Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta di Dalam Gelas - 23

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta di Dalam Gelas | by Andrea Hirata | Cinta di Dalam Gelas | Cersil Sakti | Cinta di Dalam Gelas pdf

Vampire Academy 2 : Frostbite - Richelle Mead Lupus Kecil - Hilman Hariwijaya Anak Kos Dodol - Dewi Rieka Aku Sudah Dewasa! - And Baby Makes Two - Dyan Sheldon Anugerah Bidadari - Astrella

bunya meninggal sedang menyapu pekarangan waktu aku tiba. Kami duduk di beranda. Kusampaikan padanya diagram-diagram catur instruksi dari Nochka untuk menghadapi Matarom, dan kusampaikan pula ucapan selamat dari sang Grand Master atas keberhasilannya masuk final. Juga kukatakan bahwa akan ada kejutan, seorang sahabat yang jauh akan datang untuk menyaksikan pertandingan final itu.
  Maryamah senang, namun ia mendesakku untuk memberi tahu siapa orang itu. Katanya, ia tak suka kejutan. Ia mendadak diam dan memandangi sebuah sepeda yang tersandar di sudut ruang tengah rumah. Lalu ia berkisah padaku tentang hadiah kejutan ayahnya untuk ibunya dulu, pada hari ayahnya meninggal. Ia menatapku.
  "Aku ingin memenangkan pertandingan final itu, Boi," suaranya berat. Ia tampak tak sabar ingin mengakhiri perjalanan epiknya dari seorang pecatur yang dipandang sebelah mata ke puncak kejuaraan.
  "Aku harus menang."
  Aku pulang dari rumah Maryamah dengan lamunan yang makin panjang. Orang yang tak mengenal Maryamah secara mendalam takkan dapat memahami alasan dan langkah yang ia ambil untuk menegakkan harga dirinya. Melalui Maryamah, aku belajar menaruh hormat pada orang yang menegakkan martabatnya dengan cara membuktikan dirinya sendiri, bukan dengan membangun pikiran negatif tentang orang lain. Lalu aku berpikir, seumpama catur, hidup sedikit banyak bak reaksi atas pilihan sulit yang silih berganti mem-fait accompli manusia, dan alasan selalu lebih mudah dilupakan ketimbang akibat.
  Selanjutnya, kulalui hari demi hari dengan dada bergemuruh menunggu pertandingan final. Kadang kala terasa cepat, dan kadang kala rasanya amat lambat. Keduanya bermuara pada siksaan. Malam sebelum pertandingan sama sekali tak dapat tidur. Jose Rizal hinggap di beranda rumahku.
  Boi, apa pun yang akan terjadi besok, bagiku Maryamah sudah menang. Membayangkan Maryamah menjadi juara membuatku ingin menangis. Terima kasih telah mengajakku dan Jose Rizal dalam petualangan yang luar biasa ini.
  Sahabatmu selalu
  M. Nur dan Jose Rizal
  Mozaik 45
  Indonesia Raya
  UMBUL-UMBUL telah dipasang di kiri-kanan jalan menuju Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi. Masyarakat berduyun-duyun ingin menyaksikan pertandingan final catur yang istimewa, bukan hanya karena perempuan melawan lelaki, dan lelaki itu adalah kampiun catur tiada tara sekaligus mantan suaminya, tapi juga sejak memakzulkan Overste Djemalam, reputasi Maryamah meroket. Sekarang ia dianggap pecatur kelas atas yang karismatik. Berminggu-minggu ia telah diremehkan di warung-warung kopi, sekarang tak sesuku kata pun lelaki Melayu yang banyak omong itu berani menafikannya.
  Di arena catur tahun ini perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus benar-benar terasa. Kaum perempuan pedagang kecil yang berunjuk rasa untuk mendukung pendaftaran Maryamah tempo hari tiba dalam satu rombongan besar yang meriah. Juragan-juragan toko Tionghoa bergabung dengan orang-orang Sawang, Melayu, dan orang-orang bersarung serta juragan-juragan perahu mereka. Semuanya ingin menyaksikan seorang perempuan yang digembar-gemborkan sangat lihai main catur. Para penonton penggemar klenik juga sangat banyak. Mereka tak paham catur, tapi ingin melihat papan catur perak yang magis itu. Mereka hadir dari pelosok pulau dalam pakaian serbahitam.
  Mitoha secara resmi telah meminta pada Modin untuk memakai papan catur perak Matarom pada laga final. Tentu saja karena ia ingin menjatuhkan mental Maryamah dengan segala kabar ilmu hitam dan fakta bahwa Matarom tak pernah terkalahkan jika berlaga dengan papan itu. Modin menyarankan agar kami menerima permintaan Mitoha, sebab ia dan golongan Islam garis kerasnya ingin sekali membasmi praktik klenik di kampung. Jika Maryamah menang, segala teori pendukunan otomatis akan patah. Kami sepaham Modin.
  Penonton kian berjubel. Yang tak dapat menyisipkan diri di antara kerumunan duduk berdempet-dempet di pagar serambi. Untuk mengantisipasi kericuhan, Sersan Kepala minta bantuan petugas penertiban pamong praja. Sehelai selendang merah dibentangkan di atas meja tanding untuk menghalangi pandangan kedua pecatur yang tadinya suami-istri, tapi sekarang bukan muhrim itu.
  Matarom, pemegang sabuk juara bertahan, datang bersama Mitoha dan Master Nasional Abu Syafaat. Ia langsung duduk di tempatnya. Dinyalakannya cangklong diisapnya, dan didiamkannya asap berkelana sebentar di dalam mulutnya, lalu disertai tepuk tangan pendukungnya, diembuskannya asap cangklong itu. Semua itu-sikap duduknya, embusan asap cangklongnya, dan seringainya-merupakan pernyataan bahwa pertandingan itu tak lebih dari soal remeh-temeh saja, dan bahwa jarak antara dirinya dan dengan juara abadi hanya tinggal dua game yang akan ia akhiri secara tragis bagi Maryamah. Namun, ia kaget karena mendengar tepuk tangan yang ramai. Melalui mikrofon, Modin bersusah payah menenangkan penonton. Maryamah tiba.
  Maryamah dikawal oleh lapis pertama sekondannya: Giok Nio, Alvin and the Chipmunks, Lintang, Detektif M. Nur dan Preman Cebol. Semuanya pakai baju baru. Alvin sibuk memamah biak permen telur cecak. Maryamah sendiri berbaju sari macam wanita India. Burkaknya jingga. Ketika ia berjalan, selendangnya berkibar-kibar. Aura penantang yang tak kenal takut terpancar kuat darinya, bahwa ia bukan lagi Maryamah sang pendulang timah, ia adalah pecatur perempuan yang menggetarkan lawan. Namun, tak seperti biasanya, Maryamah sendirian. Orang-orang bertanya, di manakah gerangan manajernya, Selamot? Kami pura-pura tak tahu.
  Maryamah duduk. Kemudian terdengar lagi tepuk tangan, tapi agak ragu. Rupanya hadirin menyambut yang datang bersama seseorang yang asing. Orang itu berjalan dengan tenang dan mengangguk pada setiap orang. Ia berperawakan sedang, tapi di antara orang Melayu ia kelihatan paling tinggi. Ia memakai kaus, celana jins, dan scarf berwarna biru. Cantik sekali. Kulitnya putih, rambutnya pirang. Rupanya yang sangat berbeda menarik perhatian setiap orang. Bisik-bisik merebak. Melihat orang itu, Mitoha, Overste Djemalam, dan Master Nasional Abu Syafaat tertegun seperti melihat hantu. Modin mengucek-ngucek matanya karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mulutnya ternganga, kacamatanya merosot. Mikrofon di dekatnya menangkap suara yang tak sadar ia ucapkan.
  "Ni ... Ni ... Ninochka Stronovsky ...."
  Mereka yang mengikuti perkembangan dunia catur seperti Mitoha, Overste Djemalam, Master Nasional Abu Syafaat, Modin, dan beberapa orang lainnya, tentu kenal Ninochka Stronovsky. Mereka yang familier dengan nama itu, namun tak pernah melihat wajahnya, terperangah. Mereka yang tak mengenalnya sama sekali ikut-ikutan seperti kenal agar tak dianggap orang udik, biasa orang Melayu.
  Mendengar namanya disebut, Nochka berhenti dan menoleh pada Modin. Ia tersenyum dan menunduk. Modin gugup dan agaknya ingin mengucapkan pidato penyambutan dalam bahasa Inggris, tapi kosakatanya terbatas. Ia melanjutkan dalam bahasa Indonesia
  "Saudara-saudara, suatu kehormatan bagi kita. Grand Master Ninochka Stronovsky, salah satu pecatur perempuan terbaik dunia, akan menyaksikan pertandingan final ini."
  Tepuk tangan yang tadi ragu kini menjadi pasti. Mereka yang tak kenal bertepuk tangan paling keras. Nochka membekapkan tangannya di dada dan mengangguk-angguk ke semua arah. Tepuk tangan untuknya sangat meriah dan panjang. Banyak orang berdiri tanda salut pada Grand Master. Sejenak kedua kubu sekondan melupakan pertikaian. Mitoha menoleh padaku. Pandangannya sulit kulukiskan dengan kata-kata. Terbongkarlah misteri besar tentang kemampuan Maryamah. Ia sekarang tahu ke mana diagram-diagram catur itu kubawa.
  Nochka duduk di sampingku dan memintaku menerjemahkan setiap ucapan Modin. Ia tertawa mengetahui nama klub-klub catur yang unik dan ia tampak amat tertarik. Katanya, di mana pun ia tak pernah melihat orang menonton catur seperti menonton sepak bola, ribut.
  Modin mengumumkan bahwa sesuai tradisi pada pertandingan final, akan diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tanpa diminta, hadirin yang duduk serentak berdiri. Orang-orang suku bersarung, membetulkan sarungnya. Orang-orang Sawang yang gagah, berdiri tegak. Orang-orang Tionghoa merapatkan barisan. Orang-orang Melayu yang tadi hiruk pikuk, mendadak diam. Ninochka Stronovsky berdiri dengan khidmat. Lalu, melalui tape recorder, mengalirlah lagi kebangsaan itu. Semua menyimak dan hanyut terbawa kemegahan lagu Indonesia Raya.
  Mereka yang bertopi menghormat pada bendera merah putih besar yang berkibar-kibar di puncak tiang di pekarangan warung. Maryamah membekapkan tangannya di dada. Selamot berkaca-kaca matanya, mungkin ia teringat pada calon presiden perempuan itu. Paman meskipun tak bertopi, juga menghormat. Dengan lantang ia ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu. Lagu itu usai, tepuk tangan gegap gempita. Pertarungan dahsyat dimulai.
  Maryamah dan Matarom berhadap-hadapan. Sungguh mendebarkan. Maryamah mendapat buah putih. Yang diharapkan para penganut pendukunan terkabul, yakni pada tarung papan pertama, Matarom akan memimpin tentara-tentara iblisnya. Matarom tersenyum. Dapat kurasakan Maryamah sedikit banyak terkorupsi oleh sugesti. Ia berusaha menguatkan diri untuk menghadapi lawan multidimensi. Ia bukan hanya akan melawan pecatur brilian di depannya, namun juga berkelahi melawan apa yang dipercayai oleh lelaki-lelaki berpakaian serbahitam yang nanar menatapnya.
  Maryamah membuka dengan pembukaan Spanyol yang konservatif. Beberapa langkah berikutnya kedua pecatur mulai terlibat perselisihan tingkat mahir. Matarom memasang formasi untuk memancing serangan luncus Maryamah. Maryamah mencium gelagat itu, ia tak terayu dan berkonsentrasi pada kudanya. Tanpa sebersit pun ia menduga bahwa Matarom sengaja memancing luncusnya karena ia sudah tahu bahwa siasatnya akan terendus dan Maryamah akan terfokus pada kudanya. Ini semacam tipuan dalam tipuan dalam tipuan.
  Berarti muslihat berpangkat banyak, pecatur tingkat sinuhun seperti Matarom mampu memperkirakan kemungkinan sampai 5 langkah ke depan.
  Maryamah terperosok ke dalam perangkap. Tak lama kemudian perwira-perwira Matarom siap mengokang senapan untuk memuntahkan peluru. Pendukungnya riuh melihat jagoannya mau menyerbu.
  Nochka diam dan tampak sangat tenang. Ia mengangguk-angguk seakan mengakui kemampuan Matarom. Matarom mencoba menyerang beberapa kali, tapi tidak efektif. Dicobanya lagi, gagal lagi. Setelah berulang kali gagal, ia sadar bahwa ia bisa masuk ke dalam situasi yang dialami Overste Djemalam waktu dilibas Maryamah. Serangan terus-menerus hanya akan membuatnya melakukan pelemahan sendiri. Disertai gerutuan pendukungnya, Matarom menawarkan remis. Maryamah menerima. Nochka mengangguk-angguk.
  "Hmm, interesting," katanya.
  Para pria berpakaian serbahitam terpaku. Wajah mereka yang tadi gembira dan benci berubah menjadi ragu. Master Nasional Abu Syafaat geram. Ia memanggil Matarom dan mencak-mencak memberi arahan. Baginya, seharusnya Matarom menang papan pertama tadi.
  Nochka berbisik padaku. Kudekati Maryamah.
  "Kak, kata Nochka, pakai pertahanan kombinasi benteng dan blok raja secepat mungkin."
  Papan kedua berlangsung mirip papan pertama. Pertandingan berlangsung penuh intaian marabahaya. Keringat membasahi burkak Maryamah. Matarom berusaha sekuat pikiran menundukkan lawan, tapi tetap tak bisa menembus pertahanan. Master Nasional Abu Syafaat menatapku dan Nochka dengan tajam. Ia tahu bahwa Nochka telah membaca siasatnya. Pertarungan ini rupanya tidak hanya Maryamah melawan Matarom, ilmu putih melawan ilmu hitam, atau keberanian melawan kesombongan, tapi juga antara Grand Master Ninochka Stronovsky melawan Master Nasional Abu Syafaat.
  Serangan Matarom tak berarti, dan tak ada pilihan lain kecuali remis lagi. Dua papan berlalu, skor masih seri. Para penggemar ilmu hitam kembali bergairah. Sekarang dari ragu wajah mereka berubah menjadi bengis. Adapun Master Nasional Abu Syafaat makin geram. Tangannya menunjuk-nunjuk. Aku tak tahu strategi apa yang diajarkannya pada Matarom, tapi dari dua pertandingan tadi Nochka pasti dapat mengantisipasi tindakan Master Nasional Abu Syafaat selanjutnya. Dia membisikiku.
  "Grunfeld Hindia, left wing, attackl" "Oke, Grand Master."
  Kuhampiri Maryamah.
  "Kak, pakai teknik Grunfeld Hindia. Sayap kiri raja, serang!" Maryamah mengangguk
  takzim.
  Pertandingan papan ketiga yang menentukan dimulai. Maryamah maupun Matarom sepe


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>