Cerita Cinta | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | by Mira W | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | Cersil Sakti | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji pdf
Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi
h-engah Guntur berusaha melepaskan diri dari cengkeraman teman-temannya. "Dia bukan gadis untuk kita!"
"Tapi kita sudah punya acara untuk dia, Tur!" bantah Rusman. "Supaya dia nggak norak lagi!"
"Mari, Mer! Kami sudah punya acara untukmu!"
Dengan gaya memuakkan, Gatot membawa Maria ke ruang dalam. Ada beberapa pasangan yang sedang berdansa di dalam ruangan yang hingar-bingar oleh suara musik dan pengap karena asap rokok itu.
Gatot mengajak Maria melewati mereka untuk masuk ke sebuah ruangan lain yang lebih gelap. Ada beberapa remaja yang sedang duduk menonton video. Dan melihat adegan yang terpampang di layar TV, Maria langsung memejamkan matanya.
Entah bagaimana cara Guntur melepaskan diri dari teman-temannya. Tahu-tahu dia sudah muncul di belakang mereka. Tanpa berkata sepatah pun, dia merenggut T-shirt Gatot dan memukulnya. Kemudian dia membawa Maria ke luar. "Bawa Maria pulang, El," katanya kepada Elita. Ketika Rusman memperlihatkan tanda-tanda akan menghalangi, dia pun mendapat sebuah jotosan yang membuatnya jatuh tunggang-langgang.
"Pakai saja motorku," sambung Guntur kepada Elita. "Aku akan menahan mereka di sini."
Guntur sudah menoleh kepada Maria, tetapi belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Gatot sudah bangkit menghampiri sambil melemparkan segenggam uang ke mukanya. "Ini uang taruhanmu, Tur! Kamu mau apa lagi?" "Biarkan mereka pergi," sahut Guntur dingin. "Mana acara lucu yang kamu janjikan?" protes
teman-temannya yang sudah datang mengerubunginya. "Katanya ada calon biarawati nonton film biru!"
"Jangan ganggu mereka lagi!" Guntur sengaja tegak menghalangi teman-temannya yang masih penasaran hendak mengejar Maria. "Aku tuan rumah di sini! Kalau kalian masih banyak tingkah, kuusir semua!"
***
Rumah sakit sudah gempar ketika Elita datang bersama Maria. Tina sudah dibawa ke kantor direktur rumah sakit untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pak Handoyo pun sudah hadir di sana, lengkap dengan para perawat yang bertanggung jawab.
Seandainya saja di sana tidak ada orang lain, pastilah Maria sudah dihajar habis-habisan oleh ayahnya. Untung pula malam itu Maria belum diperbolehkan pulang. Dia sudah ngeri membayangkan hukuman ayahnya seandainya pulang ke rumah.
Di sini Ayah hanya dapat memarahinya. Dan melihat cara Pak Handoyo memarahi anaknya, mau tak mau timbul rasa kasihan di antara para perawat dan dokter-dokter yang hadir.
Mereka sudah mendengar dari Tina bagaimana cara Pak Handoyo memperlakukan anaknya. Mereka juga sudah dapat menerima alasan yang dikemuka-kan Elita untuk melarikan Maria.
Tentu saja Elita tidak menyebut-nyebut nama Guntur. Dia mengakui semua itu sebagai perbuatannya sendiri. Dengan dialah Maria pergi. Dia pula
yang membujuk Maria. Tapi mereka cuma berjalan-jalan dan menonton bioskop.
Tentu saja Elita pun mendapat peringatan keras seperti Tina. Setelah dimarahi, mereka berdua diperbolehkan pulang.
"Saya akan melaporkan perbuatan kalian berdua kepada Suster Cecilia!" ancam Pak Handoyo, menambahi hukuman mereka.
Dan Elita tidak perlu menunggu terlalu lama. Esok pagi juga, dia dan Tina sudah langsung dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.
Dengan sabar Suster Cecilia mendengarkan cerita mereka.
"Maksud kalian memang baik," katanya sambil menghela napas. "Tapi caranya keliru. Cara seperti itu sama sekali tidak terpuji. Menculik Maria dari rumah sakit, apa pun alasannya, bukan perbuatan yang terpuji. Kalian telah memberi malu nama sekolah kita. Apakah kalian menyesal dan berjanji tidak akan melakukan tindakan seperti ini lagi?"
Berbareng Elita dan Tina mengangguk.
"Baiklah. Kali ini saya maafkan. Tapi sebagai hukuman, selama seminggu ini kalian setiap hari harus membersihkan halaman. Datanglah sejam lebih pagi dari biasa. Akan saya tunggu kalian di sini. Terlambat datang berarti tambahan hukuman sehari lagi."
BAB VII
Hari pertama masuk sekolah setelah dua minggu terkapar sakit merupakan hari istimewa bagi Maria. Dia merasa seperti anak baru lagi.
Cuma bedanya kali ini teman-temannya menyambut kehadirannya dengan manis. Bukan dengan ejekan-ejekan dan cemoohan-cemoohan seperti waktu pertama kali dia masuk ke kelas ini.
Nurul sengaja membawa kue-kue buatan tangannya sendiri dan mengajak teman-temannya makan bersama. Sementara Elita membawa coklat untuk dibagi-bagikan, seakan-akan hari itu Maria berulang tahun lagi.
Maria amat terharu menerima sambutan teman-temannya. Mereka seolah-olah berlomba-lomba ingin menghiburnya.
Semua catatan pelajaran selama dia tidak masuk sekolah, bahkan termasuk juga catatan yangdirobek-robek ayahnya dulu, sudah lengkap disalin oleh mereka. Yang malas menyalin, menitipkan tugasnya pada mesin foto kopi. Pokoknya semua kebagian tugas.
Guru-gurunya juga bersedia memberi pelajaran tambahan kepada Maria untuk mengejar ketinggalan
pelajarannya selama dia tidak masuk sekolah. Dan bukan itu saja. Rena yang biasanya agak judes, kini malah menghadiahkan sebuah album yang berisi foto-foto pesta ulang tahunnya.
Entah siapa yang iseng menjepret adegan dansa Maria dengan Guntur. Tapi foto-foto itu lengkap menghiasi album yang dihadiahkan Rena untuk Maria. Tersipu-sipu Maria memandangi foto itu.
"Kamu masih marah sama Guntur, Mar?" tanya Elita sambil mengamati-amati wajah temannya.
"Ah, tidak," sahut Maria polos. "Saya sudah lama memaafkannya."
"Aku ikut bersalah, Mar. Aku juga ikut membujukmu." "Lupakan saja, El."
"Guntur memang brengsek. Dia terkenal gemar mempermainkan gadis-gadis. Pacarnya seperti mobilnya. Ganti setiap tahun. Tapi setelah mengenalmu, kukira dia sudah berubah. Siapa sangka dia malah mempermainkan kita semua."
"Kalau ketemu dia lagi akan kulempari mukanya dengan telur busuk!" geram Tina sengit.
"Jangan," cegah Nurul segera. "Kita harus cari akal untuk membalas perbuatan mereka! Kali ini kita kalah. Tapi lain kali kita harus berhasil mempermainkan cowok-cowok edan itu!"
"Sudahlah, Rul," cegah Maria sabar. "Mereka hanya ingin mempermainkan saya."
"Kamu betul-betul nggak marah, Mar?" desak Nurul penasaran. "Nggak kesal?"
Maria cuma menggeleng sambil tersenyum. "Yang sudah lewat sudahlah," katanya tenang. "Pelajaran juga buat saya."
"Astaga. Mar!" Nurul menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tidak percaya. "Kamu betul-betul malaikat!"
***
"Saya tidak bisa menyimpan album itu di rumah, EL" kata Maria kepada Elita pada waktu jam istirahat. "Titip sama kamu, ya?"
"Pulang sekolah nanti berikan saja kepadaku," sahut Elita mantap.
"Terima kasih, El. Sekarang saya mau ke WC dulu ya. Perut saya sakit."
"Kenapa, Mar?" bisik Elita agak kuatir. "Mukamu pucat lho!"
"Ah, memang masih agak pucat." Maria memaksakan sepotong senyum di bibirnya. "Tapi saya sudah sembuh. Sudah tidak batuk. Tidak pernah panas lagi."
"Kuantar yuk."
"Nggak usah, El. Baunya tidak enak di sana."
"Nggak apa-apa. Namanya juga WC!"
"Kamu tunggu di luar saja."
"Tapi kamu teriak-teriak kalau pingsan, ya?"
Tentu saja Elita cuma bergurau. Maria pun menyambutnya dengan senyum-simpul. Tapi ketika Maria benar-benar berteriak dari dalam WC, Elita sampai terlompat kaget.
"Mar!" serunya sambil menggedor-gedor pintu. "Kamu kenapa?"
Beberapa orang teman mereka yang kebetulan sedang berada di sana ikut mengerubungi Elita di depan pintu.
"Mar!" teriak Elita sekali lagi ketika tidak didengarnya jawaban Maria. "Kenapa, Mar?"
"El..." rintih Maria lemah. Nadanya gugup dan sangat ketakutan. "Tolong saya...."
"Kamu kenapa?" teriak Elita cemas.
"Cepat panggil Suster Cecilia atau Bu Har," perintah Elita kepada anak-anak yang mengerubunginya. "Bilang, Maria sakit lagi!"
Cepat-cepat mereka keluar. Yang sebagian lari ke kantor Kepala Sekolah. Yang lain kabur ke ruang guru.
"Buka pintunya, Mar!" seru Elita panik. "Biar aku masuk!"
Begitu pintu perlahan-lahan terbuka, cepat-cepat Elita menyelinap masuk. Dan menguncinya lagi.
Maria sedang bersandar lemah ke dinding. Mukanya pucat-pasi. Matanya terbelalak ketakutan.
"Kenapa, Mar?" Dengan gugup Elita menggenggam lengannya. "Apamu yang sakit?"
Ketakutan Maria menunjuk ke bawah. Dan mata Elita terbelalak melihat carian merah yang mengalir di sela-sela paha Maria... terus ke kakinya....
"Ya Allah, Mar!" pekik Elita terkejut. "Kamu...?"
Maria menggeleng sama gugupnya. Matanya menggelepar-gelepar dengan panik. Bibirnya mendesah resah.
Pintu WC diketuk dari luar. Lalu terdengar suara Suster Cecilia. Tenang dan berwibawa. Meskipun masih menyembunyikan nada kuatir.
Cepat-cepat Elita membuka pintu. Begitu Suster Cecilia masuk, Maria mengerut ketakutan. Tapi Suster Cecilia hanya memandangnya sekejap. Lalu dia sudah tahu apa yang terjadi.
Segera diusirnya siswi-siswi yang masih berkerumun di depan pintu. Dimintanya Maria membersih-
kan darah yang meleleh di kakinya. Lalu dibimbingnya gadis itu ke luar.
Tapi di luar teman-temannya masih berkerumun menonton. Saling berbisik-bisik sambil tersenyum mencemooh. Dengan susah payah Bu Harti dan Bu Mien berusaha membubarkan kerumunan mereka.
Maria dibaringkan di ruang P3K. Dan Suster Cecilia memberi instruksi singkat kepada Bu Endang yang menjaga ruangan itu. Lalu dia memanggil Elita.
"Kamu sudah dapat menstruasi, Elita?" tanyanya dengan suara datar, seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa.
Elita mengangguk gugup. "Tapi saya tidak menyangka..."
"Jadi ini kejadian biasa," potong Suster Cecilia tegas. Dia memandang langsung ke mata Elita. Dan matanya yang tajam berwibawa itu seakan-akan ingin menghujamkan keyakinan di hati Elita. "Seorang gadis yang menginjak masa remaja mendapat haid. Itu soal biasa, bukan?"
"Ya, Suster...," sahut Elita gelagapan. "Tapi saya tidak menyangka Maria tidak tahu.... Saya tidak berpikir sampai ke sana...."
Suster Cecilia mengangguk sebelum Elita sempat mengakhiri kata-katanya. "Jadi katakan kepada teman-temanmu, ini kejadian biasa. Tidak ada apa-apa. Maria hanya mendapat haidnya yang pertama."
"Ya, Suster...," sahut Elita gugup.
"Sekarang kamu boleh kembali ke kelas."
***
"Kamu sudah mendapat pelajaran biologi, Maria?" tanya Suster Cecilia dengan tenang. Dia duduk dengan sabar di tepi pembaringan Maria.
Gadis itu mengangguk dengan gugup. Matanya menatap Suster Cecilia dengan ketakutan.
"Kamu pasti tahu, jika seorang wanita menginjak masa remaja, dia akan mendapat haid atau menstruasi sekali setiap bulan, bukan?"
Ragu-ragu Maria mengangguk.
"Nah, inilah haidmu yang pertama."
Mata Maria membelalak ketakutan. Mulutnya ternganga bingung.
"Tidak ada yang perlu dikuatirkan. Itu hanya suatu tanda bahwa kamu sudah menjadi wanita dewasa sekarang. Selama lima sampai tujuh hari, kamu akan mengalami perdarahan seperti ini. Lebih baik kamu memakai pembalut wanita seperti yang diberikan oleh Bu Endang tadi. Pembalut-pembalut seperti itu dapat dibeli di toko dalam bungkusan plastik atau dus. Kamu mungkin akan merasa perutmu sakit sedikit. Tapi keluhan seperti itu biasanya hanya datang pada hari pertama atau kedua. Sesudahnya kamu tidak akan merasakan apa-apa lagi. Menstruasimu akan berh enti dengan sendirinya. Dan akan datang kembali bulan depan kira-kira pada tanggal yang sama. Mungkin pad a hari-hari sebelumnya kamu juga akan merasakan ket egangan atau malah sedikit sakit pada buah dada atau pinggangmu. Tapi kamu tidak usah kuatir. Gejala sema cam itu biasa dialami wanita sebelum haidnya datang. Ada lagi yang ingin kamu tanyakan, Maria?"
"Apa... apa yang harus saya katakan pada Ayah?" rintih Maria bingung.
Ayah! Cuma itu yang dipikirkannya!
"Biar saya yang bicara dengan ayahmu," sahut Suster Cecilia tegas. "Sekarang kamu pulang saja.
Saya sudah minta Bu Endang mengambilkan buku-bukumu di kelas. Besok pagi datanglah bersama ayahmu kemari. Tidak usah takut. Tidak ada yang perlu dikuatirkan."
Tetapi yang paling dikuatirkan Maria justru baru ditemukannya di rumah. Album itu masih terbawa di dalam tasnya! Dalam kebingungan dia telah melupakan kehadiran album itu! Elita belum sempat mengambilnya!
***
"Eh, masih berani nongol di sini?!" geram Elita begitu dia melihat Guntur menunggu di depan sekolah. "Mau ngapain lagi?"
"Minta dikeroyok cewek, ya!" Tina mendesis sengit. "Sayang aku belum punya telur busuk!"
"Benar-benar muka badak tuh!" sembur Nurul tidak kalah judesnya. "Nggak tahu malu!"
"Aku datang mau minta maaf," sahut Guntur tanpa menghiraukan kemarahan teman-tem
↧
Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - 14
↧