Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - 12

$
0
0

Cerita Cinta | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | by Mira W | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | Cersil Sakti | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji pdf

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi

a, mau bicara apa lagi? Ayahnya masih tetap mengatur. Entah sampai kapan. Dan... masih tetap tanpa emosi. Atau... dia cuma tidak ingin menunjukkannya...?
  Setelah menengok-nengok sekali lagi, barangkali ingin melihat kalau-kalau dokter yang tampan itu datang lagi, baru Pak Handoyo mengikuti arus para pengunjung yang sedang berbondong-bondong keluar. Tepat saat itu, Guntur cepat-cepat menyelinap ke dalam kamar.
  Maria yang sudah memejamkan matanya membelalak kaget ketika Guntur menegurnya. Lebih-lebih ketika melihat pemuda itu sudah berada di sisi tempat tidurnya.
  Kebetulan teman-teman sekamar Maria tidak mempedulikan kehadirannya. Yang seorang sedang tidur. Karena tidak ada seorang pun yang mengunjunginya waktu jam berkunjung tadi.
  Yang seorang lagi sedang asyik membaca majalah. Dia memang tidak henti-hentinya membaca majalah, sampai ditegur perawat.
  Dan yang ketiga memang sedang menganggur. Dia melirik Guntur ketika pemuda itu masuk. Tapi pura-pura membalikkan badannya ke dinding waktu Guntur menghampiri ranjang Maria.
  Memang repot sekamar dengan remaja. Waktu jam berkunjung, ributnya bukan main, seolah-olah sekolah mereka pindah ke sini.
  Gadis-gadis itu berceloteh begitu bebasnya seakan-akan mereka berada di halaman sekolah, bukan di rumah sakit. Selesai jam berkunjung masih ada pula seorang pemuda yang menyelinap masuk! Hhh.
  "Mar," kata Guntur cepat-cepat, "lekas sembuh, ya. Ini kubawakan buku-buku novel untukmu. Ceritanya bagus-bagus. Baca deh kalau lagi nganggur! Asal jangan ketagihan saja, ya!"
  "Terima kasih," bisik Maria terharu. Ada senyum membayang di bibirnya. "Kamu tidak marah lagi pada saya?"
  "Marah? Ah, siapa bilang aku marah?" "Kamu kesal karena saya tidak jadi berenang, kan?" "Cuma kecewa." "Saya tidak bisa..."
  "Aku mengerti," potong Guntur. "Sudahlah, jangan pikirkan apa-apa lagi. Kalau kamu sembuh nanti, kita jalan-jalan saja. Kamu boleh pakai jubah, dar i leher sampai ke kaki pun aku tidak peduli. Pokoknya kita pergi berdua!"
  Seorang perawat masuk ke kamar sebelah. Menengok kalau-kalau masih ada pengunjung yang belum pulang dan perlu sedikit diusir.
  Lekas-lekas Guntur menyelinap ke bawah ranjang. Teman sekamar Maria yang sedang membaca
  majalah itu meliriknya dengan curiga. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Cuma mengangkat bahu.
  Sedetik kemudian seorang perawat melongok di ambang pintu. Ketika dilihatnya kamar itu kosong, dia pergi lagi. Dan Guntur merayap keluar dari bawah tempat tidur.
  Tidak sengaja kaki Guntur menyenggol pispot. Dan benda itu terpelanting dengan menerbitkan suara berisik. Untung tidak ada isinya. Soalnya tutupnya sudah terpental ke bawah ranjang yang lain.
  Pasien yang sedang tidur itu tersentak bangun. Tapi yang sedang membaca majalah cuma mendengus kesal. Yang tertawa geli justru perempuan yang sedang pura-pura membalik ke dinding itu.
  "Lebih baik kamu cepat keluar," katanya sambil tersenyum-senyum. "Sebentar lagi suster cerewet itu pasti kembali ke sini!"
  "Ah, biar saja," sahut Guntur santai. "Paling-paling dimarahi!"
  Tapi ketika perawat itu benar-benar kembali, Maria-lah yang menyuruh Guntur pergi.
  "Kalau tidak ketahuan, besok kamu masih bisa kemari lagi," katanya cemas.
  "Aku pasti kemari lagi," sahut Guntur tegas. "Sampai besok!" Dia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum sebelum melompat ke kebun melalui jendela.
  Perawat yang masuk sedetik kemudian hanya sempat menangkap bayangan orang di kebun. Tapi tidak menduga dari sinilah orang itu berasal. Sambil menggerutu dia memungut pispot itu, mencari tutupnya, dan membawanya ke kamar mandi.
  Maria menghela napas lega. Dan memejamkan matanya untuk berdoa. Ya, Tuhan! Mudah-mudahan Guntur dapat lolos dengan selamat! Supaya dia bisa datang kemari lagi esok... dan Maria tertegun. Mukanya terasa panas.
  Bolehkah mengharapkan pemuda itu datang kembali? Untuk apa? Dia sendiri juga tidak tahu.
  Dia menyenangi pemuda itu. Barangkali karena Guntur adalah lambang kebebasan bagi hidup Maria yang penuh larangan dan kungkungan.
  Dinamika dan romantika kehidupan remaja Guntur yang bebas dan ceria merupakan dongeng muluk yang hampir tidak mungkin diraih oleh Maria. Tetapi yang sekaligus selalu menggoda rasa ingin tahunya.
 
  ***
 
  "Besok Maria pulang," kata Guntur sambil berjalan cepat-cepat memasuki gerbang rumah sakit. "Itu berarti mulai besok dia masuk penjara lagi."
  "Habis mau apa?" tanya Elita. "Mau kamu culik?"
  "Dia sudah cukup kuat. Aku ingin mengajaknya jalan-jalan."
  Nurul dan Tina bersorak serempak.
  "Bagaimana caranya, Tur? Mau kamu bius semua orang di rumah sakit ini?"
  "Kalian mau membantu, kan?" desak Guntur serius. Begitu seriusnya dia sampai Elita dan teman-temannya saling pandang dengan tegang.
  "Mau kamu bawa ke mana dia?" tanya Elita curiga.
  "Pokoknya dia pasti senang."
  "Kamu janji akan mengembalikan dia dengan utuh?"
  "Siip! Keringatnya yang menetes pun akan kutampung dan kukembalikan pada kalian!"
  "Serius nih. Tur! Kami tidak mau kamu mer usak dia!"
  "Eh, apa aku ada tampang kapal perusak?"
  "Ah, sudah dah!" potong Nurul tak sabar. "Rusak nggak rusak, pokoknya dia senang! Batinnya tertekan tuh! Bokapnya sih sadis!"
  "Aku juga mau bikin dia senang," sanggah Elita tegas. "Sekali-sekali dia rileks di luar, lepas dari pingitan bokapnya. Tapi aku mau dia tetap Maria kita yang bersih!"
  "Kamu mesti janji nggak akan merusaknya, Tur," sambung Tina bersemangat. "Baru kami mau membantumu!"
  "Oke, oke! Apa aku mesti teken kontrak? Atau mesti bersumpah?"
  "Kalau kamu berani mengganggu dia, kami akan mengganyangmu beramai-ramai!"
  "Buset!" Guntur pura-pura mengurut dada. "Nggak ada bapaknya, malaikat pelindungnya sekompi!"
  "Tapi bagaimana caranya kita meloloskan Maria?"
  "Gampang. Teman sekamarnya kan sekarang tinggal satu?!"
  "Satu juga orang, Tur! Punya mulut komplit satu set!"
  "Kamu ajak dia ngobrol, Rul."
  "Uaaah... bisa karatan mulutku, Tur! Dia cerewetnya seperti petasan injak! Lagi pula sampai kapan aku mesti ngomong sama dia?"
  "Cukup sampai Maria sempat bertukar pakaian dengan Tina!"
  "Hah?!" belalak Tina kaget. "Tukar pakaian dengan aku?"
  "Kamu mesti pura-pura jadi pasien sampai Maria pulang!"
  "Walah! Aku paling takut disuntik, Tur!"
  "Suster-suster sudah tahu kisahnya Maria! Mereka pasti simpati pada kita! Dan kamu dibebaskan dari hukuman suntik, Tin!"
  "Waduh, aku takut, Tur! Cari sukarelawan lain saja deh!"
  "Ala, takut apa sih? Dokternya cakep, susternya manis-manis. Kamu cuma perlu tidur terus sampai Maria pulang!"
  "Tapi..."
  "Soalnya badanmu yang paling cocok dengan badan Maria! Rambutmu pun lumayan panjangnya. Kalau kamu berkerubung selimut dari leher sampai ke kaki, nggak ada yang tahu deh! Taruhan!"
  "Mau kamu bawa ke mana Maria?" desak Elita curiga.
  "Pokoknya akan kujadikan hari ini hari yang tidak terlupakan untuk Maria!"
  "Untukku juga!" keluh Tina mengkal. "Aku belum pernah masuk rumah sakit!"
  "Bagaimana kalau bokapnya tahu?" cetus Elita ragu.
  "Ah, dia nggak bakal tahu! Kami sudah kembali sebelum waktu berkunjung nanti malam! Kalau si Tua keburu datang, kamu sembunyi saja di WC, Tin!"
  "Ampun! Aku mimpi apa sih tadi malam?"
 
  ***
 
  Mula-mula tentu saja Maria terkejut. Dan spontan menolak usul teman-temannya.
  Kabur dari rumah sakit? Ya, Tuhan! Tak pernah terpikirkan olehnya! Tapi... berjalan-jalan dengan Guntur... barangkali bisa menyingkirkan beban berat yang menindih dadanya....
  "Jiwamu tertekan," kata Nurul dengan gaya seorang psikolog. "Kamu perlu pelepasan."
  "Kalau tidak, kamu bisa sakit!" sambung Elita pula. "Bukan sakit badan, tapi sakit jiwa!"
  Cuma Tina yang diam saja. Dalam hati dia sudah seratus kali berdoa mudah-mudahan Maria tetap tidak mau!
  Berbaring seperti pasien di ranjang itu... Brrr! Jangan-jangan ada bekas darah di kasurnya.... Lebih celaka lagi... kalau ranjang ini bekas orang mati! Aduh, dia paling takut setan! Paling ngeri melihat darah!
  "Guntur sedang menunggumu di luar," bujuk Nurul separuh mengancam. "Kalau kamu tidak mau keluar juga, dia yang akan menerobos masuk!"
  "Oh, jangan!" pekik Maria tertahan. Matanya berkeliaran dengan paniknya. Mencuri-curi lihat ke arah ayahnya yang masih duduk di dekat pintu seperti seorang sipir penjara. Wajahnya angker. Tatapannya bengis.
  "Dia tidak takut lagi pada ayahmu. Katanya hari ini toh sudah hari terakhir kamu di sini."
  "Jangan... ayah akan marah sekali...."
  "Kamu mau keluar?"
  "Saya takut...."
  "Tidak ada yang perlu ditakuti. Tina akan menggantikanmu di sini sampai nanti sore. Sebelum ayahmu datang, kalian sudah pulang."
  "Dan perawat-perawat di sini?"
  "Oh, itu urusan Tina!"
  Sialan, maki Tina dalam hati. Bagaimana kalau ada seorang di antara mereka yang tidak mau bekerja sama? Memangnya aku punya apa?
  "Mulai besok, kamu pasti dipingit lagi, Mar," bujuk Nurul bersemangat. "Ayahmu pasti meningkatkan pengawasannya dua kali lebih keras! Jangan-jangan sekolahmu pun diantar-jemput!"
  "Guntur mau mengajakmu nonton, Mar," sambung Elita. "Kamu belum pernah nonton bioskop, kan?"
  Maria menggeleng bingung.
  "Kalian bisa menonton pertunjukan yang siang. Sore sebelum ayahmu datang, kamu sudah kem bali ke sini."
  "Barangkali ini kesempatanmu yang terakhir untuk pergi dengan Guntur, Mar," bujuk Nurul lagi.
  "Tapi ingat, Mar, lelaki tetap lelaki," potong Elita tegas. "Mereka selalu mencari kesempatan. Ingat, kamu cuma mau diajak ke tempat-tempat yang ramai. Yang banyak orang. Rumah makan. Bioskop. Toko. Kalau dibawa ke tempat sepi, kamu mesti menolak. Kalau dia memaksa, kamu harus teriak-teriak."
  Nurul menginjak kaki Elita dengan gemas.
  "Lho, kok malah nakut-nakutin gitu sih?!"
  "Aku belum percaya seratus persen pada si Guntur! Tangannya saja seperti Octopussy!"
  "Kenapa kamu dorong-dorong Maria dong kalau begitu?"
  "Supaya dia senang! Siapa tahu dia nggak punya kesempatan seperti ini lagi? Sia-sia dong masa remajanya! Masa nonton saja nggak pernah?!"
  Dan bunyi kentongan menyentakkan mereka semua. Waktu telah habis. Ayah Maria bangkit dan masuk ke dalam kamar, menghampiri ranjang putrinya.
  "Ayah pulang dulu," katanya dengan suara datar. Tanpa menoleh kepada teman-teman putrinya dia langsung keluar.
  Nurul harus menahan diri agar tidak menjulurkan lidahnya di belakang punggung laki-laki itu. Semata-mata untuk menghormati Maria.
  "Ayo, Mar! Cepat!" Tanpa menunggu sampai ayah Maria cukup jauh dari tempat itu, Elita menarik tangan Maria. "Kamu sudah cukup kuat, kan? Ayo, lekas ganti bajumu!"
  "El, aku WO saja deh," bisik Tina yang sedang didorong-dorong teman-temannya ke kamar mandi. "Aku takut nih!"
  "Ala, cepat ganti bajumu!"
  Tanpa menghiraukan protes-protes Maria maupun Tina, Elita mendorong mereka ke kamar mandi. Dan menutup pintunya. Di sudut ruangan, Nurul sedang asyik mengobrol dengan teman sekamar Maria.
  "Sudah punya anak, Tante?"
  "Sudah punya cucu," sahut perempuan itu sambil mengerutkan dahi. Heran. Biasanya anak-anak ini tidak pernah memandang sebelah mata pun kepadanya. Kok hari ini tanya-tanya anak segala.
  "Aduh!" cetus Nurul kaget. Tentu saja dia hanya berpura-pura. Tapi si Tante betul-betul terkejut. "Ada apa?"
  "Nggak sangka deh! Tante belum ada tampang nenek!"
  Ada senyum melintasi bibir yang kering itu. Padahal sejak jatuh sakit sebulan yang lalu, dia tidak pernah lagi tersenyum.
  "Bukan cuma kamu yang bilang begitu," katanya bangga.
  "Cucunya berapa sih, Tante?" tanya Nurul lagi tanpa ingat dia sudah mengajukan pertanyaan itu atau belum tadi.
  Sialan, kenapa jadi seperti petugas sensus begini? Ke mana sih anak-anak itu? Mengapa mereka lama sekali? Tukar pakaian saja seperti merias pengantin!
  "Kalian tidak mau pulang?" Si Tante mengangkat sebelah alisnya dengan heran. "Sebentar lagi pasti diusir. Di sini streng lho!"
  "Teman-teman sedang menemani Maria ke kamar mandi. Katanya tidak mau buang air kecil di pispot."
  "Oh, Maria sudah sembuh kok! Kemarin sudah bisa jalan-jalan sama Tante ke luar."
  "Nah, itu dia!" cetus Nurul lega, ketika melihat teman-temannya keluar dari dalam kamar mandi. Tapi begitu dia ingat tugasnya, cepat-cepat dia mengalihkan lagi perhatian si Tante.
  "Pulang ya, Mar," kata Elita sambil mencium pipi Tina yang sudah berbaring di ranjang. Berkerudung selimut seperti penderita malaria. Sengaja dia mengucapkan kata-katanya dengan suara keras. Supaya didengar si tante.
  Tina mengangguk tanpa menjawab. Tetapi dalam ha


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>