Cerita Cinta | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | by Mira W | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | Cersil Sakti | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji pdf
Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi
ata apa-apa lagi Maria mengeluarkan semua uang yang ada di dompetnya. Diberikannya semuanya kepada si pengemudi taksi yang sedang kebingungan itu.
Lalu tanpa menghiraukan apa-apa lagi Maria berlari di sepanjang kaki lima. Menembus keheningan malam. Sampai kakinya tidak bisa diangkat lagi. Dan dia jatuh tersungkur ke tanah.
Tak tahu Maria sudah berapa lama dia menangis sambil berdoa di sana. Dia baru mengangkat wajahnya ketika telinganya lapat-lapat mendengar suara alunan organ dan dentang lonceng gereja.
Lalu dia melihat patung itu. Patung yang menjulang tinggi di hadapannya. Patung yang mirip dengan gambar Yesus di kamarnya. Di kaki-Nya-lah dia tersungkur. Dan tiba-tiba saja ada secercah kedamaian menjalari hati Maria.
"Kupersembahkan seluruh hidupku sebagai ganti hidupnya, Tuhan!" bisik Maria, terharu. "Kuserahkan diriku seutuhnya ke dalam tangan-Mu!"
BAB X
Selesai berdoa Suster Maria keluar dari kapel kecil di samping biara. Dia melangkah anggun menelusuri jalan setapak yang menerobos ke koridor rumah sakit. Kerudung putihnya sekali-sekali melambai-lambai diterbangkan angin malam yang nakal.
Suasana di sana memang agak gelap. Hanya ada sebuah lampu TL sepuluh Watt sebagai penerangan. Tetapi Suster Maria tidak takut. Dia sudah biasa berjalan di sini.
Setiap malam sebelum tidur Suster Maria akan mengontrol sekali lagi keadaan rumah sakit yang dikelolanya. Rumah sakit kecil di lereng pegunungan, milik sebuah yayasan Katolik yang dipercayakan kepadanya.
Hanya ada seorang dokter dan tiga orang perawat di sana. Dua orang di antaranya calon biarawati pula.
Memang bukan sebuah rumah sakit yang komplet. Kapasitasnya pun hanya tiga puluh tempat tidur. Tetapi rumah sakit itu tidak pernah kosong.
Malah jika sedang penuh, misalnya waktu ada wabah kolera dulu, lorong-lorongnya pun digunakan sebagai bangsal untuk orang sakit. Kasur-kasur
tambahan diangkut dari dalam biara. Sehingga pernah beberapa kali terjadi, Suster Maria dan rekan-rekannya terpaksa tidur tanpa alas.
Rumah sakit itu memang bukan sebuah rumah sakit yang hebat. Tidak pernah masuk koran. Tidak pernah mendapat kunjungan pejabat dari pusat. Apalagi sumbangan para dermawan.
Kasus-kasus penyakit yang seharusnya masih bisa tertolong bila pasien itu dirawat di rumah sakit pusat yang lengkap, kadang-kadang terpaksa direlakan pergi karena tidak ada fasilitas. Tetapi bagaimanapun untuk penduduk di sekitarnya, rumah sakit itu telah menjadi berkat tersendiri. Sesuai dengan doa Suster Maria setiap malam.
"Jadikanlah aku alat damai sejahtera-Mu, Tuhan. Agar di tempat keputusasaan aku membawa harapan, di tempat kesakitan aku membawa kesembuhan, dan di tempat duka cita aku membawa suka cita."
Selama tujuh belas tahun makna doa itu telah menyatu dengan perilaku Suster Maria sehari-hari. Bukan hanya pada saat dia mengabdi Tuhan di dalam biaranya yang sepi, tapi juga pada saat merawat dan mendampingi pasien di dalam rumah sakitnya yang hir uk-pikuk.
"Selamat malam, Suster Maria!" sapa Pak Kunto, yang punya pos tetap di ranjang yang paling ujung dekat pintu bangsal.
Sudah bertahun-tahun Pak Kunto dirawat di rumah sakit ini. Sejak keluarganya tidak mampu lagi membiayai pengobatan penyakit tbc-nya yang sudah parah. Paru-parunya telah bernanah. Tubuhnya pun tinggal tulang berbalut kulit.
Pasien langganan yang sudah termasuk inventaris rumah sakit ini ditempatkan di dalam bangsal isolasi bersama sembilan orang pasien tbc lainnya. Suara batuk mereka sudah ramai terdengar sejak Suster Maria masih berada di ujung koridor.
Setiap kali Suster Maria lewat di sana, pasti Pak Kunto yang pertama kali melihatnya. Dan pertama kali pula menyapanya.
Suster Maria akan meluangkan waktu untuk berhenti sebentar di sana. Mengobrol dan menghibur pasien sebatang kara yang semangat hidupnya sudah tidak sepadan lagi dengan keadaan fisiknya itu.
"Anginnya kencang sekali ya, Suster," kata Pak Kunto sambil menatap ke luar. "Nanti malam pasti hujan lebat."
"Pak Kunto kedinginan?"
Suster Maria menatap dada tipis yang hanya berbalut selembar sarung itu dengan iba. Ya, seandainya saja dia punya cukup banyak uang untuk membelikan sehelai baju hangat untuk orang tua ini! Ah, jangankan pakaian, untuk membeli obat-obatannya pun rumah sakit sudah hampir kewalahan!
Penderita tbc harus diobati secara terus-menerus setiap hari. Dan penderita yang penyakitnya sudah separah Pak Kunto, memerlukan pengobatan yang teratur berbulan-bulan.
Kadang-kadang kalau obat suntiknya kebetulan sedang habis, Suster Maria terpaksa hanya menyuntikkan vitamin ke dalam tubuh Pak Kunto. Me skipun hatinya sedang menangis, Suster Maria harus tet ap mengulum senyum di bibirnya.
Yah, di negeri ini berapa banyak orang kaya yang mampu membeli perhiasan seharga puluhan juta
rupiah, sementara di bangsal yang pengap ini, pasien tidak mampu membeli obat suntik yang hanya berharga beberapa puluh rupiah saja untuk mempertahankan hidupnya! Sungguh suatu ironi yang menyayat hati!
"Nggak apa-apa, Suster," sahut Pak Kunto dengan ketabahan yang kadang-kadang membuat Sust er Maria terharu. "Bapak sudah biasa kok. Suster sendiri nggak kedinginan?"
"Ah, saya kan pakai baju panjang, Pak Kunto. Tebal lagi. Pakai kerudung pula."
"Dulu Suster punya mantel. Sudah lama Bapak tidak pernah lihat lagi."
Suster Maria cuma tersenyum. Pak Kunto tidak perlu tahu kepada siapa mantel itu telah diberikannya.
"Suster Maria!" seru Suster Ranti dari pintu bangsal nomor tiga. "Pak Sardi, Suster!"
Cepat-cepat Suster Maria melangkah ke bangsal nomor tiga. Dia sudah tahu arti panggilan semacam itu. Seorang pasien telah bersiap-siap untuk mengucapkan selamat tinggal kepada dunia. Kepada penyakitnya juga.
Dan Suster Maria harus berada di sisi pasien itu. Harus menemaninya sampai suatu saat dia tidak mungkin ditemani lagi. Si pasien harus berjalan seorang diri ke suatu tempat yang tidak dikenalnya. Hanya doa Suster Maria yang dapat menyertainya.
***
Malam itu benar-benar malam yang sibuk. Hujan turun dengan lebatnya seperti yang telah diramalkan oleh Pak Kunto. Begitu derasnya arus air sampai
berhasil membobolkan tanggul. Dan banjir yang mengganas itu merobohkan sebuah jembatan yang baru selesai diperbaiki tepat pada waktu tengah malam.
Sebuah bis yang kebetulan lewat terjerumus ke dalam sungai. Lima belas orang penumpang yang luka-luka diangkut ke rumah sakit yang terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Beberapa orang di antaranya sudah tidak dapat ditolong lagi. Mereka dikumpulkan di sudut dekat ruang darurat. Sementara ruang darurat itu sendiri, penuh sesak dengan pasien-pasien yang masih membutuhkan pertolongan.
Kalau di dalam ruang darurat kesibukan dan rintihan mewarnai suasana, maka di sudut sana, cuma kesepian yang mencekam. Hanya Suster Maria yang berada di situ, mempersiapkan mereka yang
akan memulai perjalanan panjangnya malam ini juga. Perjalanan menemui Sang Pencipta. Dokter
Lusi dengan ketiga orang perawatnya masih sibuk
menolong mereka yang luka-luka.
Pasien yang pertama telah berlalu sebelum Suster
Maria sempat membekalinya dengan kata-kata
hiburan dan doa. Sejenak dia menundukkan kepala.
Berdoa untuk arwah laki-laki itu.
Korban yang kedua masih merintih kesakitan sekali-sekali, meskipun dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar lagi karena lemahnya. Suster Maria masih sempat menyuntikkan obat penghil ang rasa sakit sesuai dengan instruksi Dokter Lusi. Dia j uga masih sempat membisikkan kata-kata hiburan di te linga pasien itu. Masih sempat berdoa sebelum matany a terpejam untuk selama-lamanya.
Pasien ketiga juga masih hidup meskipun napasnya tinggal satu-satu. Mukanya berlumuran darah. Suster Maria harus membersihkannya dulu sebelum dapat mengenali wajahnya. Dan dia hampir tidak mempercayai matanya sendiri!
Laki-laki tinggi kurus dengan kumis dan jenggot yang tumbuh liar tak terurus itu... Ya, Tuhan! Benarkah dia... ayahnya?
***
Suster Maria duduk terpekur di lantai. Di samping sehelai tikar tua yang mengalasi tubuh ayahnya. Hati-hati diletakkannya kepala yang berlumuran darah itu di atas pangkuannya.
Darah yang menetes merah meronai jubah putihnya. Hanya dua sosok mayat yang menemani suasana pertemuannya dengan ayahnya.
Pak Handoyo sendiri sudah berada dalam keadaan coma. Matanya terpejam rapat. Napasnya tinggal satu-satu. Tetapi Maria percaya, Ayah masih dapat mendengar suaranya. Merasakan belaian tangannya. Menikmati kasih sayang anaknya.
"Bukalah matamu, Ayah," bisik Maria, lebih menyerupai sebuah doa. "Tataplah anakmu sekejap saja, supaya Ayah dapat melihat janjimu telah menjelma menjadi kenyataan...."
Dan sesaat sebelum tarikan napasnya yang terakhir, pelupuk mata Pak Handoyo terbuka. Tidak ada lagi sinar kehidupan di mata itu. Tetapi bola matanya yang telah memutih seakan-akan menatap anaknya. Tanpa sorot kemarahan.
Dengan lembut Suster Maria mengatupkan kembali pelupuk mata ayahnya.
"Selamat jalan. Ayah," bisiknya menahan tangis. "Pergilah dengan tenang menghadap Tuhan. Hutang Ayah telah saya lunasi. Semoga jiwamu beristirahat dalam damai...."
Diambilnya kedua belah tangan ayahnya. Dilipatnya baik-baik di atas perutnya. Saat itu, barulah Suster Maria melihat benda yang masih berada dalam genggaman Pak Handoyo.
Hati-hati Suster Maria membuka genggaman tangan ayahnya. Dan sebuah leontin jatuh ke bawah. Suster Maria memungutnya. Dan melihat gambar dirinya di balik selapis kaca yang telah pecah.
Itu adalah fotonya tujuh belas tahun yang lalu. Ketika dia berdansa dengan Guntur di pesta ulang tahun Rena. Ayah telah menggunting foto yang telah dirobeknya itu. Melekatkannya di sini. Dan membawanya ke mana-mana sampai saat yang terakhir.
Tidak terasa air mata Suster Maria menitik. Mengalir di kedua belah pipinya. Seumur hidupnya Ayah tidak pernah mengungkapkan kasih sayang kepadanya. Tetapi pada saat kematian datang menjemputnya, cuma foto anaknya yang berada dalam genggamannya....
Lama Suster Maria masih terpekur merenungi jenazah ayahnya. Sampai sebuah sentuhan lembut di bahunya menyadarkannya kembali.
"Suster Maria, insinyur yang membangun jembatan yang roboh itu ingin bertemu. Dia berjanji akan menyelidiki sampai tuntas sabotase yang membawa musibah ini. Tapi sebelumnya, dia dan stafnya ingin membantu korban-korban yang luka. Mereka menanyakan kepada kita, apa yang dapat mereka bantu."
Perlahan-lahan Suster Maria mengangkat mukanya. Dan melihat wajah Suster Fransiska yang bersimbah peluh meskipun udara dingin menusuk tulang, Suster Maria sadar, dia tidak boleh terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Masih banyak tugas yang sedang menantinya.
"Tolong rawat jenazah-jenazah ini, Suster," katanya sambil meletakkan kepala ayahnya dengan hati-hati. "Biar saya yang bicara dengan mereka."
Lambat-lambat Suster Maria berdiri. Dan mengikuti Suster Fransiska ke luar.
"Ini Suster Maria, Pak," kata Suster Fransiska kepada seorang laki-laki gagah yang tegak di pintu kantor rumah sakit. "Beliau pimpinan kami di sini."
"Selamat malam, Suster," sapa pemuda yang mengenakan jaket kulit berwarna gelap, yang penuh dengan titik-titik air hujan itu. Rambut dan wajahnya basah meskipun di tangannya dia masih memegang sebuah topi.
Penerangan di sana tidak terlalu terang. Hanya lampu TL empat puluh Watt yang menyorot dari dalam kantor. Pemuda itu tegak membelakangi cahaya. Tetapi bagaimanapun gelapnya mukanya, Suster Maria masih dapat mengenalinya.
Sejenak mereka sama-sama terhenyak diam. Jarak tiga langkah di antara mereka seakan-akan menjadi jembatan ke masa silam. Tujuh belas tahun telah lewat. Tetapi Guntur masih dapat mengenali gadis polos dan lugu yang kini terbungkus dalam jubah biarawati yang penuh berlumuran darah itu.
Sebaliknya Suster Maria pun langsung teringat kepada seorang pemuda berandal yang di dalam suratnya telah berjanji untuk mengganti T-shirt dan jeans kumalnya dengan kemeja putih dan dasi.
Malam ini dia memang hanya mengenakan sehelai jaket kulit. Tapi dia telah menepati janjinya. Mengubah dirinya dari seorang berandal yang sia-sia menjadi seorang insinyur yang berguna.
Sedetik suasana hening mencekam mereka. Suster Fransiska telah bergegas kembali ke ruang darurat. Tidak ada orang lain di sana. Sementara di luar, hujan pun tinggal rintik-rintik.
Tak ada lagi gelegar halilintar yang memekakkan telinga. Tak ada
↧
Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - 18
↧