Cerita Silat | Pendekar Sejati | by Gan K.L | Pendekar Sejati | Cersil Sakti | Pendekar Sejati pdf
Solandra - Mira W Pendekar Sejati II - Gan KL Hunger Game 2 - Tersulut (Catching Fire) Topeng Sang Putri - Astrella Tarian Liar Naga Sakti III - Marshall
18.70. Penyelesaian Bijak Cinta Segitiga Tanpa terasa Giok-kun menjulurkan tangan untuk menutup mulut Sin Liong-sing, serunya dengan suara tertahan dan parau, “Jangan..... jangan kau bicara ngawur!” “Memangnya kau kira bukan dia?” ujar Liong-sing.
“Orang yang mahir memainkan Jit-siu-kiam-hoat tidak cuma dia seorang saja, anak murid Yim Thian-ngo juga banyak yang dapat,” ujar Giok-kun. Padahal ucapannya ini hanya untuk menghibur diri sendiri saja.
Lantaran hatinya sudah cemas, maka haki katnya dia tidak berani lagi menanyakan bagaimana wajah orang itu kepada Sin Liong-sing.
Maka perasaan Sin Liong-sing yang rada tegang tadi menjadi agak tenang, ia pikir tampaknya aku sudah menggantikan bocah she Kok itu di dalam lubuk hati Giok-kun, sekali pun dia nanti sampai di situ juga tidak perlu kutakuti lagi. Maka dengan tertawa ia berkata pula, “Tapi aku tetap rada kuatir, jika betul dia adanya, aku menjadi bingung apa yang harus kulakukan. Memang, aku bersedia berkorban bagimu, tapi kalau aku kehilangan kau, maka benar-benar akan menyesal selama hidup. Sekali pun aku diangkat menjadi Beng-cu juga tiada artinya hidup ini bagiku.” Sekali lagi Giok-kun mendekap mulut Sin Liong-sing, katanya, “Jangan kau omong lagi, urusan yang sudah lalu biarlah kita lupakan saja dan tak perlu diungkit pula.” Tidak kepalang lega hati Sin Liong-sing, katanya, “Ya, ya, kita jangan bicara hal-hal yang tidak enak, besok lusa adalah hari bahagia kita, marilah kita bicara hal- hal yang menyenangkan saja.” Giok-kun menguap kantuk, katanya kemudian, “Semalam kau tidak tidur, lebih baik engkau pergi mengaso saja.” “Ya, kau pun kurang tidur, perlu istirahat,” ujar Liong- sing.
Setelah Sin Liong-sin pergi, hati Giok-kun menjadi kusut, mana dia dapat mengaso dengan tenang? Ia coba membalik-balik kitab, tapi sedikit pun tak dapat membaca. Ia taruh kitabnya dan keluar dari kamar, tanpa tujuan tertentu ia mengelilingi lereng bukit itu dengan pikiran bimbang. Banyak kejadian di masa lampau terbayang kembali dalam benaknya. Meski dia tidak ingin mengingat kembali hal-hal di waktu lalu, tapi mau tak mau pikirannya tetap menjurus ke sana. Ya, betapa pun Kok Siau-hong adalah orang yang pernah bersumpah setia dengan dia.
“Selamat pagi, nona Hi!” tiba-tiba seorang tua muncul dari balik lereng dan menyapa padanya.
“Selamat pagi, Tian-toasiok!” jawab Giok-kun ketika mengenali penegur itu adalah Tian It-goan.
Tentu saja Hi Giok-kun tidak tahu bahwa Tian It-goan juga tidak enak tidur semalam suntuk. Sejak dia mendengar penuturan Sin Liong-sing„ ia menduga Kok Siau-hong pasti akan menyusul ke sini dalam waktu sehari dua hari ini. Sebab itu Tian It-goan ambil keputusan akan menunggu kedatangan Kok Siau- hong di ujung jalanan. Tak terduga yang dipergoki lebih dulu bukanlah Kok Siau-hong melainkan Hi Giok- kun adanya.
Maka dengan tertawa Tian It-goan berkata pula, “Nona Hi, bahagialah kau! Aku belum mengucapkan selamat padamu.” Wajah Giok-kun menjadi merah, katanya, “Tian- toasiok, bagaimana dengan Sio-cia kalian, apakah sudah didapatkan beritanya?” “Kabarnya Sio-cia kami sudah sampai di Keh-kim-nia, berada di tempat Liu-lihiap sana,” kata Tian It-goan.
“O, begitukah?” kata Giok-kun. Lalu ia menghela napas dan menyambung, “Aku dan Sio-ciamu seperti kakak beradik saja, cuma sayang dia tidak berada di sini, entah kapan lagi baru dapat kujumpa lagi dengan dia. Tian-toasiok, apakah kau masih menyesali diriku?” “Peristiwa Pek-hoa-kok itu aku pun berbuat terlalu kasar, kalau nona Hi tidak menyesali diriku sudah baik, mana aku berani menyesali nona Hi, yang harus disesalkan justru adalah Kok Siau-hong itu.” “Padahal dia juga tak dapat disalahkan,” ujar Giok- kun. “Waktu itu, ai, mungkin sudah suratan nasib, rasanya aku pun tidak ingin membicarakannya lagi.” “Ya, konon bocah she Kok itu sudah mati, orang mati, maka aku pun tidak perlu menyesali dia lagi. Nona Hi kiranya juga tidak perlu mengenangkan dia bukan?” “Tidak perlu menyebut dia pula,” ujar Giok-kun dengan wajah merah.
“Ya, ya. Tapi, ai, sayang.....” “Sayang apa?” Giok-kun menegas.
“Pada hari bahagia nona Hi nanti, sungguh sayang Sio-cia kami tidak dapat ikut hadir memberi selamat padamu!” Tiba-tiba hati Giok-kun tergerak, katanya, “Tian- toasiok, bicara tentang Sio-cia kalian, aku menjadi ingin minta tolong padamu!” “Nona tak perlu sungkan, silakan bicara saja,” jawab Tian It-goan.
“Bagiku kesempatan bertemu dengan Sio-ciamu rasanya sedikit sekali, karena kau sudah tahu dimana dia sekarang, bila kau nanti menemui dia, sudilah kau menyampaikan sesuatu barang titipanku kepadanya.” ~ Habis berkata, Giok-kun lantas mengeluarkan sepotong batu yade (Giok) warna hijau gemilang dan disodorkan kepada Tian It-goan.
Setelah menerimanya, Tian It-goan melihat batu Giok itu terukir sangat indah dengan seekor naga dan seekor burung Hong yang seperti hidup. Ia menjadi rada bingung melihat benda sebagus itu, katanya dengan tertawa, “Jika Sio-cia kami mengetahui akan hari bahagia nona, seharusnya beliau yang memberi kado padamu, mengapa berbalik engkau kirim kado baginya?” “Harap engkau menyampaikan benda ini sampai di tangan Sio-ciamu, ini adalah sedikit tanda mata dariku, dia tentu akan paham maksudku,” kata Giok- kun. “Baiklah, sekarang aku akan pulang saja.” Setelah Giok-kun pergi, Tian It-goan coba mengamat- amati Giok berukir indah itu, ia pikir naga dan Hong yang terukir itu adalah simbol bahagia bagi kedua mempelai, sayang perjodohan Sio-cia telah buyar menjadi kenangan belaka, mungkin beliau tidak punya rezeki untuk menikmati kebahagiaannya.
Tiba-tiba timbul perasaan curiga dalam benak orang tua itu, apa maksud tujuan Hi Giok-kun memberi kado ini kepada Sio-cia kami? Sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, setelah berpikir sejenak, samar-samar dapatlah Tian It-goan menerka maksud tujuan Hi Giok-kun, hanya entah benar atau tidak.
Selagi termangu-mangu sendirian, tiba-tiba dari balik lereng sana muncul seorang pemuda, siapa lagi kalau bukan Kok Siau-hong yang sedang dinanti-nantikan itu? Sepanjang jalan Kok Siau-hong juga diliputi perasaan bimbang, bolak-balik soal yang timbul dalam benaknya adalah, “Apa yang harus kulakukan bila bertemu dengan Giok-kun?” ~ Siapa tahu si nona belum ditemuinya, lebih dulu Tian It-goan sudah kepergok.
Melihat orang tua itu, Siau-hong tertegun, tegurnya kemudian, “Tian-toasiok, baik-baikkah engkau? Bilakah engkau sampai di sini?” “Tidak baik,” jawab Tian It-goan ketus. “Keluarga majikanku berantakan, aku sendiri terlunta-lunta tiada tempat tinggal dan cuma minta pertolongan kepada orang, apa yang dapat dikatakan baik.” Kok Siau-hong menjadi kikuk. “Ah, tampaknya Tian- toasiok masih marah padaku?” katanya dengan menyeringai.
“Mana aku berani marah pada Kok-siauhiap?” jawab Tian It-goan. “Numpang tanya, untuk keperluan apa kau datang ke sini?” “Aku kemari untuk menjumpai Bun-tayhiap dan Sin- siauhiap,” kata Siau-hong.
“Kau hendak menemui Sin Liong-sing?” Tian It-goan menegas dengan menarik muka. “Untuk apa kau hendak menemui dia?” “Ada suatu urusan kecil perlu kutemui dia,” jawab Siau-hong.
Tian It-goan menjadi gusar, katanya, “Kok Siau-hong, kuanjurkan kau, sebaiknya kau jangan cari gara-gara lagi!” “Bagaimana bisa dikatakan cari gara-gara? Ah, Tian- toasiok, rupanya engkau salah paham.....” “Aku tidak salah paham,” potong Tian It-goan.
“Memangnya kau sangka aku tidak tahu? Hm, bicara terus terang saja kau. Bukankah kedatanganmu ini berhubungan dengan akan menikahnya Hi Giok-kan dan Sin Liong-sing?” “Ya, aku pun tahu mereka hampir menikah, cuma.....” “Cuma apa? Hm, kau telah membikin susah Sio-cia kami, apakah belum cukup dan kini kau hendak membikin celaka Hi-siocia pula?” “Tian-toasiok, hendaklah kau dengarkan dulu keteranganku. Kedatanganku ini untuk menemui Bun- tayhiap adalah atas perintah Lok-lim-beng-cu Liu- lihiap.” “O, jadi kau datang dari Kim-keh-hnia?” Tian It-goan menegas dengan tertegun.
“Ya, Sio-cia kalian saat ini juga berada di sana.” Air muka Tian It-goan berubah lebih ramah lagi, tanyanya pula, “Jadi kalian berada bersama pula?” “Kami bersama datang ke Kim-keh-nia, kini Sio-cia kalian sudah memaafkan aku, semoga Tian-toasiok juga jangan menyesali diriku lagi.” “Orang muda dapat mengoreksi kesalahan sendiri adalah hal yang baik,” ujar Tian It-goan. “Tapi sebelum aku bertemu dengan Sio-cia kami, betapa pun aku belum dapat percaya penuh kepada kata-katamu.” “Soal ini mudah diselidiki, buat apa aku mendustai kau?” “Baiklah, jika begitu kau masih akan kembali ke Kim- keh-nia bukan?” “Sudah tentu,” jawab Siau-hong dengan bingung.
“Nah, kalau begitu hendaklah kau membawa sesuatu benda untuk Sio-cia kami bila nanti kau pulang ke sana,” kata Tian It-goan sambil menyodorkan batu Giok titipan Hi Giok-kun itu.
Setelah menerima batu yade itu, Kok Siau-hong terkejut, air mukanya berubah hebat, katanya, “Tian- toasiok, darimana kau mendapatkan Giok berukir ini?” “Bukan kudapatkan dengan mencuri, juga bukan hasil rampasan, pula bukan asal milik majikan,” kata Tian It-goan hambar. “Melihat caramu bertanya, agaknya kau sudah kenal asal-usul benda ini?” “Ya, aku cukup kenal asal-usul batu Giok ini, tapi aku tidak paham mengapa kau bisa mendapatkannya? Apakah engkau dapat memberi keterangan padaku?” “Hi Giok-kun yang memberikannya padaku,” kata Tian It-goan dengan lambat dan jelas. “Dia minta aku menyampaikan benda ini kepada Sio-cia kami, sekarang kau datang, maka aku pun titip saja kepadamu.” Sesungguhnya Kok Siau-hong sudah tak dapat menyembunyikan rasa deritanya, namun dengan tenang dia masih menyimpan baik batu Giok itu, lalu berkata, “O, kiranya demikian halnya, pantas aku merasa sudah pernah melihat Giok ini, kiranya adalah milik Giok-kun. Ya, aku pasti akan menyampaikannya kepada Pwe-eng. Boleh kau beritahukan kepada Giok- kun bahwa hal ini pasti akan kukerjakan dengan baik, suruh dia jangan kuatir.” Kiranya batu Giok berukir itu disebut “Liong-hong- bwe” (perjodohan naga dan Hong), hakikatnya batu permata itu adalah benda pusaka keluarga Kok, dahulu oleh Kok Siau-hong diberikan kepada Hi Giok- kun sebagai tanda mengikat janji. Sungguh mimpi pun dia tidak menduga bahwa benda mestika itu sekarang dapat kembali ke tangannya sendiri, atau lebih tepat dikatakan bahwa Hi Giok-kun telah menyerahkan kembali benda tanda mengikat janji itu kepadanya dan minta dia memberikannya kepada Han Pwe-eng.
Kok Siau-hong bukan orang bodoh, dengan sendirinya ia paham maksud Hi Giok-kun bahwa si nona sudah bertekad diperistri oleh Sin Liong-sing, sudah bertekad memutuskan hubungan dengan dia, di samping itu dengan rasa pedih bertekad pula akan merapatkan kembali hubungan Han Pwe-eng dengan dia seperti masa yang lampau.
Maka Tian It-goan berkata pula, “Jika begitu, apakah kau masih akan menemui Bun-tayhiap?” “Ya, demi tugas yang kuterima dari Liu-lihiap, aku harus menemui Bun-tayhiap.” “Kuharap kau segera berangkat saja setelah menemui Bun-tayhiap, tentunya tidak perlu menemui pula Sin Liong-sing bukan?” “Tidak, aku juga harus menemui dia.” “Untuk apa lagi kau berbuat demikian?” “Seperti kataku tadi, seorang teman juga minta aku menyampaikan sesuatu barang untuk dia.” “Sin Liong-sing adalah murid pewaris Bun-tayhiap, bukankah barang itu dapat diserahkan saja kepada gurunya itu?” Kok Siau-hong berpikir sejenak, kemudian berkata, “Ya, boleh juga. Nah, silakan kau mengantar aku menemui beliau.” “Kukira kau boleh tunggu saja di sini, akan kulihat dulu apakah Bun-tayhiap sudah bangun tidur belum, nanti kulaporkan beliau tentang kedatanganmu.” Nyata Tian It-goan tidak ingin Kok Siau-hong bertemu dengan Sin Liong-sing, jika dia membawanya masuk ke rumah, besar kemungkinan akan dipergoki Sin Liong-sing, maka dia akan mengatur keamanan dulu sebelum membawa Kok Siau-hong menemui Bun Yat- hoan.
Sudah tentu Kok Siau-hong tak dapat membantah.
Tapi dalam hati ia tertawa kecut, sebenarnya kedatangannya ini mengemban tugas penting, namun jadinya seperti punya tugas rahasia dan harus main sembunyi-sembunyi.
↧
Pendekar Sejati - 141
↧