Cerita Cinta | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | by Mira W | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | Cersil Sakti | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga pdf
Tembang yang tertunda - Mira W Sang Penyihir Beraksi - Vivian Vande Velde Animorphs 27 : Menyelamatkan Pesawat Pemalite Cinta di Awal Tiga Puluh - Mira W Come Away With Me - Kristen Proby
g memeriksakan diri seperti aku kan tidak ada salahnya. Supaya kalau ada penyakit cepat ketahuan. Jadi bisa cepat diobati, sebelum terlambat!"
"Ah, itu kan kata dokter! Padahal berapa umur dokter yang tinggal di seberang jalan itu ketika dia meninggal?"
"Lho, itu kan lain, Pak! Umur manusia di tangan Tuhan."
"Nah, kalau begitu buat apa aku ke dokter?
Kita tidak bisa memperpanjang umur kita biar semenit pun, bukan?"
***
Majikan Kris langsung mengabulkan permohonan Kris untuk minta cuti. Dia juga tidak menolak ketika Kris mengajukan permohonan pinjaman
uang.
"Tidak usah bolak-balik," katanya tegas. "Kalau Ari belum diizinkan pulang, kamu tunggui saja di Jakarta. Tidak usah memikirkan pekerjaan di sini."
"Terima kasih, Pak."
Cuma itu yang dapat diucapkan Kris. Dia benar-benar terharu. Dalam keadaan susah, perhatian seseorang benar-benar terasa hikmahnya.
"Sudahlah." Majikannya langsung menjabat tangannya dan menepuk-nepuk bahunya. "Tabahkan hatimu. Sekarang lebih baik kamu pulang. Bersiap-siap untuk berangkat ke Jakarta besok."
Kris hanya dapat mengangguk. Semua kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Berbaur dengan air mata.
Lebih-lebih, ketika rekan-rekan sekantornya datang menyodorkan sebuah amplop tebal.
"Cuma ini yang dapat kami kumpulkan untuk Ari, Kris," kata Ida mewakili teman-temannya. "Mudah-mudahan Ari lekas sembuh."
Dengan mata berkaca-kaca Kris menerima amplop berisi uang itu. Dia benar-benar tidak mampu lagi membuka mulutnya. Karena begitu dia membuka mulut, tangis yang telah lama tertahan di tenggorokannya pasti pecah. Dia ha~ nya mampu menjabat tangan teman-temannya sebagai ungkapan terima kasih.
Alangkah baiknya mereka, pikir Kris sepanjang perjalanan pulang. Mengapa kebaikan itu justru baru terasa tatkala musibah datang menyapa?
***
Tak sampai hati Kris melihat kegembiraan Ari ketika pulang ke rumah. Dia begitu riang. Celotehnya tak ada henti-hentinya mewarnai perjalanan mereka pulang dari rumah sakit.
Ari tidak tahu, kegembiraannya hanya sementara. Karena besok dia sudah harus masuk rumah sakit lagi! Dia harus menjalani pemeriksaan-pemeriksaan yang lebih berat lagi!
Pinta sudah tegak di depan rumah tatkala mereka tiba. Entah sudah berapa lama dia menunggu Ari di sana. Begitu melihat Pinta, Ari langsung menghambur turun dari motor. Dewi tidak keburu mencegah.
"Biarkan saj," cegah Kris. "Aku tahu bagaimana mereka saling merindukan."
"Pinta!" teriak Ari gembira. "Ari sudah pulang!"
Tertatih-tatih sambil meraba-raba ke depan, Pinta bergegas menyongsong. Karena terlalu terburu-buru, kakinya terantuk batu. Dia jatuh ter-
jerembap.
Tetapi tanpa menghiraukan rasa sakitnya, Pinta bergegas bangun. Wajahnya berbinar dalam keriangan. Ari menyongsongnya. Langsung memegang tangannya.
"Sakit?" tanya Ari cemas.
"Ari," sergah Pinta tanpa menghiraukan pertanyaan temannya. "Ari sudah sembuh?"
"Ari sudah sembuh. Yuk, kita main."
"Ari, masuk dulu," potong Dewi sambil meraih tangan anaknya. "Ari harus istirahat."
Terlukis kekecewaan di wajah kedua anak itu.
"Yaaa..." desah Ari kecewa. "Ari kepingin main dulu sama Pinta, Ma."
"Ari kan belum sembuh betul. Kalau terlalu capek, nanti sakit lagi."
Tanpa menghiraukan protes Ari, Dewi menarik tangan anaknya. Dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.
"Ari masuk dulu ya. Pinta!" seru Ari dari ambang pintu. "Nanti Ari keluar lagi!"
Pinta cuma mengangguk. Di wajahnya masih terlukis kekecewaan. Kris memandangnya sekilas dengan iba. Tetapi dia hanya mampu menghela napas. Dilewatinya anak itu tanpa berkata apa-apa.
"Ari boleh main ya, Ma," rengek Ari ketika
Dewi sudah selesai menggantikan bajunya. "Sebentar saja."
"Jangan dulu. Ari. Kamu masih sakit."
"Kan Ari sudah sembuh?"
"Siapa yang bilang Ari sudah sembuh?"
"Buktinya Ari sudah boleh pulang."
"Besok kita harus ke Jakarta, Ari. Di sana ada dokter yang akan memeriksamu lagi."
"Ari nggak mau, Ma. Bosan!"
"Bosan?"
"Bosan diperiksa terus! Ari sakit apa sih, Ma? Kenapa tidak habis-habisnya diperiksa?"
"Dokter juga belum tahu, Ri. Karena itu Ari mesti ke Jakarta."
"Ari nggak merasa sakit, Ma. Sudah sembuh. Kepala Ari sudah tidak sakit lagi. Nggak usah ke Jakarta ya, Ma? Ari takut!"
"Ari takut?" Berdesir darah Dewi. Untuk pertama kalinya dia mendengar Ari mengucapkan kata itu. "Takut apa?"
"Takut nggak bisa ketemu Pinta lagi."
"Jangan bilang begitu, Ari!" Tidak dapat menahan kesedihannya, Dewi merangkul anaknya erat-erat. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Kalau Ari saja sudah merasa takut, apalagi dia! Oh, Tuh an... dia benar-benar takut kehilangan Ari!
Melihat ibunya menangis, Ari ikut tersedu. Kris yang baru masuk, tertegun menatap mereka berdua.
"Ada apa?" tanyanya bingung. "Papa!"
Ari langsung melepaskan diri dari pelukan ibunya begitu mendengar suara ayahnya. Dia menghambur mendapatkan Kris.
"Ari nggak mau masuk rumah sakit lagi, Pa! Ari bosan!"
"Ari." Kris berlutut dan merangkul anaknya dengan terharu. "Papa juga tidak ingin Ari masuk rumah sakit lagi. Tapi Papa ingin Ari sembuh!"
"Ari sudah sembuh!"
"Belum, Ri. Dokter belum tahu apa penyakit Ari. Karena itu kita mesti ke Jakarta."
"Ari nggak mau diperiksa lagi, Pa. Ari nggak mau pergi lagi. Ari mau main sama Pinta. Mau tidur sama Mama. Mau ke rumah Eyang. Ari sudah janji mau gosok kaki Eyang yang sakit!"
"Ari." Kris menahan perasaannya. Di sudut sana, Dewi sudah terisak-isak menahan tangis. "Papa-Mama juga tidak ingin berpisah dengan Ari. Besok kita ke Jakarta bersama-sama, ya?"
"Pinta ikut?"
"Tentu saja tidak. Pinta masih kecil. Anak kecil yang tidak sakit tidak boleh ke rumah sakit."
"Eyang? Eyang kan bukan anak kecil lagi."
"Eyang Putri harus tinggal di rumah menemani Eyang Kakung."
"Jadi kita cuma bertiga?"
"Kita pergi bertiga."
"Kita harus berangkat besok?"
"Ya."
"Kalau begitu, Ari mau ketemu Pinta dulu ya, Pa? Ari mau bilang, besok Ari mesti pergi lagi."
"Tapi jangan lama-lama, ya?"
Ari cuma mengangguk. Begitu mendapat izin, dia langsung menghambur ke luar rumah mencari Pinta.
***
"Pergi lagi?" desis Pinta kecewa. Wajahnya langsung mengerut sedih.
"Dokter belum tahu apa penyakit Ari."
"Jadi Ari mesti pergi lagi? Cari dokter lain?" Sekilas air muka Pinta berubah. "Ari enak. Masih punya ayah. Punya ibu. Kalau sakit ada yang bawa ke dokter. Nggak kayak Pinta."
"Nanti kalau Ari sudah besar, Ari cari dokter buat mata Pinta. ya. Supaya Pinta bisa melihat lagi."
"Betul?" Paras Pinta berpijar disulut kegembiraan bercampur haru. "Jika Pinta bisa melihat lagi, Ari-lah yang pertama kali ingin Pinta lihat."
"Besok Ari mesti ke Jakarta. Kita nggak bisa main sepeda."
"Di mana Jakarta itu?"
"Jauh kata Papa."
"Menyeberangi laut?"
"Nggak."
"Mendaki gunung?"
"Nggak juga."
"Naik apa Ari ke sana?"
"Bus."
"Pinta bisa menyusul?" "Ke mana?"
"Ke sana. Ke tempat Ari." "Jangan. Terlalu jauh. Nanti Pinta kesasar. Pinta kan nggak bisa lihat." "Tapi ke mana Pinta mesti cari Ari kalau
kangen?"
Ari menengadah ke atas. Saat itu, mega-mega putih sedang berarak perlahan di angkasa.
"Di langit ada awan," kata Ari perlahan, seperti berbisik kepada dirinya sendiri. "Kalau Pinta kangen sama Ari, bilang saja sama awan itu. Dia berjalan terus, kan. Dia pasti lewat juga di Jakarta. Di tempat Ari."
"Bagaimana kalau dia tidak berjalan ke Jakarta tapi ke tempat lain?" tanya Pinta bingung. "Dia pasti tidak bisa cari Ari!"
"Suruh dia lewat di tempat Ari."
"Kalau awannya nggak mau?"
"Minta tolong. Dia pasti mau. Kalau dia nggak lewat hari ini, pasti besok."
Pinta cuma mengangguk. Meskipun dia masih kebingungan. Bagaimana kalau awan-awan itu tidak mau menyampaikan pesannya?
Biasanya Dewi paling alergi melihat Pinta. Sudah kumal, kotor lagi. Dia takut Pinta akan menularkan kuman-kuman .yang melekat di tubuhnya pada Ari.
Tetapi hari ini, melihat gadis cilik yang buta itu diam-diam meneteskan air mata mengiringi kepergian Ari, Dewi tidak dapat menahan keharuannya. Tanpa ingat betapa kotornya rambut Pinta, disentuhnya kepala anak itu dengan lembut.
"Jangan sedih, Pinta," katanya, lebih mirip sebuah permohonan untuk dirinya sendiri daripada untuk menghibur Pinta. "Ari pasti kembali. Kalian akan dapat bermain-main kembali. Seperti biasa."
Kris sedang membantu Ari naik ke dalam mobil yang dikirim oleh majikannya dari kantor ketika sebuah mobil lain berhenti di samping mereka. Dan Kris hampir tidak dapat mempercayai matanya sendiri melihat mobil itu.... Lebih-lebih mendengar teriakan Ari yang begitu nyaring....
"Eyang!"
Dewi tidak jadi mengembuskan napasnya melihat siapa yang turun dari mobil hitam itu. Tetapi tanpa menghiraukan sikap orangtuanya, Ari sudah menghambur ke luar mendapatkan neneknya. Dan sebuah adegan yang mengharukan segera terpampang di depan mata mereka.
Tanpa malu-malu ibu Kris berlutut merangkul Ari. Membuat mata Dewi terasa panas. Ibu mertuanya yang angkuh itu merangkul anaknya!
Akhirnya Ari berhasil juga merentangkan benang yang telah putus....
Dewi masih terpaku menyaksikan keharuan itu ketika seseorang yang lain turun dari dalam mobil. Dan napasnya yang telah hampir terlepas tertahan kembali. Lebih-lebih ketika dia melihat suaminya berlutut mencium tangan laki-laki itu....
Dia masih setegar biasa. Seangkuh biasa. Belum kehilangan seluruh kegarangannya. Tetapi demi Ari, dia telah melanggar sumpahnya sendiri... tidak akan menginjak rumah mereka.... Dan sebuah dorongan yang mahakuat mendesak Dewi untuk mengikuti jejak suaminya.... Dia berlutut di depan kaki laki-laki itu. Dan mencium tangannya.
Ayah Kris tidak menolak. Tetapi dia juga tidak memberi respons. Seolah-olah mereka tidak pernah ada, dia melewati tempat mereka. Dan menghampiri Ari.
"Eyang!" sapa Ari gembira.
Spontanitas kanak-kanaknya meruntuhkan hambatan tradisi dan prinsip. Dia melangkah tegap menerobos jurang antargenerasi. Menggempur semua benteng perbedaan prinsip, usia, dan keangkuhan.
Tanpa permisi, Ari lari ke dalam gendongan kakeknya. Dan meskipun tidak sepatah kata meluncur dari mulut ayah Kris yang terkatup rapat selama pertemuan itu, tak seorang pun meragukan lagi arti Ari dalam kehidupannya.
Sesaat sebelum Kris naik ke dalam mobil, ibu nya menyelipkan sebuah amplop ke dalam tangan
nya.
"Bukan untukmu." katanya dengan suara yang diusahakan sedatar biasa, tetapi yang tidak dapat menyembunyikan geletar kesedihan. "Untuk Ari."
Masih terenyak dalam keharuan, sesaat sesudah mobil mereka meluncur pergi, Kris menoleh ke belakang. Dan dia melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Sesuatu yang membuat pertahanannya yang terakhir runtuh bersama butir-butir air matanya. Dia melihat ayahnya menangis.
Bab VII
Tatkala dipanggil menghadap seorang diri ke ruang kerja Dokter Siswojo, Kris sebenarnya sudah merasa, kabar buruklah yang akan diterimanya. Ari telah tiga hari dirawat. Berbagai pemeriksaan telah dilaluinya. Fisik. Laboratorik. Maupun radiologik.
Dokter-dokter spesialis dari berbagai cabang ilmu telah berkumpul mempresentasikan kasusnya. Bahkan beberapa orang mahasiswa kedokteran yang sedang kuliah kerja di rumah sakit itu ikut memantau keadaan Ari. Ikut sibuk membuat status penyakitnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kadang-kadang lebih berbelit-belit daripada pertanyaan dokter, membuat Dewi sering sakit kepala menjawabnya. Dan karena sudah terlalu sering diperiksa, Ari sendiri merasa bosan. Dalam tiga hari saja, sudah tiga belas kali dia merengek minta pulang.
Ketika melangkah dengan kepala pusing dan hati tegang ke kamar kerja Dokter Siswojo, Kris merasa seperti seorang terdakwa yang akan segera mendengar vonis hakim. Dan ketika palu benar-benar telah dijatuhkan, Kris tidak mampu lagi mengangkat wajahnya menentang kenyataan.
Tumor otak. Diagnosa itu seperti vonis kemati-an baginya. Dan sepanjang pembicaraan Dokter Siswojo, tak satu kata lain pun yang mampu melekat di benak Kris. Kata itu seperti palu godam yang berdentam-dentam menghantam kepalanya. Gemanya terasa membahana sampai ke ujung kaki. Serasa riuh rendah menggedor-gedor gendang telinganya.
"Saya ingin membicarakan penanganannya dengan Saudara," kata Dokter Siswojo, seperti mengerti keadaan Kris. "Tapi saya kita Saudara memerlukan waktu untuk menenangkan diri. Kembalilah kemari jika Saudara m
↧
Luruh Kuncup Sebelum Berbunga - 11
↧