Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pendekar Sejati - 143

$
0
0

Cerita Silat | Pendekar Sejati | by Gan K.L | Pendekar Sejati | Cersil Sakti | Pendekar Sejati pdf

Solandra - Mira W Pendekar Sejati II - Gan KL Hunger Game 2 - Tersulut (Catching Fire) Topeng Sang Putri - Astrella Tarian Liar Naga Sakti III - Marshall

18.71. Janji Masa Lalu Tuan Muda Kembali hati Giok-kun berdebar, sahutnya perlahan, “Urusan apa?” “Aku dan Pwe-eng merencanakan menikah tahun depan, sekali ini aku menyesal tak sempat menghadiri pesta kalian, tahun depan hendaklah kalian suami-istri sudi hadir pada pernikahan kami,” kata Siau-hong.
  Padahal antara Siau-hong dan Han Pwe-eng sama sekali belum berbicara akan menyambung ikatan jodoh di waktu yang lampau meski keduanya sudah berbaikan kembali. Siau-hong sengaja berdusta, tujuannya demi untuk kepentingan Giok-kun agar si nona dapat tenteram meneruskan pernikahannya dengan Sin Liong-sing.
  Begitulah Giok-kun menjadi kejut dan girang, untuk pertama kali wajahnya mengunjuk rasa gembira, katanya, “Itulah menjadi harapanku, enci Pwe-eng memang jauh lebih baik daripada diriku, selamatlah padamu!” Tanpa terasa ia mengucapkan kandungan lubuk hatinya, setelah berkata barulah ia menyadari salah omong, ia coba melirik Sin Liong-sing, pemuda itu seperti tidak memperhatikan apa yang diucapkannya tadi, tapi malah menanggapi undangan Siau-hong, katanya, “Baik, tahun depan bila menerima kartu undanganmu, kami pasti akan hadir!” Setelah bergirang tadi, entah mengapa tiba-tiba timbul pula rasa kecut dalam hati Giok-kun, pikirnya, “Hatinya ternyata terlebih cepat berubah daripada diriku, semalam aku masih terkenang padanya, tapi dia sendiri ternyata sudah melupakan semua sumpah setianya padaku.” Pada umumnya manusia memang lebih suka mencela kesalahan orang lain dan lupa menyalahkan diri sendiri, demikianlah Hi Giok-kun sekarang.
  Begitulah ketiga orang sama-sama menanggung pikiran masing-masing, sesaat itu keadaan menjadi serba kikuk, syukur pada waktu itu Tian It-goan telah muncul.
  Ketika melihat ketiga muda-mudi itu berdiri di situ, tanpa terasa Tian It-goan juga terkejut, katanya dengan mengada-ada, “O, kiranya Sin-siauhiap dan Kok-siangkong sebelumnya sudah saling kenal?” “Benar, kemarin dulu kami baru berkenalan,” sahut Siau-hong dengan tersenyum.
  “Ha, ha, bagus sekali kalau begitu,” kata Tian It-goan.
  “Sudah kulaporkan kepada Bun-tayhiap tentang kedatanganmu, maka silakan Sin-siauhiap suka membawa tamu untuk menemui gurumu.” Segera Sin Liong-sing mengiakan. Tapi Giok-kun lantas berkata, “Tian-toasiok, aku kurang enak badan, dapatkah kau mengiringi aku pulang?” “Baiklah,” kata Tian It-goan. Dalam hati ia memuji kebijaksanaan Giok-kun yang sengaja hendak menghindari Kok Siau-hong, ia pun memuji Sin Liong- sing yang berjiwa besar dan luhur budi menghadapi persoalan pelik ini. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa apa yang terjadi sesungguhnya sama sekali berlainan daripada apa yang dibayangkan.
  Ketika Bun Yat-hoan melihat Kok Siau-hong, dia sangat gembira dan berkata, “Sudah lama kukagumi nama ayahmu, cuma sayang kami tidak sempat berkenalan. Kini dapat bertemu dengan puteranya, sedikitnya dapat mengurangi kekecewaanku itu.
  Sudah lama aku pun mendengar nama harum Kok- seheng sebagai jago muda yang baru. Selama beberapa tahun terakhir ini Liong-sing banyak membantu pekerjaanku, para Cianpwe dunia persilatan juga menilai cukup padanya, usia kalian sebaya, selanjutnya kalian harus bergaul lebih rapat.” “Terima kasih atas pujian Beng-cu, mana Wanpwe dapat dibandingkan muridmu,” jawab Siau-hong.
  Sedangkan Sin Liong-sing telah mengiakan dengan sangat hormat, katanya, “Janganlah Kok-heng berlaku sungkan, selanjutnya sangat diharapkan petunjukmu.” “Sudahlah, sekarang kita dengarkan saja kabar yang dibawa Kok-seheng dari utara,” kata Bun Yat-hoan dengan tertawa.
  Lalu Kok Siau-hong menguraikan situasi di daerah utara serta gagasan Liu Jing-yau menghadapi musuh.
  Setelah merenung sejenak, kemudian Bun Yat-hoan berkata, “Menurut pandanganku, serangan Mongol kepada negeri Kim mungkin cuma siasat saja, tapi diam-diam pihak Mongol akan melancarkan serbuan ke selatan. Betapa pun juga kita harus mengutamakan keselamatan negeri Song kita bukan?” “Benar, cuma soalnya menyangkut urusan negara, Wanpwe tidak berani sembarangan mengambil keputusan, biarlah akan kusampaikan saja buah pikiran Bun-tayhiap kepada Liu Beng-cu,” kata Siau- hong.
  “Tapi kukira kau dapat tinggal sementara di sini, saat ini di sini terlebih memerlukan tenaga, biarlah kukirim orang untuk menghubungi Liu-lihiap saja,” ujar Bun Yat-hoan dengan tertawa .
  “Banyak terima kasih atas maksud baik Bun-tayhiap, tapi Wanpwe benar-benar tak dapat tinggal lebih lama di sini, Liu Beng-cu menugaskan Wanpwe pula ke Thay-ouw.” “Ada suatu hal mungkin kau belum tahu,” kata Bun Yat-hoan dengan tertawa. “Muridku ini besok lusa akan menikah dengan nona Hi dari keluarga Hi di Pek-hoa-kok, kalau Ong Ce-cu dari Thay-ouw tidak dapat hadir sendiri tentu juga akan mengirim utusan.
  Betapa pun kau harus tinggal sementara sampai selesainya perjamuan sederhana kami.” “Ya, mungkin Ong Ce-cu takkan hadir sendiri, padahal Liu Beng-cu mengharuskan aku bicara sendiri dengan Ong Ce-cu,” kata Siau-hong. Padahal Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau tidak pernah memberi pesan begitu padanya, soalnya dia tiada alasan lain, terpaksa dia berdusta pula.
  Tiba-tiba hati Bun Yat-hoan tergerak, ia merasa pada situasi demikian memang urusan negara jauh lebih penting daripada urusan pribadi. Maka ia tidak ngotot lagi, katanya, “Baiklah, jika begitu aku pun tidak menahan kau di sini. Setelah tugasmu selesai hendaklah kau suka datang lagi ke tempatku ini. Jika kau tidak datang, tentu aku sendiri akan minta kepada Liu-lihiap.” “Wanpwe sendiri sangat mengharapkan dapat setiap saat minta petunjuk kepada Bun-tayhiap,” kata Siau- hong sambil mohon diri.
  Lalu Bun Yat-hoan menyuruh Sin Liong-sing mengantar tamu.
  Sampai di bawah puncak gunung, Sin Liong-sing berkata, “Kok-heng, dari berkelahi kita jadi berkenalan, kedatanganmu ini telah banyak membantu kesukaranku, sungguh aku sangat berterima kasih padamu.” “Banyak membantu” kata-kata ini bernada ganda, dapat diartikan terima kasih karena Siau-hong telah membawa kado titipan Kheng Ciau itu, dapat pula diartikan membantu dalam urusan lain.
  Tapi Siau-hong pura-pura tidak paham, sahutnya, “Ah, Sin-heng terlalu banyak memuji padaku. Silakan Sin- heng pulang saja, semoga kalian suami-istri hidup bahagia sampai tua.” Setelah berpisah dengan Sin Liong-sing, dengan perasaan bimbang Kok Siau-hong melanjutkan perjalanan sendirian di lereng pegunungan itu. Tidak lama tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan muda sedang bicara di depan sana, “Enci Bwe, lebih baik kita pulang saja dan jangan cari susah sendiri.” Terdengar suara seorang perempuan lain menjawab, “Tapi aku ingin tahu berita ini sungguh-sungguh atau tidak.” “Sungguh-sungguh bagaimana, kalau tidak, lantas bagaimana pula?” ujar perempuan muda pertama tadi.
  Perempuan muda kedua itu menghela napas, katanya, “Entahlah, aku pun tak tahu, cuma betapa pun aku ingin menemuinya sekali lagi.” Setelah mendengarkan lebih cermat, akhirnya Kok Siau-hong tahu bahwa kedua perempuan muda yang sedang bicara itu adalah kedua nona yang mendayung perahu di Se-ouw itu, satu di antaranya adalah Si Bwe, pelayan Sin Cap-si-koh. Mau tak mau Kok Siau-hong gegetun juga bagi pelayan jelita itu, pikirnya, “Menurut cerita Pwe-eng, katanya nona ini meski menjadi pelayan, tapi orangnya sangat pintar dan cerdik, kepandaian silatnya juga lumayan, cuma sayang cintanya telah keliru dicurahkan pada orang.” Dalam pada itu kedua perempuan muda itu telah muncul dari balik lereng sana, ketika melihat Kok Siau-hong, mereka pun tertegun sejenak. Dengan suara lirih Si Bwe berkata kepada kawannya, “Liong- cici, apakah kau masih kenal dia, tampaknya seperti.....” “Seperti bagaimana, memang betul dia inilah pemuda bangor yang mengintip kita di tepi danau kemarin dulu itu,” jawab gadis she Liong itu dengan tertawa.
  Memangnya Si Bwe sedang mendongkol dan tak terlampiaskan, maka segera ia papaki Kok Siau-hong serta kontan menamparnya sambil membentak, “Mau apa memandangi kami saja, dasar pemuda bajul, kau harus dihajar adat agar tahu rasa sedikit.” Sudah tentu Kok Siau-hong tidak mudah diserang, sedikit mengegos saja tamparan Si Bwe lantas terhindarkan. Namun angin pukulan yang menyambar lewat mukanya itu terasa juga panas pedas seperti tersayat oleh pisau. Diam-diam Siau-hong mengakui kepandaian Si Bwe, pantas dahulu Han Pwe-eng pernah memujinya.
  Si Bwe juga terkesiap karena serangannya mengenai tempat kosong, tahulah dia bahwa pihak lawan bukanlah orang sembarangan. Baru saja ia hendak melolos pedang untuk menyerang lebih lanjut, tiba- tiba Kok Siau-hong telah menegurnya dengan tertawa, “Kau tentunya enci Si Bwe bukan? Aku sedang hendak mencari kau!” Tentu saja Si Bwe tercengang, jawabnya, “Darimana kau tahu namaku, siapa pula kau ini?” “Aku adalah sahabat nona Hi dan nona Han, bukankah kau pernah titip sesuatu barang kepada nona Han untuk disampaikan kepada seseorang?” “Nona Hi siapa? Aha, ingatlah aku, kau maksudkan enci Si Khim bukan?” “Benar, Si Khim itu adalah puteri keluarga Hi di Pek- hoa-kok, demi untuk menolong nona Han, dia sengaja merendahkan diri menjadi budak di rumah keluarga Sin. Ayah nona Han itu adalah Han Tay-wi, Han Lo- enghiong yang tersohor di Lok-yang, tentunya kau pernah mendengar juga bukan?” Mendengar apa yang dikatakan Kok Siau-hong memang benar, segera Si Bwe simpan kembali pedangnya dan berkata, “Jika begitu engkau tentunya Kok-siauhiap dari Yang-ciu?” “Ya, aku adalah Kok Siau-hong dari Yang-ciu,” jawab Siau-hong.
  Mendadak air muka Si Bwe berubah merah, katanya, “Kiranya nona Han telah memberitahukan padamu tentang barang itu.....” “Barang titipanmu itu berada padaku sekarang,” tutur Siau-hong. “Mestinya nona Han minta perantaraanku untuk menyampaikan kepada yang berhak menerima, tapi lantaran..... lantaran aku..... Ai, aku gagal melaksanakannya, maka biar sekarang kuserahkan kembali saja kepadamu.” ~ Lalu ia pun mengeluarkan sebuah dompet kain bersulam sepasang merpati yang indah.
  Dompet bersulam itu adalah buah tangan Si Bwe dan hendak diberikan kepada Sin Liong-sing, di dalam dompet berisi seikat kecil potongan rambut Si Bwe sendiri. Tempo hari Han Pwe-eng bersama ayahnya datang ke tempat Sin Cap-si-koh, ketika Han Pwe-eng berangkat pergi, Sin Cap-si-koh suruh Si Bwe mengantar si nona. Karena tahu Pwe-eng adalah sahabat baik Hi Giok-kun, pula tahu Sin Liong-sing telah bergaul rapat dengan Hi Giok-kun, maka Si Bwe sengaja titip dompet bersulam itu kepada Han Pwe- eng agar menyerahkannya kepada Sin Liong-sing bilamana bertemu.
  Begitulah Si Bwe telah menerima dompet itu dengan muka merah, hatinya merasa ragu-ragu juga, katanya kemudian, “Kok-siauhiap, bukankah engkau datang dari tempat Bun-tayhiap? Dia..... dia tidak berada di sana?” “Dia” yang dimaksud jelas Sin Liong-sing adanya.
  Maka Siau-hong menjawab, “Dia berada di sana, aku juga telah bertemu dia!” “Jika kau sudah bertemu dengan Sin Liong-sing, mengapa engkau tidak menyerahkan dompet ini kepadanya?” gadis she Liong tadi menimbrung.
  “Ai, kupikir lebih baik tak diserahkan padanya!” ujar Siau-hong sambil menghela napas.
  Mendengar ucapan ini, muka Si Bwe yang merah tadi seketika berubah menjadi pucat. “Jadi kabar yang tersiar itu memang benar adanya?” “Ya, benar, Sin Liong-sing sudah menetapkan besok lusa akan menikah dengan Hi Giok-kun,” kata Siau- hong.
  Gadis she Liong itu mengira Si Bwe pasti akan sangat berduka demi mendengar berita itu, tak terduga sedikit pun Si Bwe tidak sedih. Sebaliknya ia terbahak-bahak malah. Keruan nona she Liong itu terkejut, cepat ia payang Si Bwe, tanyanya, “Bagaimana kau, enci Si Bwe?” “Aku sangat gembira, sangat gembira!” jawab Si Bwe.
  “Bukankah tepat sekali waktunya kedatangan kita ini?” Melihat keadaan Si Bwe yang tidak normal itu, nona she Liong itu sangat kuatir, katanya pula, “Enci Bwe, kukira kita jangan pergi lagi ke sana!” “Mengapa tidak?” jawab Si Bwe, “Tit-siauya kawin, kaum budak seperti kita ini kan pantas kalau hadir di sana untuk melayaninya?” Diam-diam Siau-hong membatin, “Nona yang serba cantik dan pandai seperti dia ini boleh dikata sangat malang, rela menjadi budak orang, secara diam-diam mencintai majikan muda, tapi cuma bertepuk sebelah tangan, nasibnya menjadi tambah buruk. Diriku saja sudah punya tunangan, tidak urung merasa berduka ketika mendengar berita akan menikahnya Giok-kun, maka Si Bwe tentunya jauh terlebih berduka daripadaku.” Begitulah rasa senasib lantas menimbulkan rasa simpatik Kok Siau-hong terhadap Si Bwe, ia lantas menghiburnya, “Banyak sekali kekecewaan orang hidup ini, asalkan kita dapat kesampingkan kekesalan itu dan tidak memikirkannya, setelah urusan berlalu, kemudian tentu dapat menghadapinya dengan pikiran lapang. Enci Si Bwe, maafkan aku bicara terlalu banyak, padahal kita baru berkenalan. Menurut pendapatku, memang lebih baik engkau jangan pergi ke sana, janganlah mencari susah sendiri.” “Darimana kau mengetahui aku akan susah dan kesal,” jawab Si Bwe dengan dingin. “Sin Liong-sing kan Tit-siauya kami, aku akan hadir pada pesta nikahnya, justru aku merasa gembira. Kau tahu apa, janganlah kau ikut campur!” Karena omelan itu, kata-kata Siau-hong yang lain dengan sendirinya tidak dapat dikatakan pula, terpaksa ia minta maaf dan mohon diri.
  Sesudah Siau-hong pergi, nona she Liong itu berkata, “Pemuda she Kok itu tampaknya sangat simpatik, wataknya juga suka terus terang.” “Tampaknya kau suka padanya bukan?” kata Si Bwe.
  “Kukira kau harus lebih hati-hati menghadapi lelaki.
  Kata pribahasa, perempuan yang tulus selalu bertemu lelaki berhati palsu, kenal orangnya, kenal mukanya, tidak kenal hatinya. Apalagi kau juga baru kenal dia.” “Siapa bilang aku suka padanya?” omel nona she Liong itu. “Cuma aku merasa nasehatnya tadi masuk akal juga. Enci Bwe, apa kau benar-benar harus ke sana?”


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>