Cerita Silat | Pendekar Sejati | by Gan K.L | Pendekar Sejati | Cersil Sakti | Pendekar Sejati pdf
Hex Hall - Rachel Hawkins Cinta Sepanjang Amazon - Mira W Topeng Hitam Kelam - Ambhita Dyaningrum Cinta Dalam Diam - ucu supriadi Fear Street : Ciuman Maut
“Ya, tidak bisa tidak aku harus ke sana dan menemuinya,” jawab Si Bwe. “Jika kau kuatir aku akan membikin onar di sana, maka biar aku ke sana sendirian saja, kau boleh pulang duluan.” “Mengapa kau berkata demikian, enci Bwe? Dengan susah payah akhirnya kita berjumpa kembali, persaudaraan kita melebihi apa pun juga, hanya demi kebaikanmulah aku mau menasehati kau. Tapi kau tidak setuju, ya, dengan sendirinya aku tetap menemani kau ke sana. Baiklah, biar bagaimana akibatnya nanti aku tetap akan menghadapinya bersama kau.” Saking terharunya Si Bwe mengucurkan air mata, katanya, “Liong-cici, sampai saat ini hanya engkaulah satu-satunya kawanku sejati.” Diam-diam nona she Liong itu menghela napas dan ikut sedih bagi Si Bwe. Dia dan Kok Siau-hong sama- sama menganggap Si Bwe sok “murah cinta” dan akibatnya cuma bertepuk sebelah tangan, cinta tak terbalas. Padahal urusan yang sebenarnya tidaklah demikian.
Sejak kecil Si Bwe dijual ke rumah keluarga Sin, dia dibesarkan bersama Sin Liong-sing, anak-anak dengan sendirinya belum tahu apa-apa, di waktu bermain bersama tiada yang membedakan budak dan majikan. Tapi setelah keduanya meningkat dewasa, tak dapat tidak mereka mengetahui juga akan kedudukan masing-masing.
Suatu hari Sin Liong-sing pernah memaksa Si Bwe untuk main upacara pengantin, Si Bwe masih ingat benar, waktu itu Sin Liong-sing sudah bocah tanggung berumur empatbelas dan dia sendiri juga nona cilik umur duabelas yang baru mulai kenal kehidupan manusia, ia sudah tahu apa artinya suami-istri, maka dia tak mau main pengantin segala, ia berkata kepada Sin Liong-sing, “Engkau adalah tuan muda dan aku cuma kaum budak, kita tidak mungkin melakukan upacara pengantin.” “Siapa bilang tidak, kalau pulang nanti segera akan kukatakan kepada bibi bahwa aku akan menikahi kau,” kata Sin Liong-sing waktu itu.
Keruan Si Bwe menjadi gugup, katanya, “Eh, jangan sekali-sekali engkau berbuat demikian, nanti aku dipukuli Cap-si-koh!” “Kalau bibi memukuli kau, segera aku minggat bersama kau,” kata Liong-sing. “Kita baru pulang kalau kita sudah menikah, coba saja dia dapat berbuat apa terhadap kita?” Si Bwe menjadi takut dan senang, katanya, “Kau benar-benar ingin menikahi aku?” “Demi Thian, kalau aku menipu kau, biar aku aku mati.....” Cepat Si Bwe mendekap mulut Sin Liong-sing dan berkata, “Sudahlah, asal kutahu kau bersungguh hati saja, kau tidak perlu bersumpah segala, kau pun tidak perlu bilang kepada bibimu nanti, pokoknya aku akan tetap menanti padamu.” Tidak lama sesudah kejadian itu, lalu Sin Liong-sing diperintahkan orang tuanya ke Kang-lam untuk berguru kepada Bun Yat-hoan, sekali pergi untuk sembilan tahun lamanya, selama sembilan tahun Liong-sing hanya pulang dua kali saja, pertama kali pulang dia berumur sembilanbelas tahun dan Si Bwe tujuhbelas tahun. Pantasnya kalau apa yang diucapkan Sin Liong-sing dahulu itu benar, mestinya dia akan membicarakannya pula dengan Si Bwe secara diam-diam, tapi nyatanya Sin Liong-sing tidak pernah menyinggung lagi hal lama itu, walaupun dia masih tetap sangat baik kepada Si Bwe.
Dalam kedudukannya sebagai budak, pula watak Si Bwe juga tinggi hati, tentu saja dia tidak ingin dipandang hina, maka ia pun tidak mau mendahului mengungkit kejadian lama itu meski Sin Liong-sing diam saja. Cuma Si Bwe juga tidak melupakan hal itu, ia mengira pelajaran Sin Liong-sing belum tamat, pulangnya itu tergesa-gesa lantas berangkat lagi sehingga tidak sempat membicarakannya dengan dia, walaupun sebenarnya dia juga curiga, ia menaruh curiga “Tit-siauya” yang sudah dewasa itu sudah bukan lagi kakak yang dahulu pernah bermain bersama dia itu, dengan lain perkataan hati sang Tit- siauya kini sudah berubah. Namun biar curiga toh hati sang juwita tetap tercurahkan kepada Sin Liong-sing seorang.
Waktu Sin Liong-sing pulang ke rumahnya untuk kedua kalinya adalah kejadian tahun yang lalu, sekali ini kebetulan berbarengan dengan Hi Giok-kun yang sengaja menyamar sebagai budak ke rumah bibinya itu. Tatkala itu Si Bwe tidak tahu asal-usul Giok-kun, tapi Sin Liong-sing lantas tahu siapa Giok-kun begitu mengetahui dia berasal dari keluarga Hi di Yang-ciu.
Sebagai murid Bun Yat-hoan, dengan sendirinya ia pun mendengar keluarga Hi yang terkenal itu. Dan setelah bertemu gadis dari keluarga ternama, mana dia memikirkan lagi seorang budak.
Setelah peristiwa itu, dengan sendirian Si Bwe sudah putus harapan, tapi meski demikian cintanya belum sirna, ia masih mencintai Sin Liong-sing setulus hati.
Di dalam dompet sulam buatannya itu selain tersimpan seikat potongan rambut, juga terdapat sebuah cermin kecil, cermin yang biasanya dipakai kaum wanita, hadiah dari Sin Liong-sing pada esok harinya setelah mereka tidak jadi melakukan mainan pengantinan, menurut Liong-sing, Si Bwe mempunyai rambut indah, sayang sekali jika tidak pakai cermin, sebab pasti tak dapat menyisir rambutnya dengan baik. Maka dia sengaja membelikan sebuah cermin baginya.
Tidak lama kemudian Liong-sing lantas berangkat berguru ke Kang-lam. Cermin itu selalu disimpan dengan baik oleh Si Bwe dan jarang digunakan, ia kuatir cermin itu pecah, sampai kini cermin itu sudah disimpan hampir sepuluh tahun lamanya. Kini ia hendak menyerahkan ikat rambut dan cermin kecil itu kepada Sin Liong-sing, ia tidak berani berkhayal akan merebut kembali hati pemuda itu, yang dia harap hanyalah mengingatkan kembali kepada Sin Liong- sing bahwa masih ada seorang budak yang mencintai dia dengan setulus hati.
Namun harapannya itu mungkin sudah ditakdirkan akan buyar. “Dia sudah mempunyai calon istri yang cantik molek, masakah dia masih ingat kepada budak macam diriku ini!” demikian pikir Si Bwe.
Mendadak api cemburu timbul membakar lubuk hatinya, tiba-tiba ia mendapatkan suatu pikiran, katanya kepada kawannya, “Mereka akan menikah besok lusa, kita tidak perlu terburu-buru ke sana, biarlah kita tiba tepat waktunya mereka sedang upacara nikah.” Nona she Liong itu mengiakan saja meski diam-diam ia menghela napas gegetun.
◄Y► Suasana riang gembira, sayup-sayup terdengar alunan tetabuhan yang merdu, di tengah ruangan sudah penuh dengan tamu. Hari itu adalah hari pernikahan murid pewaris Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, Bun Yat-hoan. Meski suasana negara waktu itu dalam keadaan rusuh, namun yang berhajat kerja adalah Bu-lim-beng-cu, maka kesatria dari berbagai penjuru yang hadir tetap tidak sedikit.
Setelah Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun selesai menjalankan upacara nikah, di hadapan hadirin Bun Yat-hoan lantas mengumumkan juga secara resmi keputusannya menetapkan Sin Liong-sing sebagai ahli warisnya.
Sudah bahagia bertambah gembira, serentak para hadirin beramai-ramai mendekati Sin Liong-sing untuk mengucapkan selamat. Sin Liong-sing sendiri juga kegirangan, ia merasa kebahagiaan hidupnya tidak lebih daripada sekarang ini.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa di luar sana ada seorang nona yang sedang berduka dan merana.
Mestinya Si Bwe bermaksud masuk ke situ ketika sepasang mempelai sedang upacara nikah, tapi lantas terpikir olehnya, “Biar kuberi kelonggaran sedikit padanya, apalagi aku pun tidak ingin menyaksikan sendiri dia mengadakan upacara nikah dengan orang lain.” Ketika melihat Si Bwe ragu-ragu dan tidak berani masuk ke dalam rumah, nona she Liong itu mengira Si Bwe sudah berubah pikiran, segera ia memberi nasehat lagi, “Urusan sudah begini, buat apa kau mencari susah sendiri? Marilah kita pulang saja!” Tapi Si Bwe tetap mengulangi tekadnya bahwa dia tetap ingin menemui Sin Liong-sing, ia menambahkan pula, “Aku ingin tahu bagaimana sikapnya terhadapku?” Diam-diam nona she Liong itu membatin, “Kabarnya tindak-tanduk Sin Cap-si-koh sangat aneh, Si Bwe telah ikut dia belasan tahun, tampaknya dia terpengaruh oleh sifat aneh sang majikan. Entah apa yang hendak dilakukannya. Kalau aku menjadi dia, hanya ada dua pilihan bagiku, akan kubunuh pengantin laki-lakinya atau kuanggap sepi saja persoalan ini dan mencari kekasih lain. Buat apa mencari susah sendiri?” Sesungguhnya nona she Liong ini juga bukan sembarang orang, asal-usulnya juga tidak sederhana, jalan pikirannya yang aneh sesungguhnya juga tidak kurang anehnya daripada jalan pikiran Si Bwe.
Sementara itu setelah menerima ucapan selamat daripada hadirin, pesta lalu dimulai, Sin Liong-sing sibuk menyuguhkan arak kepada para tamu di ruang dalam maupun luar.
Setelah tiga kali keliling menyuguhkan arak, tiba-tiba datang seorang murid memberi lapor, “Ada dua perempuan muda tak dikenal datang memberi selamat, seorang di antaranya mengaku anggota keluarga Suheng.” Sin Liong-sing terkesiap dan cepat bertanya, “Siapa namanya?” Sutenya itu berkata, “Dia mengaku bernama Si Bwe.” Bun Yat-hoan merasa nama itu seperti nama kaum budak. Benar saja, segera terdengar Sin Liong-sing bergelak tertawa, katanya, “Ha, ha, kiranya budak keluargaku, sungguh berani mati dia mengaku anggota keluargaku. Baiklah, boleh kau sediakan tempat duduk di ruang luar, tidak perlu undang dia ke ruang dalam.” “Tiada seorang pun sanak familinya yang hadir di pesta ini, syukur sekarang datang seorang, biarpun kaum budak, sedikitnya dia juga orang dari rumahmu, apa halangannya kalau mengundang dia masuk ke ruangan dalam saja. Lalu siapa lagi perempuan yang lain?” kata Bun Yat-hoan.
Maklumlah Bun Yat-hoan adalah seorang pendekar yang berjiwa besar, biasanya dia tidak pandang penting perbedaan tingkatan, kalau saja Sin Liong-sing tidak sedang menjadi pengantin baru, bukan mustahil murid itu akan dimarahi di depan orang banyak.
“Satunya mengaku she Liong, katanya dia dan Suhu ada hubungan kekeluargaan,” lapor muridnya tadi.
“She Liong, apakah dia anak perempuan Liong Pek- giam?” seru Bun Yat-hoan terkejut.
“Benar, dia bilang ayahnya adalah Liong Pek-giam di Liong-giam-koan, Hok-kian,” tutur murid itu.
“Wah, lekas undang mereka masuk ke sini, lekas!” seru Bun Yat-hoan.
Kiranya Liong Pek-giam adalah sahabat lama Bun Yat- hoan yang sudah belasan tahun tidak berjumpa, seorang pendekar terpendam yang sudah lama mengasingkan diri, sedikit saja orang yang tahu akan Liong Pek-giam, tapi anak murid Bun Yat-hoan dengan sendirinya tahu.
Begitulah sejenak kemudian murid tadi sudah membawa Si Bwe dan nona she Liong itu masuk ke ruang dalam. Rupanya mereka sudah dipersilakan duduk menunggu lebih dulu di ruang depan, maka datangnya begitu cepat.
Sin Liong-sing terkesiap dan kuatir apa yang diucapkan tadi terdengar oleh Si Bwe, tapi segera ia menghibur diri sendiri, terhadap seorang budak saja kenapa mesti takut? Apa yang diucapkan Sin Liong-sing tadi sayup-sayup memang didengar oleh Si Bwe, tentu saja ia bertambah dendam dan lebih sirik, tapi sebagai pelayan pribadi Sin Cap-si-koh, dia benar-benar sudah mewarisi sifat “tenang tapi keji” sang majikan, maka waktu masuk ke situ, sikapnya tetap biasa, sedikit pun tidak mengunjuk rasa marah.
Ketika Si Bwe berdua melangkah masuk ke situ, pandangan semua orang menjadi terbeliak, semua orang berpikir, “Sungguh tidak nyana seorang budak keluarga Sin saja begitu cantik, sikapnya juga agung dan tenang.” Dalam pada itu Bun Yat-hoan lantas berbangkit, serunya dengan tertawa, “Aha, sudah begini tingginya kau, Thian-hiang keponakanku, hampir saja aku tidak kenal kau lagi, sungguh aku sangat gembira dapat bertemu kau sekarang. Di waktu kecil pernah aku memondong kau, apa kau masih ingat?” Liong Thian-hiang memberi hormat dengan lemah lembut, jawabnya, “Ayah juga senantiasa terkenang kepada paman, cuma.....” ~ Sampai di sini mendadak matanya menjadi memberambang merah.
Bun Yat-hoan terkejut, cepat ia menegas, “Oya, belum lagi aku tanya keadaan ayahmu, apakah baik-baik saja ayahmu? Dia ikut datang tidak?” Dengan menahan air mata Liong Thian-hiang menjawab, “Sungguh malang, tahun lampau ayah sudah meninggal dunia, soalnya suasana kacau, pula kami tidak tahu paman tinggal di sini sehingga tidak sempat mengirim berita duka kepada paman, untuk itu harap paman sudi memaafkan. Untunglah aku ketemu Nyo-cici ini, maka diketahuilah hari ini adalah hari bahagia murid paman dan sengaja ikut kemari untuk memberi selamat kepada paman, selain itu juga sekaligus menyampaikan berita duka ayah kepada paman.” “Memberi selamat” dan “berita duka” dilakukan sekaligus, hal ini sudah tentu tidak cocok dengan keadaan. Tapi lantaran Bun Yat-hoan anggap Liong Pek-giam sebagai sahabat baik, mendengar berita kematian sahabat baiknya itu, dengan sendirinya hatinya berduka. Selain itu ia pun dapat memaafkan Liong Thian-hiang yang masih muda, ucapan seorang nona kecil tentunya tidak pandang keadaan segala, sebab itulah Bun Yat-hoan tidak menjadi marah, sebaliknya ia malah menghibur, “Sudahlah, syukur kau pun sudah besar, ayahmu sudah mencapai usia tua, kau pun tidak perlu terlalu berduka. Hari ini adalah hari pernikahan muridku, marilah kalian berkenalan dulu dengan kedua mempelai. Apakah nona ini.....” Tapi untuk sopan santun, sepantasnya kalau dia bertanya akan diri Si Bwe.
↧
Pendekar Sejati - 144
↧