Cerita Misteri | Pertempuran Labirin | Seri Percy Jackson and the Olympians | Pertempuran Labirin | Rick Riordan | Pertempuran Labirin pdf
Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori
a familier sesuatu yang mengembalikan kenangan buruk.
Pohon eucalypstus, kataku. Seperti di California.
Musim dingin lalu, waktu kami menghadapi Luke dan Atlas sang Titan di puncak Gunung Tamalpais, udaranya berbau seperti itu.
Ada sesuatu yang jahat di terowongan itu, kata Rachel. Sesuatu yang sangata kuat.
Dan bau kematian, Nico menambahkan, yang membuatku lebih baik.
Annabeth dan aku bertukar pandang.
Pintu masuk Luke, tebak Annabeth. Jalan masuk ke Gunung Othrys istana para Titan.
Aku harus memeriksanya, kataku.
Percy, jangan.
Luke bisa saja ada di sana, kataku. Atau ... atau Kronos. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi.
Annabeth ragu-ragu. Kalau begitu kita semua akan pergi.
Jangan, kataku. Terlalu berbahaya. Kalau mereka sampai menangkap Nico, atau Rachel, Kronos bisa manfaatkan mereka. Kau tinggal di sini dan jaga mereka.
Yang tidak kukatakan: aku juga mencemaskan Annabeth. Aku tidak memercayai apa yang bakal dilakukannya seandainya dia melihat Luke lagi. Luke sudah terlalu sering menipu dan memanipulasi Annabeth sebelumnya.
Percy, jangan, kata Rachel. Jangan pergi ke sana sendirian.
Aku akan cepat, janjiku. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh.
Annabeth mengambil topi Yankees-nya dari sakunya. Paling tidak bawa ini. dan hati-hatilah.
Makasih. Aku ingat kali terakhir Annabeth dan aku berpisah jalan, waktu dia memberiku ciuman untuk mendoakan keberuntunganku di Gunung St. Helens. Kali ini, yang kudapat cuma topi.
Aku memasangnya. Aku menghilang. Dan aku menyelinap dalam keadaan tak kasat mata ke terowongan batu gelap itu.
Bahkan sebelum aku sampai ke pintu keluar, aku mendengar suara-suara: bunyi geraman dan gonggongan pandai besi monster laut, para telekhine.
Paling tidak kita menyelamatkan mata pedang. Salah satu berkata. Tuan masih akan menghadiahi kita.
Ya! Ya! Yang kedua memekik. Hadiah yang tak terkira!
Suara lain, yang ini lebih manusiawi, berkata: Eh, iya, bagus tuh. Nah, kalau kalian sudah selesai denganku
Tidak, Blasteran! seekor telekhine berkata. Kau harus membantu kami melakukan penyerahan. Ini kehormata besar!
Wah, makasih. Si blasteran berkata, dan kusadari itu adalah Ethan Nakamura, cowok yang kabur setelah aku menyelamatkan nyawa menyedihkannya di arena.
Aku merayap menuju ujung terowongan. Aku harus mengingatkan diriku bahwa aku tak kasat mata. Mereka seharusnya tak bisa melihatku.
Semburan udara dinding menabrakkan saat aku keluar. Aku sedang berdiri di puncak Gunung Tam. Samudra Pasifik terhampar di bawah, kelabu di bawah langit mendung. Kira-kira enam meter ke arah dasar bukit, dua telekhine sedang meletakkan sesuatu di atas batu besar sesuatu yang panjang dan tipis dan terbungkus kain hitam. Ethan membantu mereka membukanya.
Hati-hati, Bodoh, cela si telekhine. Satu sentuhan, dan mata pedang akan melepaskan jiwamu dari tubuhmu.
Ethan menelan ludah dengan gugup. Mungkin lebih baik kubiarkan kaluan yang membukanya, kalau begitu.
Aku melirik ke puncak gunung, tempat benteng marmer hitam menjulang, persis seperti yang kulihat dalam mimpiku. Benteng itu mengingatkanku pada mausoleum yang terlalu besar, dengan dinding-dinding setinggi lima belas meter. Aku tak punya gambaran bagaimana bisa para manusia fana melewatkan fakta bahwa bangunan itu ada di sini. Tapi tentu saja, segalanya yang terletak di bawah puncak tampak kabur bagiku, seolah ada selubung tebal di antara diriku dan paruh bawah gunung. Ada shir yang berlangsung di sini Kabut yang sangat kuat. Di atasku, langit berpilin-pilin menjadi bubungan asap besar. Aku tak bisa melihat Atlas, tapi aku bisa mendengarnya mengerang di kejauhan, masih tersiksa di bawah bobot langit, tepat di balik benteng.
Di sana! kata si teleknine. Dengan khidmat, diangkatnya sebuah senjata, dan darahku pun membeku menjadi es.
Senjata itu berupa sabit bilah sepanjang kira-kira 1,2 meter yang melengkung seperti bulan sabit, dengan gagang kayu yang terbungkus kulit. Bilah tersebut mengilapkan dua cahaya yang berbeda baja dan perunggu. Itu adalah senjata Kronos, senjata yang digunakannua untuk memotong ayahnya, Ouranos, sebelum para dewa mengambil senjata itu darinya dan mencincang Kronos, mengasingkannya ke Tartarus. Sekarang senjata itu telah ditempa kembali.
Kita harus menyucikannya dalam darah, kata si telekhine. Kemudian kau, Blasteran, akan membantu menterahkannya ketika sang raja terbangun.
Aku berlari ke arah benteng, denyut jantungku berdentum-dentum di telingaku. Aku tidak mau dekat-dekat mouseleum hitam mengerikan itu, tapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus menghentikan kebangkitan Kronos. Ini mungkin satu-satunya kesempatanku.
Aku melesat melewati sebuah ruang tunggu gelap dan masuk ke aula utama. Lantai berkilat bagaikan piano mahoni hitam kelam, namun juga bercahaya. Patung-patung marmer hitam berbaris di sepanjang dinding. Aku tidak mengenali wajah-wajahnya, namun aku tahu aku sedang mamandang citra-citra para Titan yang berkuasa sebelum para dewa. Di pengunjung ruangan, di antara dua tungku perunggu, ada podium. Dan di atas podium, sarkofagus emas.
Ruangan itu hening, hanya ada bunyi api yang merentih. Luke tidak ada di sini. Tidak ada penjaga. Tidak ada apa-apa.
Ini terlalu gampang, tapi kudekati podium itu.
Sarkofagus tersebut persis seperti yang kuingat pajang kira-kira tiga meter, terlalu besar untuk seorang manusia. Peti itu diukiri adega-adegan rumit tentang kematian dan kehancuran, gambar-gambar para dewa yang tergilas di bawah kereta perang, kuil-k uil dan bangunan-bangunan terkemuka di dunia di hanc urkan dan dibakar. Secara keseluruhan peti itu memaca rkan aura dingin tak terkira, seakan aku sedang berjala n masuk ke dalam freezer. Napasku mulai beruap.
Aku mengeluarkan Reptide dan merasa sedikit nyaman berkat beban pedang yang akrab di tanganku.
Kapan pun aku mendekati Kronos sebelumnya, suara jahatnya bicara dalam benakku. Kenapa dia diam sekarang? Dia sudah dicacah-cacah menjadi ribuan potong, dipotong dengan sabitnya sendiri. Apa yang bakal kutemukan kalau aku membuka tutup peti mati itu? Bagaimana bisa mereka membuat tubuh baru untuknya?
Aku tidak punya jawaban. Aku cuma tahu bahwa seandainya dia akan bangkit, aku harus menjatuhkannya sebelum dia mendapatkan sabitnya. Aku harus memikirkan cara untuk menghentikannya.
Aku berdiri dekat peti mati itu, badanku menjulang di atasnya. Hiasan di tutup peti mati bahkan lebih rumit daripada di sisi-sisinya dengan adegan-adegan pembantaian dan kekuasaan. Di tengah ada tulisan yang tertoreh dalam bahasa yang bahkan lebih tua daripada bahasa Yunani, yang merupakan bahasa sihir. Aku sebenarnya tidak bisa membacanya, tapi aku tahu apa bunyinya: KRONOS, SANG PENGUASA WAKTU.
Tanganku menyentuh tutup peti mati. Ujung jariku membiru. Bunga es terkumpul di pedangku.
Lalu kudengar bunyi-bunyi di belakangku suara-suara mendekat. Sekarang atau tidak sama sekali. Aku mendorong tutup peti mati emas itu ke belakang dan benda itu pun jatuh ke lantai dengan bunyi BRUUUUK! keras.
Aku mengangkat pedangku, siap menyerang. Tapi waktu aku melihat ke dalam peti, aku tidak memahami apa yang kulihat. Kaki fana, mengenakan celana abu-abu. T-shirt putih, tangan terlipat di atas perut. Secuil dadanya hilang lubang hitam bersih kira-kira seukuran luka tembak, tepat di tempat jantungnya seharusnya berada. Matanya terpejam. Kulitnya pucat. Rambut pirang ... dan parut di sepanjang sisi kiri wajahnya.
Tubuh di dalam peti mati adalah tubuh Luke.
Aku seharusnya menikamnya tepat saat itu. Aku seharusnya menusukkan ujung runcing Reptide ke bawah dengan seluruh kekuatanku.
Tapi aku terlalu tercengang. Aku tidak mengerti. Meskipun aku benci Luke, meskipun dia sudah mengkhianatiku, aku semata tak mengerti kenapa dia ada di dalam peti mati, dan kenapa dia keliahatan betul-betul amat sangat mati.
Lalu suara para telekhine terdengar tepat di belakangku.
Apa yang terjadi! Salah satu monster menjerit ketika dia melihat tutup peti. Aku buru-buru menjauh dari podium, lupa bahwa aku tak kasat mata, dan bersembunyi di belakang pilar saat mereka mendekat.
Hati-hati! Monster lain memperingatkan. Mungkin beliau bergerak. Kita harusmenyerahkan hadiah itu sekarang. Secepatnya!
Kedua telekhine menyeret diri ke depan dan berlutut, mengangkat sabit yang diletakkan di atas kain pembungkusnya. Tuanku, kata salah satu. Simbol kekuatan Tuan telah dibuat kembali.
Sunyi. Tidak ada yang terjadi di dalam peti mati.
Dasar bodoh, gumam telekhine yang lain. Beliau memerlukan si blasteran terlebih dahulu.
Ethan melangkah mundur. Tunggu, apa maksudmu, dia memerlukan aku?
Jangan jadi pengecut! desis telekhine pertama. Beliau tidak memerlukan kematianmu. Cuma sumpah setiamu. Berjanji kau akan melayaninya. Memutuskan hubungan dengan para dewa. Itu saja.
Tidak! teriakku. Itu tindakan bodoh, tapi aku menyerbu masuk ke ruangan dan melepaskan topi. Ethan, jangan!
Penyusup! Para telekhine memamerkan taring anjing laut mereka. Tuan akan segera mengurusmu. Cepat, Bocah!
Ethan. Aku memohon. Jangan dengarkan mereka. Bantu aku menghancurkannya.
Ethan menoleh ke arahku, penutup matanya berbaur dengan bayang-bayang di wajahnya. Ekspresinya menunjukkan sesuatu yang mirip seperti rasa kasihan. Aku memberitahumu supaya tidak membiarkanku hidup, Percy. Mata dibalas mata. Kau pernah dengar pepatah itu? Aku mempelajarinya dengan cara yang sulit waktu kutemukan orangtua dewaku. Aku anak Nemesis, Dewi Pembalasa. Dan untuk inilah aku diciptakan.
Dia menoleh ke arah podium. Aku melepaskan hubungan dengan para dewa! Apa yang pernah mereka lakukan untukku? Akan kulihat mereka dihancurkan. Aku akan melayani Kronos.
Bangunan bergemuruh. Secercah cahaya biru naik dari lantai di kaki Ethan Nakamura. Cahaya itu melayang ke arah peti mati dan mulai berdenyar, seperti awan energi murni. Lalu cahaya itu naik ke dalam sarkofagus.
Luke terduduk tegak. Matanya terbuka, dan warna matanya tidak lagi biru. Warna matanya keemasan, sewarna dengan peti mati. Lubang di dadanya lenyap. Dia sudah sempurna. Dia melompat keluar dari peti mati dengan mudah, dan di tempat kakinya menyentuh lantai, marmer membeku layak peti es.
Dia memandang Ethan dan para telekhine dengan mata mengerikan itu, seolah dia adalah seorang bayi yang baru dilahirkan, tidak yakin pada apa yang dilihatnya. Lalu da memandangku, dan sebuah senyum pertanda bahwa dia mengenaliku melintasi mulutnya.
Tubuh ini telah sisiapkan dengan baik. Suaranya seperti silet yang ditelusurkan ke kulitku. Itu suara Luke, tapi bukan suara Luke. Di balik suaranya ada suara lain, bunyi yang lebih mengerikan bunyi kuno dan dingin yang terdengar bagaikan logam yang menggores batu. Tidakkah kau pikir begitu, Percy Jackson?
Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa menjawab.
Kronos menelengkan kepalanya ke belakang dan tertawa. Parut mukanya bergelombang.
Luke takut padamu, kata suara sang Titan. Kecemburuan dan kebencian merupakan alat yang kuat. Itu membuatnya tetap utuh. Untuk itu aku berterima kasih padamu.
Ethan terjatuh karena ngeri. Dia menutupi wajahnya dengan tangannya. Para telekhine gemetar, mengulurkan sabit.
Akhirnya aku menemukan nyaliku. Aku menyerbu makhluk yang asalnya adalah Luke itu, menghujamkan mata pedangku tepat ke dadanya, tapi kulitnya memantulkan serangan itu seolah dia terbuat dari baja murni. Dia memandangku dengan geli. Kemudian dia mengibaskan tangannya dan aku terlempar ke seberang ruangan.
Aku menghantam sebuah pilar. Aku berusaha berdiri, berkedip-kedip untuk mengusir bintang-bintang di mataku, tapi Kronos sudah menggenggam gagang sabitnya.
Ah ... jauh lebih baik, katanya. Backbiter, begitu Luke menyebutnya. Nama yang cocok. Sekarang setelah pedang ini ditempa ulang sepenuhnya, ia akan benar-benar balas menggigit.
Apa yang kau lakukan pada Luke? erangku.
Kronos mengangkat sabitnya. Dia melayaniku dengan seluruh eksistensinya, seperti yang kuminta. Bedanya, dia takut padamu, Percy Jackson. Aku tidak.
Saat itulah aku lari. Aku bahkan tidak memikirkannya. Tidak ada perdebatan dalam pikiranku soal itu ya ampun, haruskah aku menantang dan mencoba bertarung lagi? Tidak. Aku lari saja.
Tapi kakiku terasa berat seperti timah. Waktu melambat di sekitarku, seakan dunia