Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Luruh Kuncup Sebelum Berbunga - 13

$
0
0

Cerita Cinta | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | by Mira W | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | Cersil Sakti | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga pdf

Tembang yang tertunda - Mira W Sang Penyihir Beraksi - Vivian Vande Velde Animorphs 27 : Menyelamatkan Pesawat Pemalite Cinta di Awal Tiga Puluh - Mira W Come Away With Me - Kristen Proby

matanya dari tumpukan kartu status di hadapannya. "Ke mana?" "Ruang sebelah. "Istri saya?"
  "Pulang sebentar. Istirahat. Keadaan Ari baik kok hari ini."
 
  Lalu mengapa dia dibawa ke ruang sebelah? Konsultasi? Karena perawat itu seperti tidak ingin menjawab pertanyaannya, Kris memaksa masuk ke ruang sebelah. Dan dia melihat Ari. dikelilingi oleh enam orang mahasiswa.
 
  Dokter Siswojo tegak di tengah-tengah. Memperagakan bagaimana caranya memeriksa refleks. Lalu keenam orang mahasiswa itu bergantian memukulkan palu kecil mereka ke lutut Ari. Ke sikunya. Yang sudah selesai mencoba menggoreskan ujung palu refleks mereka ke telapak kaki Ari. Yang lain mengintai ke dalam matanya dengan sebuah alat yang bernyala seperti senter.
 
  Ari memang tidak menangis. Dia berbaring diam di atas meja periksa. Tetapi dari matanya, Kris tahu dia bosan. Jengkel. Letih.
 
  Kris juga tahu, rumah sakit ini sebuah rumah sakit pendidikan. Di sana dididik mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang kelak akan meneruskan pengabdian guru-guru mereka untuk menolong orang sakit.
 
  Tetapi kalau anaknya yang dijadikan bahan pelajaran, Kris benar-benar tidak rela. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Stres membuat Kris mudah tersinggung. Mudah marah.
 
  Tanpa permisi lagi, Kris menghambur mendapatkan Ari.
  "Maaf, Dok," katanya pada Dokter Siswojo.
  "Saya kira Ari sudah letih." Dengan marah, digendongnya Ari keluar dari ruang itu.
 
 
  ***
 
 
  "Saya harap Saudara tidak marah karena kejadian tadi," kata Dokter Siswojo ketika menerima Kris di dalam ruang kerjanya. "Sebagaimana Saudara ketahui, rumah sakit ini merupakan rumah sakit pendidikan. Di sini kami mendidik calon dokter. Kasus Ari termasuk kasus yang langka. Karena itu, saya ingin mahasiswa-mahasiswa saya melihatnya. Supaya mereka dapat mempelajari dan mengingatnya. Jika pada suatu hari nanti mereka menemukan kasus seperti Ari, mereka dapat mengenalnya. Barangkali Saudara tahu, diagnosa dini pada kasus-kasus tumor sangat mempengaruhi prognosa atau nasib pasien."
 
  "Saya minta izin pulang bukan karena itu, Dokter." Kris menghela napas berat. "Tapi karena alasan ekonomi. Biaya perawatan di sini sangat mahal. Belum lagi ditambah biaya hidup saya dan istri saya. Selama di sini, saya pun tidak dapat bekerja. Sampai sekarang, sudah hampir dua bulan, Dokter. Tidak dapatkah penyinaran Ari dilakukan di kota kami saja?"
 
  "Ari harus menyelesaikan dulu pengobatannya di sini. Jika sudah selesai, tentu saja dia boleh pulang. Akan saya titipkan surat untuk Dokter
  Rahman. Jika sampai tiga bulan tidak ada serangan, dapat kita harapkan Ari mampu bertahan."
 
 
  ***
 
 
  Tetapi yang tidak dapat bertahan lebih dulu bukan fisik Ari. Melainkan mentalnya. Dalam dua bulan saja, Ari telah jauh berubah.
 
  Dia lebih pendiam. Lebih pelupa. Lebih pemarah. Ketika Kris masuk ke kamarnya hari itu, Ari sedang menangis.
 
  "Ari!" sergah Kris kaget, mengira Ari sakit. "Ada apa?" Dia memburu ke tempat tidur. Dan merangkul anaknya erat-erat.
  "Pulang, Pa!" tangis Ari jengkel. "Ari mau pulang! Bosan di sini!"
  "Ari belum sembuh, Sabar ya."
  "Ari kepingin ketemu Pinta. Ingin main sepeda...."
  "Tentu. Nanti kalau Ari sudah boleh pulang." "Ari mau pulang sekarang!" "Belum diizinkan dokter, Ari." "Biar!"
  "Nanti Ari sakit lagi." "Biar!"
  "Ari nggak sayang Papa? Kalau Ari sakit lagi, Papa sedih." "Ari mau pulang!" "Sabar ya. Beberapa hari lagi."
  "Sekarang!"
  Ari memukuli dada ayahnya sambil menangis sampai Kris kewalahan menghentikannya. "Ari!" bentak Kris tak sabar. "Jangan begitu!" Ari menghentikan pukulan-pukulannya. Tetapi sebagai gantinya, dia menangis tersedu-sedu dalam pelukan Kris.
 
  Kris membelai-belai kepala anaknya dengan sedih. Saat itu Dewi masuk. Wajahnya langsung memucat begitu melihat Ari sedang menangis dalam pelukan suaminya. Tanpa mengacuhkan tasnya lagi, dilemparkannya tas itu begitu saja ke atas meja. Lalu dia menghambur memeluk Ari. Dan air matanya langsung mengucur.
  "Ari tidak apa-apa," kata Kris segera, menenangkan istrinya. "Dia cuma ingin pulang!"
  "Ari kepingin ketemu Pinta! Kepingin naik sepeda!"
 
  Sesaat Dewi bertukar pandang dengan Kris. Tidak mudah memang membawa Pinta kemari. Tetapi kalau itu yang diinginkan Ari... Jangan sampai mereka tak pernah bertemu lagi!
 
  Dan ketika melihat bagaimana mengharukannya pertemuan kedua sahabat cilik itu setelah sekian lama berpisah, baik Dewi maupun Kris tidak menyesal telah membawa Pinta menemui Ari. Meskipun untuk itu Kris terpaksa bolak-balik dari rumah sakit ke rumahnya dan kembali ke rumah sakit lagi. Terpaksa minta izin khusus pada Dokter Siswojo agar diperkenankan mem-
  bawa seorang anak di bawah umur dua belas tahun masuk ke dalam rumah sakit untuk menemui Ari.
 
  Begitu mendengar Kris mengatakan akan membawanya ke Jakarta menengok Ari, Pinta hampir pingsan karena bahagia. Terus terang Kris belum pernah melihat kebahagiaan yang lebih tulus daripada yang dilihatnya bersinar di wajah yang jarang disentuh kebahagiaan itu. Rasanya seandainya kakaknya melarang pun, Pinta akan ikut juga.
 
  "Bapak akan membawa saya menemui Ari?" tanya Pinta dalam nada tidak percaya.
  "Ari ingin bertemu dengan Pinta," sahut Kris sabar. "Pinta mau ikut?"
  "Tentu! Tiap hari Pinta berdoa pada awan-awan di atas sana! Bapak lihat awan di langit itu?"
 
  Tidak sadar Kris ikut menengadah. Sesudah menengadah, dia baru ingat, Pinta buta. Bagaimana dia bisa melihat awan?
 
  "Saya minta supaya Ari cepat pulang. Supaya kami cepat bertemu kembali."
  "Ari belum boleh pulang." Suara Kris tersekat di tenggorokan. Hatinya terasa pedih. Masih sempatkah Ari pulang? Hari-harinya telah dapat dihitung... setiap saat segalanya dapat terjadi.... "Dia belum sembuh."
  "Kalau begitu, pasti awan itu telah menyampaikan pesan saya pada Ari, Dia yang mengirim Bapak kemari."
  Begitu melihat Pinta, Ari seolah-olah mendapatkan kembali gairah hidupnya. Dia hampir melompat dari atas tempat tidurnya jika Dewi tidak keburu menangkapnya.
  "Pinta!" teriak Ari sekuat-kuatnya. "Ari!" seru Pinta dengan seluruh cadangan udara yang ada di dalam paru-parunya.
 
  Lalu Pinta melompat setinggi-tingginya seakan-akan ingin melompat ke atas ranjang Ari. Tetapi karena dia tidak melihat di mana letak ranjang itu, dia masih terlalu jauh untuk menjangkau Ari. Yang ditubruknya justru Dewi, yang dengan terperanjat buru-buru merangkulnya. Dan menggendongnya ke atas ranjang Ari. Di sana mereka berpelukan sambil tertawa-tawa. Begitu cerianya seakan-akan tidak pernah ada penyakit yang bernama kanker di dunia ini!
 
  Sekejap Dewi dan Kris pun melupakan jarum-jarum duka yang setiap hari menikam hati mereka. Melihat kegembiraan Ari, ingin rasanya Kris mengabadikan saat-saat seperti ini. Saat dia dapat tersenyum kembali!
 
  Suara tawa Ari dan Pinta serasa begitu merdu dipantulkan oleh keempat dinding kamar yang bisu itu. Sampai tawa Pinta tiba-tiba lenyap. Tidak sengaja tangannya menyentuh muka Ari. Tepat pada tulang pipinya. Dan dia tertegun bingung.
 
  "Ri!" desahnya antara kaget dan kuatir. "Kok muka Ari ada tulangnya?"
 
  Yang terkejut bukan cuma Ari. Kris dan Dewi pun ikut menahan napas. Lebih-lebih melihat Ari sekonyong-konyong terdiam. Ikut meraba-raba pipinya dengan terkejut.
 
  "Tidak apa-apa," hibur Kris sambil berusaha menyembunyikan kegetiran dalam suaranya. "Ari hanya lebih kurus sedikit, jadi tulang pipinya lebih menonjol."
 
  "Betul nggak apa-apa ya, Pa?" Ari mendapatkan lagi senyum dan keriangannya. "Nanti kalau sudah sembuh, Ari bisa gemuk lagi, kan?"
 
  Dewi memalingkan mukanya agar Ari tidak melihat matanya yang mendadak berkaca-kaca. Sementara Pinta yang masih penasaran tetap meraba-raba sekujur wajah Ari, membuat sahabat kecilnya itu harus memejam-mejamkan matanya menahan geli.
 
  Ketika jari-jemarinya meraba kepala Ari, Pinta melakukannya dengan begitu hati-hati seolah-olah dia sedang meraba bahan peledak yang setiap saat dapat mencabut nyawa.
  "Sakit, Ri?" bisiknya takut-takut.
  "Nggak."
  "Yang mana yang sakit?" "Nggak ada."
 
  Sekali lagi Dewi terpaksa membuang muka untuk menyembunyikan air matanya. Ternyata
  dalam keadaan sakit pun. Ari masih berusaha untuk menghibur sahabat kecilnya!
  "Betul nggak ada yang sakit?" desak Pinta penasaran
  "Ari nggak apa-apa."
  Tetapi saat itu Pinta justru meraba bekas luka di kepala Ari. Dan dia memekik karena terkejut. "Dulu kepala Ari nggak begini!" "Ah, nggak apa-apa. Itu bekas operasi." "Operasi? Apaan tuh?" "Dibuka."
  "Dibuka?" Kali ini Pinta betul-betul shock. Air matanya langsung mengalir. "Ari pasti kesakitan!"
  "Nggak terasa. Dibukanya kan waktu Ari bobo."
  "Ari sakit apa sih?" gumam Pinta lirih, di sela-sela tangisnya. "Kenapa kepala Ari mesti dibuka segala?"
  "Ditanami tanduk!" Mendengar tangis Pinta, Ari masih mencoba menghibur sahabatnya dengan bergurau.
  "Tanduk apa?" Pinta terlongong heran.
  "Tanduk kambing!" Ari tertawa geli. "Nanti kepala Ari ada tanduknya! Pinta Ari seruduk!"
 
  Dan Ari benar-benar menikamkan kedua belah jari telunjuknya ke perut Pinta. Ari tertawa terkekeh-kekeh melihat Pinta menggeliat-geliat geli. Melihat ulah anaknya, mau tak mau Dewi ikut tersenyum. Dan ikut merasa menyesal ketika waktu kunjungan berakhir.
 
  "Besok Pinta ke sini lagi, ya? tanya Ari penuh harap.
  "Ya," sahut Pinta mantap, seolah-olah rumah sakit ini terletak di sebelah rumahnya. Bukan di Jakarta.
  "Besok Pinta harus pulang, Ri," potong kris terpaksa.
  "Kapan Pinta datang lagi?"
  "Kapan saja Ari minta," sahut Pinta tegas "Ari
  pesan saja sama awan, ya?"
 
  Sambil menghapus air matanya, Dewi bertukar pandang dengan Kris.
 
 
 
  Bab VIII
 
 
 
  Pulang! Rasanya sudah seribu tahun Ari menunggu-nunggu kata itu. Pulang! Bertemu Pinta. Eyang Kakung. Eyang Putri. Main sepeda. Sekolah. Bergulat dengan Didi. Teman sebangku-nya.
 
  Wah, rasanya Ari hampir tidak sabar lagi menunggu hari esok. Hampir tidak dapat memejamkan mata. Gelisah.
 
  Ari sudah rindu kembali ke kehidupannya yang biasa. Kehidupannya yang dulu. Dia sudah bosan bertemu dengan dokter. Perawat. Bosan melihat warna putih. Bosan minum obat. Bosan disinar.
 
  Sekarang Ari boleh pulang. Wah! Disambutnya dengan gembira salam perpisahan Dokter Siswojo. Suster Tina. Suster Ning. Suster Katrin. Mantri Brojo. Dan entah siapa lagi. Ari sekarang memang menjadi pelupa.
 
  "Sampai bertemu lagi ya, Ri. Mudah-mudahan kalau kembali kemari lagi, Ari sudah sembuh," kata Suster Katrin, walaupun dia sendiri tidak
  yakin akan kata-katanya. Tentu saja dia tahu apa penyakit pasien ciliknya ini.
  "Nanti Ari main-main ke sini lagi," sahut Ari mantap, dengan kepolosan seorang anak kecil.
 
  Suster Tina bertukar pandang dengan Suster Katrin. Tatapan mereka melukiskan sesuatu yang belum dapat dimengerti oleh anak seumur Ari.
  "Tentu saja Ari boleh main-main ke sini," potong Dokter Siswojo ramah. Dia tidak takut hantu. Sepanjang profesinya sebagai seorang ahli bedah saraf, entah sudah berapa puluh orang pasiennya yang meninggal. Tidak satu pun arwah mereka datang menyambanginya. "Tapi kalau Ari datang kemari lagi, jangan untuk berobat ya. Kalau Ari datang lagi, Dokter mau Ari sudah sembuh."
  "Ari pasti datang," sahut Ari tegas. "Sekarang juga Ari sudah sembuh, kan?"
 
  Tidak seorang pun menjawab pertanyaannya. Tidak juga Dokter Siswojo. Tidak ada seorang pun yang sampai hati menjawabnya. Mereka pura-pura tidak mendengar. Dan mengalihkan pembicaraan.
 
  Ari sendiri tidak begitu peduli. Dia sedang sangat gembira. Sepanjang perjalanan dia tidak henti-hentinya bicara. Kebiasaan lama yang sudah menghilang untuk beberapa saat selama dia berada di rumah sakit.
 
  Dia bersorak gembira ketika pertama kali melihat rumahnya kembali. Rumah kecil. Sederhana.
 
  Rumah kontrakan pula. Tapi itulah rumahnya. Rumah yang dirindukannya.
 
  Pinta sudah tegak menyambut di depan rumah. Ibu Kris pun sudah berada di sana.
 
  Tetapi begitu Ari turun dari mobil yang menjemputnya di terminal bus, hanya Pinta yang menghampiri Ari. Ibu Kris tertegun kaku di tempatnya berdiri. Hampir-hampir tidak mengenali cucunya lagi.
 
  Ari begitu kurus sehingga bajunya tampak longgar. Kulitnya kehitam-hitaman. Rambutnya rontok. Pipinya yang dulu montok, kini tampak kempot sampai tulang pipinya terlihat menonjol. Dan matanya terbenam lebih dalam. Cekung dan redup.
 
  Ibu Kris tidak dapat menahan keharuannya melihat perubahan penampilan Ari.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>