Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pertempuran Labirin - 36

$
0
0

Cerita Misteri | Pertempuran Labirin | Seri Percy Jackson and the Olympians | Pertempuran Labirin | Rick Riordan | Pertempuran Labirin pdf

Century - Sarah Singleton Cintaku Selalu Padamu - Motinggo Busye Sandra Brown - Dalam Derai Hujan - Bittersweet Rain 2 Perbedaan 1 Hati - Omiyan Cinta Tak Semudah Kata CINTA - Azizah Attamimi

g-senang. Terutama saat aku mengenakan sayap perunggu dan mengepak-ngepak lenganku seperti bebek.
  Aku terjun bebas ke arah bukit dan batu-batu merah di bawah. Aku cukup yakin aku bakal menjadi setitik noda di Taman Para Dewa, saat Annabeth berteriak dari suatu tempat di atasku, Rentangkan lenganmu! Lalu luruskan lenganmu!
  Bagian kecil dari otakku yang tak dicekam rasa panik mendengarnya, dan lenganku merespons. Segera setelah aku merentangkan lenganku, sayap yang kukenakan menjadi kaku, menangkap angin, dan kecepatan jatuhku melamban. Aku melayang ke bawah, tapi dengan sudut terkendali, seperti layang-layang yang sedang meluncur ke bawah.
  Aku coba-coba mengepakkan lenganku sekali. Aku menukik ke angkasa, angin bersiul-siul di telingaku.
  Yeah! teriakku. Perasaan ini tak dapat dipercaya. Setelah berhasil menguasainya, aku merasa seolah sayap itu adalah bagian dari tubuhku. Aku bisa melayang dan menukik dan terjun ke mana pun yang kuinginkan.
  Aku berbalik dan melihat teman-temanku Rachel, Annabeth, dan Nico berputar-putar di atasku, memincingkan mata menghalau sinar matahari. Di belakang mereka, asap membubung dari jendela bengkel kerja Daedalus.
  Mendarat! teriak Annabeth. Sayap ini tidak akan bertahan selamanya.
  Berapa lama? seru Rachel.
  Aku tak mau mencari tahu! kata Annabeth.
  Kami menukik ke bawah menuju Taman Para Dewa. Aku melakukan putaran sempurna di sekeliling salah satu batu yang menjulang dan menakuti beberapa orang pendaki. Lalu kami berempat melayang menyeberangi lembah, di atas jalanan, dan mendarat di teras sebuah pusat pengunjung. Saat itu sudah sore dan tempat itu kelihatannya lumayan kosong, tapi kami mencopot sayap kami secepat yang kami bisa. Melihat sayap-sayap itu, bisa kulihat bahwa Annabeth benar. Segel perekat yang melekatkan sayap ke punggung kami sudah meleleh, dan kami telah merontokkan bulu-bulu perunggunya. Sayang sekali, tapi kami tidak bisa memperbaikinya, dan tidak bisa meninggalkannya untuk para manusia fana, jadi kami menjejalkan sayap-sayap itu ke tempat sampah di luar kafetaria.
  Aku menggunakan kamera binokular wisatawan untuk melihat bukit tempat bengkel kerja Daedalus berada, tapi bengkel itu sudah lenyap. Tidak ada asap lagi. Tidak ada jendela yang pecah. Yang tampak hanyalah sisi sebuah bukit.
  Bengkel kerja sudah pindah, tebak Annabeth. Entah ke mana.
  Jadi, apa yang kita lakukan sekarang? tanyaku. Bagaimana kita kembali ke dalam labirin?
  Annabeth menatap ujung Puncak Pikes di kejauhan. Mingkin kita nggak bisa. Kalau Daedalus tewas ... dia bilang daya hidupnya terikat dengan Labirin. Semuanya mungkin hancur. Mungkin itu bakal menghentikan penyerbuan Luke.
  Aku memikirkan Grover dan Tyson, masih ada di suatu tempat di bawah sana. Dan Daedalus ... meskipun dia pernah melakukan hal-hal buruk dan membahayakan semua orang yang kusayangi, cara mati seperti itu tampaknya cukup mengerikan.
  Tidak, kata Nico. Dia belum mati.
  Bagaimana kau bisa yakin? tanyaku.
  Aku tahu saat orang mati. Aku mendapat firasat seperti ada dengungan di telingaku.
  Bagaimana dengan Tyson dan Grover, kalau begitu?
  Nico menggelengkan kepalanya. Itu lebih susah. Mereka bukan manusia atau blasteran. Mereka tidak punya jiwa fana.
  Kita harus ke kota, Annabeth memutuskan. Kesempatan kita untuk menemukan pintu masuk ke Labirin bakal lebih bagus. Kita harus sampai kembali ke perkemahan sebelum Luke dan pasukannya.
  Kita bisa saja naik pesawat, kata Rachel.
  Aku merinding. Aku tidak mau terbang.
  Tapi kau baru saja terbang.
  Itu terbang rendah, kataku, dan bahkan itu pun berisiko. Terbang betul-betul tinggi itu wilayah Zeus. Aku tak bisa melakukannya. Lagi pula, kita bahkan tidak punya waktu untuk terbang. Labirinlah cara tercepat untuk kembali.
  Aku tidak mau mengatakannya, tapi aku juga berharap mungkin, mungkin saja, kami akal menemukan Grover dan Tyson dalam perjalanan.
  Jadi, kita perlu mobil untuk membawa kita ke kota, kata Annabeth.
  Rachel melihat ke bawah ke arah lapangan parkir. Dia meringis, seolah dia akan melakukan sesuatu yang disesalinya. Biar kuurus.
  Bagaimana? tanya Annabeth.
  Pokoknya percaya saja deh.
  Annabeth terlihat tidak senang, tapi dia mengangguk. Oke, aku akan membeli prisma di toko cendramata, mencoba membuat pelangi, dan mengirimkan pesan-Iris ke perkemahan.
  Aku ikut denganmu, kata Nico. Aku lapar.
  Aku akan tinggal dengan Rachel, kalau begitu, kataku. Kita ketemu di tempat parkir.
  Rachel mengerutkan kening seakan dia tidak mengeingi nkanku bersamanya. Itu membuatku agak tak enak ha ti, tapi aku toh tetap mengikutinya turun ke lapangan p arkir.
  Dia menuju ke sebuah mobil hitam besar yang terparkir di tepi lapangan. Mobil itu adalah Lexus bersopir, seperti jenis mobil yang senantiasa kulihay berkendara di sepenjuru Manhattan. Sang pengemudi ada di depan sedang membaca koran. Dia mengenakan setelah gelap dan dasi.
  Kau mau apa? tanyaku pada Rachel.
  Tunggu saja di sini, katanya sengsara. Kumohon.


  Rachel langsung berserap ke arah sang pengemudi dan bicara kepadanya. Pria itu mengerutkan dahi. Rachel mengatakan hal lain. Pria itu jadi pucat dan buru-buru melipat majalahnya. Dia mengangguk dan meraba-raba untuk mencari ponselnya. Setelah menelepon sebentar, dia membuka pintu belakang mobil, mempersilakan Rachel masuk. Rachel menunjuk ke arahku, dan sang pengemudi mengangguk-anggukkan kepalanya lagi, seperti Ya, Nyonya. Apa pun yang Anda inginkan.
  Aku tak tahu kenapa laki-laki itu bersikap gugup sekali.
  Rachel kembali untuk menjemputku tepat ketika Nico dan Annabeth muncul dari toko cendramata.
  Aku bicara pada Chiron, kata Annabeth. Mereka melakukan yang terbaik dan bersiap-siap untuk pertempuran, tapi dia tetap ingin kita kembali. Mereka bakal memerlukan semua pahlawan yang bisa mereka kumpulkan. Apa kita dapat tumpangan?
  Si sopir siap saat kita siap, kata Rachel.
  Sang sopir sekarang bicara kepada laki-laki lain yang mengenakan celana khaki dan baju polo, mungkin kliennya yang menyewa mobil itu. Sang klien sedang mengomel, tapi bisa kudengar sang pengemudi berkata, Saya minta maaf, Pak. Darurat. Saya sudha memesan mobil lain untuk Bapak.
  Ayo, kata Rachel. Dia membimbing kami ke mobil dan naik bahkan tanpa melirik si laki-laki kesal yang menyewanya. Semenit kemudian kami sudah mengarungi jalan. Kursi-kursinya terbuat dari kulit. Ada banyak ruang untuk meluruskan kaki. Di kurs belakang ada TV layar datar terpasang di sandaran kepalanya da ada kulkas mini yang dipenuhi air botolan, soda, dan makanan ringan. Kami mulai mengemil.
  Ke mana, Nona Dare? tanya sang pengemudi.
  Aku belum yakin, Robert, katanya. Kami cuma perlu berkendara melewati kota dan, eh, melihat-lihat.


  Terserah Anda, Nona.
  Aku memandang Rachel. Kau kenal laki-laki ini?
  Nggak.
  Tapi dia melepaskan segalanya untuk membantumu. Kenapa?
  Pasang saja matamu, katanya. Bantu aku lihat-lihat.
  Yang tentunya bukanlah jawaba pertanyaanku.
  Kami berkendara melintasi Colorado Springs selama sekitar setengah jam dan tidak melihat apa pun yang Rachel anggap mungkin saja merupakan jalan masuk Labirin. Aku sadar sekali bahwa bahu Rachel menekan bahuku. Aku terus bertanya-tanya siapa dia sebenarnya, dan bagaimana dia bisa menghampiri seorang sopir yang tidak dikenalnya dan seketika mendapatkan tumpangan.
  Setelah kira-kira sejam kami memutuskan untuk menuju utara ke arah Denver, berpikir bahwa mungkin kota yang lebih besar mungkin memiliki pintu masuk Labirin, tapi kami semua jadi gelisah. Kami kehabisan waktu.
  Lalu, tepat saat kami meninggalkan Colorado Springs, Rachel terduduk tegak. Keluar dari jalan raya!
  Sang pengemudi melirik ke belakang. Maaf, Nona?
  Kupikir aku melihat sesuatu. Keluar dari sini.
  Sang pengemudi berbelok memotong lalu lintas dan keluar dari jalan raya.
  Apa yang kau lihat? tanyaku, soalnya kami bisa dibilang sudah ada di luar kota sekarang. Tidak ada apa-apa kecuali bukit, lahan berumput, dan beberapa bangunan peternakan yang tersebar. Rachel menyuruh sang pengemudi berputar menyusuri jalan tanah yang tidak menjanjikan ini. kami berkendara melintasi sebuah plang, terlalu cepat sehingga aku tidak bisa membacanya, tapi Rachel bilang, Museum Pertambangan dan Industri Barat.
  Untuk sebuah museum, sepertinya kurang banyak yang bisa dilihat sebuah rumah kecil seperti stasiun kereta api gaya kuno, beberapa mesin bor dan pompa dan mesin penggali bertenaga uap tua dipamerkan di luar.
  Di sana. Rachel menunjuk sebuah lubang di sisi bukit dekat sana terowongan yang dipapan dan dirantai: Jalan masuk tambang tua.
  Pintu ke Labirin? tanya Annabeth. Bagaimana kau bisa yakin?
  Yah, lihat saja! kata Rachel. Maksudku ... aku bisa melihatnya, oke?
  Dia berterima kashi kepada sang sopir dan kami semua keluar. Dia tidak minta uang atau apa pun. Apa Anda yakin Anda akan baik-baik saja, Nona Dare? Saya akan denga senang hati menelepon
  Nggak! kata Rachel. Nggak perlu. Betul. Makasih, Robert. Tapi kami baik-baik saja.
  Museum itu tampaknya tertutup, tapi tak ada yang memedulikan kami mendaki bukit ke lubang masuk tambang. Waktu kami sampai di pintu masuk, kulihat tanda Daedalus terukir di gembok, meskipun aku sama sekali tak tahu bagaimana Rachel melihat sesuatu sekecil itu dari tempat sejauh jalan raya. Aku menyentuh gembok dan rantai-rantai berjatuhan. Kami menendangi beberapa papan dan berjalan masuk. Entah ini baik atau buruk, tapi kami kembali berada dalam Labirin.
 
  Terowongan tanah berubah menjadi batu. Terowongan berkelak-kelok dan bercabang dan pada dasarnya mencoba membingungkan kami, tapi Rachel tidak kesulitan memandu kami. Kami memberitahunya bahwa kami harus kembali ke New York, dan dia nyaris tidak berhenti sama sekali ketika terowongan menawarkan pilihan.
  Yang membuatku terkejut, Rachel dan Annabeth memulai percakapan saat kami berjalan. Annabeth bertanya lebih banyak tentang latar belakangnya, tapi Rachel terus mengelak, jadi mereka mengobrol soal arsitektur. Rupanya Rachel tahu sesuatu soal arsitektur karena dia mempelajari seni. Mereka membicarakan berbagai tampilan muka gedung-gedung di sepenjuru New York Apa kau sudah lihat yang ini, bla, bla, bla, jadi aku pindah ke belakang dan berjala di samping Nico dalam keheningan yang tak nyaman.
  Makasih sudah mencari kami. Aku akhirnya berkata padanya.
  Mata Nico menyipit. Dia tampaknya tak semarah sebelumnya cuma curiga, waspada. Aku berutang budi padamu soal kejadian di peternakan, Percy. Lagi pula ... aku ingin menemui Daedalus demi diriku sendiri. Minos ada benarnya. Daedalus seharusnya mati. Tidak ada yang seharusnya bisa menghindari kematian selama itu. Itu nggak wajar.
  Itulah yang kau kejar selama ini, kataku. Menukar jiwa Daedalus dengan jiwa kakakmu.
  Nico berjalan sejauh sekitar lima pulih meter lagi sebelum menjawab. Rasanya tidak gampang. Hanya ditemani orang mati. Tahu bahwa aku tidak akan diterima oleh orang-orang hidup. Cuma orang mati yang menghormatiku, dan mereka melakukan itu cuma karena takut.
  Kau bisa diterima, kataku. Kau bisa punya teman di perkemahan.
  Dia menatapku. Apa kau betul-betul memercayainya, Percy?
  Aku tidak menjawab. Sebenarnya, aku tak tahu. Nico dari dulu memang sedikit berbeda, tapi sejak kematian Bianca, dia jadi hampir ... menyeramkan. Dia punya mata yang mirip mata ayahnya menyala-nyala dengan intens dan liar yang membuatmu curiha kalau-kalau dia genius ataukah orang gila. Dan caranya menyingkirkan Minos, danmenyebut dirinya sendiri sang raja hantu lumayan mengesankan, tapi juga membuatku tak nyaman.
  Sebelum aku bisa memikirkan apa yang akan kukatakan kepadanya, aku menabrak Rachel, yang berhenti di depanku. Kami sampai di persimpanga. Terowongan terus berlanjut ke depan, tapi terowongan samping bercabang ke kanan membentuk hurug T lubang bundar yang diukir dari batu vulkanik hitam.
  Apa itu? tanyaku.
  Rachel memandangi terwongan gelap itu. Di tengah pendar samar lampu senter, wajahnya terlihat mirip salah satu hantu Nico.
  Apa ke situ arahnya? tanya Annabeth.
  Bukan, kata Rachel gugup. Bukan sama sekali.
  Kalau begitu kenapa kita berhenti? tanyaku.
  Dengarkan, kata Nico.
  Aku mendengar angin berembus dari terowongan, seolah pintu keluar sudah dekat. Dan aku mencium sesuatu yang samar-samar teras


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>