Cerita remaja | Dakwaan Dari Alam Baka | by Mira W | Dakwaan Dari Alam Baka | Cersil Sakti | Dakwaan Dari Alam Baka pdf
Tembang yang tertunda - Mira W Sang Penyihir Beraksi - Vivian Vande Velde Animorphs 27 : Menyelamatkan Pesawat Pemalite Cinta di Awal Tiga Puluh - Mira W Come Away With Me - Kristen Proby
Doni sudah
sadar. Tetapi Farida berkeras membawanya juga ke rumah sakit.
Tidak ada salahnya minta pendapat dokter, kan?
Doni jatuh cukup tinggi. Dan kepalanya terbentur cukup keras dengan lantai.
Apalagi dia sampai tidak sadarkan diri, meskipun cuma sebentar.
Memang tidak ada muntah.
Tapi dia sempat lupa pada apa yang terjadi sesaat sebelum Pingsan.
dan kepalanya Pusing sekali.
Doni didiagnosis menderita gegar otak ringan. dia harus dirawat semalam untuk observasi.
"Kata dokter keadaannya tidak mengkhawatirkan," hibur Farida pada Nani yang masih shock.
"Kamu tunggu saja di sini. kakak akan mengurus administrasinya dulu."
Paman Is dan istrinya baru tiba di rumah sakit
ketika semuanya telah beres. Administrasi telah
diselesaikan Farida. Dan Doni sudah dibaringkan
di atas ranjang di kamarnya.
Dia menangis terus minta pulang. Tetapi Farida
terus-menerus mendampingi dan menghiburnya.
"Cuma semalam, Don. Besok pagi-pagi kamu
sudah boleh pulang. Kalau kamu mau Kak Ida
temani, Kakak mau tinggal di sini."
"Kak Ida boleh tidur sama Doni?"
"Ya tidak," Farida tersenyum lembut.
"Tapi Kakak boleh tidur di luar. Kalau Doni takut, panggil Kakak ya."
"Nanti Kak Ida digigit nyamuk."
Farida belum sempat menjawab ketika Paman
Is dan Bibi Nur masuk ke kamar. Ketika melihat
ibunya, Doni menangis lagi.
Farida memutuskan tidak tinggal di pondokan
mahasiswi.
Dia mengontrak sebuah rumah berukuran tiga puluh enam me
ter persegi dengan dua kamar tidur. Dan mengajak Endang tinggal bersama.
"Aku ingin memperluas usaha jahitku, Dang,"
katanya ketika mengajak sahabatnya tinggal ber
sama.
"Kalau kamu mau membantu membayar sewa, aku
akan berterima kasih sekali."
"Oke," sahut Endang yang selalu siap membantu sahabatnya.
"Di tempat kos memang rasanya tidak boleh buka jahitan. Aku sih oke saja.
Tapi kalau usahamu sudah maju, aku boleh tinggal grads ya, Da!"
Farida hanya tersenyum membalas canda temannya.
"Mula-mula barangkali aku cuma bisa membuatkan baju gratis untukmu, Dang."
Tapi yang modelnya keren, ya?" tawar Endang. "Jahitannya mesti rapi.
Bahannya silk..."
"Tahun depan, ya?" Farida tersenyum membalas canda temannya."
"Kamu mau kan tidur sekamar denganku?"
"Daripada sekamar dengan jahitan? Tapi ngomong-ngomong, mau kamu pakai buat apa kamar yang kedua?"
"Kamar kerja. Kamar pas. Kamar baju...
"Kamar makan. Gudang. Asal jangan buat dapur saja."
"Dapurnya masih diluar, dang. kalu bu tri setuju, aku mau renovasi sedikit bagian belakang rumahnya. untuk dapur."
"WC nya juga, Da. kalau jongkok, aku nggak bisa b.a.b."
"Boleh saja. Tapi utang dulu, ya?"
"Utang sama siapa?" Endang mengangkat sebelah alisnya.
"Sama kamu." Farida tersenyum manis.
"Sama siapa lagi?"
"Tapi dihitung modal, ya? Kalau usaha jahitmu
sudah maju, aku dapat bagian?"
"Lima puluh persen keuntungan."
"Hah?" Endang terbelalak kaget. "Murah hati amat kamu. Da!"
"Tidak juga. Kan kamu juga
harus kerja. Jadi
asistenku."
"Oke saja. Tapi aku cuma bisa pas
ang kancing!"
"Tidak masalah. Asal pasangnya tidak terbalik."
ibu pemilik rumah itu sudah berumur enam puluh
tahun. Dan sampai setua itu,
dia belum pernah melihat tukang jahit
buntung. Maksudnya, tidak punya tangan. Dia mau menjahit pakai
apa?
"Buka usaha jahit?"
gumamnya tidak percaya.
Anak-anak ini linglung atau cuma main-main?
"ibu boleh nonton kalau teman saya demonstrasi menjahit nanti,"
potong Endang jemu.
"Dan kalau Ibu mau bikin baju. Ibu da
pat diskon sepuluh persen."
Ketika ibu itu masih melongo ben
gong, Endang menyentuh bahunya.
"Nanti kalau teman saya sudah jadi
sarjana hukum, Ibu juga dapat diskon dua
puluh persen kalau memakai jasanya."
"Sarjana hukum?" Ibu pemilik rumah itu tambah bingung.
Teman saya ini calon S.H., Bu!" kata Endang bangga.
"Astaga! cetus ibu itu kaget.
"Tidak salah, Nak? Yang punya tangan dua saja banyak yang gagal!"
"Betul, Bu," sahut Endang mantap.
"Karena yang punya tangan dua, tidak punya otak dan hati seperti
teman saya ini!"
Bibi Nur menghadiahkan mesin jahitnya untuk Farida, tetapi Farida menolak. dia ingin membeli mesin itu.
"Kalau boleh dengan mengangsur, Bi," katanya dengan sesopan-sopannya supaya bibinya tidak tersinggung.
"Ah, sudah! Ambil saja!" potong Paman Is sebelum istrinya sempat menjawab.
"Mesin jahit ini tidak dipakai kok. Tidak ada yang sempat
menjahit di rumah ini!"
"Saya ingin membelinya, Paman. Sebagai modal pertama usaha jahit saya. Sudah diizinkan mengangsur saja, saya sudah berterima kasih sekali."
"Kamu memang keras kepala," keluh Paman
sambil menghela napas.
"Harga mesin jahit ini
tidak seberapa kalau dibandingkan uang yang kamu keluarkan untuk membayar uang muka perawatan Doni di rumah sakit."
Farida memang memohon agar uang muka
yang dikeluarkannya tidak diganti. Dia ingin melakukan sesuatu untuk Doni. Sekaligus ingin membalas kebaikan pamannya mengizinkannya
menumpang di rumah nya.
Ketika Farida hendak meninggalkan rumah itu bersama barang-barangnya.
Nani menghampirinya.
"Maafkan saya, Kak," desahnya lirih.
Farida tersenyum tulus. Dia tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Tapi jauh dalam hatinya, dia
sudah lama mcmaafkan Nani.
Dari Doni, dia tahu ke mana jam tangannya. Nani memberikannya kepada Hamid. Mung
kin sebagai tambahan membayar uang kuliahnya.
Mungkin pula untuk keperluan lain.
Yani tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap
Farida dengan tatapan penuh penyesalan. Barangkali dalam hatinya, dia juga menyesal telah berlaku kejam pada sepupunya yang cacat.
Cuma Doni yang mengiringinya naik ke taksi.
Sesaat sebelum Farida menutup pintu, Doni menyelipkan sesuatu ke dalam tasnya.
Karena sibuk mengurus barang-barangnya dan
menata rumah bersama Endang, Farida melupakan hadiah itu. Baru ketika sedang duduk kecapekan di kamarnya Farida ingat kembali pada Doni.
Apa yang dimasukkan anak itu ke dalam tasnya?
Farida menumpahkan isi tasnya. Dan matanya
menjadi berkaca-kaca melihat dua kelos benang
yang dihadiahkan Doni.
Hadiah yang tulus dari seorang bocah. murni, walaupun tidak berharga.
Farida tersenyum haru. akhirnya dia menemukan juga seseorang yang sungguh-sungguh menyayanginya.
"Tadi ibu yang pakai gigi emas itu datang lagi, Da,"
lapor Endang begitu Farida pulang membeli kancing.
"Katanya dia minta nanti sore bajunya sudah selesai. Mau dipakai pesta."
"Tinggal memasang kancing," sahut Farida tenang.
Dia memang tidak pernah kelihatan gugup
biarpun pekerjaannya bertumpuk-tumpuk.
"Sebentar juga selesai."
"Sini aku yang pasang. Kamu bisa mengerjakan
yang Iain. Minggu ini kamu repot sekali, kan?"
Farida hanya tersenyum.
"Benangnya pakai yang kuning ya. Dang.
Jangan yang putih kayak dulu. Nanti dia ngomel lagi."
"Oh, dia ngomel ya?" Endang menyeringai geli.
"Dia bawel ya. Da."
"Tapi orangnya sih baik."
"Sudah tua tapi masih perlente ya."
"Bukan yang muda saja yang harus keren, kan?"
"Makanya kamu juga harus belajar dandan!"
"Ah, bagiku begini saja sudah cukup."
"Kamu tidak mau kelihatan keren?"
"Apa gunanya? Tidak ada yang tertarik padaku."
"Siapa bilang? Kamu tidak merasa Sultan naksir kamu?"
Farida hanya tersenyum tipis. Sekilas bayangan
pemuda itu melintas di depannya.
"Lho, kok malah tersenyum! Kamu tidak suka padanya?"
"Suka. Dia kan baik. Ramah. Penuh perhatian."
"Lalu?"
"Ya sudah."
"Ya sudah?" Endang pura-pura mengelus dada."
"Kamu tidak mau pacaran?"
"Barangkali aku sudah di takdirkan untuk hidup sendiri, Dang."
"Ah, siapa bilang? Perkawinan kan bukan monopoli orang yang tidak cacat!"
"Siapa yang mau mengawini aku?" Farida tersenyum pahit.
"Kalau kamu jadi laki-laki, kamu tidak malu punya istri seperti aku?"
"Seharusnya aku malah bangga!"
"Itu karena kamu bukan laki-laki!"
"Nggak nyangka dibalik semangatmu yang begitu besar,
kamu menyimpan rasa rendah diri yang begitu hebat!"
"Pernah seorang laki-laki buta melamarku," Farida sengaja membalikkan tubuhnya agar temannya tidak melihat wajahnya. tidak melihat kesakitan yang bersorot dimatanya. "Sesaat sebelum kami menikah, dia memperoleh kembali penglihatannya.
Dan dia menunda pernikahan kami sampai sekarang. Hanya karena dia tidak tega
membatalkan perkawinan kami.
"Tidak semua laki-laki seperti dia, Da!"
"Aku tidak menyalahkan dia. Kalau aku jadi
dia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang
sama."
"Kamu memang orang yang paling penuh pengertian. Cuma aku tidak mengerti, mengapa kamu tidak mengerti juga. Sultan sudah lama
naksir kamu."
"Dia cuma kasihan padaku. Karena aku cacat."
"Di tingkatnya ada mahasiswi yang pincang.
Tapi Sultan tidak naksir dia."
"Sudahlah. Aku tidak ingin membicarakannya lagi."
"Kamu tidak tertarik padanya? Ya, kualitas fisik-nya memang kurang. Kurus tinggi seperti jarumpentul. Tapi hatinya baik. Da. Kalau boleh memilih, aku lebih setuju kamu dapat lelaki yang
baik dari pada yang ganteng."
Farida tersenyum getir.
"Gadis cacat seperti aku tidak punya banyak
Pilihan, Dang. Tapi aku tidak mau menikah hanya karena harus punya suami."
"Jangan minder begitu. Da. Biarpun cacat. aku yakin ada lelaki yang naksir kamu karena mengagumi sifat-sifatmu. bukan fisikmu."
"Aku belum memikirkan perkawinan. ingin mengejar karier dulu."
"Boleh saja. asal jangan sesudah kamu raih cita-citamu. jodohmu malah tertinggal di belakang. susah kalau harus balik lagi, Da. umur kan tidak bisa diputar mundur!"
PALEMBANG
1981
BAB XII
KETIKA Farida pulang ke rumah pada liburan
semester, orangtuanya telah menanti dengan kabar yang menyakitkan hati.
Mahmud datang menemui mereka. Dia ingin
segera menikah. tetapi tidak ingin menghambat
studi Farida. jadi dia memutuskan pertunangan
mereka. Dan memilih wanita lain sebagai calon istrinya.
ibu Mahmud memang sudah meninggal
beberapa bulan yang lalu. dan Mahmud tidak
menemukan penghalang lagi untuk melakukan
apa yang diinginkannya.
ketika mendengar Farida pulang, Mahmud malah datang menemuinya
sendiri. dan menyampaikan niatnya untuk mengawini seorang perempuan lain.
"Saya tidak dapat menunggu lagi, Ida," katanya tegas.
"Umur saya sudah tiga puluh. Tapi saya tidak mau menghambat studimu. Cita-citamu begitu tinggi. Saya tidak tega menghancurkannya.
jadi saya terpaksa memutuskan pertunangan kita."
"Terima kasih karena telah memberi saya kesempatan untuk meraih cita-cita saya, Bang," sahut Farida tenang.
"Saya berjanji akan menyelesaikan kuliah saya."
Di depan Mahmud, Faida tidak mau memperlihatkan air matanya. Di hadapan orangtuanya pun dia tetap tampil tegar. Tidak seorang pun
melihat kesedihannya.
Tetapi ketika semua orang sudah tidur,
dia menangis seorang diri di tempat tidurnya.
Mengapa nasibnya begitu buruk? mengapa dia tidak seperti gadis lain? tidak seperti adik-adiknya?
apa sebenarnya dosanya sampai dia memiliki cacat yang begini memalukan?
Farida belum tidur ketika pintu kamarnya perlahan-lahan terbuka. dan suara ibu terdengar lirih dalam kegelapan.
"Ida, boleh ibu masuk?"
Lekas-lekas Farida menghapus air matanya sesaat
sebelum Ibu menekan tombol lampu di dekat pintu. Kamar menjadi terang. Dan Farida melihat ibunya tegak di ambang pintu.
"Belum tidur, Ida?" tanya Ibu lembut.
Farida menggelengkan kepalanya. Wajahnya
semuram mendung di luar.
"Jangan putus asa, Ida." Ibu duduk di tepi pembaringan.
"Barangkali Mahmud bukan jodohmu."
"Barangkali sudah takdir saya, Bu," sahut Farida pahit.
"Kalau saya menikah, belum tentu
saya dapat menyelesaikan ku
liah."
"Ibu bangga padamu. Kamu anak yang tabah,
Ida. Sejak keeil kamu selalu membuat orang-tuamu bangga. Mudah-mudahan kamu dapat meraih cita-citamu. Tapi berjanjilah pada Ibu."
"Soal apa, Bu?"
"Jangan mendendam kepada laki-laki.
Tidaksemua laki-laki seperti Mahmud."
"Saya tahu, Bu. Bapak juga laki-laki."Tapi Bapak sangat baik."
"Di Jakarta, kamu belum punya pacar?"
Siapa yang mau sama saya, Bu? Tetapi Farida
tidak jadi mengucapkannya. Dia tidak tega menyakiti hati Ibu.
"Kamu tidak pernah terpikat pada teman kuliahmu?"
Bukan teman kuliah. Tiba-tiba saja wajah Pak
Hans melintas di depan mata Farida. Diosen. Tetapi dia sudah beristi. Dan
dia tidak tertarik pada saya. Karena saya cacat!
Pak Hans memang sangat memerhatikannya.
Tetapi itu hanya karena Farida merupakan salah
satu mahasiswinya yang istimewa. Mudah diingat.
Karena dia lain dari yang lain!
JAKARTA
1981
BAB XIII
FARIDA kembali ke Jakarta dengan hati sakit.
Dan dia tidak lulus ujian. Untuk pertama kalinya
sejak tingkat satu.
Salah satu ujiannya yang gagal adolah mata kuliah yang diasuh Pak Hans. Dan kegagalanny
↧
Dakwaan Dari Alam Baka - 11
↧