Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

The Iron Fey 1 - The Iron King - 4

$
0
0

Cerita Fantasi | The Iron King | Serial The Iron Fey | The Iron King | by Julie Kagawa | The Iron King pdf

Century - Sarah Singleton Cintaku Selalu Padamu - Motinggo Busye Sandra Brown - Dalam Derai Hujan - Bittersweet Rain 2 Perbedaan 1 Hati - Omiyan Cinta Tak Semudah Kata CINTA - Azizah Attamimi

u, Ethan. Monster itu tidak ada, oke?
  Ada! Dia merengut dan menendang selimut. Aku melihatnya. Mereka bicara padaku. Mereka bilang raja ingin bertemu denganku. Dia mengulurkan tangan, memperlihatkan perbannya. Laki-laki di lemari menarikku di sini. Dia menyeretku ke bawah tempat tidur ketika Beau datang dan membuatnya takut.
  Sudah jelas aku tidak bisa mengubah pikirannya. Dan aku tidak mau ada yang mengamuk di kamarku saat ini. Oke, baiklah, aku mengalah, memeluknya. Ayo bicara hal selain Beau menyelamatkanmu hari ini. Kenapa kau tak bilang pada Mom dan Luke?
  Mereka orang dewasa, ujar Ethan seakan itu sudah jelas. Mereka takkan percaya. Mereka tidak bisa melihat monster. Dia mendesah dan menatapku dengan ekspresi paling serius yang pernah kulihat dari anak kecil. Tapi Floppy bilang kau bisa melihat mereka. Jika kau berusaha lebih keras. Kau bisa melihat menembus Kabut dan glamour, itu kata Floppy.
  Apa dan apa?
  Ethan? suara Mom terdengar di luar pintu, lalu bayangannya muncul di ambang pintu. Kau di dalam? Melihat kami bersama, dia mengerjapkan mata dan tersenyum ragu-ragu. Aku menatapnya dingin.
  Mom mengabaikanku. Ethan sayang, sekarang sudah waktunya tidur. Ini hari yang panjang. Dia mengulurkan tangan, dan Ethan melompat turun melangkah menyeberangi ruangan, menyeret boneka kelinci di belakangnya.
  Boleh aku tidur bersama Mom dan Daddy? Aku mendengar Ethan bertanya, suaranya pelan dan ketakutan.
  Kurasa boleh. Hanya malam ini, oke?
  Ke. Suara mereka lenyap di koridor, dan aku menendang pintu sampai tertutup.
  Malam itu aku bermimpi aneh. Dalam mimpi itu aku terbangun dan melihat Floppy, boneka kelinci Ethan, di ujung tempat tidurku. Dalam mimpiku, si kelinci bicara padaku, kata-kata yang serius dan menakutkan. Dia ingin memperingatkanku, atau dia ingin aku menolongnya. Aku mungkin telah menjanjikan sesuatu padanya. Meskipun demikian, keesokan paginya aku tidak begitu ingat mimpi itu.
 
  * * *
 
  AKU terbangun oleh rintik hujan di atap. Ulang tahunku tampaknya ditakdirkan dingin, payah, dan basah. Rasanya ada beban berat di kepalaku, meskipun aku tak tahu kenapa aku merasa begitu tertekan. Lalu aku teringat kejadian kemarin, dan mengerang.
  Selamat ulang tahun untukku, kataku dalam hati, membenamkan diri dalam selimut. Aku akan melewatkan sisa minggu ini di tempat tidur.
  Meghan? suara Mom terdengar di luar pintu kamarku, diikuti ketukan pelan. Sudah siang. Kau sudah bangun?
  Aku tak menghiraukannya dan tetap meringkuk dalam selimut. Rasa kesalku memuncak ketika aku mengingat Beau yang malang dibawa ke kolam. Mom tahu aku marah padanya, tapi dia harus berkubang dalam rasa bersalahnya selama beberapa waktu. Aku belum siap memaafkan dan berbaikan.
  Meghan, bangun. Kau akan ketinggalan bus, kata Mom, melongok ke dalam kamar. Nada suaranya tegas, dan aku mendengus. Lupakan saja soal berbaikan.
  Aku tidak mau sekolah, gumamku dari balik selimut. Aku tidak enak badan. Sepertinya aku flu.
  Sakit? Di hari ulang tahunmu? Sial sekali. Mom masuk ke kamar, dan aku mengintip dari celah selimut. Dia ingat?
  Menyedihkan sekali, lanjut Mom, tersenyum padaku dan bersedekap. Aku berencana mengantarmu mengambil izin belajar mengemudi sepulang sekolah nanti, tapi jika kau sakit &
  Aku langsung bangun. Sungguh? Um &baiklah, rasanya tidak terlalu parah. Aku akan minum aspirin atau apa.
  Sudah kuduga. Mom menggeleng ketika aku melompat berdiri. Aku membantu ayahmu memperbaiki lumbung sore ini, jadi aku tak bisa menjemputmu. Tapi begitu kau tiba di rumah, kita pergi ke kantor DMV. Itu kado ulang tahun yang cukup bagus, kan?
  Aku nyaris tidak mendengarnya. Aku terlalu sibuk berlari keliling kamar mengambil pakaian dan mengumpulkan barang-barangku. Semakin cepat aku menjalani hari ini, semakin baik.
  Aku sedang menjejalkan PR ke dalam ransel ketika pintu terbuka lagi. Ethan muncul di depan pintu, tangan di belakang tubuhnya, senyum malu-malu dan penuh harap di wajahnya.
  Aku mengedipkan mata padanya dan menarik rambutku ke belakang. Kau sedang apa, anak manis?
  Dengan senyuman yang lebar dia melangkah masuk dan mengulurkan selembar kertas yang terlipat. Ada gambar menggunakan krayon berwarna cerah; matahari tersenyum di atas rumah kecil kami dengan asap mengepul dari cerobongnya.
  Selamat ulang tahun, Meggie, serunya, tampak bangga dengan dirinya. Aku ingat, kan?
  Tersenyum, aku mengambil kartu buatan sendiri itu dan membukanya. Di dalam ada gambar sederhana melukiskan keluarga kami balas tersenyum padaku: garis-garis membentuk tubuh Mom dan Luke, aku dan Ethan bergandengan tangan, dan seekor hewan berkaki empat yang tentunya Beau. Aku merasa tenggorokanku tersumbat, dan mataku sempat berkaca-kaca.
  Kau suka? tanya Ethan, menatapku khawatir.
  Aku suka sekali, jawabku sambil mengacak-acak rambutnya. Terima kasih. Bagaimana kalau kau tempel di kulkas, jadi semua orang bisa melihat kalau kau seniman hebat.
  Dia tersenyum lebar dan berlari menggenggam kartu itu, dan aku merasa hatiku lebih ringan. Mungkin hari ini tidak terlalu buruk.
 
  * * *
 
  JADI ibumu akan mengantarmu untuk mendapatkan izin belajar mengemudi hari ini? tanya Robbie ketika bus masuk ke lapangan parkir sekolah. Hebat sekali. Akhirnya kau bisa membawa kita ke kota dan bioskop. Kita tak perlu lagi tergantung pada bus, atau melewatkan malam demi malam menonton video VHS di televisi dua belas incimu.
  Itu hanya izin belajar, Rob. Aku meraih ransel begitu bus berhenti. Aku belum akan memiliki izin mengemudi. Melihat ibuku, sepertinya butuh enam belas tahun lagi sebelum aku boleh menyetir sendiri. Ethan mungkin mendapat izinnya sebelum aku.
  Memikirkan adik tiriku menyebabkan rasa dingin melandaku. Aku teringat ucapannya. Kau bisa melihat menembus Kabut dan glamour, itu kata Floppy.
  Lupakan itu ucapan dari sebuah boneka, tapi aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya.
  Saat aku menuruni bus, satu sosok yang familiar memisahkan diri dari kerumunan orang dan langsung menghampiriku. Scott. Perutku melilit, aku melirik sekeliling, mencari rute untuk melarikan diri, tapi sebelum aku sempat berbaur dalam kerumunan, dia sudah di depanku.
  Hei. Suaranya, berat dan beraksen, membuatku gemetar. Meskipun ketakutan, aku tetap melihat kalau dia tampan, rambut pirang lembapnya bergelombang acak-acakan dan mengikal di dahinya. Entah mengapa dia tampak gugup, menyisirkan jemari di poninya dan menatap sekeliling. Ehm & Dia ragu-ragu. Siapa namamu?
  Meghan, bisikku.
  Oh, benar. Melangkah mendekat, dia menoleh ke arah teman-temannya dan memelankan suara. Dengar, aku merasa bersalah dengan caraku memperlakukanmu kemarin. Itu tidak disengaja. Aku minta maaf.
  Sejenak aku bingung. Aku mengharapkan adanya ancaman, hinaan, atau tuduhan. Lalu kelegaan melembung dalam tubuhku ketika akhirnya mengerti maksud ucapannya. O-oh, aku terbata-bata, merasa wajahku memanas, tidak apa-apa. Lupakan saja.
  Aku tak bisa, gumamnya. Aku terus memikirkan dirimu sejak kemarin. Aku benar-benar brengsek, dan aku ingin menebusnya. Apa & Scott berhenti, menggigit bibir, lalu bicara cepat. Apa kau mau makan siang bersamaku hari ini?
  Jantungku berdebar. Kupu-kupu beterbangan di perutku, dan tubuhku serasa melayang. Aku nyaris tak bisa bersuara untuk mengucapkan Tentu. Scott tersenyum lebar, memperlihatkan gigi putih menyilaukan, dan mengedipkan mata.
  Hei, teman-teman! Lihat ke sini! Salah satu teman setim Scott berdiri tak jauh dari kami, sebuah ponsel berkamera di tangannya mengarah pada kami. Ayo senyum.
  Belum sempat aku menyadari apa yang terjadi, Scott merangkul bahuku dan menarikku mendekat. Aku menatapnya terpaku, sementara jantungku berdetak kencang. Dia menyunggingkan senyum menawan ke kamera, sementara aku hanya bisa menatap, terpana, seperti idiot.
  Terima kasih, Meg, kata Scott, menjauh dariku. Sampai ketemu makan siang nanti. Dia tersenyum dan melangkah ke arah sekolah dengan satu kedipan terakhir. Si pemotret tergelak dan berlari mengejarnya, meninggalkan aku yang tercenung dan bingung di sudut lapangan parkir.
  Sesaat aku hanya berdiri di sana, terpaku seperti orang idiot sementara teman sekelas berhamburan di sekitarku. Lalu cengiran lebar menyebar di wajahku dan aku melompat kegirangan. Scott Waldron ingin bertemu denganku! Dia ingin makan siang denganku, hanya aku, di kafetaria. Mungkin akhirnya peruntunganku berubah. Ulang tahun terbaikku mungkin baru saja dimulai.
  Ketika tirai hujan keperakan membasahi lapangan parkir, aku merasa ada yang menatapku. Membalikkan badan, aku mendapati Robbie beberapa langkah jauhnya, mengawasiku di antara kerumunan orang.
  Karena terbias air hujan matanya tampak bersinar, terlalu hijau. Ketika air menyentuh permukaan tanah dan murid-murid berlarian ke arah sekolah, aku melihat bayangan sesuatu di wajahnya: moncong panjang, mata sipit seperti celah, lidah terjulur di antara taring tajam. Perutku melilit, tapi aku mengerjapkan mata dan Robbie kembali menjadi dirinya lagi normal, tersenyum lebar, tak peduli bahwa dia basah kuyup.
  Begitu juga aku.
  Sambil memekik, aku berlari ke selasar sekolah dan berlindung di bawahnya. Robbie mengikuti, tergelak, menarik-narik helaian rambut basahku sampai aku memukulnya dan dia menghentikan perbuatannya.
  Selama jam pertama, aku terus melirik Robbie, mencari jejak menakutkan mirip predator di wajahnya, bertanya-tanya apa aku sudah gila. Yang aku dapatkan hanyalah leher pegal dan teguran dari guru kelas Bahasa Inggris agar aku memperhatikan pelajaran dan berhenti menatap murid laki-laki.
 
  * * *
 
  KETIKA bel makan siang berbunyi, aku melompat, jantungku berdetak 100 mil per menit. Scott sudah menunggu di kafetaria. Aku mengumpulkan buku, memasukkan ke dalam ransel, berbalik
  Dan langsung berhadapan dengan Robbie yang berdiri di belakangku.
  Aku memekik. Rob, aku akan memukulmu jika kau tak berhenti melakukan itu! Sekarang, minggir. Aku harus pergi.
  Jangan pergi. Suaranya pelan, serius. Merasa heran, aku menatapnya. Cengiran usilnya lenyap, dan rahangnya kaku. Tatapan matanya nyaris menakutkan. Ini buruk, aku bisa merasakannya. Cowok-bercawat itu merencanakan sesuatu dia dan teman-temannya berkerumun lama sekali di departemen buku tahunan setelah bicara denganmu. Aku tidak suka itu. Berjanjilah kau takkan pergi.
  Aku melangkah mundur. Kau menguping pembicaraan kami? tanyaku marah. Kau ini kenapa? Pernah dengar percakapan pribadi ?
  Waldron tak peduli padamu. Robbie bersedekap, menantangku untuk membantahnya. Dia akan mematahkan hatimu, Putri. Percayalah, aku sudah sering melihat orang sejenisnya untuk mengetahui hal ini.
  Kemarahanku berkobar, kemarahan karena dia berani ikut campur dalam urusanku, kemarahan karena dia mungkin saja benar. Sekali lagi, ini bukan urusanmu, Rob! bentakku, membuat alisnya terangkat. Dan aku bisa menjaga diri, oke? Berhenti ikut campur kalau tidak diminta.
  Ekspresi terluka melintas di wajahnya, tapi lenyap dengan cepat. Baiklah, Putri. Dia menyeringai, mengulurkan tangan. Jangan dipikirkan. Lupakan saja yang aku katakan tadi.
  Tentu saja. Memalingkan kepala, aku melangkah riang keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
  Rasa bersalah menerpaku ketika aku menyusuri koridor menuju kafetaria. Aku menyesal telah membentak Robbie, tapi terkadang sikapnya yang Sok jadi Kakak terlalu berlebihan. Memang, Robbie selalu seperti itu cemburuan, terlalu melindungi, selalu menjagaku, seolah itu tugasnya. Aku tak ingat kapan pertama kali bertemu dengannya, tapi rasanya dia selalu ada.
  Kafetaria berisik dan remang-remang. Aku berdiri di depan pintu, mencari Scott, melihatnya di meja di tengah ruangan. Dia dikelilingi para pemandu sorak dan anggota tim football. Aku ragu. Tak mungkin aku langsung ke meja itu dan duduk di sana. Angie Whitmond dan tim pemandu soraknya akan mencabik-cabikku.
  Scott mengangkat kepala dan melihatku, senyum malas tersungging di wajahnya. Menganggapnya sebagai undangan, aku menghampiri, melewati meja-meja lain. Dia mengeluarkan iPhone, menekan sebuah tombol, dan menatapku dengan mata setengah terpejam, masih tersenyum lebar.
  Sebuah telepon berdering di dekatku.
  Aku agak kaget, tapi aku terus melangkah. Di belakangku, ada suara kaget, lalu disusul tawa histeris. Lalu percakapan bisik-bisik yang membuatmu berpikir kalau mereka sedang membicarakanmu. Aku merasakan banyak m


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>