Cerita Cinta | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | by Mira W | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | Cersil Sakti | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji pdf
The Spiderwick Chronicles 5 Amarah Mulgarath Berkeliling Dunia Di Bawah Laut - Jules Verne Sisi Merah Jambu - Mira W Kelelawar tanpa Sayap - Huang Ying Misteri Empat Jam Yang Hilang - L. Ron Hubbard
ti, dia sudah seribu kali memaki. Sialan. Dia belum pernah dicium teman gadisnya. Kecuali kalau sedang berulang tahun. Dan panasnya berselubung selimut begini! Hhh! Sudah panas, pengap lagi! "Pulang dulu ya, Tante," potong Nurul begitu
Melihat Elita sudah menggandeng Maria ke luar.
Padahal si tante sedang seru-serunya menceritakan cucunya. Tanpa menunggu sampai si tante selesai, Nurul langsung mengejar Elita.
***
"El, saya takut..." bisik Maria gemetar. Dia mogok melangkah begitu melihat seorang perawat mendatangi mereka dari arah depan.
"Ah, acuh aja! Masa sih dia kenali kamu dalam arus manusia sebanyak ini?"
"Tapi saya takut, El. Tidak jadi saja ya?"
"Aduh, sudah kepalang basah, Mar! Tanggung!"
"Hai!" sapa Guntur begitu melihat Maria. Wajahnya demikian berseri-seri sampai Elita jadi curiga dan berbalik kuatir.
"Buset! Sampai nggak kenalin, Mar!" cetus Guntur kagum. Ditatapnya Maria sampai yang ditatap menjadi salah tingkah. "Soalnya belum pernah lihat kamu pakai jeans dan T-shirt begini!"
"Ah..." desah Maria tersipu-sipu. Wajahnya merah sampai ke telinga. Debar yang aneh mengusik jantungnya. Mengusir ketakutan yang menggerogoti jantung itu sejak tadi. Sekarang Elita-lah yang ragu.
"Aku ikut, Tur!" cetusnya tiba-tiba. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan Maria. "Kita naik taksi saja, yuk!"
"Wah, bertiga terlalu banyak, El!" Guntur menyeringai lebar sambil mengedipkan sebelah matanya. "Tapi jangan kuatir! Aku bawa oleh-oleh untukmu!"
Guntur melirik ke tempat parkir motor. Dan sekarang baru Elita melihat Rusman. Pemuda itu sedang duduk dengan gagahnya di atas motornya.
"Kita pergi berempat?" Elita mengangkat sebelah alisnya. Begitu gayanya kalau dia sedang curiga.
"Kamu punya ide lain?"
"Jangan coba-coba mengakali aku, Tur!"
"Tentu saja tidak, Godmother! Nah, kita pergi sekarang atau besok pagi?"
Tanpa menunggu jawaban Elita, Guntur menarik tangan Maria. Dan mempersilahkannya naik ke atas motornya.
Sejenak Maria tampak ragu. Dia mengawasi motor itu dengan bingung.
"Saya harus duduk di mana?"
"Terserah," sahut Guntur separuh bergurau. "Di depan boleh, di belakang pun boleh. Tapi kalau kamu duduk di depan, kita bakaljadi tontonan di sepanjang jalan!"
"Maksud saya..." desah Maria kemalu-maluan, "bagaimana saya harus duduk...."
"Biasa. Dengan pantatmu."
"Menyamping begini atau..."
"Lebih baik begitu. Lingkarkan lenganmu di pinggangku. Peluk erat-erat supaya kamu tidak jatuh."
"Ah, saya belum pernah naik motor...."
"Sekarang kamu sudah pernah. Dan sebelum malam tiba, kamu sudah pernah mencicipi semua yang selama ini belum pernah kamu bayangkan!"
Hati-hati Maria duduk di boncengan motor Guntur. Begitu hati-hatinya dia seolah-olah motor itu bisa menggigit.
Sabar, kata Guntur kepada dirinya sendiri. Salahmu sendiri. Mau pacaran dengan orang udik. Kuper. Norak. Nah, rasain deh lu! Naik motor saja repotnya kayak naik onta!
"Sudah siap?" tanya Guntur setelah dia duduk di atas motornya. Dan setelah empat belas kali menghela napas panjang.
"Saya harus berpegangan ke mana?" tanya Maria bingung dan gugup. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh dan wajahnya.
"Tadi kan sudah kubilang, peluk pinggangku."
"Tapi... saya malu...."
"Kalau kamu jatuh terjungkal di jalanan, lebih malu lagi!"
"Nggak apa-apa, Mar!" seru Elita yang sudah duduk di boncengan motor Rusman. "Pegang saja pinggangnya erat-erat! Aku akan menjagaimu!"
Hm, Guntur tersenyum dalam hati. Lihat saja nanti, siapa yang perlu dijagai! Dan dia menggeliat geli ketika jari-jari Maria meraba pinggangnya.
"Aduh! Jangan gelitiki pinggangku dong!"
Yang terkejut bukan cuma Guntur. Maria sendiri juga. Dia terlonjak mundur. Hampir jatuh ke belakang. Lupa sedang duduk di atas motor yang sempit.
Lekas-lekas Guntur meraihnya. Diambilnya tangan gadis itu. Diletakkannya di pinggangnya.
Refleks Maria menariknya kembali. Tapi motor telah melonjak maju. Dan tubuhnya tersentak. Hampir terhempas ke belakang.
Tidak ada pilihan lain. Terpaksa Maria buru-buru merangkul pinggang Guntur. Bukan cuma lengannya yang mencapit erat seperti kepiting. Tubuhnya pun melekat rapat di punggung Guntur. Dan dia menggigil ketakutan sambil memejamkan matanya.
"Lagi ngapain?" tanya Guntur di sela-sela deru motornya. Dia tahu bukan cuma getaran motornya
yang membuat tubuh gadis itu berguncang-guncang. "Berdoa?"
Tidak ada jawaban. Sekejap Guntur menoleh ke belakang. Ditatapnya gadis yang sedang melekat seperti lintah di punggungnya itu sambil tersenyum geli.
"Buka dong matamu! Kamu kan lagi naik motor, bukan jetcoaster!"
"Jangan cepat-cepat...," rintih gadis itu. "Saya takut...."
"Oke, kita merayap seperti siput!"
Sambil mengurangi kecepatan motornya, Guntur membelai tangan halus yang melekat di pinggangnya. Dan yang terkejut bukan cuma Maria. Guntur juga. Tangan itu... astaga dinginnya!
"Waduh!" cetus Guntur kaget. "Tanganmu dingin seperti es!"
"Ke mana nih, Tur?" teriak Rusman ketika motornya berhasil merendengi motor Guntur.
"Terserah situ," sahut Guntur seenaknya. "Kita kan masing-masing punya otonomi sendiri! Kapan dapat SIM kalau bawa instruktur terus!"
"Ikuti saja terus, Man!" potong Elita. "Aku belum yakin kok, dia jujur!"
Tetapi tidak mudah mengikuti motor Guntur. Apalagi di tengah-tengah arus lalu lintas semacam ini. Dan tampaknya Rusman juga tidak ingin membuntuti mereka.
Sengaja Rusman melarikan motornya sedemikian rupa sehingga terhadang lampu merah sementara motor Guntur berhasil lolos. Dan dalam beberapa menit saja, mereka sudah kehilangan jejak.
"Pulang, Tur." rintih Maria ketakutan. "Sudah malam."
"Ah, buat apa sih pulang cepat-cepat." Dengan santai Guntur menggandeng Maria keluar dari dalam gedung bioskop. "Filmnya bagus, ya?"
Maria cuma mengangguk. Kesenangan yang diperolehnya sepanjang siang ini langsung buyar ketika diketahuinya sudah pukul berapa sekarang. Dia memang tidak punya jam tangan. Tapi jam dinding di kafetaria sudah menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat!
Itu berarti waktu berkunjung di rumah sakit telah berlangsung tiga perempat jam. Dan mereka belum pulang juga! Oh, Maria tidak dapat membayangkan bagaimana kemarahan ayahnya!
Tetapi Guntur seperti tidak ikut merasakan kecemasan Maria. Tenang-tenang saja dia mengambil motornya. Dan melarikan motor itu ke rumahnya. Bukan ke rumah sakit!
"Ke mana, Tur?" desah Maria gemetar, ketika dilihatnya motor mereka membelok dan memasuki halaman sebuah gedung bertingkat.
"Ke rumahku," sahut Guntur tenang-tenang.
"Ke rumahmu?" belalak Maria kaget. "Kita sudah terlambat, Tur!"
"Ah, santai saja. Baru jam tujuh. Masih sore."
"Tapi jam berkunjung di rumah sakit sudah berakhir, Tur!"
"Ya, nggak apa-apa," sahut Guntur seenaknya.
"Tapi ayahku, Tur!" rintihnya separuh menangis.
Sekarang Maria yakin. Pemuda ini memang ingin menipunya. Dia sengaja memancingnya keluar dari rumah sakit. Sengaja mengajaknya berjalan-jalan. Nonton bioskop. Sekarang ke rumahnya pula.
Apa pula yang ingin diperlihatkannya di rumah ini? Seharusnya mereka lekas-lekas pulang. Kembali ke rumah sakit sebelum Ayah datang.
Bukankah begitu janji Guntur kepada teman-temannya tadi? Dan Elita... benarkah dia juga ikut mempermainkannya? Ah, rasanya tidak mungkin! Dia begitu baik... Titik air mata Maria mengingat semuanya itu.
Ketika Guntur menghentikan motornya di depan rumah dan mengajak Maria turun, dia melihat kilatan air mata di pipi gadis itu. Dan tiba-tiba saja dia merasa trenyuh.
Gadis ini sungguh amat berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah dipermainkannya. Sepanjang siang Guntur telah membawanya ke mana-mana. Diperlihatkannya toko-toko dengan gaun yang indah-indah. Perempuan mana yang tidak tertarik kepada baju yang bagus-bagus?
Maria memang tertarik. Tapi tidak berniat untuk memilikinya. Ketika Guntur hendak membelikannya, Maria menolak dengan halus. Dan dia tetap menolak apa pun alasan Guntur.
Penolakannya sungguh-sungguh. Bukan cuma pura-pura, sekedar tahan harga atau malu-malu kucing. Di mulut tidak di hati mau.
Guntur sudah mengajaknya menikmati pemandangan kota Jakarta dari yang paling mewah sampai ke tempat yang paling aduhai. Maria memang terkesan. Tapi tidak terpengaruh.
Debu-debu kota Metropolitan seakan-akan tak pernah mampu mengotori kesucian pikiran gadis itu. Gemerlapnya emas Monas pun tak dapat menyilaukan matanya.. Tak mampu melawan kilauan sinar Ilahi yang memancar dari kemurnian hatinya.
Makanan-makanan yang lezat boleh memporak-porandakan lidah dan perutnya. Tapi tidak jiwanya. Dan keteguhan imannya membuat Guntur-lah yang justru jadi terpengaruh.
Di sini. di rumahnya, dia dapat melakukan apa saja. Membujuk. Merayu. Menipu. Bahkan mengasari gadis itu untuk memenangkan taruhannya dengan teman-temannya. Kalau Maria sudah tidak suci lagi, biara mana yang masih mau menerimanya?
Tetapi Guntur tidak sampai hati. Ada sesuatu di dalam mata gadis itu yang tidak dapat dilawannya. Tuhankah yang datang berperang melawannya melalui mata gadis itu?
Guntur tak pernah mengenal makhluk yang bernama Tuhan itu. Orang tuanya pun tak pernah memperkenalkannya. Tetapi melalui gadis ini, gadis yang polos, lugu, dan kurang pergaulan, Guntur dipaksa untuk mengenal suatu kekuatan lain yang tidak kelihatan.
Kekuatan yang mampu mengalahkan kesombongannya. Yang mampu membuatnya bergerak untuk naik kembali ke motornya.
Dia tidak peduli teman-temannya akan menertawakannya. Mengejeknya. Menagih sesumbarnya. Dia akan membawa Maria pulang. Sekarang juga.
Tetapi sebelum Guntur sempat naik ke motornya, pintu depan terhempas terbuka. Dan empat orang pemuda langsung menghambur ke luar.
"Benar, mereka yang datang!" seru pemuda yang paling depan. "Kok nggak masuk, Tur? Mau pesta sendiri di luar, ya?"
Tanpa menghiraukan teman-temannya lagi, Guntur naik ke motornya. Tetapi pemuda yang paling
dekat langsung menghadang sambil memegangi kemudi motor Guntur.
"Mau ke mana, Tur?" tanyanya heran.
"Minggir deh!" Dengan kasar Guntur mendorong temannya. Dan menghidupkan mesin motornya. Tetapi pemuda yang paling dekat dengan Maria sudah menariknya turun.
"Silakan masuk, Mer!" katanya sambil tertawa lebar. "Di dalam sudah disiapkan acara untukmu!"
"Jangan ganggu dia, Tot!" geram Guntur marah.
Tetapi Gatot telah menyeret Maria masuk ke dalam. Dan Maria terhenyak kaget ketika mengenali pemuda itu. Dialah bajingan yang pernah mengganggunya dulu!
"Masih kenali saya?" Gatot tersenyum mengejek.
Dan rasa terkejut Maria belum hilang ketika muncul kejutan baru... Elita muncul dari dalam bersama Rusman!
"Maria!" jerit Elita sebelum Maria sempat membuka mulut. "Astaga! Kamu masih di sini?!"
"El!" rintih Maria separuh menangis. "Bawalah saya pulang!"
"Kurang ajar!" geram Elita kepada Rusman. "Mau apa kalian bawa Maria kemari?!"
"Kita ada acara khusus buat dia!" Rusman menyeringai sinis. "Mana Guntur?"
"Jadi kalian bersekongkol!"
"Nggak apa-apa, kan? Supaya dia cepat dewasa! Mana si Guntur? Waduh, jadi juga dia memenangkan taruhan!"
"Taruhan?!" Naik alis Elita.
"Kalau dia berhasil membawa Maria kemari, dia menang!"
"Kurang ajar!" geram Elita sengit. Ditamparnya pipi Rusman dengan marah. Tapi Rusman menangkap tangannya dengan gesit.
"Eh, jangan munafik! Apa kamu juga kepingin lihat blue filter?"
"Kamu juga mau nonton kan. Mer?" Gatot menyeringai ke arah Maria. "Yuk, kita ke dalam!"
"Saya mau pulang!" desah Maria ketakutan.
"Lepaskan dia. Tot!" bentak Guntur yang sudah menerobos masuk diikuti ketiga orang temannya.
"Lho. kenapa? Filmnya belum mulai kok! Sabar dong!"
Tanpa banyak bicara lagi Guntur mendorong Gatot dan menghela Maria lepas dari cengkeraman pemuda itu.
"Eh, mau kamu bawa ke mana, Tur? Jangan serakah dong!"
"Ajak Elita pulang, Man!" kata Guntur kepada Rusman tanpa menghiraukan teman-temannya. Dia sendiri membawa Maria ke pintu keluar. Tetapi sebelum dia berhasil membuka pintu, salah seorang temannya telah datang menghadang.
"Acara belum selesai, Tur! Kamu nggak boleh meninggalkan ruangan!"
Dengan kasar Guntur mendorongnya agar tidak menghalangi jalan. Ketika temannya maju hendak menghadang pula, Guntur langsung meninjunya. Suasana jadi, gaduh.
"Apa-apaan nih, Tur?" gerutu Gatot jengkel. "Kamu kemasukan malaikat apa sih?!"
Tetapi perkelahian sudah terjadi. Terpaksa teman-temannya turun tangan melerai.
"Jangan ganggu dia!" Terenga
↧
Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - 13
↧