Cerita Silat | Pendekar Sejati | by Gan K.L | Pendekar Sejati | Cersil Sakti | Pendekar Sejati pdf
Solandra - Mira W Pendekar Sejati II - Gan KL Hunger Game 2 - Tersulut (Catching Fire) Topeng Sang Putri - Astrella Tarian Liar Naga Sakti III - Marshall
18.69. Kebingungan Calon Pengantin Baru sekarang Kok Siau-hong sempat bercerita perkenalannya dengan Kong-sun Bok dahulu, lalu bersama menempur Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok, kemudian bersama mengawal harta karun bagi Kay- pang, tapi di tengah jalan kena dicegat dan dirampas oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan kedua iblis tua itu.
Senang sekali Kheng Ciau mendengarkan cerita Siau- hong itu, katanya kemudian, “Kedua iblis Sebun Bok- ya dan Cu Kiu-bok itu dalam dunia persilatan boleh dikata termasuk di antara sepuluh tokoh tertinggi saat ini, tapi kau dan anak Bok mampu menempur mereka, nyata kepandaian anak Bok telah mengalami kemajuan yang lumayan.” “Kepandaian Kongsun-toako memang jauh di atasku, ketika bersama menempur kedua iblis itu aku tidak lebih hanya sebagai pembantu saja, hampir delapan bagian Kongsun-toako sendiri yang melayani kedua iblis tua itu,” kata Siau-hong.
“Ah, kau terlalu rendah hati, Kok-siauhiap,” ujar Kheng Ciau. “Anak Bok memang mempunyai pengalaman yang jauh lebih beruntung daripadaku sendiri. Dia pernah mendapat gemblengan dari tiga maha guru silat pada zaman ini, kalau dia tidak menjadi jago silat yang cemerlang adalah mustahil. Kata pribahasa, gelombang ombak Tiang-kang dari belakang mendorong ke muka, di dunia ini orang baru selalu menggantikan orang lama. Kesatria muda dari angkatan baru seperti kalian ini memang seharusnya lebih maju daripada angkatan yang lebih tua seperti kami ini.” Pada umumnya orang persilatan sangat mementingkan cinta kasih antara guru dan murid, bisa mendapatkan seorang murid baik adalah jauh lebih berharga daripada hal lain. Maka dapat dibayangkan betapa senangnya hati Kheng Ciau demi mendengar Kong-sun Bok sudah sangat menonjol di dunia Kang- ouw.
“Kami terpencar di medan pertempuran dan belum berjumpa pula sampai kini,” kata Kok Siau-hong.
“Cuma kami sudah berjanji untuk bertemu di Kim- keh-nia kelak.” Kheng Ciau menjadi rada kuatir, katanya, “Sudah hampir sebulan kau berada di Kim-keh-nia, kini diutus pula ke Kang-lam sini, sedangkan anak Bok belum nampak ke Kim-keh-nia, jangan-jangan dia mengalami sesuatu di tengah jalan.” “Kukira takkan terjadi,” ujar Siau-hong. “Ilmu silat Kongsun-toako sangat tinggi, nona Kiong yang berada bersama dia itupun puteri keluarga persilatan ternama, kepandaiannya juga tidak lemah.” “Oya, nona Kiong yang kau katakan itu sebenarnya puteri keluarga siapa?” tanya Kheng Ciau sambil mengerut kening.
“Konon ayahnya ialah Oh-hong-tocu, seorang tokoh yang berdiri di antara golongan baik dan jahat, cuma.....” “Wah, celaka!” tiba-tiba Kheng Ciau berseru.
Siau-hong tercengang. “Celaka bagaimana?” tanyanya.
“Anak Bok sungguh ceroboh, mana boleh dia menerima perjodohannya yang ditetapkan oleh mendiang ayahnya itu?” kata Kheng Ciau. “Ikatan perjodohannya ini tadinya oleh ibunya sengaja dirahasiakan, entah darimana anak Bok mendapat tahu hal ini? Ya, tentu anak perempuan siluman itu yang tidak tahu malu dan sengaja mencari bakal suaminya itu serta memberitahukan padanya secara terang-terangan.” Tentu saja Kok Siau-hong bingung, ia menegas, “Apa? Jadi mereka memang sudah terikat oleh pertunangan yang ditetapkan orang tua mereka?” “Ya, seluk-beluk orang tua mereka, kalau dibicarakan, boleh dikata memang karma juga,” ujar Kheng Ciau.
Lalu ia pun bercerita secara ringkas kisah tragis ayah- bunda Kong-sun Bok di masa mudanya dan cara bagaimana pula ikatan pertunangan Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun ditetapkan oleh orang tua masing- masing.
“Tapi kejadian itu kan mengenai diri angkatan tua yang telah almarhum,” ujar Siau-hong dengan tertawa.
“Maksudmu.....” “Meski Oh-hong-tocu terkenal sebagai gembong dari Sia-pay, tapi nona Kiong itu cukup baik orangnya,” kata Siau-hong. “Kata pribahasa, siapa yang dekat hitam tentu akan menjadi hitam, yang dekat dengan merah akan menjadi merah. Nona Kiong itu berada bersama Kongsun-toako, kuyakin dia pasti akan berubah juga menjadi kaum pendekar yang baik.
Maka Kheng-pepek kiranya tidak perlu kuatir bagi mereka.” “Tapi aku menyangsikan Oh-hong-tocu ada maksud tujuan tertentu,” Kheng Ciau sambil menggeleng.
“Apalagi pertunangan ini juga ditolak tegas-tegas oleh ibunya, sebagai gurunya aku pun tidak setuju.” Sebenarnya Kheng Ciau bukan orang yang kolot, soalnya dia dan ibu Kong-sun Bok, yaitu Siang Jing- hong pernah terjadi kisah kasih yang sukar diceritakan kepada orang lain, lantaran Siang Jing- hong tidak memperoleh cinta Kheng Ciau, akhirnya barulah kena tertipu oleh Kong-sun Ki, ayah Kong-sun Bok (Kisah inipun dapat dibaca dalam Pendekar Latah) .
Sebagai pemuda yang berpikiran maju, Siau-hong tidak sependapat dengan ucapan Kheng Ciau itu, ia anggap, asal kedua muda mudi itu sama-sama cinta, maka siapa pun tak dapat menghalangi mereka.
Melihat Siau-hong berdiam, dengan tertawa Kheng Ciau berkata pula, “Sudahlah, aku akan lekas kembali ke sana, ada suatu urusan perlu kukatakan pula padamu. Dapatkah kau membawa sesuatu barang antaran.” “Barang antaran untuk siapa?” tanya Siau-hong.
“Bukankah kau hendak pergi ke tempat Bun-tayhiap?” tanya Kheng Ciau. “Barang antaran yang kukirim ini adalah untuk murid pewaris Bun-tayhiap yaitu Sin Liong-sing. Kabarnya dalam waktu singkat ini dia akan menikah, kebetulan kau akan ke sana, maka kado yang kukirim ini akan kusumbangkan padanya, tapi juga kusumbangkan untukmu.” Perasaan Siau-hong tersinggung, tapi juga heran.
Dengan tersenyum ewa ia menegas, “Kado untuk Sin- siauhiap mana boleh aku membagi miliknya itu?” “Barang lain tidak boleh, tapi kado ini dapat dibagi,” ujar Kheng Ciau tertawa. Segera ia pun mengeluarkan kado yang dimaksud, kiranya adalah sebuah gambar dengan keterangan lengkap yang berisi delapan macam gaya ilmu silat.
“Ini yang disebut Tay-heng-pat-sik (delapan gaya maha sakti),” tutur Kheng Ciau. “Bagi orang yang tak pernah berlatih lwekang, setelah berlatih menurut petunjuk gambar ini akan dapat dipersamakan dengan kekuatan latihan lwekang selama sepuluh tahun. Orang yang memang sudah mempunyai dasar lwekang, setelah berlatih menurut gambar juga dapat melipat gandakan kekuatannya. Siau-yang-sin-kang yang kau latih adalah lwekang dari golongan asli sehingga sangat baik bila saling bergabung dengan kekuatan Tay-heng-pat-sik ini. Sebab itulah aku sengaja menyumbangkan kado ini kepada kalian berdua, semoga kalian dapat mempelajarinya bersama. Kuyakin kau akan lebih cepat memahami pelajaran ini, maka kau harus lebih banyak membantu Sin Liong-sing.” Kiranya tindakan Kheng Ciau ini memang mengandung maksud yang dalam. Dia pernah mendengar dari Pek Tik, bahwasanya Kok Siau-hong pernah bergebrak dengan Sin Liong-sing, sebab itulah dia sengaja menghadiahkan kado itu kepada mereka berdua agar mereka dapat mempelajari bersama ilmu silat sakti itu, dengan demikian selisih paham kedua orang pun dapat diselesaikan tanpa kelihatan.
Sudah tentu Kheng Ciau tidak tahu bahwa “sengketa” antara Kok Siau-hong dan Sin Liong-sing tidaklah sederhana seperti sangkaannya, “sengketa” mereka itu mungkin selama hidup ini sukar dihapus.
Begitulah maka Kok Siau-hong telah menjawab, “Kado Lo-cianpwe ini pasti akan kusampaikan, cuma Wanpwe tidak ingin ikut membagi manfaatnya.” Kheng Ciau tampak kurang senang, katanya, “Kok- laute, aku adalah orang yang suka terus terang, maafkan kalau aku bertanya padamu, apa kau memandang remeh Tay-heng-pat-sik ini atau kau memang main sungkan padaku lantaran baru kenal?” Cepat Siau-hong menjawab, “Ah, Kheng-tayhiap jangan salah paham. Tay-heng-pat-sik adalah pusaka yang selalu diimpikan setiap orang persilatan, kalau Kheng-tayhiap sudi menghadiahkannya tentu Wanpwe sangat berterima kasih. Soalnya Wanpwe tidak berbakat dan tidak berani mengharapkan terlalu banyak, terhadap segala sesuatu Wanpwe cukup tahu batasnya sesuai kemampuan sendiri.....” “Benar juga pendirianmu,” ujar Kheng Ciau, “kau bisa mengekang napsu sendiri dan tulus terhadap lawan, sungguh harus dipuji.” “Apalagi kado Kheng-tayhiap itu adalah untuk Sin- siauhiap, maknanya lain daripada yang lain, maka kukira akan lebih baik jika melulu disumbangkan kepadanya seorang saja,” kata Siau-hong pula.
“Mengenai saling belajar ilmu silat, bilamana Sin- siauhiap sudi, tentu saja Wanpwe akan menyambutnya dengan segala senang hati.” “Pikiranmu betul juga,” kata Kheng Ciau. “Dengan demikian aku pun tidak memaksa lagi bila kau tidak mau menerima hadiahku. Kalau kau ketemu Bun- tayhiap guru dan murid hendaklah sampaikan salamku kepada mereka. Sekarang aku harus kembali, sampai bertemu pula.” Setelah berpisah, dengan perasaan limbung Siau-hong melanjutkan perjalanannya. Semakin jauh menanjak tanah pegunungan itu, tertampak awan tipis menyelimuti puncak-puncak gunung, rasanya Siau- hong sendiri seakan-akan berenang di lautan mega.
Akhirnya tertampak sebuah puncak menonjol di depan sana, tanpa terasa ia sudah sampai di puncak Ki-liu-hong yang dituju. Pikiran Kok Siau-hong masih kusut dan merasa bingung apa yang harus dibicarakan bilamana bertemu dengan Hi Giok-kun nanti.
◄Y► Pada saat yang sama ada seorang lain juga berpikiran kusut seperti halnya Kok Siau-hong, juga merasa bingung apa yang harus dibicarakan bila bertemu dengan Giok-kun. Tak usah diterangkan lagi, orang ini bukan lain daripada Sin Liong-sing adanya.
Sejak dia menemui Pek Tik di danau Se-ouw, sejak itu pikiran Sin Liong-sing lantas tidak tenteram. Dia telah menghantam jatuh Kok Siau-hong ke dalam danau, tapi Kok Siau-hong telah menjangkitkan damparan ombak dalam lubuk hatinya.
Sudah tentu ia belum tahu pemuda yang terpukul jatuh ke danau itu adalah Kok Siau-hong, tapi dia sudah tahu kalau Siau-hong orang keluarga Kok.
Sebab ketika dia melancarkan serangan maut tiba- tiba Pek Tik berseru padanya agar menahan serangannya. Kemudian Pek Tik menolong Siau-hong dari dalam danau, dengan heran dia tanya orang tua itu. Maka Pek Tik telah menerangkan bahwa ilmu pedang Siau-hong dikenalnya sebagai Jit-siu-kiam- hoat, padahal ilmu pedang itu adalah ilmu khas keluarga Kok di Yang-ciu, sedangkan anggota keluarga Kok besar kemungkinan bukanlah orang jahat menurut penilaian Pek Tik.
Lantaran buru-buru hendak pulang untuk lapor sang guru dan tidak sempat menunggu Kok Siau-hong sadar kembali, maka Sin Liong-sing bergegas mohon diri untuk berangkat. Tapi sesungguhnya dalam lubuk hati ia pun kuatir kalau-kalau pemuda ini benar-benar Kok Siau-hong adanya.
Ia tak berani berpikir lagi, tapi toh tak bisa tidak memikirkannya. “Jika betul Kok Siau-hong masih hidup di dunia ini, lalu bagaimana tindakanku? Apa kejadian ini mesti kuberitahukan kepada Giok-kun?” Perlu diketahui bahwa sudah ditetapkan tiga hari lagi adalah hari nikahnya dengan Hi Giok-kun, kalau saja pada saat itu Kok Siau-hong mendadak muncul, bukankah suasana gembira itu akan berubah menjadi geger? Seumpama tidak sampai terjadi kekacauan, sedikitnya juga akan menimbulkan suasana yang tidak enak.
Begitulah setiba kembali di rumah sang guru, sementara itu sudah lewat tengah malam. Giok-kun juga tinggal di situ, cuma di bagian belakang, saat itu si nona tentu sudah tidur.
Setelah Liong-sing melaporkan hasil pertemuannya dengan Pek Tik, maka Bun Yat-hoan telah memberi pujian padanya, walaupun pertemuan itu belum memuaskan, namun Bun Yat-hoan anggap perlu kesabaran untuk membujuk manusia seperti Han To- yu agar suka bersatu untuk melawan musuh dari luar.
“Kukira kau baru akan pulang besok, tak tersangka malam ini juga kau sudah kembali,” kata Bun Yat- hoan kemudian. “Apa perlu panggil Giok-kun agar dia ikut bergirang atas kedatanganmu ini.” “Sudahlah, biar besok pagi saja aku menemui dia,” kata Liong-sing. Soalnya dia sendiri belum tahu apa yang harus dibicarakan dengan Hi Giok-kun.
“Baiklah, toh tiga hari lagi kalian sudah akan menjadi suami-istri,” ujar Bun Yat-hoan dengan tertawa. “Pada hari bahagiamu aku pun hendak mengumumkan di depan para tamu, secara resmi kuangkat kau sebagai ahli warisku.”
↧
Pendekar Sejati - 139
↧