas Cakrawala pdf

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi

a," kalanya
  "Nike;" Kupetak anakku erat era! Anakku Buah hariku Kenanganku.
  Sekarang matanya telah terpejam, lak mungkin terbuka kembali. Fak ada tag t tatapan yang me-irycjukkan itu. Tak dapat kulihat lagi matanya yang bening. Tak ada lagi rengekan yang manja itu. Dia telah diam untuk selama-lamanya "Jangan pergi dulu. Nike! Tunggu Papa'" Kuhitung napasnya yang tinggal satu-satu. Oh. Tuhan' Napas yang hangat itu: Napas gadis kecilku yang setiap malam menggelitiki leherku' Dia hampir tidak ada lagi! Dia hampir tidak bernapas'
  Kucium i pipinya. Matanya, hidungnya. Ketika kucium mulutnya, aku sadar. Nike telah berangkat Dia telah pergi. Malaikat-malaikat telah menggandengnya ke surga.
  "Apa ainnya mati. Mama f Seakan masih terdengar suaranya di telingaku. Suara yang polos j itu Suara yang takkan kudengar kembali.
  "Mati artinya pergi meninggalkan dunia ini. Sayang." "Pelgi ke mana, MaT
  "Ke surga. Sayang Ke tempat Tuhan. Ke tempat malaikat."
  "Nggak Nta pulang lagi7"
  Aku cuma menggeleng. Menelan ludah yang tersekat di kerongkongan.
  "Wah. gimana kak, kangen lama Mama?"
  Sebuah lengan jatuh di bahuku. I embut aku ditariknya mundur.
  "Dia sudah pergi." bisik Dokter Mochtar lirih. r Aku meronta dari pegangannya Sambil meraung kupeluk tubuh Nike. Masih hangat. Belum ada yang berubah. Kecuali tidak bergerak lagi. semuanya masih tetap seperti tadi! Seperti kemarin! Seperti dulu!
  Aku menangis menjerit-jerit Dua orang perawat memapahku ke luar. Dan sebelum mereka sempat membuka pintu, pintu telah terempas terbuka. . Dari balik tirai air mata yang mengaburkan pandanganku, aku melihat Mas Irwan tegak di sana... dengan boneka di tangannya
  Sekali lagi aku menjerit Tapi Mas Irwan tidak menoleh sama sekali ke arahku. Dia lari memburu tubuh Nike.
  "Nike!" ratapnya memilukan hati. "Nike, ini Papa! Kau dengar, Sayang? Ini Papa! Papa datang menengokmu! Buka matamu. Sayang! Papa hawa boneka yang Nike minta! Boneka yang bisa ngompol! Lihatlah, Nike! Buka matamu. Sayang! Buka!" Makin lama kata-kata Mas Irwan makin tidak jelas. Dikaburkan oleh tangisnya yang tertahan-tahan.
  "Nike! Nike! Dengarlah, Sayang! Papa sayang padamu! Papa cinta padamu! Jangan pergi. Manis! Jangan tinggalkan Papa!"
  Dia masih membelai-belai kepala anaknya. Masih
  menciuminya. Masih bicara padanya. Tetapi ketika mata Nike tidak kunjung terbuka, ketika dia tidak bergerak juga. Mas Irwan mulai menangis sambil memeluk tubu h anaknya erat-erat. Dan melihat Mas Irwan menangis seperti itu, aku tak tahan lagi. Aku langsung jatuh pings an.
  Di bawah sebatang pohon kamboja ya ng rindang, berbaringlah Nike kecil kami untuk selama-l amanya. Dalam petinya yang berwarna cokelat, ia tam pak demikian mungil. Demikian lelap tidurnya. Demikia n bersih wajahnya.
  Kuciumi dia sepuas-pu asnya sebelum peti itu tertutup untuk selama-lamanya. Sebelum aku tidak boleh menjamah lagi tubuhnya. Sebelum tanah kuburan yang dingin itu memisahkan kami.
  Ah. betapa cepatnya waktu berlalu. Betapa singkatnya kesempatan yang diberikan Tuhan padaku untuk menjadi ibu. Betapa sempitnya kesempatanku untuk menimang dan memanjakan Nike.
  Terasa seperti baru kemarin aku melahirkannya. Sekarang dia telah pergi kembali. Hanya selintasan dia bersama kami. Tapi selintasan yang membawa kebahagiaan. Membawa kehangatan dalam rumah tanggaku bersama Mas Irwan.
  Mula-mula kami ingin memasukkan boneka-bonekanya bersama tubuh Nike ke dalam peti jena/ahnya. Tapi pada saat terakhir, aku ingat
  pesannya.
  - "Nike mau pel g i tendili. Jangan ada yang ikut." Terpaksa boneka-boneka kesayangannya itu kami
  keluarkan kembali. Terus terang, aku lebih baik tidak usah melihat lagi boneka-boneka itu. Melihat mereka, aku selalu ingin menangis lagi. Tapi kalau Nike tidak
  menghendaki mereka ikut, apa boleh buat.
  Aku terpaksa membiarkan boneka-boneka itu kembali ke kamar Nike. Kecuali boneka yang ter-akhir itu. Boneka yang dibawa Mas Irwan. Suamiku berkeras menyertakan boneka itu dalam peti Nike.
  Biarlah, pikirku -akhirnya. Biar Nike tidak sendirian lagi. Kasihan dia seorang diri di sana. Gelap. Sepi. Lebih-lebih kalau malam. Hujan pula. <
  Malam-malam aku sering menangis sendirian. Ingat Nike. Kalau hujan begini, lebih-lebih kalau ada kilat, dia biasanya ketakutan. Dia akan lari ke kamarku. Pindah tidur ke ranjangku. Dan baru bisa terlelap kembali kalau kupeluk erat-erat. Ku lindungi dalam dekapanku yang hangat.
  Sekarang siapa yang melindunginya di sana? Siapa yang akan memeluknya jika dia menangis ketakutan?
  "Nike toh sudah tidak berada di sana lagi," hibur Mas Irwan setiap kali melihatku tegak melamun di depan jendela rumah kami. Menekuni butir -butir air hujan yang mengaburkan kaca jendela. Dan mencoba menembusi kegelapan di luar.
  "Di a sudah aman di surga. Di sana tidak ada lagi ketakuta n."
  125
  Mas Irwan benar. Yang ada di dalam kubur yang ,i, *, cuma tinggal tubuh lua rnya belaka. Nike sendiri sudah tidak berada di situ lagi. la lelah kenatali ke pelukan Bapaknya. Di tempat yang paling
  aman. ... .. . .
  Mas lr*an sendiri sudah ditarik ke Jakarta. Ia
  mengal ami skorsing beberapa tahun sebelum boleh berpraktek sebagai dokter kembali. "Terlepas dari anggapan bersalah atau tidaknya tindakannya dulu. Mas Irwan menerima hukuman itu dengan pasrah. Dia terpaksa mencari pekerjaan lain untuk membiayai rumah tangga kami. Dan sebagai seorang dokter, siapa pun tahu, tidak mudah mencari pekerjaan. Selama bertahun-tahun dia hanya dididik untuk menyembuhkan orang sakit IV dak ada keahlian lain.
  Untuk kembali menjadi seorang salesman, juga sudah tidak mungkin lagi. Katanya hal i tu melanggar kode etik. Tidak ada perusahaan yang ma u menerima seorang dokter sebagai salesmannya.
  Jadi terpaksa dia belajar berdagang. Sementara Mas Irwan masih mencoba-coba dengan bidang baru-nya itu. aku mulai memberi les Inggris. Hasilnya memang tidak terlalu memuaskan. Karena kursus-kursus bahasa Inggris sedang bertumbuh seperti jamur di sini. Terpaksa aku mencari tambahan lain. Menjadi guru.
  Selama itu, hidup kami benar-benar seperti mata-lTai! t f* Cakrawala" HamP* terbenam sama naJut It? SCSUdah melewati Penderitaan yang paling pahit, seperti kehilangan Nike, penderitaan126
  penderitaan yang lain dapat kami lalui dengan tabah.
  betapapun beratnya.
  Atas usul Mas Irwan, kami lalu mengangkat seseorang anak. Kekuatiranku tak dapat mencintai anak itu seperti kami mencintai Nike, ternyata tidak beralasan.
  Semakin hari Nita tumbuh semakin menarik. Dia dapat memainkan boneka-boneka Nike dengan sama lucunya. Dia dapat menghibur Mas Irwan dengan kemanjaan yang sama. Dan dia mengharapkan kasih
  sayang yang sama pula dari diriku. Dengan Nita di tengah-tengah kami, kami tak pernah merasa kesepian lagi. Kami berjuang menghadapi hari esok yang
  lebih cerah.
  Sesungguhnya, matahari hidup kami memang masih di batas cakrawala. Tapi bukan matahari yang hampir terbenam. Melainkan fajar yang hampir menyingsing.
 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423