Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Alice in Wonderland - 6

$
0
0

Cerita Misteri | Alice in Wonderland | by Lewis Carroll | Alice in Wonderland | Cersil Sakti | Alice in Wonderland pdf

Vampire Academy 2 : Frostbite - Richelle Mead Lupus Kecil - Hilman Hariwijaya Anak Kos Dodol - Dewi Rieka Aku Sudah Dewasa! - And Baby Makes Two - Dyan Sheldon Anugerah Bidadari - Astrella

lice berpikir soal jamur itu lalu memetiknya. Alice membagi jamur itu menjadi dua bagian: bagian sisi kanan dan
59
kiri. Alice merasa kesulitan membedakannya karena bentuk jamur itu bundar. Tapi akhirnya ia merentangkan tangannya melingkari jamur itu dan membelahnya menjadi dua bagian serta memegangnya dengan dua belah tangannya.
"Tadi mana ya, bagian kiri dan kanannya?" Alice lupa dan kesulitan membedakan kedua sisi jamur itu. Lalu ia menggigit salah satu yang ia pegang di tangan kanannya untuk sekedar merasakan pengaruhnya: Tak lama kemudian, ia mulai merasakan sakit di bagian dagunya. Lalu iapun sadar dan ingat kembali saat dagunya sudah membentur pangkal atas kakinya!
Serta merta Alice ketakutan. Tubuhnya sudah menyusut dengan tiba-tiba. Tapi untunglah, tak lama tubuhnya berhenti mengecil dan payung jamur itu tidak terlepas dari genggaman tangannya. Alice tidak putus asa. Meskipun ia merasa kesulitan membuka mulut karena tubuhnya telah menyusut, tapi ia terus mencoba membuka mulut itu dan menggigit bagian yang ia pegang di tangan kiri.
"Nah, cepat...cepat..! Yak, akhirnya kepalaku terbebas juga," seru Alice gembira. Namun sejenak ia kembali khawatir. Lengan bahunya terasa menghilang, ia berusaha mencarinya tapi tidak ketemu. Alice melongok ke bawah, menelusuri lehernya yang kini panjang seperti batang menjulang tinggi di antara rumput-rumput hijau. Di matanya, rumput-rumput itu nampak jauh sekali berada di bawah.
"Apakah rumputan itu memang benar-benar rumput?" tanya Alice dalam hati, "dimana kira-kira kedua bahu tanganku? Oh tanganku yang malang! Bagaimana ini?! Kamu sekarang ada di mana, wahai
60
tanganku?!" Alice menggerak-gerakkan tubuhnya, namun tak ada pengaruhnya sama sekali, kecuali hanya gesekan-gesekan kecil bagi rerumputan itu. Alice berusaha meliukkan kepala ke arah tangannya yang ada di bawah, ia gembira, lehernya ternyata dapat digerakkan ke segala arah dengan sangat mudah seperti kepala Jerapah atau Ular Naga. Alice pun berhasil menekuk leher ke bawah hingga membentuk zig-zag yang indah, meliuk-liuk di antara daun-daun hijau. Alice akhirnya sadar, rumput itu ternyata adalah pucuk-pucuk pohon di sebuah hutan. Tempat biasanya burung-burung bersarang. Tentu saja, gerakan tubuhnya telah menggoyang-goyangkan pepohonan. Seekor burung Merpati Hutan besar terbang menyambar mukanya, menyerangnya dengan kasar sambil mengepak-ngepakkan sayap. Alice menarik kembali lehernya ke atas.
"Ular naga!" teriak si Merpati.
"Aku bukan ular naga!" Alice berusaha menjelaska n,
"Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendiri!"
"Aku sudah coba berbagai cara!" kata si Merpati sedih, diselingi isakkan tangis, "tapi tampaknya semuanya sia-sia."
"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu."
"Aku pernah mencoba menggunakan akar-akar pohonan, menumpuk onggokan akar itu dan ditambah jerami," lanjut si Merpati, tanpa menghiraukan Alice, "tapi mereka, Ular-Ular Naga itu! Mereka tetap saja tidak senang padaku."
Alice makin tidak mengerti, tapi ia pikir tak ada gunanya menyela. Lebih baik ia biarkan saja si Merpati melanjutkan ceritanya.
"Pikirnya mudah apa menetaskan telur?!" lanjut si Merpati, "Mereka selalu mengawasiku siang dan malam. Aku belum tidur sama
61
sekali selama tiga minggu ini, mengerami telur ini!"
"Eh.., baru saja aku hinggap di dahan pohon tertinggi di hutan ini," suara Merpati mulai terdengar serak, "dan baru saja terbebas dari para Ular Naga itu, tiba-tiba saja mereka sudah muncul lagi begitu saja meluncur dari langit! Sebel! Sebel!"
"Tapi, aku bukan si Ular Naga," kata Alice, "aku... aku.."
"Kalau bukan, jadi kamu ini sebenarnya siapa?" tanya si Merpati, "nampaknya kamu juga sedang mencari sesuatu."
"Aku...sebenarnya, aku hanyalah seorang gadis kecil," jawab Alice ragu-ragu, karena ia merasa telah berubah berulangkali.
"Seperti dalam cerita saja. Ya, aku memang pernah dengar cerita seperti itu. Tapi nampaknya tak ada satupun tokoh ceritanya yang punya leher panjang seperti kamu. Bukan, bukan! Pasti kamu seekor ular naga! Ya, benar. Dan kamu hendak menipuku dengan mengatakan bahwa kamu tak pernah suka makan telur!"
"Aku suka makan telur. Percayalah," jawab Alice seraya memohon seperti anak kecil, "tapi aku tak akan memakan telur milikmu. Aku tak suka makan telur yang masih mentah."
"Sudah, cukup kalau begitu!" putus si Merpati sambil meletakkan telur di sarangnya kembali.
Alice menunduk dengan meneroboskan kepalanya melalui sela-sela pepohonan, sebisa mungkin. Kadang lehernya nyangkut di ranting dan beberapa kali ia harus berhenti sejenak mengurai sangkutan lehernya. Tiba -tiba Alice teringat pada jamur yang masih tergenggam di tangannya. Hati-hati, ia berusaha mencicipi secara bergantian antara yang dipegang di tangan kiri dan tangan kanan. Tentu saja tubuhnya kadang memanjang kadang memendek. Hingga akhirnya
62
tubuhnya kembali normal.
Alice perlu beberapa waktu untuk membiasakan diri dengan ukuran tubuhnya yang normal. Awalnya ia merasa asing. Tapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa: "Sebagian rencanaku sudah terlaksana sekarang! Betapa perubahan-perubahan yang kualami ini sangat membingungkan! Aku jadi selalu ragu pada diriku sendiri dari menit ke menit, dari waktu ke waktu! Tapi sudahlah, saat ini tubuhku sudah kembali normal. Dan selanjutnya aku akan masuk ke taman indah itu - tapi bagaimana ya, caranya ?" Pada saat itu, Alice melihat sebuah dataran terbuka, dengan sebuah rumah kecil setinggi sekitar empat kaki berdiri disana. "Siapapun yang hidup di situ, pasti tubuh mereka tidak sepertiku: Ah, aku pasti akan menakutkan mereka!" Lalu ia mulai menggigit jamur di tangan kananya dan tidak berjalan mendekati rumah itu sampai ia bisa mengecilkan tubuhnya hingga setinggi sembilan inci.
63
Babi dan Lada
SEJENAK Alice diam berdiri menatap rumah itu sambil merencanakan sesuatu, ketika tiba-tiba seseorang dengan baju pelayan muncul dari hutan itu - ia menganggapnya pelayan karena dia memakai baju pelayan - tapi bila Alice menilik pada wajah seseorang itu saja, ia lebih suka memanggilnya dengan si Ikan. ia mengetok keras-keras pintu dengan jari-jemarinya. Pintu itu dibuka oleh seorang pelayan lain, berwajah bundar dan bermata besar seperti kodok; kedua pelayan itu, setelah Alice perhatikan, berambut menggelombang dengan kening penuh bedak, Alice penasaran sedang apakah mereka, dan ia merangkak agak menjauh dari hutan itu untuk mencuri dengar.
Si pelayan berwajah ikan awalnya mengeluarkan sebuah amplop besar dari kempitan lengannya, hampir sebesar tubuhnya, dan menyerahkannya pada pelayan satunya seraya berkata dengan sungguh-sungguh, "untuk permaisuri. Undangan bermain kriket dari sang ratu." Si pelayan berwajah kodok mengulangi kata-kata itu, dengan nada yang sama, hanya dengan mengubah susunannya sedikit," dari sang ratu. Undangan bagi permaisuri untuk bermain kriket."
Lalu mereka saling menunduk, dan rambut keduanya berbelitan satu dengan yang lain.
Alice tertawa terpingkal-pingkal, lalu ia berlari kembali dan sembunyi di hutan itu, takut mereka akan mendengar tawanya; dan ketika ia kemudian mengintip lagi, si pelayan berwajah ikan itu sudah pergi dan tinggal si pelayan satunya yang duduk di tanah dekat pintu, linglung menatap langit.
Alice hati-hati melangkah ke arah pintu itu dan mengetoknya.
65
"Tak ada gunanya mengetok pintu seperti itu," kata si pelayan, "karena dua alasan. Pertama, karena saya di sisi yang sama dari pintu itu sepertimu; kedua, karena mereka sangat gaduh di dalam, tak seorangpun akan mendengar." Dan memang benar, terdengar kegaduhan yang luar biasa di dalam rumah itu - suara bersin dan ketawa, sesekali terdengar bunyi pecahan, sepertinya piring atau panci pecah berkeping-keping.
"Lalu kalau begitu," kata Alice, "bagaimana aku bisa masuk ke dalam?"
"Harus ada semacam bayangan ketika kau mengetuknya," lanjut si pelayan tanpa memperhatikan Alice, "seolah-olah pintu itu ada diantara kita. Misal, kalau kamu di dalam, kau boleh mengetoknya dan saya bisa membukakan agar kau bisa keluar, kamu mengerti." Dia berbicara dengan kepala terus menatap langit, Alice tentu menganggapnya tak sopan. "Namun mungkin ia memang begitu," kata Alice pada diri sendi ri; "karena matanya sangat dekat dengan ujung kepala nya. Tapi biar begitu, dia mungkin b


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>