Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta di Dalam Gelas - 22

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta di Dalam Gelas | by Andrea Hirata | Cinta di Dalam Gelas | Cersil Sakti | Cinta di Dalam Gelas pdf

Solandra - Mira W Pendekar Sejati II - Gan KL Hunger Game 2 - Tersulut (Catching Fire) Topeng Sang Putri - Astrella Tarian Liar Naga Sakti III - Marshall

et, sosiologi, referensi Buku Besar Peminum Kopi, dan ilmu statistik Lintang. Tak paham, bahwa kegiatan spionase tingkat tinggi yang didukung oleh Detektif M. Nur, Preman Cebol, seekor burung merpati yang cerdik, dan seorang lelaki norak yang mampu bersepeda 70 kilometer per jam, berada di balik semua itu. Sehingga, kami paham betul kemampuan setiap lawan bahkan kami tahu berapa jumlah istrinya. Ia juga tak mengerti apa yang dapat dilakukan seorang perempuan yang teraniaya dan memutuskan untuk membalas. Dari semua itu dapatlah kukatakan bahwa Maryamah takkan semudah itu dikalahkan.
  Dalam pada itu, Matarom semakin getol memamerkan kemampuannya di warung-warung kopi dengan tujuan menekan mental Maryamah. Hal itu justru menguntungkan kubu kami. Detektif M .Nur berhasil mengumpulkan berlembar-lembar diagram permainannya.
  Tiga hari sebelum laga final, aku, Detektif M. Nur, Preman Cebol, dan Aziz mengunjungi pasar malam untuk melihat pertunjukan orkes Melayu Pasar Ikan Belok Kiri pimpinan Bang Zaitun. Masyarakat berbondong-bondong datang karena konser itu adalah konser come back orkes Melayu yang sempat beku karena Bang Zaitun beralih profesi menjadi supir bus. Rupanya darah seniman Bang Zaitun tak pernah berhenti bergolak. Orang-orang bersarung dari pulau-pulau kecil rela berperahu berjam-jam demi menyaksikan Bang Zaitun beraksi.
  Panitia kehabisan tiket yang harganya hanya lima ratus perak. Pengunjung yang masuk tanpa tiket tangannya di cap huruf Z oleh penjaga pintu. Z pastilah maksudnya Zaitun. Aziz dan beberapa pria yang tak kami kenal terlambat masuk. Mereka kena cap Z itu.
  Orkes itu ternyata belum kehilangan daya magnetnya. Penonton bergoyang-goyang dimabuk musik, para personel orkes, tua-tua keladi! Bang Zaitun memakai jubah yang ditempeli pernak-pernik berkilau-kilau. Sepatunya berhak tinggi. Ikatan tali sepatunya sampai ke lutut. Hebat bukan buatan. Senyumnya terlempar-lempar menyapa penggemarnya. Permainan gitarnya meliuk-liuk. Eric Clapton pun bisa berkecil hati dibuatnya.
  Subuh-subuh esoknya aku naik bus ke Tanjong Pandan untuk membicarakan diagram Matarom dengan Nochka. Alunan gitar Bang Zaitun masih terngiang-ngiang di telingaku. Masih gelap waktu itu. Satu per satu penumpang naik. Aku hafal penumpang Senin subuh. Mereka adalah para pegawai pemerintah di kantor kabupaten yang pulang kampung untuk libur sejak Jumat lalu. Senin pagi mereka kembali ke kantornya. Lalu naik tiga orang lelaki yang tak kukenal. Mereka duduk di bangku paling belakang.
  Sepanjang perjalanan aku merasa diawasi ketiga orang itu. Jika aku menoleh ke belakang, mereka berpaling. Aku sadar bahwa ada yang tak beres. Bus sampai di Tanjong Pandan, aku minta sopir berhenti sebelum masuk terminal. Aku turun dan berlari menjauhi bus. Ketiga lelaki itu berloncatan dari dalam bus.
  Aku menyeberangi jalan, mereka menyusulku. Aku cemas, apa yang dinginkan orang-orang yang tak dikenal itu? Aku berbelok ke samping kantor pos. mereka berlari ke arah yang sama. Dua orang dari mereka mengambil jalur memutar. Jelas mereka ingin mengepungku. Aku masuk ke gang yang dipenuhi pedagang kaki lima. Mereka tengah bersiap menggelar dagangan. Mereka terkejut melihatku berlari pontang-panting. Tiba-tiba dua orang yang berlari memutar tadi muncul dan langsung menghadangku. Aku terjebak. Mereka berusaha merampas tasku. Kurengkuh tasku kuat-kuat. Lelaki yang lain mendorongku. Tindakan itu membuat tali tas terlepas dari tarikan kawannya, lengan jaketnya tersingkap. Tampak huruf Z
  di tangannya. Aku terkesiap. Aku tak mengenal mereka, tapi pasti Aziz Tarmizi terlibat dalam kejahatan ini, dan yang mereka incar adalah diagram permainan catur Matarom. Tak mungkin kulepas tas itu. Nasib Maryamah tergantung pada diagram-diagram itu.
  Aku berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menuju Jalan Safa lalu berbelok ke Gang Marwa. Kuterabas sekelompok burung merpati yang sedang mengerubuti ceceran dedak di jalan. Pengejarku semakin dekat. Situasiku menjadi genting. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Di sebuah kios kur aih segenggam beras dari dalam karung dan kulempark an ke udara sambil bersuit-siut seperti Detektif M .Nur memanggil Jose Rizal. Hanya beberapa detik setelah itu kudengar bunyi siutan lain yang sangat nyaring dan tak tahu dari mana, menukiklah dari angkasa seekor burung puih yang sangat besar. Burung itu berputar-putar dengan kecepatan yang mengagumkan seperti pesawat tempur. Aku kenal ia: Ratna Mutu Manikam! Lalu serombongan besar burung merpati berkelebatan mengikuti Ratna. Mereka bermanuver menyumbar bulir-bulir beras yang kuhamburkan ke udara. Kepakan dan peluit-peluit kecil di kaki mereka menimbulkan suara yang sangat gaduh. Mereka datang seperti kupanggil. Namun, yang kupanggil sesungguhnya bukan burung-burung dara itu, tapi penguasa pasar itu. Dari jauh kulihat orang-orang yang mengejarku, lalu mereka ngerem mendadak karena di depan mereka muncul tiga sosok yang aneh: seorang bertubuh seperti petinju, seorang lainnya kurus dan sangat tinggi, dan seorang lagi cebol.
  Suitan memanggil Ratna Mutu Manikam telah menarik perhatian Preman Cebol, dan naluri kepremanannya membuatnya mengerti bahwa aku dalam bahaya. Anak buahnya, mantan petinju itu, melakukan pukulan jab kiri dan kanan meninju-ninju udara. Ia bertubuh kaku dan besar, tapi kakinya lincah menari-nari. Aku terengah-engah dan berbalik, orang-orang yang mengejarku tadi tak tampak lagi.
  Mozaik 44
  Maryamah Tak Suka Kejutan
  AKU tak memberi tahu siapa pun soal kejadian di Pasar Pagi. Pengkhianatan Aziz ia nyatakan sendiri dengan tak lagi muncul di kantor Detektif M. Nur. Ia raib tak tahu rimbanya. Aku makin yakin ketika berjumpa lagi dengan Mitoha. Tanpa tedeng aling-aling ia mendesak.
  "Kaubawa ke mana diagram-diagram itu, Boi? Apa itu operasi belalang sembah?"
  Aku kaget dan tentu saja tak menjawab. Mitoha kesal tapi maklum, bahwa apa yang kami lakukan tidaklah menelikung aturan. Menyelidiki kemampuan lawan merupakan suatu tindakan profesional dan keniscayaan yang mestinya dilakukan setiap pecatur.
  Terang benderang semuanya, Mitoha-lah yang telah mengirim orang untuk membuntuti dan merampas tasku. Aku tak berniat memprotesnya aku hanya gamang, tapi juga kagum akan skenario persekongkolannya. Sesungguhnya tempo hari Aziz sengaja dibuatnya kalah secara pahit dan seolah diperlakukan secara tidak adil oleh klub Di Timoer Matahari, dengan tujuan sebenarnya agar dapat disusupkan ke klub kami. Sebuah intrik kelas tinggi yang licik. Mengerikan sekali akibat yang bisa ditimbulkan oleh lima gelas kopi. Aziz berhasil membongkar operasi belalang sembah. Mata-mata yang dimata-matai. Itulah yang telah terjadi pada Detektif M. Nur. Dalam situasi perang dingin ia mengalami suatu keadaan yang disebut sebagai kontraspionase. Lelaki kontet itu gemas bukan buatan.
  Aku tengah melamun di ambang jendela waktu Jose Rizal hinggap di kawat jemuran. Kudekati ia dan aku heran melihat gulungan kertas di kedua kakinya, biasanya hanya di kaki kanannya. Kubuka gulungan kertas di kaki kanannya.
  Mendapatkan Ikal, kawanku.
  Sudilah kiranya memaafkan kesalahanku atas kejadian Aziz Tarmizi. Memang tak tahu adat sekali orang itu.
  Ttd,
  M. Nur, yang menyesal.
  Lalu, pesan apakah di kaki kiri Jose Rizal itu? Aku berdebar-debar. Kubuka gulungan pesan itu.
  Mendapatkan Ikal, kawan majikanku.
  Sudilah kiranya memaafkan kesalahanku atas kejadian Aziz Tarmizi. Memang tak tahu adat sekali orang itu.
  Ttd,
  Jose Rizal, yang menyesal.
  Oh, rupanya Detektif M. Nur telah membuat permintaan maaf pula atas nama Jose Rizal. Kedua surat kubalas lewat suatu pesan untuk dua permintaan.
  Mendapatkan M. Nur dan Jose Rizal. Usahlah dirisaukan soal itu.
  Ttd,
  Ikal, yang pemaaf.
  "Dari seluruh diagram yang pernah kau kirim kepadaku, lawan ini yang terbaik," kata Nochka mengomentari diagram Matarom.
  "Terus terang, Kawan, harap jangan tersinggung, terkejut juga aku mendapat diagram semacam ini dari kampungmu. Ternyata ada pecatur hebat di sana." Ia sisipkan emotion- wajah tersenyum dengan lidah melet.
  "Orang ini menyerang dan bertahan sama bagusnya. Teknik pembelaannya lengkap. Teknik pembebasannya efektif. Sejujurnya, secara teknis ia jauh di atas Maryamah."
  Tubuhku meriang
  "Biasanya, ada celah lemah paling 3 langkah jika seorang pecatur mengubah strateginya. Ini disebut kelemahan momentum. Orang ini sudah profesional, ia mampu mengatasi masalah akibat perubahan momentum strategi itu. Gayanya mirip Grand Master Ludek Pachman."
  Mulutku rasanya pahit. Dengan lemas kutanyakan apa yang harus dilakukan Maryamah.
  "Harapan terletak pada kekuatan sistem bertahan benteng bersusun yang telah ia kembangkan sendiri itu."
  Belum pernah sebelumnya Grand Master memberi ulasan sepanjang itu.
  "Sulit bagiku memberi nasihat teknis untuk menghadapi lawan sekuat finalis ini. Semuanya tergantung pada naluri Maryamah."
  Dalam perjalanan pulang dari Tanjong Pandan, di dalam bus yang sepi aku melamun. Aku menengok ke belakang dan teringat akan perjalananku dulu, ketika pertama kali menghubungi Nochka untuk menanyakan apakah ia bersedia mengajari Maryamah main catur. Aneh sekali semuanya telah berlangsung. Beberapa bulan yang lalu, Maryamah masih tak tahu apa-apa, se karang bakatnya diakui oleh seorang grand master, ba hwa ia bermain seperti Anatoly Karpov. Betapa ajaib p erempuan itu. Betapa kuat tekadnya. Terpampang di de panku kini, akibat yang dahsyat dari orang yang tak pe rnah gamang untuk belajar dari orang yang berani men antang ketidakmungkinan.
  Lalu, aku terpana mendapati dunia yang baru kukenal: catur. Telah kulihat bagaimana pecatur menjadi jenderal, menjadi ahli strategi, raja-diraja, budak, atau terpaksa mengambil keputusan tanpa pilihan. Tak ada permainan lain seperti catur, di mana kemenangan dan kekalahan dapat di tawar. Tak ada permainan lain yang dengan secangkir kopi tampak seperti bertunangan. Spirit catur melanda kaum ningrat hingga jelata, hitam dan putih sama saja.
  Bagiku catur kadang kala mirip persamaan matematika. Ada semacam konstanta a, yakni nilai tak bergerak, semacam gradien yang mempengaruhi arah pertandingan. Konstanta itu adalah pengetahuan tentang kemampuan lawan. Catur tak sekedar permainan raja palsu dan tentara-tentara yang terbuat dari kayu, namun mengandung perlambang kekuasaan dan alat untuk menghina. Adapula yang hal yang unik semacam Guioco Piano.
  Sebuah cerita yang samar sumbernya mengatakan bahwa teknik pembukaan yang dapat dikembangkan menjadi serangan maut itu ditemukan oleh pecatur Sicillia pada awal abad ke-15. Guioco Piano berarti permainan yang tenang. Namun, akibatnya tak seteduh namanya. Penemunya konon terinspirasi pembunuhan yang dilakukan sebuah geng keluarga di Sicillia. Seperti kata Nochka, referensi yang kutemukan menyebut teknik Guioco Piano sangat sulit dikuasai. Jika tak pandai menerapkannya ia akan menjadi semacam senjata back fire. Ditembakkan namun peluru melesat ke belakang, makan tuan.
  "Guioco Piano sangat berbahaya," pesan Nochka dulu pada Maryamah.
  Barangkali ibarat ilmu silat, Guioco Piano adalah jurus pamungkas sakti mandraguna yang memerlukan tumbal yang besar untuk menguasainya.
  Lalu adakalanya kulihat buah catur sebagai orang yang tersandera, politisi, seniman, komedian, dan spekulan. Di atas papan persegi empat itu telah kusaksikan orang mempertaruhkan martabat dan membakar kesumat. Bagi orang-orang tertentu, Maryamah dan Selamot misalnya, yang selama hidupnya selalu kalah, papan catur bak pusat putaran nasib. Di papan catur Selamot berjumpa lagi dengan Tarub dan Maryamah bertemu lagi
  dengan Maksum, Go Kim Pho, Overste Djemalam, dan Matarom, orang-orang yang dengan kebaikan dan keburukannya telah membentuk ia seperti adanya. Di papan catur, Selamot dan Maryamah mendapati kerinduan menemukan penawarnya, utang budi menemukan terima kasihnya, ketidakadilan menemukan timbangannya. Di papan catur, kedua perempuan yang kalah itu menemukan kemenangan demi kemenangan.
  Lamunan yang panjang membuatku tak sadar bahwa bus reyot yang kutumpangi telah memasuki gerbang kampung. Di sebuah jalanan yang sepi aku minta berhenti. Aku berjalan melalui padang yang terhampar di sebelah kanan dan gulma yang lebat di sebelah kiri. Di ujung jalan setapak yang panjang itu tampak olehku sebuah rumah berdinding kulit kayu lelak dan beratap daun nanga.
  Sunyi senyap. Maryamah yang hidup sendiri setelah i


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>