Cerita Cinta | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | by Mira W | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | Cersil Sakti | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga pdf
Matahari Di Batas Cakrawala - Mira W Fear Street - Bayangan Maut Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - Mira W Monk Sang Detektif Genius - Lee Goldberg Misteri Putri Peneluh - Abdullah Harahap
Pak."
"Suatu hari kelak kau pasti akan kehilangan lagi. Ari bukan milikmu. Mempertahankan milikmu saja kau tidak mampu."
"Tapi Ari kelihatannya berbeda dari Kris, Pak. Anak itu bukan hanya lucu. Dia baik. Senang membantu."
"Ah, sama saja! Waktu kecil Kris juga begitu!"
"Bapak sendiri juga mulai menyukainya, kan?"
"Siapa bilang? Aku cuma kasihan! Dia kan tidak tahu apa-apa. Masa mesti kumarahi untuk kesalahan yang dibuat oleh orangtuanya?"
"Kalau ingat orangtuanya. aku juga kesal, Pak. Tapi kalau sudah dekat dengan Ari, aku tidak bisa marah. Habis dia lucu. Tidak nakal. Pintar. Gemar membantu pula. Beberapa hari ini, terus terang aku betul-betul kehilangan dia, Pak."
"Kalau begitu, tengoklah dia. Supaya kau tidak penasaran."
***
Tetapi ketika ibu Kris akhirnya benar-benar datang menengok Ari di rumah sakit, bukan ketenangan yang diperolehnya. Kegelisahannya malah justru bertambah.
Ari tidak ada di kamarnya. Yang ditemuinya cuma Dewi yang sedang menangis di sisi tempat tidur yang kosong. Dan Kris yang sedang duduk termenung dengan wajah kusut masai.
"Ibu!" sergah Kris kaget, ketika melihat ibunya tiba-tiba muncul di depan pintu kamar.
Saat itu memang sedang waktu berkunjung. Ada lima pasien lain yang berada di dalam kamar itu. Masing-masing pasien rata-rata menerima dua-tiga orang pengunjung. Tidak heran kalau suasana di sana cukup ramai. Tetapi ibu Kris seakan-akan tidak memedulikan keadaan. Dia langsung menghampiri Kris.
"Mana Ari?" tanyanya langsung ke sasaran. Tanpa basa-basi lagi.
"Masih difoto, Bu," sahut Kris gugup. "Foto kepala sekali lagi. Sebentar juga kembali. Sudah lama kok."
"Dia sakit apa?"
Tanpa menghiraukan kursi yang disodorkan anaknya, ibu Kris meletakkan sekaleng besar cokelat di atas meja kecil di samping tempat tidur.
"Kata dokter, ada semacam biji di otaknya, Bu. Tepat di tengah-tengah kepala..."
"Biji?" cetus ibu Kris tidak percaya. "Penyakit apa itu! Masa ada biji di otak?"
"Itulah, Bu." Kris menunduk muram. "Dokter Rahman menganjurkan agar Ari dibawa ke Jakarta..."
"Ke Jakarta?" belalak ibu Kris heran. "Buat
apa?"
"Di sana ada alat yang lebih canggih untuk memotret kepala Ari. Kelainannya dapat lebih sempurna didiagnosa. Lagi pula di sini tidak ada ahli bedah saraf..."
"Ahli bedah?" Hampir berhenti jantung ibu Kris. "Ari harus dibedah?"
"Jika nanti hasil foto di Jakarta membenarkan diagnosa mereka, ada kemungkinan kepala Ari harus dibedah... biji di otaknya akan diambil sedikit untuk diperiksa di laboratorium. Jika ternyata berbahaya... kepala Ari harus dioperasi lagi untuk mengeluarkan biji itu...."
"Ya Tuhan!"
Tak sadar untuk pertama kalinya setelah sekian tahun berlalu, kata itu terlompat dari mulutnya. Lalu ibu Kris tidak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba saja kedua lututnya terasa lemas.
Dia merosot lemas ke atas kursi yang tadi disodorkan Kris. Dan secercah suara yang sudah amat dikenalnya sekonyong-konyong melanda telinga ibu Kris, seperti seberkas sinar matahari yang tiba-tiba menerobos kegelapan menguakkan kabut tebal yang tengah menyelimuti dirinya. "Eyang!"
"Ari!" desah ibu Kris, lega melihat keadaan cucunya. Anak itu kelihatan sehat. Tidak seperti yang dibayangkannya semula.
"Eyang Kakung mana, Yang?"
"Di rumah."
"Kakinya sakit lagi?"
"Sedikit."
"Nanti kalau Ari sudah sembuh, Ari gosok-gosok lagi, ya? Pakai minyak gosok. Eyang suka kok. Katanya jadi nggak sakit."
Tak dapat menahan keharuannya, tetapi malu untuk mengungkapkannya di depan anak-me-nantunya, ibu Kris memalingkan wajahnya. Dewi segera membantu Ari naik ke atas tempat tidur. Sementara perawat yang tadi mendorongnya dengan kursi roda menyusun bantal untuk sandaran punggung Ari.
"Capek, Ri?" tanya perawat itu ramah.
"Nggak. Cuma bosan. Bolak-balik difoto melulu."
"Enak kan didorong-dorong?"
"Lebih enak jalan sendiri."
"Kan supaya Ari tidak lelah."
"Ari nggak capek kok."
"Suster tinggal dulu, ya."
"Terima kasih, Suster."
Perawat itu mencubit pipi Ari sambil tersenyum. Setelah mengangguk pada Kris dan Dewi, dia berlalu.
"Susternya cantik ya, Pa?" cetus Ari pada Kris, membuat ayah yang sedang bingung itu terpaksa tersenyum.
"Iya. Pantas Ari betah di sini."
"Tapi Ari juga kepingin pulang, Pa. Sudah kagen sama Pinta."
"Besok Ari boleh pulang."
"Betul?"
"Betul."
"Yang! Ari boleh pulang!" cetus Ari gembira. "Ari sudah boleh ke rumah Eyang lagi! Bilang Eyang Kakung, nanti Ari gosok-gosok kakinya lagi, ya? Kaki Eyang Kakung masih sering sakit,
Yang?"
"Tidak lagi sejak digosok Ari," sahut ibu Kris terharu. Matanya terasa panas. "Makanya Ari cepat sembuh, ya."
"Ari nggak sakit apa-apa kok, Yang." sahut Ari bersemangat.
"Anak itu tidak apa-apa," kata ibu Kris tegas. "Tidak terlihat seperti anak yang harus segera dioperasi! Lebih baik kaucari dokter lain. Barangkali saja diagnosanya keliru!"
"Justru untuk menegakkan diagnosalah Ari harus dibawa ke Jakarta, Bu," sahut Kris lesu. Mereka sedang berjalan keluar dari rumah sakit setelah jam kunjungan berakhir. "Tapi tidak usah dioperasi!" "Tentu saja tidak. Bu. Kalau tidak perlu." "Kapan kaubawa dia ke Jakarta?" "Mungkin lusa, Bu. Kata dokter, lebih cepat lebih baik."
"Dari mana kita dapat uang sebanyak itu, Mas?" desah Dewi ketika mereka sudah tinggal berdua saja di atas motor yang membawa mereka pulang. "Mas kan dengar apa yang dikatakan oleh dokter itu? Biaya foto kepalanya saja mungkin mencapai ratusan ribu. Belum biaya lain-lain. Rumah sakit. Dokter. Obat-obatan. Pemeriksaan laboratorium...."
"Biarpun harus menjual motor, aku tetap akan membawa Ari ke Jakarta, Wi."
"Jangan motor ini, Mas," pinta Dewi sungguh-sungguh. "Kantormu begitu jauh. Mas bisa terlambat kerja terus kalau mesti naik kendaraan umum. Lebih baik uang tabungan kita saja, Mas."
"Tapi kau ingin memakainya untuk uang muka rumah kita, bukan?"
"Rumah bisa menunggu, Mas. Jangan dipikirkan."
Yang mereka pikirkan memang bukan h anya uang. Tapi Ari. Kalau dokter sampai menyuruhnya ke Jakarta, pasti keadaannya cukup menguatir-kan. Ap alagi Dokter Rahman menyuruh mereka berkonsultasi d engan seorang ahli bedah saraf.
Ahli bedah? Mendengar namanya saja sudah meremang bulu roma Kris dan Dewi. Ahli bedah. Keahliannya tentu saja mengoperasi pasien. Dan yang harus dioperasi adalah kepala Ari. Otak Ari!
"Operasi?" Ayah Kris tersentak kaget. Kali ini dia tidak dapat berpura-pura lagi. Dia benar-benar peduli! "Otaknya?"
Ibu Kris cuma mampu menganggukkan kepalanya. Air mata yang telah ditahan-tahannya sejak masih di rumah sakit tadi tumpah ruah tanpa dapat dikendalikan lagi. Masa bodoh amat suaminya marah! Dia tidak peduli. Dia benar-benar sedih. Dan bukan cuma itu. Dia takut. Takut kehilangan Ari!
Sesuatu pasti telah terjadi pada Ari. Sesuatu yang hebat. Meskipun ibu Kris masih berharap
dokter salah mendiagnosa, dia tidak dapat mengusir perasaan cemas itu dari dalam hatinya.
"Dia sakit apa?" desak ayah Kris penasaran. Melihat keadaan istrinya, ayah Kris juga merasa tidak perlu lagi berpura-pura acuh tak acuh.
"Kata dokter, ada biji di otaknya. Tepat di tengah-tengah kepala."
"Biji? Di otak? Apa bukan tumor?"
"Karena itu Ari harus ke Jakarta. Dia perlu difoto lagi."
"Di sini tidak ada alat fotonya?"
"Bukan cuma alatnya saja yang tidak ada. Dokter bedah saraf pun belum ada di sini."
"Dokter bedah saraf?"
Ayah Kris terduduk lemas di kursi malasnya. Ketika duduk, tidak sengaja tangannya menyentuh botol obat gosok. Dan sebuah pukulan yang tidak kelihatan menerpa jantungnya. Pada saat yang sama. ibu Kris juga melihat botol itu. Dan suara Ari tiba-tiba saja terngiang lagi di telinganya,
"Bilang Eyang, nanti Ari gosok-gosok kakinya lagi, ya? Kaki Eyang Kakung masih sering sakit, Yang?"
"Lusa mereka ke Jakarta," gumam ibu Kris dengan suara basah. "Padahal Ari begitu ingin kemari lagi. Dia menanyakan kaki Bapak. Katanya dia ingin menggosok kaki Bapak, supaya tidak sakit lagi."
Ayah Kris tidak mampu mengucapkan sepatah
kata pun. Untuk pertama kalinya kegarangan dan kesombongannya luluh seperti cermin dibanting ke atas batu. Berulang-ulang dia menghela napas panjang.
"Entah kapan Ari bisa kemari lagi," desah ibu Kris sedih. "Bapak tidak mau menengoknya?"
"Aku telah bersumpah tidak akan menginjak rumah mereka."
Lain dari biasanya, kali ini ibu Kris tidak mendengar nada geram-di dalam suara suaminya. Ketika dia menoleh, dilihatnya betapa redup mata suaminya.
Tatapannya yang sayu menerawang jauh ke halaman belakang rumahnya. Ke deretan sangkar burung yang bergelantungan di sana. Dan di depan matanya terbayang kembali betapa riangnya Ari berlari-lari sambil menjinjing sebuah ember kecil berisi air. Tangannya yang lain menggenggam sikat. Karena terlalu terburu-buru. kakinya terantuk batu. Dia jatuh terjerembap.
Embernya terpelanting ke depan. Isinya tumpah. Sebagian airnya menyiram kakeknya yang sedang berjongkok membersihkan kandang burung.
Tentu saja ayah Kris gusar. Dia bangkit dengan marah. Tetapi ketika dia menoleh, siap untuk menyemburkan amarahnya, dilihatnya Ari masih tertelungkup di tanah.
Wajahnya mengerut kesakitan. Hampir menangis. Tetapi begitu melihat wajah kakeknya,
dia langsung menyeringai menahan sakit yang
berbaur dengan ketakutan.
Dan melihat mimik Ari saat itu, ayah Kris tak dapat marah. Dia merasa geli. Sekaligus iba. Tanpa berkata apa-apa, ayah Kris membuka bajunya yang basah.
Ari langsung mengulurkan tangannya untuk mengambil baju itu. Dan sebelum kakeknya mengerti hendak diapakan bajunya, Ari telah memerasnya. Sambil berjinjit, dia berusaha menggantungkan baju kakeknya pada tali jemuran.
Kakek Ari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulah cucunya. Sambil menghela napas diambilnya kembali bajunya. Direntangkannya baju itu di atas tali jemuran.
Ketika dia sudah selesai menjemur, ada yang mencolek pahanya. Ayah Kris menoleh ke bawah. Dan dia melihat Ari sedang menyodorkan bajunya sendiri. Baju itu juga basah. Kotor berlumuran tanah.
Tentu saja seharusnya baju itu dicuci dulu baru dijemur. Tetapi melihat air muka Ari yang demikian mengharap, terpaksa ayah Kris menerimanya juga. Dan menjemur baju itu di sebelah bajunya sendiri.
Ari tertawa gembira sambil mengacung-acungkan ibu jarinya. Dan kakeknya terpaksa menyimpan senyumnya sekali lagi.
Ari begitu gembira ketika untuk pertama kali-
nya kakeknya memperbolehkannya membantu membersihkan sangkar burung. Mengganti air minumnya. Memberi makan. Bahkan membelai-belai burung yang jinak itu. Ah, bulunya begitu halus... begitu lembut menyentuh jari-jemari Ari. Ayah Kris tak dapat melupakan bagaimana lucunya Ari kalau sedang tertawa-tawa begitu. Giginya yang ompong dipamerkannya ke sana kemari... dia demikian mirip dengan Kris ketika masih kecil....
Seperti hendak menghindarkan kenangan itu dari ingatannya, ayah Kris bergegas bangun. Tetapi dia tidak mampu berdiri. Lututnya bukan main sakitnya.
Seketika Ari melompat untuk membantu kakeknya. Dicobanya menarik-narik tangan ayah Kris. Tetapi Eyang terlalu berat. Pegangan Ari terlepas. Dan dia jatuh tunggang langgang.
Tetapi Ari bukan menangis. Dia malah tertawa geli. Dan untuk pertama kalinya, kakeknya terpaksa tersenyum.
Ketika Ari menanyakan mengapa Eyang tidak bisa bangun, ayah Kris langsung menunjuk lututnya. Tanpa berpikir dua kali, tergopoh-gopoh Ari berlari masuk, meminta obat gosok pada neneknya. Dan ayah Kris tak dapat melupakan kejadian sore itu. Sampai kapan pun.
Mereka duduk berdua di teras belakang. Sama-sama bertelanjang dada. Ari berlutut di dekat kaki kakeknya. Dan melumurinya dengan obat
gosok. Lalu jari-jemarinya yang kecil mungil memijati kaki kakeknya....
Ingat kejadian itu, ayah Kris menghela napas berat. Dadanya terasa sesak. Air mukanya berubah. Mengerut seperti orang kesakitan.
Ibu Kris mengawasinya dengan cemas. "Mengapa, Pak? Dadanya sakit lagi?" "Ah, tidak apa-apa," sahut ayah Kris, seperti baru kembali dari dunia mimpi. "Bapak kelihatannya kesakitan." "Biasa. Kakiku. Rematik." "Dadanya tidak pernah sakit lagi?" "Jangan kuatir. Aku sehat kok." "Apa salahnya kalau sekali-sekali pergi ke dokter. Pak?"
"Ah. buat apa pergi ke dokter? Mbahku tidak pernah diperiksa dokter. Tapi bisa hidup sampai seratus tahun!" "Mbah kan sehat...." "Aku juga sehat!"
"Iya. Bapak juga sehat. Tapi serin
↧
Luruh Kuncup Sebelum Berbunga - 10
↧