Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pendekar Sejati - 140

$
0
0

Cerita Silat | Pendekar Sejati | by Gan K.L | Pendekar Sejati | Cersil Sakti | Pendekar Sejati pdf

Hex Hall - Rachel Hawkins Cinta Sepanjang Amazon - Mira W Topeng Hitam Kelam - Ambhita Dyaningrum Cinta Dalam Diam - ucu supriadi Fear Street : Ciuman Maut

“Terima kasih, Suhu,” kata Sin Liong-sing. “Silakan Suhu mengaso, biar murid mohon diri saja.” Bun Yat-hoan rada heran melihat muridnya itu tidak mengunjuk rasa senang, maka ia pun tidak mengajaknya bicara lebih lama.
  “Baiklah, pergilah tidur kau!” katanya.
  Mana Sin Liong-sing dapat tidur, ia keluar lagi dari kamarnya dan berjalan-jalan di tepi lereng gunung.
  Tiba-tiba tertampak seorang mendekatinya dan menegur, “Sin-siauhiap, bilakah engkau pulang?” Sin Liong-sing terkejut, hatinya lantas tergerak pula, pikirnya, “Kenapa aku tidak mencari kabar padanya?” Kiranya orang ini adalah Tian It-goan, satu di antara kedua budak tua keluarga Han yang dahulu pernah mengantar Han Pwe-eng ke Yang-ciu itu.
  Sesudah peristiwa pengepungan Pek-hoa-kok diselesaikan, Tian It-goan dan kawannya, yaitu Liok Hong lantas menggabungkan diri dengan laskar rakyat setempat, tapi setelah penyerbuan pasukan Mongol, Tan It-goan terpencar dengan induk pasukannya dan sampai di Kang-lam serta mondok di tempat Bun Yat-hoan.
  Sebagai pemimpin dunia persilatan daerah Kang-lam, Bun Yat-hoan banyak mendapat dukungan dari laskar rakyat di berbagai tempat. Kini dia sedang melaksanakan dua urusan besar, di suatu pihak dia mewakili laskar rakyat untuk berunding dengan pihak kerajaan mengenai kerja sama melawan musuh dari luar, selain itu dia juga menyalurkan segenap pendirian laskar-laskar rakyat dan sedang bersiap mendirikan sebuah markas pusat laskar-laskar rakyat itu. Sebab itu dia perlu bantuan orang banyak, ada berpuluh orang tamu seperti Tian It-goan itu tinggal di tempatnya.
  Begitulah setelah memberi hormat, lalu Tian It-goan berkata pula, “Sin-siauhiap baru pulang dari daerah utara, apakah engkau mendengar sesuatu berita tentang Sio-cia kami?” “O, kabarnya nona Han sudah berada di Kim-keh-nia,” kata Sin Liong-sing. “Cuma ketika aku menemui Liu- lihiap, nona Han belum berada di sana. Tentang nona Han kalian itu, bukankah dia telah dijodohkan dengan keluarga Kok di Yang-ciu?” “Ya, Sio-cia kami memang telah dijodohkan dengan Kok Siau-hong, putera Kok Yak-hi di Yang-ciu, tapi aku benar-benar tidak ingin menyebut diri orang itu lagi.” “Sebab apa?” tanya Liong-sing.
  “Orang itu lupa budi dan ingkar janji, tidak ada harganya untuk disebut. Apalagi kabarnya dia sudah mati.” “Apa betul? Tapi ada seorang sahabatku pernah melihat seorang yang mirip dia?” Tian It-goan melengak. “Sungguhkah demikian?” ia menegas.
  Sin Liong-sing coba melukiskan wajah Siau-hong, lalu berkata, “Begitulah orang yang pernah dilihat sahabatku di Se-ouw beberapa hari yang lalu, sahabatku dahulu pernah melihat Kok Siau-hong, tapi tidak kenal betul, maka dia tak berani yakin orang yang dilihatnya itu adalah Kok Siau-hong. Dia memberitahukan padaku tentang hal itu, bila benar Kok Siau-hong berada di sini, sahabatku itu menganjurkan agar kita mengajaknya ikut berjuang dalam laskar rakyat kita.” Sin Liong-sing sengaja bercerita secara samar-samar dan tidak mengatakan dia sendiri yang bertemu dengan Kok Siau-hong, tapi sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, diam-diam Tian It-goan dapat menerka beberapa bagian, katanya kemudian, “Manusia banyak yang sama rupa, maka tidak perlu diherankan. Seumpama Kok Siau-hong benar masih hidup di dunia ini, manusia demikian juga tiada harganya untuk bersahabat dengan Sin-siauhiap.” Sebagai pemuda yang cerdik, dari ucapan Tian It-goan itu segera Sin Liong-sing dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang dipergoki itu memang betul Kok Siau-hong adanya. Tadinya ia merasa sangsi, tujuannya sekarang hanya mencari pembuktian saja, dan setelah mengetahui apa yang diduganya memang tidak meleset, hatinya menjadi tambah tertekan, seperti tertahan oleh potongan besi beratnya.
  Akhirnya ia pun bertanya, “Kabarnya geger soal pernikahan Kok Siau-hong dahulu itu disebabkan.....
  disebabkan oleh Giok-kun, apakah urusan ini.....” “Bocah she Kok itu tidak berbudi, dia telah mengingkari Sio-cia kami, sekali pun dia sudah mati juga aku masih benci padanya,” kata Tian It-goan.
  “Mungkin nona Hi pernah terjebak oleh mulutnya yang manis, tapi hendaklah Sin-siauhiap jangan kuatir, mereka tidak menimbulkan sesuatu yang gawat.
  Setelah peristiwa Pek-hoa-kok, mereka pun tidak bersama lagi. Kini urusan sudah berubah dan waktu berlalu, kukira Sin-siauhiap juga tidak perlu mengungkit kejadian itu dengan nona Hi.” Setelah mendapatkan keterangan yang diharapkan serta mengetahui sikap Tian It-goan ternyata berdiri di pihaknya sini, hal ini sungguh hasil yang tak terduga sebelumnya, maka Sin Liong-sing lantas mengucapkan terima kasih dan berpisah dengan Tian It-goan untuk pergi tidur.
  Namun hati Liong-sing tetap risau dan sukar mengambil keputusan, apakah pengalamannya bertemu dengan Kok Siau-hong itu harus diberitahukan kepada Hi Giok-kun atau tidak. Sungguh persoalan yang serba sulit baginya.
  Pada saat yang sama, hati Giok-kun ternyata juga sama kusutnya seperti perasaan Sin Liong-sing. Waktu pernikahan sudah semakin dekat, selama beberapa malam terakhir ini Giok-kun tidak pernah tidur dengan nyenyak, malam ini kembali dia tak bisa tidur. Ia bersandar pada jendela sambil melamun. Terkenang masa lalu, ketika saling sumpah setia dan memadu cinta dengan Kok Siau-hong, akan tetapi semuanya itu kini tinggal kenangan belaka.
  “Sungguh tidak nyana bahwa Siau-hong akan meninggalkan aku begini saja, andaikan dia sekarang masih hidup ya, kalau masih hidup.....” terpikir sampai di sini, mendadak hati Giok-kun tergetar, teringat olehnya, “Ya, bagaimana jikalau benar Siau-hong masih hidup di dunia ini?” Berita kematian Kok Siau-hong itu didengarnya dari orang lain, walaupun benar ia sendiri pernah mengunjungi tempat kecelakaan Kok Siau-hong itu, kala itu seorang anggota Kay-pang yang belum menghembuskan napas penghabisan sempat memberitahukan padanya bahwa Kok Siau-hong benar telah mati oleh seorang perwira Mongol, tapi Giok-kun sendiri juga sudah memeriksa dengan teliti mayat-mayat yang bergelimpangan di medan pertempuran, namun tidak ditemukan jenazah Kok Siau-hong. Kini mendadak hatinya tergetar, mau tak mau ia menjadi sangsi sendiri kepada kejadian itu.
  “Apakah mungkin anggota Kay-pang itu memberi kabar ngawur? Kiranya tidak bisa!” begitulah ia coba menghibur diri sendiri. Tapi lantas terpikir pula, “Ai, bilamana Siau-hong benar masih hidup, lalu bagaimana dengan diriku?” Begitulah pikirannya bergolak terus, tanpa terasa fajar sudah menyingsing, semalam suntuk ia tidak tidur, tahu-tahu hari sudah pagi.
  Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu perlahan. Giok-kun seperti terjaga dari mimpi, cepat ia bertanya, “Siapa itu?” “Aku!” terdengar suara jawaban yang sudah sangat dikenalnya.
  Kejut dan girang Giok-kun, dengan rasa kikuk pula ia membuka pintu kamar. Terlihatlah Sin Liong-sing berdiri di situ dengan wajah lesu dan rada pucat.
  Nyata semalam Sin Liong-sing juga tidak dapat tidur, maka begitu pagi tiba segera ia datang ke kamar Hi Giok-kun. Tak disangkanya bahwa si nona juga semalam tak dapat tidur.
  “Bilakah kau pulang?” tanya Giok-kun dengan mengulum senyum. “Eh, air mukamu tidak begitu baik, tentunya kau sangat lelah dalam perjalanan.” “Pulang semalam,” kata Sin Liong-sing. “Lantaran tahu kau sudah tidur, maka aku tidak ingin mengagetkan kau, baru sekarang aku menjenguk kau.” Senang sekali hati Giok-kun karena Sin Liong-sing pandai mengembannya, dengan tertawa ia bertanya pula, “Pagi sekali kau sudah mencari aku, apakah ada urusan penting?” “Sehari tidak bertemu kau, hatiku merasa tidak enak, memangnya aku tidak boleh menjenguk kau jika tiada urusan?” ujar Sin Liong-sing dengan tertawa.
  “Ah, bilakah kau pintar bermulut manis seperti ini?”omel Giok-kun dengan tersenyum manis.
  “Tapi bicara sesungguhnya, aku memang ingin menyampaikan suatu berita gembira kepadamu,” sambung Liong-sing pula.
  “O, ada berita gembira? Tentunya tugasmu menghubungi Han To-yu telah berhasil dengan baik bukan?” “Bukan soal ini. Yang kumaksudkan adalah urusan pribadi, urusan kita berdua.” “Sudahlah, jangan jual mahal lagi, ceritakanlah!” kata Giok-kun.
  Liong-sing pikir persoalan Kok Siau-hong sebaiknya dibicarakan lain kali saja, maka kata-kata yang sudah disiapkan lantas ditelan kembali, katanya, “Suhu telah memberitahukan padaku bahwa pada hari bahagia kita nanti, di hadapan para tamu beliau akan mengumumkan pengangkatanku sebagai ahli waris beliau.” “Wah, selamat, selamat! Jika begitu dengan sendirinya pula kelak kau akan menggantikan gurumu sebagai Beng-cu daerah Kang-lam. Ya, ini memang berita yang menggembirakan. Tapi kan tiada hubungannya dengan diriku?” “Mengapa tidak? Jika aku menjadi Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, kau kan juga nyonya Beng-cu jadinya?” “Cis, masakah aku punya rezeki sebesar itu?” omel Giok-kun dengan malu-malu. “Bicara yang benar saja, jangan kau sembarangan mengoceh.” Kabar gembira itu benar-benar membuat hati Giok- kun sangat senang, soalnya dia memang tinggi hati dan suka unggul daripada yang lain. Bilamana dia betul dapat menjadi nyonya Beng-cu, maka tidak sia- sia kiranya hidup ini.
  Melihat si nona termenung-menung, segera Sin Liong- sing bertanya, “Kenapa kau melamun, memangnya ada sesuatu yang kau pikirkan?” “O, tidak,” jawab Giok-kun. “Ah, air mukamu tampak lesu, agaknya engkau sendiri yang menanggung sesuatu pikiran?” “Ya, memang benar, aku sedang merisaukan sesuatu,” kata Liong-sing. “Bilamana kukatakan padamu, hendaklah kau jangan marah padaku.” Hati Giok-kun tergetar, ia menjadi ragu-ragu entah apa yang akan dikatakan pemuda itu. Dengan suara perlahan kemudian ia menjawab, “Kita sudah hampir menjadi suami-istri resmi, ada persoalan apakah yang tidak dapat dibicarakan antara suami dan istri, masakah aku akan marah padamu?” “Ya, kita sudah hampir menjadi suami-istri, tinggal dua hari lagi,” kata Sin Liong-sing dengan menghela napas.
  “Tapi aku menjadi rada kuatir.” Giok-kun mengangkat kepalanya dan menatap Sin Liong-sing dengan rada heran, tanyanya, “Apa yang kau kuatirkan?” “Ku kuatir terjadi sesuatu halangan apa-apa,” kata Liong-sing.
  “Halangan? Darimana datangnya halangan yang kau maksud?” Giok-kun menegas.
  “Maafkan jika aku tanya hal ini padamu secara mendadak,” kata Liong-sing. “Misalnya sekarang kau bertemu dengan Kok Siau-hong, apakah kau akan menyesal telah bertunangan dengan aku?” Kembali hati Giok-kun tergetar, mukanya menjadi pucat. Sejenak kemudian barulah ia menjawab dengan tertawa ewa, “Mana bisa jadi, dia sudah meninggal, memangnya aku dapat melihat dia lagi?” “Aku cuma pakai perumpamaan,” ujar Liong-sing.
  “Umpamakan sekarang dia tidak meninggal, dengan begitu kau menjadi dapat berkumpul kembali dengan dia.” Jantung Giok-kun memukul keras, katanya kemudian, “Liong-sing, engkau tidak sakit bukan? Mengapa kau bicara ngawur tak keruan?” “Aku bicara betul-betul. Jika bukan perumpamaan belaka, tapi dia benar-benar masih hidup di dunia ini? Coba katakan, kau lebih suka padanya atau tetap suka padaku?” Mendadak air mata Giok-kun berlinang-linang, katanya, “Liong-sing, janganlah kau mendesak padaku! Kau berkata demikian, apakah karena kau telah..... telah melihat dia?” “Aku pun tidak tahu persis apakah dia atau bukan? Tapi aku memang telah melihat satu orang yang mahir memainkan Jit-siu-kiam-hoat,” lalu Sin Liong- sing menceritakan perkelahiannya dengan Kok Siau- hong di Se-ouw itu, kemudian ia menyambung pula, “Sudah tentu, aku berharap orang itu bukanlah dia adanya, tapi kalau benar dia, aku pun bergirang bagimu. Asalkan kau dapat bahagia, apa pun aku bersedia melakukannya bagimu. Mempelai lelaki besok lusa boleh juga kuserahkan padanya!”


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>