Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta di Dalam Gelas - 18

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta di Dalam Gelas | by Andrea Hirata | Cinta di Dalam Gelas | Cersil Sakti | Cinta di Dalam Gelas pdf

Solandra - Mira W Pendekar Sejati II - Gan KL Hunger Game 2 - Tersulut (Catching Fire) Topeng Sang Putri - Astrella Tarian Liar Naga Sakti III - Marshall

lasan apa pun. Jika matahari menerpa wajahnya lalu ia bersin dan lupa memegang selangkangnya, hal itu lebih dari cukup baginya untuk mendamprat kami sepanjang hari.
  Angin pagi bertiup semilir. Burung-burung dara menggerung-gerung mesra. Warga Tionghoa membuka deretan papan penutup tokonya sambil menyapa orang-orang yang lewat. Pasar masih sepi dan lambat, lalu pecahlah kedamaian itu. Paman bangkit dari tempat duduknya, langsung marah dengan tingkat apokaliptik, persis buku yang tadi di bacanya.
  "Siapa yang berhak dimarahi?"
  Kami, jongosnya, serentak menunjukkan tangan tinggi-tinggi. "Siapa yang berhak memarahi?"
  Kami menunjuknya dan ia langsung ke pokok omelan.
  "Kita ini sudah menjadi warga negara yang baik! Kita tak pernah protes-protes! Kita sudah tunduk patuh pada hukum. Kita sudah membayar pajak. Tapi tengoklah! Tengoklah! Balasan pemerintah pada kita! Harga-harga dinaikkannya sekehendak hatinya!"
  Sebenarnya ini marah kemarin yang tertunda. Dan jika Paman marah, kami otomatis harus menghentikan apa pun yang sedang kami kerjakan, untuk menyimaknya, dan jangan coba-coba tak acuh, perkara bisa runyam.
  "Politisi, anggota DPRD, menteri pendidikan, sama saja! Mereka selalu bicara atas nama rakyat. Tahukah kalian? Kalau mereka bicara atas nama rakyat, maka mereka bicara atas nama saya! Karena saya ini adalah rakyat! Sekarang, harga bahan pokok mahal! Biaya sekolah melambung! Mereka telah melupakan nilai-nilai kepanduan! Trabel! Trabel!"
  Kemarin Paman berjalan-jalan dengan cucunya keliling pasar, warga Khek mengeluhkan harga-harga yang naik. Mereka malah kasihan pada pembeli, bukannya melihat hal itu sebagai peluang untuk mengeruk keuntungan.
  "Pejabat mencuri, korupsi, tertawa-tawa di televisi, kita diam saja! Tak pernah kita macam-macam. Pemerintah benar-benar tak punya perasaan! Politisi tak tahu adat!"
  "Pamanda, Pamanda
  Seorang lelaki muda memanggil Paman. Lelaki itu berdiri di belakang Paman bersama istrinya dan seorang anak perempuan kecil yang mungkin berumur tiga tahun. Anak itu menggemaskan sekali, tembam, dan berkuncir kuda. Mereka adalah keluarga adik ipar Paman yang melewatkan libur dengan menginap di rumah Paman. Mereka mau pamit untuk pulang ke kampungnya.
  Paman berbalik, dan serta-merta, kedua tanduknya terisap ke dalam kepalanya. Wajahnya berubah 180 derajat, dari yang tadinya jahat, menjadi lembut.
  "Amboi, aih, aiihhh, Putri Kecilku
  Dirayu-rayu begitu, anak kecil itu tersipu-sipu. Ia memeluk kaki ayahnya. Paman menggodanya dengan melompat-lompat seperti kelinci. Anak itu cekikikan mendengar suara Paman yang dibuat-buat sehingga berbunyi aneh dan lucu. Sesekali Paman menjentik kuncirnya. Anak itu menjerit-jerit manja dan minta tolong pada ayahnya.
  Paman mendesak mereka agar memperpanjang waktu menginap, dan hal itu bukanlah basa-basi. Selain terkenal sangat galak, Paman juga terkenal sangat sayang pada keluarga. Ia adalah paradoks yang membingungkan, sekaligus memesona. Lalu, dengan nada penuh simpati, Paman menanyakan pada sang ayah tentang perjalanannya yang jauh. Bagaimana ditempuhnya dengan sepeda sambil membonceng anak-istrinya. Adakah kesulitan?
  "Tak ada soal, Pamanda. Sekarang jalan sudah sangat bagus. Aspal terus sampai ke rumah. Walaupun hujan, jalan tidak lagi banjir."
  Paman mengangguk-angguk senang sebab keluarga itu tidak akan menemukan hambatan.
  "Baguslah, pemerintah dan politisi sekarang memang lebih memperhatikan rakyat
  kecil."
  Paman juga bertanya tentang sekolah anak-anak adik iparnya, kaka dan abang dari si kecil yang menggemaskan itu, mereka di Sekolah Dasar.
  "Oh, sekolah juga sudah baik, Pamanda. Tak ada masalah. Guru-guru sudah lengkap. Fasilitas sekolah sudah bagus. Anak-anak sekolah dengan baik."
  Wajah paman seperti ingin menangis, suaranya sendu.
  "Prestasi menteri pendidikan memang sa ngat mengesankan belakangan ini. Sangat berbeda den gan ketika Paman masih muda dulu. Sekarang zaman s udah berubah. Menteri pendidikan dewasa ini adalah or ang yang taat beragama. Ia juga seorang sarjana yang lumayan di sekolahnya. Kurasa hanya satu kata untuk menggambarkan apa yang telah diperbuatnya untuk rakyat."
  "Apa itu, Pamanda?"
  "Mengagumkan."
  Si adik ipar mengangguk-angguk.
  "Anggota DPRP pun tak kalah hebat. Mereka adalah orang-orang muda dan terpelajar. Tak seorang pun yang tak sarjana, dari berbagai jurusan. Mereka sangat peduli pada rakyat. Satu kata pula untuk menggambarkan dedikasi mereka."
  "Apa itu, Pamanda?"
  "Mengharukan."
  Si adik ipar mengangguk-angguk lagi. Suara Paman sendu lagi.
  "Konon, anggota-anggota DPRD itu tak mau makan, sebelum rakyatnya makan."
  Si adik ipar kembali mengangguk takzim.
  "Terus terang," ujar Paman dengan serius.
  "Aku tak habis mengerti, mengapa orang-orang gampang sekali mengata-ngatai pemerintah. Kalau bicara, sekehendak hatinya saja. Apa mereka kira gampang mengelola negara? Mengurusi ratusan juga manusia? Yang semuanya tak bisa diatur. Kalau mereka sendiri yang disuruh mengurusi negara, tak becus juga!"
  Paman menepuk-nepuk bahu adik iparnya, seakan banyak sekali hal di dalam pikirannya yang ingin ia tumpahkan, tapi ia tahu bahwa keluarga adik iparnya itu ingin pamit. Keluarga kecil dari kampung yang bersahaja itu mengucapkan salam. Mereka beranjak. Paman memandangi mereka sampai jauh sambil melambai-lambaikan tangannya. Lalau ia berbalik.
  "Boi! Sampai di mana aku tadi?"
  Tanduknya tumbuh lagi.
  "Sampai ... politisi tak tahu adat, Pamanda!" "Yakinkah kau?" "Yakin, Pamanda."
  "Mendengarkah kau apa yang kubicarakan tadi!?"
  "Mendengar, Pamanda, mendengar."
  "Kurasa aku tadi sampai pemerintah kurang ajar!"
  "Tidak, Paman, Pamanda tidak pernah mengatakan pemerintah kurang ajar." "Apa katamu? Tidak pernah? Melihat situasi sekarang, sepatutnya hal itulah yang kukatakan!"
  Aku agak ragu, tapi perasaanku tadi omelan Paman sampai pada politisi tak tahu adat. Lagi pula kata kurang ajar adalah kata yang kasar. Setahuku, Paman tak pernah menghunus kata itu. Melihatku sangsi, Paman muntab.
  "Berarti kau tak mendengar bicaraku tadi! Kau , politisi, pemerintah, menteri pendidikan, anggota DPRD, sama saja! Kalian setali tiga uang! Rakyat setengah mati, mereka membeli mobil dinas mewah-mewah pakai uang rakyat. Tak punya perasaan."
  Kucoba mengingat-ingat, sampai mana semprotan Paman tadi. Aku yakin pada pendapatku. Aku perlu pembela. Aku menoleh pada Rustam. Rustam takut, tapi caraku memandang, mendesaknya.
  "Benar, Pamanda, tadi Pamanda sampai politisi tak tahu adat .. "
  Paman terlanjur murka.
  "Kau dan Ikal, bujang lapuk karatan! Telinga wajan! Baiklah, kuulangi lagi!" Seandainya tak muncul Aziz Tarmizi, gerutuan itu belum akan berhenti.
  Tak macam biasanya, Aziz datang dengan wajah sembap. Semangat "Rambate rata hayo singsingkan lengan baju kalau kita mau maju" tak tampak pagi ini. Lalu, dengan pedih ia berkisah padaku bahwa ia merasa telah dizalimi klub Di Timoer Matahari. Katanya ia
  ditumbalkan dalam persekongkolan untuk menggiring Maryamah menuju Patriot Trikora tempo hari. Muslihatnya adalah ia disuruh Mitoha mengalah pada Maksum. Persekutuan setan itu menjadi berantakan karena ternyata Maryamah berhasil menggulung Patriot. Sekarang, Aziz ingin membalas sakit hatinya dengan cara membelot ke klub kami.
  Niat Aziz kusampaikan pada Selamot, Giok Nio, dan Detektif M. Nur. Selamot menjawab dengan gaya politisi.
  "Nama klub kita, Kemenangan Rakyat Adalah Kebahagiaan Kita Semua. Semua itu berarti dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka kita harus bersedia menerima siapa saja."
  Mozaik 38
  Pembunuh Berdarah Dingin
  MEMANG tak pernah ada bukti bahwa pada masa junjungan Nabi Muhammad sudah ada permainan catur karena catur konon ditemukan di India-atau Arab?-pada abad ke-14. Nama aslinya chaturangga. Dari nama itu, Indialah yang paling mungkin asal muasalnya. Pernah ada sekelompok orang yang mengklaim catur berasa dari Arab. Namun, jika dari Arab, kurasa namanya akan jadi caturrahmat.
  Dari mana pun asalnya, jika catur merupakan metafora pertempuran, Junjungan telah memberi contoh yang terang soal kelakuan yang harus ditunjukkan prajurit di medan tempur. Semacam code of conducts tentara. Seganas apa pun pertempuran itu, perempuan, anak-anak, dan orang tua haruslah dikecualikan. Pampasan perang ala kadarnya, dan sejahat apa pun musuh, respek tetap harus ditaruh atas mereka. Menghinakan musuh seharusnya bukanlah tabiat para pejuang muslim.
  Namun, tengoklah perbuatan Matarom. Ia semakin beringas saja, terutama sejak kehadiran Master Nasional Abu Syafaat. Master itu tak lain kerabat Mitoha dan pernah menjadi pelatih catur provinsi. Mitoha mendatangkannya demi ambisinya menjadikan Matarom juara tiga kali berturut-turut, sehingga menjadi juara sejati. Master nasional akan melatih Matarom secara khusus.
  Di tangan master nasional, Matarom memang makin hebat. Ia merajalela pada setiap pertandingan. Ia melaju tanpa halangan dengan melibas setiap lawannya dua kosong tak berbalas. Ia tak pernah menemui lawan yang berarti. Karena tekniknya makin tinggi, naluri juaranya makin tajam, strategi Rezim Matarom-nya makin kejam, maka congkaknya makin bengkak.
  Firman Murtado, yang merupakan sekondan Patriot Trikora, membalaskan sakit hati kongsinya itu atas konspirasi-yang bagus di atas kertas, tapi carut-marut di lapangan-tempo hari. Ia membantai salah satu pecatur klub Di Timoer Matahari.
  Matarom, yang dongkol melihat kemajuan Maryamah sekaligus terpancing emosi melihat pembantaian yang dilakukan Firman itu, minta izin pada panitia untuk memakai papan catur peraknya ketika menghadapi Firman. Panitia membicarakan papan catur perak
  yang mengembuskan napas maut. Ia tahu bahwa Matarom tak pernah sekali pun dapat dikalahkan, oleh siapa pun, di atas papan catur perak berhantu itu. Namun, Firman adalah lelaki rasional yang berkali-kali mendaftarkan diri untuk pendidikan sekolah calon Tamtama, dan selalu gagal di ujian tertulis. Ia lelaki lembut tapi ada tentara di dalam dadanya, semua itu membuatnya sama sekali tak sudi jika disebut pengecut, apalagi harus menolak papan catur perak yang hanya desas-desus saja bahwa banyak hantu dari zaman lawas gentayangan di atasnya. Maka mendongaklah Firman.
  "Mau pakai hantu, mau pakai dukun, silahkan!"
  Katanya dengan gengsi yang meluap-luap.
  "Mau pakai papan perak, mau papan perunggu, aku tak takut!"
  Kurasa Firman Murtado sedikit bingung soal nilai logam mulia dan di tak paham konsep intensitas. Dalam marah yang benar seharusnya kalimat kedua itu nilainya lebih tinggi dari perak, bukan? Tak heran ia selalu gagal ujian tertulis. Ini tak lain tanggung jawab menteri pendidikan.
  Maka, bertandinglah mereka dengan papan catur perak. Para penonton yang menggemari catur dan para penggila klinik datang berbondong-bondong dan napas mereka tertahan karena dalam pengundian Matarom mendapat buah hitam. Duduklah lelaki bercambang gagang pistol itu di belakang barisan hantu sebagai raja iblis.
  Tak perlu waktu lama, papan catur menjelma menjadi Laut China Selatan yang bergelora. Raja berekor berdiri di haluan bahtera kaum lanun dengan mulut masih berdarah habis memangsa anak kecil. Menteri, yang telah diisi sang empu sesat dari Melidang, dengan nyawa tak diterima bumi karena bah kan neraka tak menyukai kekejamannya, yakni nyawa Panglima Ho Pho: Kwan Peng, menghunus pedang di b uritan. Ia tak sabar ingin menetak leher musuh. Delapa n pion hitam adalah bajak laut yang menyerbu dengan belati berkilat. Salah satu dari mereka kemudian menus uk jantung raja Firman Murtado.
  Secara pertempuran, raja Firman telah mangkat dengan gagah berani di tangan musuh, namun secara catur, raja itu telah dimakzulkan oleh sebutir pion, sekali lagi, sebutir pion, dan hal itu sama sekali bukan hal lain selain sebuah penghinaan. Kelakuan semacam itu memperlakukan musuh model begitu, yang tak disetujui oleh junjungan Muhammad.
  Pertandingan tak dapat dilanjutkan pada papan kedua sebab pelecehan yang dilakukan Matarom dengan memperalat prajurit balok satu umpan peluru alias pion itu menimbulkan huru-hara. Jika tak dilerai Sersan Kepala dan tak digertak Paman, pasti berakhir dengan tinju bebas tanpa ronde antar sekondan klub Di Timoer Matahari dan sekondan Firman Murtado.
  Para penggemar catur berdecak kagum atas sepak terjang Matarom sebab mereka tahu, Firman bukanlah pecatur kelas emprit. Tahun lalu ia berada di tempat ketiga, itu pun
  setelah Overste Djemalam


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>