Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Anugerah Bidadari - 4

$
0
0

Cerita Cinta | Anugerah Bidadari | by Astrella | Anugerah Bidadari | Cersil Sakti | Anugerah Bidadari pdf

Hex Hall - Rachel Hawkins Cinta Sepanjang Amazon - Mira W Topeng Hitam Kelam - Ambhita Dyaningrum Cinta Dalam Diam - ucu supriadi Fear Street : Ciuman Maut

bar.
  "Mari kita coba sehebat apa daya ingatku," kata Altamyra sebelum mencoba alat itu.
  "Tidak buruk," gumam Altamyra melihat hasil alat yang dibuat berdasarkan gambarnya itu.
  Sebelum meninggalkan tempat yang dikerumuni orang-orang itu, Altamyra memberi petunjuk bagaimana
  menggunakannya.
  Altamyra bahagia bisa membuat alat yang dapat menolong orang-orang itu. Dengan hati riang, ia kembali
  ke selnya.
  "Hei! Berhenti!"
  Altamyra terus berjalan.
  "Kubilang berhenti!"
  Altamyra melihat sekelilingnya lalu bertanya, "Akukah yang kau panggil?"
  "Benar," jawab Erland, "Siapa lagi yang berada di sini selain kita, setan cilik?"
  "Aku ingin berterima kasih atas &"
  "Tidak perlu," potong Altamyra, "Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan sebagai manusia
  yang masih mempunyai hati."
  "Apakah engkau bermaksud menyinggungku?"
  Altamyra berjalan lagi. Ia tidak sedang dalam suasana hati untuk bersitegang dengan pria itu. Ia tidak
  ingin membiarkan pria ini merusak suasana hatinya yang sedang berbahagia itu.
  Erland heran melihat Altamyra kembali ke selnya. "Mengapa engkau kembali ke sini? Bukankah aku
  telah membebaskanmu?"
  "Ini adalah ruanganku," jawab Altamyra tenang, "Aku tidak tahu di mana engkau akan menempatkanku
  malam ini. Sampai saat itu, aku hanya tahu di mana aku bisa melewatkan malam ini."
  Erland diam memperhatikan Altamyra duduk di lantai dan mulai menulis lagi.
  "Sampai saat ini aku belum tahu namamu."
  Altamyra tidak menanggapi.
  "Mengapa engkau tidak memberikan namamu agar aku tidak perlu menyebutmu dia atau gadis itu?"
  Altamyra masih tidak menanggapi.
  Erland mencekal tangan Altamyra. "Kau mendengarkanku?" tanyanya tajam.
  "Lepaskan aku," balas Altamyra, "Engkau menyakitiku."
  Erland tahu ia memegang luka di tangan Altamyra tetapi ia tak melepaskannya. "Jadi, siapa namamu?"
  ulangnya.
  Altamyra menatap tajam. "Aku tidak sudi engkau menyebut namaku."
  "Engkau mengajakku bermain kasar?"
  "Apakah engkau bisa bersikap lembut?"
  "Setan cilik," geram Erland, "Apakah engkau selalu menyebalkan seperti ini?"
  "Tidak," jawab Altamyra lantang, "Aku membencimu dan aku tidak akan pernah memaafkanm u!"
  "Apa kesalahanku padamu, setan cilik? Apakah belum cukup permintaan maafku!?"
  Altamyra membuang muka dengan angkuh.
  "Setan cilik, engkau membuatku marah. Aku peringatkah engkau untuk tidak membuatku marah."
  "Kaupikir aku takut padamu?" Altamyra mendekatkan wajahnya sambil menatap tajam.
  Erland tersenyum. Senyumannya mengandung sejuta bahaya yang terpancar di matanya. "Tidak,"
  katanya setuju, "Setan cilik sepertimu tidak pernah kenal takut."
  "Bagus," kata Altamyra puas, "Engkau sudah mengerti benar hal itu."
  "Aku juga tahu engkau tidak sudi kupanggil dengan namamu. Lebih-lebih engkau tidak sudi kusentuh."
  Altamyra tersenyum puas.
  "Jangan salahku aku kalau aku memanggilmu setan cilik."
  "Setan cilik," gumam Altamyra. "Setan cilik pasti orang tuanya setan besar." Altamyra tersenyum manis
  dan berkata, "Aku suka itu."
  "Kau!" geram Erland.
  Erland mendorong Altamyra dengan kasar hingga gadis itu terbaring di lantai. "Mulutmu yang tajam itu
  sesekali perlu diberi pelajaran."
  Jantung Altamyra berdegup kencang. Erland berbicara sangat dekat dengan mulutnya hingga Altamyra
  dapat merasakan setiap gerakan bibir Erland.
  Altamyra mengkhawatirkan tindakan Erland selanjutnya tetapi ia tidak mau membuat Erland senang
  dengan menampakkannya.
  Erland tersenyum kejam melihat sorot mata Altamyra yang tajam. "Engkau membuatku kagum, setan
  cilik." Lalu ia mencium Altamyra dengan kasar.
  Mula-mula yang dilakukan Altamyra adalah terkejut. Namun, ia segera sadar dan mulai meronta-ronta.
  Walaupun tahu tubuhnya yang kecil tidak akan menang melawan tubuh tegap Erland yang menindihnya,
  Altamyra tidak mau berhenti. Ia terus meronta-ronta sekuat tenaganya.
  Altamyra tidak sudi dicium Erland. Ia marah pada pria itu dan ia lebih marah lagi karena pria yang paling
  dibencinya itu menjadi pria pertama yang menciumnya.
  Akhirnya Erland menghentikan ciumannya. Ia tersenyum puas melihat Altamyra.
  "Aku membencimu," desis Altamyra, "Sampai mati pun aku tidak akan memaafkanmu."
  Erland hanya tertawa mendengarnya.
  Altamyra menjadi murka. "Engkau tidak pantas memimpin pemberontakan terhadap Raja. Engkau tidak
  lebih baik darinya!" teriaknya lantang.
  "Berteriaklah sampai engkau puas. Takkan ada yang mendengarmu." Erland meninggalkan tawanya
  yang kejam di ruang sempit itu.
  Altamyra membenci kekejaman Erland itu.
  "Medice, cura te ipsum!" seru Altamyra "Lupus est homo homini!"
  3
  "Sudah puas memandangiku?"
  Altamyra membuang mukanya.
  "Aku merasa tersanjung engkau terus memperhatikanku sepanjang hari ini," kata Erland sinis.
  "Engkau terlalu kejam untuk dipandang," balas Altamyra.
  Erland melihat kain di pangkuan Altamyra.
  Sebelum Erland menyentuh pekerjaannya, Altamyra menyingkir. "Pergilah jauh-jauh. Jangan merusak
  hari bahagiaku."
  Erland tersenyum sinis. "Aku ragu setan sepertimu bisa bahagia dengan duduk-duduk saja."
  Altamyra mengacuhkan kata-kata kejam itu.
  "Banyak juga hal baik yang telah dilakukan setan sepertimu, Rara."
  Altamyra menatap tajam Erland.
  Erland tertawa kejam. "Kaupikir aku tidak tahu? Banyak yang akan memberitahuku. Jangan lupa di sini
  aku adalah penguasanya. Semua orang patuh padaku."
  "Manusia kejam," desis Altamyra.
  Bagi orang lain Erland adalah pahlawan mereka. Altamyra mengakui ia adalah pria yang tampan tapi
  tidak mau mengakui kebaikan hati Erland. Ia telah melihat sendiri kekejaman Erland dan ia tidak akan
  memaafkannya.
  Pria itu memang berani. Dari jutaan rakyat Vandella, hanya ia yang secara terang-terangan memberontak
  pada Raja Wolve. Ia adalah pria yang pandai. Ia membuat kemahnya di lereng gunung yang terjal dan
  tertutup hutan lebat.
  Kekasaran dan kekejaman pria itu memuakkannya.
  "Aku yakin nama lengkapmu Mara. Orang tuamu tepat. Engkau memang sepahit namamu."
  Altamyra tersenyum manis. "Jadi," katanya lembut, "Engkau sudah puas?"
  "Engkau ingin memulainya lagi, setan cilik?" Erland mencekal lengan Altamyra.
  "Lepaskan aku," desis Altamyra, "Aku tidak sudi disentuh manusia sekejam engkau."
  Erland mendekatkan wajahnya ke wajah Altamyra. Mata kelabunya menembus tajam mata biru cerah
  Altamyra.
  Altamyra membalasnya dengan tatapan yang sama tajamnya.
  Tak seorang pun di antara mereka yang bergerak hingga akhirnya Erland melepaskan Altamyra.
  "Engkau beruntung sekarang kita di luar," desisnya lalu meninggalkan Altamyra.
  "Aku lebih beruntung bila tak melihatmu selama-lamanya!" teriak Altamyra.
  Erland terus berlalu tanpa menoleh.
  "Dasar wanita!"
  Fred mendengar gerutuan itu. " Adaapa?"
  "Setan cilik itu benar-benar membuatku jengkel."
  Fred tersenyum. "Sudahlah, Erland. Engkau tidak perlu berpura-pura. Semua orang di sini tahu engkau
  menyukainya."
  "Jangan bermimpi!" bantah Erland, "Gadis itu hanya bisa membuatku jengkel."
  "Benarkah itu?"
  "Dia adalah setan cilik yang harus kuhindari," kata Erland tegas.
  "Baguslah bila demikian halnya," kata Fred puas.
  "Bagus?"
  "Aku akan jujur padamu. Aku menyukainya. Ia adalah satu-satunya gadis yang paling menarik yang
  pernah kutemui. Walau kata-katanya tajam, ia pandai dan cekatan."
  "Ia adalah iblis yang harus dihindari, Fred."
  "Ia adalah gadis cantik yang menarik," bantah Fred, "Kalau engkau memang tidak menyukainya, jangan
  menjelek-jelekannya. Masih banyak yang mau menjadi suaminya kalau engkau tidak mau."
  "Apa katamu!?"
  "Hampir semua pria di sini tertarik pada Rara. Tetapi demi engkau, kami semua mundur. Engkau dan
  Rara sangat cocok, tetapi karena engkau sendiri yang berkata membencinya, aku akan maju sebelum
  disaingi yang lain. Aku berterima kasih engkau menjadikan aku orang pertama yang mengetahuinya."
  "Aku tidak percaya kalian semua telah terjerat olehnya," seru Erland, "Mengapa kalian bisa sedemikian
  bodoh?"
  "Jangan berkata seperti itu, Erland. Semua orang di sini tahu engkau mencintainya. Tindakanmu, caramu
  memandangnya telah menunjukkan cintamu. Hanya dengan dia engkau bisa bertengkar sehebat itu.
  Hanya Rara yang mampu menghinamu tanpa membuatmu marah. Aku yakin akan berbeda halnya kalau
  Cirra yang menghinamu."
  "Apa maksudmu?"
  "Jangan pura-pura, Erland. Kami semua tidak buta dan tidak tuli. Pertengkaran hebatmu malam yang
  lalu terdengar oleh kami semua. Walau kami tidak tahu apa arti kata yang diucapkan Rara, kami tahu ia
  menghinamu."
  Erland diam saja.
  "Jangan diam saja, Erland. Aku yakin engkau mengerti apa yang diucapkan Rara."
  "Engkau ingin tahu?"
  "Tepat sekali!"
  Erland terdiam sejenak lalu berkata, "Tabib, sembuhkan dirimu sendiri. Manusia yang satu adalah
  serigala bagi manusia yang lain."
  "Kata-kata yang cukup bermakna," komentar Fred.
  "Tepatnya nasehat," Erland membenarkan, "Bayangkan pelayan seperti dia menyuruhku memperbaiki
  diri sendiri. Bahkan, memperingatkanku."
  "Ia memang tepat, Erland. Tak heran ia menjadi pelayan kesayangan keluarga Apaleah."
  Erland tidak menanggapi.
  "Lihat saja hasil tindakannya. Baru dua minggu berlalu sejak ia dibebaskan. Tetapi ia sudah membuat
  banyak perubahan. Wanita-wanita sekarang lebih mudah memintal benang. Anak-anak mendapat
  pelajaran setiap hari. Bahkan, yang tua-tua pun diajarinya menulis dan membaca. Belum pernah aku
  melihat gadis setekun dia."
  Erland tidak menanggapi. Tapi dalam hatinya ia mengakui kata-kata Fred. Berkat gadis itulah sekarang
  kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik.
  "Erland &"
  Rengekan itu membuat Erland berpaling. "Adaapa, Cirra?"
  "Lihat ini!" rengek Cirra sambil menunjuk pipinya yang memerah.
  " Adaapa dengan wajahmu, Cirra?" tanya Fred.
  "Perempuan itu yang melakukannya. Ia menamparku."
  "Rara?" tanya Fred tak percaya.
  "Ia memang keras kepala tetapi ia tidak mudah memukul orang apalagi menampar wanita," bela Erland,
  "Engkau pasti mengatakan sesuatu yang membuatnya marah."
  "Tidak," bantah Cirra, "Aku hanya bertanya baik-baik padanya dan ia menamparku."
  "Aku tidak mempercayaimu," kata Erland tajam.
  "Tanyai saja dia," saran Fred.
  "Aku memang bermaksud menemuinya."
  "Beri dia pelajaran!" seru Cirra, "Aku akan senang sekali kalau engkau mengurungnya. Dasar wanita
  tidak tahu terima kasih!"
  "Sudah, Cirra," Fred menghentikan.
  Erland meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa.
  Altamyra tetap meneruskan kesibukannya menyulam di atas sisa gaun sutranya. Ia mengetahui kehadiran
  Erland tetapi tidak menghiraukannya.
  "Menyingkirlah," kata Altamyra tenang, "Engkau menghalangi matahari."
  "Kupikir engkau senang bisa terlindung dari terik matahari."
  Altamyra sedang tidak ingin berbasa-basi. "Engkau telah mendengar rengekannya, bukan? Kalau
  engkau ke sini untuk bertanya mengapa aku menamparnya, lebih baik engkau bertanya padanya. Ia tahu
  persis sebabnya."
  "Sialnya, aku lebih mempercayaimu."
  "Aku merasa tersanjung," kata Altamyra dingin.
  "Aku datang tanpa niat untuk membuatmu marah. Jadi, bekerja samalah denganku."
  "Engkau tahu aku tidak mau."
  "Engkau juga tahu aku bisa memaksamu melakukannya," Erland mencengkeram Altamyra.
  Altamyra menatap tajam Erland lalu berkata, "Baiklah. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu."
  "Setelah mendengarnya, engkau bisa memutuskan sendiri siapa yang salah," Altamyra memulai, "Cirra
  datang dan menuduhku menggodamu. Katanya aku adalah wanita genit yang mencoba merampasmu
  darinya. Dan, aku telah mencoba menerangkan tetapi ia terus menghinaku. Kita berdua tahu itu salah. Ia
  bahkan menghina leluhurku dan membuat kesabaranku habis."
  "Aku heran mengapa engkau tidak membungkam mulut kekasihmu seperti engkau membungkamku."
  "Kekasihku?" tanya Erland heran, "Siapa yang mengatakannya padamu?"
  "Bukan aku," jawab Altamyra tenang, "Tapi dia."
  Erland menatap tajam Cirra di luar rumah.
  "Kusarankan engkau menjelaskan padanya kalau kita saling membenci. Aku tidak suka terus
  dicemburui."
  "Dia bukan kekasihku."
  "Terserah," Altamyra bangkit, "Biarkan aku pergi. Aku bosan terus-menerus diganggu kalian."
  Erland membiarkan Altamyra pergi. Ia mempunyai urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi
  Altamyra.
  Altamyra yakin Cirra akan merasakan kemarahan Erland. Diam-diam ia merasa kasihan padanya. Ia
  yakin selain dirinya, tidak ada lagi yang berani melawan Erland.
  Altamyra masuk lebih dalam ke hutan. Ia mencari-cari pohon rindang dan duduk di bawahnya.
  Suasana sepi hutan membuat Altamyra tenang. Ia mengerjakan kembali pekerjaannya.
  Menyulam di kain sutra yang halus adalah pekerjaan sulit. Tapi, sisa gaun ini sayang untuk dibuang.
  Karena


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>