Cerita Misteri | Alice in Wonderland | by Lewis Carroll | Alice in Wonderland | Cersil Sakti | Alice in Wonderland pdf
Fear Street - One Evil Summer - Musim Panas Berdarah Bintang Dini Hari - Maria A Sardjono Cinta di Dalam Gelas - Andrea Hirata Fear Street - Switched - Tukar Tubuh Burung Kertas - Billy Koesoemadinata
Yang Mulia tetap harus memeriksa kesaksian saksi ini."
"Baiklah, kalau begitu," kata sang Raja dengan murung. Setelah melipat tangannya dan memberengut pada si tukang masak itu hingga matanya hampir tak kelihatan, sang Raja bertanya dengan
135
suara berat dan dalam, "terbuat dari apa kue tart itu?"
"Lada" Jawab si tukang masak.
"Sirup," terdengar sebuah suara mengantuk menyeru di belakangnya.
"Tangkap Dormouse itu," teriak sang Ratu. "Penggal Dormouse itu, keluarkan dia dari ruang sidang, tekan dia, jepit dia! cabuti sungutnya!"
Untuk beberapa saat semua yang ada di ruang itu sibuk mengusir si Dormouse, dan ketika masalah itu terselesaikan, si tukang masak sudah menghilang.
"Tak masalah!" kata sang Raja, sangat lega. "Panggil saksi berikutnya." Dan dia menambahkan dengan suara lembut pada sang Ratu, "sungguh, sayangku, kau saja yang periksa saksi berikutnya. Hal ini sudah membuat kepalaku pening!"
Alice melihat si kelinci putih itu ragu-ragu membaca daftar saksi. Alice sangat penasaran siapakah saksi berikutnya itu, "saksi-saksi sebelumnya belum memberikan bukti-bukti yang cukup," gumam Alice pada dirinya sendiri. Bayangkan bagaimana kagetnya Alice, ketika si kelinci itu membaca keras-keras, dengan suara melengking tinggi, nama: "Alice!"
136
Bukti Kesaksian Alice
"YA, aku disini!" seru Alice, lupa karena bingung dengan perubahan tubuh yang ia alami. Tubuhnya kini sudah membesar dan dengan tergesa ia meloncat hingga ia merobohkan tempat saksi dengan ujung bajunya, menjungkirkan kepala para juri itu ke bawah hingga merekapun tergeletak dan lintang pukang berjumpalitan, mengingatkannya pada akuarium bulat ikan masnya yang tidak sengaja telah ia tumpahkan seminggu sebelumnya.
"Oh saya mohon maaf!" serunya cemas, dan mulai bergegas memunguti para juri itu lagi. Peristiwa penumpahan ikan mas itu masih membekas di benaknya, dan samar-samar diingatnya, ia harus mengumpulkan dan meletakkan para juri itu kembali ke tempat semula, sebab kalau tidak, mereka bisa mati karenanya.
"Sidang tidak bisa dilanjutkan," kata sang Raja dengan sesal, "sampai semua juri kembali ke tempatnya semula - semuanya," dia mengulang dengan penuh tekanan, menatap tajam ke arah Alice.
Alice kembali memandangi tempat juri dan yakin bahwa sesuai keinginannya, dia telah menaruh si kadal dengan kepala di bawah. Binatang malang itu pun menggoyang-goyangkan ekornya dengan sedih, karena tak bisa bergerak. Segera Alice mengeluarkannya
lagi dari tempat itu dan menaruhnya dengan posisi yang benar: "Itu tak penting," katanya pada diri sendiri: "Tapi kupikir itu akan penting bila dimaksudkan untuk menjajarkan posisi dan derajat semua yang ada di ruang sidang."
Tak lama setelah para juri agak pulih dari kekagetan mereka, dan kertas serta pensil sudah mereka pegang kembali, para juri
138
kembali rajin menuliskan urutan peristiwa tadi. Semuanya, kecuali si kadal, yang nampaknya tak bisa berbuat apa-apa selain duduk dengan mulut terbuka, memandangi langit-langit ruang sidang.
"Apa yang kau tahu soal persidangan ini?" Tanya sang Raja pada Alice.
"Tak ada," kata Alice.
"Tak tahu sama sekali?" tegas sang Raja.
"Sama sekali tidak," kata Alice.
"Ku sangat penting," kata sang Raja, beralih menatap para juri. Para juri itu baru saja mulai menuliskan ucapan Raja itu, ketika kelinci putih menyela: "Tidak penting, maksud sang Raja, tentu saja," dengan nada penuh hormat, tapi seraya memberengut menatap sang Raja.
"Tentu saja, maksudku, tidak penting" ralat sang Raja buru-buru, dan meneruskan pada dirinya sendiri dengan menggumam, "penting-tidak penting, penting -tidak penting," seolah mencari-cari mana yang lebih baik.
Beberapa juri menuliskannya penting sebagian lainnya menuliskannya tidak penting. Alice bisa melihatnya karena berdiri cukup dekat untuk bisa melihat isi kertas para juri itu: "Tapi itu tak masalah," pikirnya dalam benaknya sendiri.
Pada saat itu sang Raja, yang untuk beberapa saat sibuk menulis di buku catatannya, berteriak, "diam! " dan membaca keras-keras buku catatannya, "aturan n omor empatpuluh dua. Siapa saja yang tinggi tubuhnya lebih dari satu mil keluar dari ruang sidang."
Semua langsung menatap Alice.
"Tinggiku tidak satu mil," kata Alice.
139
Tinggimu segitu," kata sang Raja. "Bahkan hampir dua mil," tambah sang Ratu. "Apapun alasannya, aku tidak akan pergi," kata Alice, "disamping itu, aturan itu tidak umum: Kau baru mengarangnya tadi." "Itu aturan paling tua di dalam catatan buku ini." Bantah sang Raja dengan tegas.
"Kalau begitu mestinya jadi aturan nomor satu," kata Alice.
Sang Raja berubah pucat, dan buru-buru menutup buku catatannya. "Buat keputusan kalian," perintahnya pada para juri dengan suara lemah dan gemetar.
"Mestinya harus ada bukti-bukti tambahan, Yang Mulia," kata kelinci putih,
140
melompat maju dengan tergesa; "amplop ini baru saja diambil dan dibawa kemari."
"Isinya apa?" kata sang Ratu.
"Saya belum membukanya," kata si kelinci putih, "tapi sepertinya isinya surat, yang ditulis oleh tahanan kepada-seseorang."
"Pasti begitu," kata sang Raja, "bila tidak ditujukan untuk siapa-siapa, itu tidak wajar."
"Ditujukan pada siapa?" Tanya salah satu anggota juri.
"Tak ditujukan pada siapa pun," kata kelinci putih, "nyatanya, tak ada tulisannya di sampul luar." Dia membuka surat itu sembari bicara, dan menambahkan, "isinya bukan surat ternyata: Tapi serangkaian puisi."
"Apakah gaya tulisannya milik tahanan?" Tanya anggota juri yang lain.
"Tidak, tidak," kata si kelinci putih, "dan itulah anehnya." (para juri nampak kebingungan);
"Tahanan itu pasti telah memalsukan tulisan tangan orang lain," kata sang Raja. (dan wajah para juri pun mulai ceria lagi).
"Yang Mulia," kata Jack si pembohong,"saya tidak menulisnya, dan mereka tidak bisa membuktikan kalau yang menulis itu adalah saya: Tidak ada nama tertera di situ."
"Bila kau tidak menuliskan namamu di situ," kata sang Raja, "itu berarti hanya akan membuat masalahnya tambah buruk. Kau pasti punya maksud tersembunyi. Kalau tidak tentu kau sudah menuliskan namamu layaknya seorang yang jujur."
Tepuk tangan terdenga: sungguh hal cerdas pertama kali yang diucapkan sang Raja selama persidangan itu.
141
"Dengan begitu terbukti sudah kesalahannya," putus sang
Ratu.
"Itu tak membuktikan apapun!" bantah Alice. "Kau bahkan tak tahu apa isinya!"
"Bacakan isinya." Perintah sang Raja.
Si kelinci putih lalu memakai kacamatanya. "Darimanas aya mesti memulainya, Yang Mulia?" tanyanya.
"Mulai saja dari awal," kata sang Raja geram, "teruskan sampai akhi: kemudian berhenti."
Di bawah ini adalah puisi yang dibacakan si kelinci: -
mereka memberitahuku kau telah pergi menemuinya, dan menyebutku di hadapannya dia telah memberiku sifat yang baik tapi dikatakannya aku tak bisa berenang.
Dia mengirimi mereka dengan kata-kata yang tidak kulupakan
(kita tahu benar begitu)
bila masalah itu akan dia teruskan
apa jadinya dirimu?
aku telah memberinya satu, mereka memberinya dua kau memberi kami tiga atau lebih; akan kembali dari tangannya ke tanganmu semuanya meski sebelumnya semua itu milikku
bila aku atau dia punya kesempatan
142
terlibat dalam urusan ini
dia mempercayakan padamu agar dia dibebaskan,
sama bebasnya dengan kami
dugaanku adalah bahwa telah kau (sebelum dia kejam dan suka marah begitu) beri satu penghalang antara aku dia, kami sendiri dan makanan itu.
Jangan biarkan ia tahu bila dia sangat menyukainya Karena ini baginya Rahasia, jaga semuanya, Antara kau dan aku saja.
"Itulah bukti berharga yang telah kita dengar," kata sang Raja, dengan menggosok-gosok tangannya; "jadi sekarang biarkan para juri-"
"Kalau saja ada yang bisa menjelaskan puisi itu," kata Alice, (tubuhnya sangat besar pada menit-menit terakhir hingga ia pun sama sekali tidak takut untuk menyela). "Saya akan memberinya enam sen. Saya tak yakin rangkaian puisi itu punya arti tertentu."
Para juri semuanya menulis di kertas masing-masing. "Dia tidak percaya rangkaian puisi itu punya arti," tapi tetap saja tak satupun dari mereka berusaha menjelaskan isi puisi itu.
"Kalau tak ada artinya," kata sang Raja, "berarti selesailah semua masalahnya. Karena kita tak perlu untuk mencarinya. Dan saya belum tahu itu," lanjutnya dengan membentangkan puisi itu di
143
pangkuannya, membacanya dengan sebelah mata: "Sepertinya saya menemukan arti dalam puisi ini."- dikatakan aku tak bisa berenang-' kau tidak bisa berenang, 'kan?" ia bertanya pada Jack si pembohong
Dengan sedih Jack si pembohong itu menggeleng. "Apakah aku terlihat seperti 'itu?" tanyanya (tentu saja ia tidak begitu, karena tubuh Jack si pembohong ftu seperti kartu remi).
"Sampai sejauh ini benar," kata sang Raja, dan dia terus menggumamkan puisi itu: "Kami tahu itu benar- "itu pasti suara para juri - "aku telah memberinya satu, mereka memberinya dua-" ya, itu pasti yang ia sedang lakukan dengan kue tart itu-"
"Tapi kelanjutannya "roti-roti itu semua akhirnya kembali dari dia ke tanganmu, "kata Alice.
"Ya, karena kue itu ada disana sekarang!" kata sang Raja dengan puas karena merasa menang, sembari menunjuk kue tart yang ada di atas meja.
"Semuanya sudah jelas. Kemudian lagi - "sebelum dia kejam dan suka marah begitu- kupikir kau pasti tak pernah marah, sayangku?" katanya pada sang Ratu.
"Tidak pernah!" jawab sang Ratu dengan sangat marah, melempar tempat tinta ke arah si kadal, (si kadal kecil yang malang itu sudah tidak lagi menulisi kertasnya dengan jarinya, karena tidak membekaskan apa-apa; tapi pada saat itu juga ia mulai melakukannya lagi dengan terburu-buru, menggunakan tinta yang melumuri dan menetes dari wajahnya, sebelum tinta itu habis.)
"Lalu kau pun tak pantas marah seperti itu," kata sang Raja, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang sidang dengan tersenyum. Semuanya diam mencekam.
145
"Hanya permainan kata-kata!" ralat sang Raja merasa tersudut, dan semua yang ada di ruang itu pun kemudian tertawa. "Biarkan para juri yang membuat keputusannya," kata sang Raja, ia sudah mengulangi kata itu selama empat puluh kali hari itu.
"Tidak, tidak!" kata sang Ratu. "Hukumannya dulu - baru keputusannya."
"Kejam dan tidak masuk akal!" teriak Alice, "untuk menetapkan hukumannya dulu!"
"Jaga mulutmu!" bentak sang Ratu, wajahnya berubah ungu.
"Tidak bisa!" kata Alice.
"Penggal kepalanya!" teriak sang Ratu sekeras-kerasnya. Tak satupun yang ada di ruangan itu berani bergerak.
"Siapa yang peduli denganmu?" kata Alice, (pada saat ini tubuhnya sudah tumbuh membesar dengan ukuran yang sesuai). "Toh kalian tak lebih hanyalah sekumpulan kartu remi!"
Lalu seluruh kartu remi itu berhamburan ke udara dan melayang jatuh menerpa wajah Alice. Alice berteriak karena ketakutan dan marah serta berusaha memukul-mukulnya. Namun sesaat kemudian, Alice mendapati dirinya sedang tertidur dalam pangkuan kakaknya di tepian sungai. Kakaknya segera membersihkan guguran daun-daun di wajah Alice.
"Bangun, Alice sayang!" bujuk kakaknya, "kamu sudah tertidur lama sekali."
"Oh.. Aku baru saja mimpi aneh!" kata Alice. ia lalu menceritakan seluruh petualangannya di negeri ajaib yang mampu ia ingat - seperti kisah yang kalian baca ini -. Sehabis bercerita, Alice dicium kakaknya: "Sungguh mimpi yang sangat indah! Tapi Alice, kau harus minum
146
tehmu dulu. Nanti keburu dingin."
Alice bergegas berlari mengambil teh dan meminumnya seraya membayangkan betapa indah mimpi yang baru saja ia alami.
Sementara untuk beberapa lama, kakaknya masih duduk di tempatnya semula, di tepian sungai itu. ia sandarkan kepala di tangannya, menikmati pancaran cahaya matahari sambil membayangkan petualangan adiknya di dunia mimpi. Hingga akhirnya, ia sendiripun ikut-ikutan bermimpi, dan beginilah mimpinya:
Awalnya ia bermimpi menjadi Alice dengan tangan kecilnya memeluk lutut. Sebuah sorot mata berbinar menatapnya - ia bisa mendengar suaranya yang merdu, dan kepalanya yang bergoyang-goyang berusaha menyibakkan rambut yang menutupi matanya -dan ketika ia terus mendengarkan, mendengarkan suara itu, tempat itu menjadi hidup dan diceriakan oleh kehadiran mahluk-mahluk aneh seperti yang ada dalam mimpi adiknya.
Rumput-rumput menggersik di kakinya ketika kelinci putih itu melintas - sementara tikus yang ketakutan itu berenang di sebuah genangan- dia dengar denting cangkir teh ketika March Hare dan si Hatter sedang melakukan perjamun tanpa akhir mereka dan suara menggeletar sang Ratu memerintahkan hukuman pen
↧
Alice in Wonderland - 13
↧