Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Kelelawar tanpa Sayap - 42

$
0
0

Cerita Silat | Kelelawar tanpa Sayap | by Huang Ying | Kelelawar tanpa Sayap | Cersil Sakti | Kelelawar tanpa Sayap pdf

Matahari Di Batas Cakrawala - Mira W Fear Street - Bayangan Maut Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - Mira W Monk Sang Detektif Genius - Lee Goldberg Misteri Putri Peneluh - Abdullah Harahap

“Baik!" kata Suma Tang-shia kemudian sambil mengangguk, “mari kita tengok dia dari luar
  pagar pendek itu”
  “Aaah benar” tiba tiba Sim Ngo-nio berseru, “sebetulnya apa yang telah terjadi?”
  “Mari kita bicarakan sembari berjalan" kata Suma Tang-shia, kepada Siau Jit bertiga
  katanya pula, “setelah melewati dinding tinggi, aku harap kalian mengikuti aku dengan hati
  hati”
  Dia berbicara dengan nada serius.
  “Toaci tak usah kuatir" sahut Siau Jit.
  “Benar, kami sama sekali tidak mencurigai atau meragukan perkataan nona” sambung Han Seng.
  Kembali Suma Tang-shia tertawa.
  II
  “Sejujurnya, hutan bambu itu merupakan sebuah wilayah yang sangat berbahaya katanya,
  “karena itu mohon maaf bila terpaksa aku harus bawel dan banyak bicara"
  “Hahaha, nona tak usah kuatir, kami dua bersaudara masih belum ingin mati sekarang” kata
  Lui Sin sambil tertawa keras.
  Kembali Suma Tang-shia tertawa, dengan berpegangan dibahu Siau Jit, ia mulai menuruni anak
  tangga batu.
  Dalam pada itu suara tertawa aneh dari si Kelelawar telah berhenti.
  Lebih kurang tiga tombak diatas dinding kiri sebelah timur lapangan batu, terdapat sebuah
  pintu berbentuk rembulan, walau tidak dilengkapi daun pintu, namun diatasnya tergantung
  sebuah papan nama yang bertuliskan: Mati untuk yang berani masuk!
  Sesungguhnya, barisan bunga itu telah ditetapkan oleh perkampungan Suma san-ceng sebagai
  daerah terlarang, andaikata ada orang ingin tahu yang menerobos masuk sampai disitu dan
  tiba ditempat ini, semestinya mereka akan segera menghentikan langkahnya sesudah membaca
  tulisan itu.
  Melongok kebalik pintu, terlihat sebatang pohon bambu dan tidak terlihat jalanan lainnya.
  Pintu gua itu terletak disisi kiri dengan lebar setengah kaki, tapi satu meter diantaranya
  kini sudah tertutup oleh dahan bambu yang malang melintang.
  Suma Tang-shia segera berhenti didepan pintu sambil berkata:
  “Siau kecil, cabut pedangmu”
  “Untuk apa?" tanya Siau Jit tertegun.
  “Tentu saja membabat batang bambu yang melintang di depan pintu masuk!”
  Sambil meloloskan pedangnya kata Siau Jit kemudian:
  “Siaute hanya tahu membabat sambil maju, bila menemui kegagalan, jangan lupa toaci memberi
  petunjuk”
  Kontan Suma Tang-shia tertawa cekikikan.
  “Biarpun toaci mu kesalnya sampai ingin mati, saat ini masih belum ingin mati beneran”
  Siau Jit tertawa, cahaya pedang berkelebat, dia mulai membabat kutung ranting dan dahan
  bambu yang menghadang jalanan.
  Tangan kanan Suma Tang-shia masih berpegangan diatas pundak kiri Siau Jit, dia tampak
  begitu lemah.
  Ditengah cahaya pedang, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan memasuki hutan bambu.
  Ternyata jalanan yang terbentang dibalik pintu bukan hanya ada sebuah, tapi banyaknya luar
  biasa, selain banyak bahkan rapat dan membingungkan, persis seperti sebuah jaring
  laba-laba.
  Setiap cabang jalan, nyaris dimulai dari pintu masuk tersebut.
  Baru tiga kaki memasuki hutan bambu, jalanan itu telah terpecah menjadi sembilan buah
  jalan, setiap pecahan jalan memiliki bentuk yang tak berbeda.
  Setiap cabang jalan itupun hanya membentang sejauh tiga tombak, tidak lebih tidak kurang.
  Pada cabang jalan tersebut kembali muncul cabang jalan lain, bagi Siau Jit yang menguasahi
  ilmu barisan, setelah belok berapa kali, dia mulai kehilangan pegangan dan bingung
  sendiri.
  Terlebih Han Seng dan Lui Sin, mereka hanya merasakan pandangannya kabur dan berkunang,
  dalam keadaan begini mereka hanya bisa mengintil dibelakang Suma Tang-shia dan Siau Jit
  secara ketat.
  Sim Ngo-nio berjalan dipaling belakang, namun dia pula yang paras mukanya nampak sangat
  serius, seolah kuatir kalau berapa orang yang berjalan duluan itu salah langkah hingga
  berakibat fatal.
  Dari mimiknya ini, bisa disimpulkan bahwa ia sudah membuang waktu cukup lama untuk
  mempelajari barisan tersebut, sekalipun sesungguhnya dia tidak tertarik dengan ilmu
  semacam itu.
  Terbukti Suma Tang-shia memang seseorang yang sangat ahli, biarpun setiap langkah dia
  lakukan dengan hati hati, namun tak pernah salah langkah.
  Makin ke dalam, hutan bambu semakin lebat dan rapat, sebagian besar jalanan bahkan sudah
  terputus oleh lebatnya tanaman, hal ini menunjukkan entah sudah berapa lama tempat
  tersebut tak pernah dijamah manusia.
  Kendatipun begitu, Suma Tang-shia tetap bisa mengenali daerah disitu dengan jelas dan
  tepat.
  Setiap langkah yang dilakukan seakan sudah berada didalam perhitungannya, kalau bukan
  sangat ahli, bagaimana mungkin ia dapat melakukan kesemuanya itu?
  Setelah berjalan sekian lama, akhirnya tak tahan Siau Jit menghela napas panjang dan
  bergumam:
  “Sekarang, aku benar-benar merasa sangat kagum”
  “Kau mengagumi aku?” tanya Suma Tang-shia sambil tertawa.
  “Benar” Siau Jit mengangguk, “jangankan keluar dari barisan ini, bahkan untuk menentukan
  arah mata angin pun, sekarang aku sudah tak mampu”
  “Berarti kau kagum seratus persen?”
  “Betul, kagum dan takluk seratus persen"
  Kontan saja Suma Tang-shia tertawa cekikikan, tiba tiba serunya:
  “Belok kiri!"
  Siau Jit menyahut sambil belok ke kiri, pedangnya bergetar cepat dan “Sreeet!” sebatang
  pohon bambu yang menghadang dihadapannya tertebas kutung dan mencelat ke samping.
  Berkilat sorot mata Suma Tang-shia, katanya lagi sambil tertawa:
  “Aku pun merasa kagum seratus persen dengan kehebatan ilmu pedangmu”
  “Aaah, kepandaian ku tak seberapa”
  “Hihihi, sejak kapan kau belajar merendah?"
  “sekarangl” kembali pedangnya bergerak memapas kutung sebatang pohon bambu yang menghadang
  didepan mata.
  “Kami jadi ikut bingung dan tak tahu harus bicara apa" timbrung Han Seng dari belakang.
  “Menurut apa yang kuketahui, pedang perak milik Han-ya pun terhitung luar biasa”
  “Bicara soal ilmu pedang, ilmu pedang pemutus usus milik Siau-heng yang hebat, sedang
  bicara soal ilmu barisan, hahaha... kami berdua terlebih lagi blo'on nya”
  Suma Tang-shia tertawa dan tidak bicara.
  Kembali Han Seng berkata:
  “Sewaktu masih berada diatas panggung batu tadi, luas tempat ini masih belum terasa
  seberapa, tapi setelah masuk, baru kurasakan betapa luasnya tempat ini"
  “Betul, akupun merasakan hal itu” Lui Sin menambahkan.
  Walaupun pembicaraan masih berlangsung, langkah kaki mereka tetap sangat berhati-hati.
  Angin berhembus lewat menggoyangkan pohon bambu, suara gemerisik dedaunan kedengaran makin
  nyaring, bikin hati orang terasa merinding dan bergidik.
  Segulung angin kembali berhembus lewat, membawa bau amis dan busuk yang sukar terlukiskan
  dengan kata.
  “Kenapa bisa muncul bau sebusuk ini?” tanya Lui Sin dengan kening berkerut.
  “Lui-ya jangan lupa, didalam hutan tersekap seseorang” Suma Tang-shia menjelaskan.
  Lui Sin tertegun, kemudian seakan baru sadar serunya:
  “Jadi bau busuk itu berasal dari . . . . . . .."
  “Lui-ya, jangan kau lanjutkan, aku kuatir bakal muntah" tukas perempuan itu sambil
  tertawa.
  Buru buru Lui Sin menelan kembali ucapannya yang belum selesai diutarakan.
  Makin masuk ke dalam, bau busuk itu makin kental dan keras, bikin orang jadi mual.
  Untung saja semua orang masih mampu menahan diri hingga tidak sampai muntah.
  Setelah berjalan lagi belasan tombak, akhirnya tembok rendah itu terlihat didepan mata,
  jalanan setapak pun langsung membentang ke arah dinding rendah tadi.
  Suma Tang-shia membawa para jago mengelilingi tembok rendah itu satu lingkaran, kemudian
  balik kembali ke tempat semula.
  Sepanjang dinding rendah itu, ternyata tak tampak sebuah pintu atau lorong pun.
  Sambil menghentikan langkahnya, tak tahan Lui Sin bertanya:
  “Bagaimana cara kita masuk?"
  “Lewati pagar tembok!" sahut Suma Tang-shia, kemudian bagaikan seekor kupu kupu dia
  melomat naik ke atas pagar.
  Kuatir terjadi sesuatu, buru buru Siau Jit ikut melompat naik ke atas pagar dinding itu.
  Baru saja Lui Sin akan ikut melompat, Han Seng segera mencegahnya sambil berseru:
  “Mari kita bantu Ciu Kiok!”
  Lui Sin manggut manggut, tanyanya kemudian sambil berpaling:
  “Ciu Kiok, bagaimana keadaanmu?"
  “Tidak masalah, aku masih sanggup menahan diri” sahut Ciu Kiok cepat.
  “Bagus sekali!" Lui Sin segera memayang tubuh Ciu Kiok dari sisi kiri, sementara Han Seng
  memayangnya dari sisi kanan.
  Dibawah bimbingan kedua orang itu, Ciu Kiok segera melayang naik keatas pagar dinding itu.
  Dua orang dayang yang semula membimbing tubuh Ciu Kiok segera menyusul dari belakang
  diikuti kemudian oleh Sim Ngo-nio.
  Baru saja Lui Sin dan Han Seng tiba diatas pagar, mereka merasakan bayangan manusia
  berkelebat lewat, tahu tahu Sim Ngo-nio telah berada disisi mereka.
  Tanpa terasa kedua orang itu jadi teringat kembali dengan perkataan Suma Tang-shia tadi,
  kalau Sim Ngo-nio adalah adik seperguruan dari Suma Tionggoan.
  Sebagaimana diketahui, nama besar Suma Tionggoan telah menggetarkan sungai telaga, dia
  merupakan jago diantara para jago, sebagai adik seperguruannya, sudah barang tentu ilmu
  silat yang dimiliki Sim Ngo-nio terhitung tangguh.
  Berdiri diatas dinding pekarangan, bau busuk terendus makin memuakkan, tanpa terasa Suma
  Tang-shia menutupi hidung sendiri dengan kedua belah tangannya.
  Siau Jit ikut mengernyitkan alis matanya, sejak dilahirkan, baru pertama kali ini dia
  berada dalam kondisi dan situasi seperti ini.
  Tiba tiba Suma Tang-shia menghela napas panjang, katanya:
  “Selama ini, aku selalu menganggap keenakan membiarkan si Kelelawar tinggal ditempat
  seperti ini, tapi sekarang aku rasa sudah bukan keenakan lagi”
  “Kalau tempat yang indah berubah jadi jorok, siapa yang mau disalahkan" seru Siau Jit.
  “Selama ini si Kelelawar juga tak pernah protes atau mengajukan keberatan” sela Sim
  Ngo-nio.
  “Memang” Suma Tang-shia manggut manggut, “baginya bukan masalah, mau berada ditempat mana
  pun, aku rasa sama saja bagi dia”
  “Hanya orang idiot yang rela tinggal ditempat seperti ini”
  “Ehmm"
  “Seharusnya dia berada dibawah loteng” kata Sim Ngo-nio lagi sambil menyapu sekejap
  seputar tempat itu.
 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>