Cerita Silat | Kelelawar tanpa Sayap | by Huang Ying | Kelelawar tanpa Sayap | Cersil Sakti | Kelelawar tanpa Sayap pdf
Tembang yang tertunda - Mira W Sang Penyihir Beraksi - Vivian Vande Velde Animorphs 27 : Menyelamatkan Pesawat Pemalite Cinta di Awal Tiga Puluh - Mira W Come Away With Me - Kristen Proby
“Aah, sungguh diluar dugaan”
Sambil merendahkan suaranya kembali ujar Suma Tang-shia:
“Aku hanya bisa beritahu kepadamu bahwa dia amat menyukai ayahku, sayang ayahku sudah
keburu mengawini ibuku, disaat ibuku meninggal, diapun sudah patah arang dan tidak berniat
untuk menikah lagi”
“Kejadian semacam ini terkadang memang tak bisa dipaksakan"
Suma Tang-shia menghela napas panjang dan tidak bicara lagi.
Ternyata Sim Ngo-nio tidak langsung menaiki panggung batu itu tapi berhenti pada undakan
trap pertama dekat dinding tembok.
Diujung tembok terdapat sebuah tabung bambu yang kasar dan besar, tabung itu langsung
berhubungan dengan ruangan dalam bangunan loteng.
Sebenarnya sejak tadi Siau Jit, Han Seng maupun Lui Sin telah menaruh perhatian pada
tabung bambu itu, hanya saja karena konsentrasi mereka tertuju pada si Kelelawar, maka
selama ini tak semat menanyakannya kepada Suma Tang-shia. Tapi sekarang, tanpa ditanya pun mereka sudah tahu apa kegunaan dari tabung bambu itu.
Sim Ngo-nio membuka kain biru penutup keranjang bambunya dan mengeluarkan dua buah tabung
bambu pendek, kemudian secara beruntun dia lempar kedua tabung kecil itu ke dalam tabung
bambu besar.
“Apakah isi tabung bambu itu adalah makanan?” Siau Jit segera bertanya.
“Satu tabung berisi makanan, satu tabung yang lain berisi air bersih, tabung tabung itu
akan menggelinding masuk ke dalam ruangan loteng itu melewati tabung bambu besar ini,
biarpun setiap hari hanya dua tabung, namun repotnya bukan kepalang”
“Aku lihat si Kelelawar benar benar seperti orang idiot" tiba tiba ujar Siau Jit, “kalau
tidak, seharusnya ia dapat berpikir untuk menggunakan batang bambu ini untuk melarikan
diri"
Suma Tang-shia kontan tertawa.
“Justru lantaran dia tidak berbuat begitu, maka suasana diseputar sini masih tetap terjaga
hingga kini, belum rata dengan tanah"
“Jadi tiang bambu itu dihubungkan dengan sumbu bahan peledak?” tanya Siau Jit tertegun.
“Betul! Ketika mendengar ada benda menggelinding lewat tabung bambu itu, si Kelelawar
segera akan berjalan menghampiri dan mengambil kedua tabung makanan dan air bersih
itu . . . . . . . .."
Belum habis dia berkata, disebela h sana si Kelelawar sudah mendongakkan kepalanya.< br/> Kini dia berjalan mendekati panggung batu dengan wajah menghadap ke atas.
Kini Siau Jit, Lui Sin maupun Han Seng dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas,
ternyata dia memang bukan kakek buta yang dijumpai pagi tadi.
Tanpa sadar serentak mereka berpaling ke arah Ciu Kiok.
Tampak Ciu Kiok menggelengkan kepalanya berulang kali, Kelelawar yang tersekap dalam
loteng itu sama sekali bukan Kelelawar yang menipu Lui Hong, apalagi si Kelelawar yang
membunuh To Kiu-shia serta Thio Poan-oh sekalian.
Mungkinkah si Kelelawar tanpa sayap ada yang asli dan gadungan? Tapi siapa yang berani
menyamar jadi manusia seperti itu?
Dalam waktu singkat perasaan semua orang jadi kalut, kacau setengah mati, dan pada saat
itu pula si Kelelawar mulai bergerak.
Tampak seluruh tubuhnya mencelat ke tengah udara lalu begitu jatuh kembali ke bawah, ia
berputar dilantai bagai gangsingan, dengan berapa kali putaran tubuhnya sudah melompat
keluar dari ruang loteng.
Saat itulah semua orang baru melihat kalau ditangan kanannya ia menggenggam sebatang
tongkat bambu.
Begitu menyaksikan tongkat bambu itu, baik Siau Jit maupun Han Seng dan Lui Sin segera
merasa sangat mengenal dengan benda tersebut.
Fajar tadi, ketika bertemu dengan Kelelawar tanpa sayap, mereka saksikan ditangan orang
itupun membawa sebuah tongkat bambu yang sama.
Dengan tongkat itulah dia menggurat sebuah gambar Kelelawar diatas tanah, beritahu kepada
mereka bahwa dialah si Kelelawar.
Kelelawar tanpa sayap!
Walaupun jarak mereka cukup jauh, meski mereka tak dapat melihat secara jelas, namun baik
warna, ukuran maupun bentuk dari tongkat bambu itu sama sekali tak berbeda dengan apa yang
disaksikan Siau Jit bertiga.
Itulah sebabnya mereka merasa sangat mengenal dengan benda tersebut, perasaan kenal itu
bukan dikarenakan benda itu sama sama sebuah tongkat bambu.
Tanpa sadar semua jago mulai tegang, mulai merasakan aliran darah bergerak cepat.
Pada saat itu pula paras muka Suma Tang-shia ikut berubah.
Persoalan apa yang telah membuatnya terperanjat?
Si Kelelawar sudah keluar dari bangunan loteng, tiba tiba tongkat bambunya ditekan ke
bawah kemudian menutul keatas wuwungan rumah, tubuhnya yang kurus itupun segera melambung
tinggi ke angkasa.
Bersamaan itu tongkat bambunya meluncur ke tengah udara dengan kecepatan tinggi.
Tatkala tubuh kurusnya meluncur kebawah, sepasang ujung bajunya segera dipentangkan
seperti Kelelawar mementang sayap, ia seolah-olah berubah menjadi seekor Kelelawar hitam
yang amat besar.
Begitu meluncur ke bawah, lagi lagi badannya melejit, sementara dalam genggaman tangannya
telah bertambah dengan sebuah tabung bambu.
Tabung itu tak lain adalah tabung bambu yang baru saja dimasukkan Sim Ngo-nio ke dalam
tabung bambu besar tadi.
Ketika tongkat bambunya meluncur ke bawah, si Kelelawar segera pentang mulutnya dan secara
tepat menggigit ujung tongkat tadi.
Lagi lagi badannya yang kurus kering berputar bagai gangsingan ditengah udara, kemudian
melesat masuk ke dalam ruang loteng.
Begitu duduk kembali diposisinya semula, dia mulai tertawa, tertawa bangga.
Suara tertawa itu berkumandang hingga keluar hutan bambu, menggema disisi telinga semua
orang, begitu tajam dan nyaring suara tertawanya hingga jauh melebihi suara gemerisik daun
bambu yang dimainkan angin.
Suara tertawanya sangat aneh, dibalik suara mencicit, terselip pula perasaan menakutkan
yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Semua orang mulai bergidik, mulai merinding, tanpa terasa bulu kuduk mulai berdiri.
“Suara tertawanya mirip sekali!" tiba tiba Ciu Kiok menjerit keras.
Lui Sin, Siau Jit maupun Han Seng pun mempunyai perasaan yang sama, seperti itulah suara
tertawa yang mereka dengar ketika bertemu si Kelelawar fajar tadi.
Tapi sekarang suara tertawa itu kedengaran begitu aneh, begitu menakutkan.
Kembali paras muka Suma Tang-shia berubah, gumamnya:
“Kenapa bisa jadi begini?”
Terdengar suara yang parau tua bergema dari samping tubuhnya:
“Setelah berada disini banyak tahun, baru pertama kali ini kulihat ia bersikap begitu”
Itulah suara dari Sim Ngo-nio, dia sudah berjalan naik ke panggung batu dan menghampiri
Suma Tang-shia.
Paras muka perempuan tua inipun tampak sangat aneh.
“Benar” ujar Siau Jit pula, “bila dilihat dari tingkah lakunya sekarang, dia sama sekali
tak mirip seorang manusia idiot"
” kata Suma Tang-shia
“Sesaat tadi memang tidak mirip, tapi sekarang sudah mirip kembali
sambil tertawa getir.
Sewaktu Siau Jit berpaling lagi, diapun ikut tertawa getir.
Betul saja, waktu itu si Kelelawar sedang mengawasi tabung bambu dikiri kanan tangannya
secara bergantian sambil tertawa bodoh.
Suara tertawa yang berkumandang pun sama sekali tak mirip dengan suara tertawa manusia
normal.
Suara tertawa ini berbeda sekali dengan suara tertawanya sebelum Siau Jit mengucapkan
perkataannya tadi.
Dibalik suara tertawanya terselip perasaan gembira yang sukar dilukiskan dengan perkataan,
membuat siapa pun yang mendengar, merasa makin seram dan ngeri.
Siau Jit merasa amat ngeri, bulu romanya mulai bangkit berdiri.
“Baru pertama kali ini kudengar ia tertawa seperti itu” kembali Suma Tang-shia berkata
sambil tertawa getir.
“Begitu pula dengan aku” Sim Ngo-nio menambahkan.
“Mungkinkah ada saat dia mulai tersadar kembali?” timbrung Han Seng.
Sim Ngo-nio termenung tanpa menjawab, sementara Suma Tang-shia menyahut setelah berpikir
sejenak:
“Hal ini kurang jelas”
“Tapi bagaimana pun juga, jangan harap dia bisa meloloskan diri dari hutan bambu ini” Sim
Ngo-nio menambahkan.
Suma Tang-shia manggut-manggut.
“Ke tiga belas lapis alat perangkap itu dirancang dan diterapkan setelah melalui
pertimbangan serta perhitungan yang matang, lagipula semua peralatan ditanam pada bagian
yang tidak mencolok, kendatipun ia dapat menemukan letaknya, belum tentu dapat merusaknya,
jadi hal yang mustahil bila dia sanggup lolos dari tempat ini”
“Bila ia dapat keluar dari barisan, berarti tak mungkin akan tetap tinggal didalam hutan
bambu” lanjut Sim Ngo-nio, “kalau sampai terjadi hal semacam ini, perkampungan
Suma-san-ceng sebagai barisan pertama pasti sudah dibumi hangus oleh dirinya”
“Tapi bagaimana dengan tongkat bambunya?" tanya Lui Sin tiba tiba.
“Kenapa dengan tongkat bambu itu?”
“Kelelawar yang kami jumpai fajar tadi justru membawa tongkat bambu yang sama!" kata Lui
Sin.
“Kau yakin sama?” desak Suma Tang-shia.
“Walaupun aku tak berani memastikan seratus persen, namun ukuran maupun warnanya sama
sekali tak berbeda”
“Kalau dibicarakan kembali, peristiwa ini memang sangat aneh” ujar Sim Ngo-nio, “selama
banyak tahun berada disini, belum pernah kulihat dia membawa tongkat bambu semacam itu”
Suma Tang-shia mengiakan, paras mukanya tamak lebih murung dan serius.
“Masa kejadian ini begitu kebetulan?” desak Lui Sin.
Suma Tang-shia hanya termenung tanpa menjawab.
Berkilat sorot mata Siau Jit, tiba tiba ujarnya:
“Toaci, bolehkah kami berjalan lebih dekat lagi dengan si Kelelawar itu agar bisa melihat
lebih jelas?"
“Boleh saja” jawab Suma Tang-shia setelah termenung sejenak, perlahan ia berpaling kearah
Sim Ngo-nio.
“Padahal kita tak usah kelewat kuatir atau was was” kata Sim Ngo-nio sesudah berpikir
sejenak, “bila Kelelawar itu tak bermasalah, biar kita mendekatinya pun tak bakal ada mara
bahaya, andaikata ia sudah peroleh kembali kesadaran nya, dengan andalkan kekuatan kita
semu a, rasanya masih mampu untuk menghadapinya”
↧
Kelelawar tanpa Sayap - 41
↧