Cerita Fantasi | The Iron King | Serial The Iron Fey | The Iron King | by Julie Kagawa | The Iron King pdf
Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori
ata menatapku. Berusaha mengabaikannya, aku terus berjalan menyusuri koridor.
 Sebuah telepon lain berdering.
 Dan satu lagi.
 Dan sekarang, bisik-bisik dan tawa merambat dengan cepat. Entah kenapa aku merasa diamati, seakan ada lampu sorot tertuju padaku dan aku sedang dipamerkan. Tawa itu tak mungkin ditujukan padaku, kan? Aku melihat beberapa orang menunjuk ke arahku, berbisik-bisik dengan temannya, dan mencoba sebisaku untuk mengabaikan mereka. Meja Scott hanya tinggal beberapa langkah lagi.
 Hei, pipi merah! Ada yang menampar bokongku dan aku menjerit. Membalikkan badan, aku menatap marah Dan Ottoman si pirang jerawatan, pemain klarinet di band sekolah. Dia mengerling dan mengedip ke arahku. Aku tak pernah menyangka kau ini seorang pemain , katanya berusaha memancarkan pesonanya alih-alih mengingatkanku pada Kermit si Kodok yang jorok. Sekali-sekali kunjungi band kami. Aku punya flute yang bisa kau mainkan.
 Apa yang kau bicarakan? bentakku, tapi dia mencibir dan memperlihatkan ponselnya.
 Awalnya layarnya kosong. Tapi kemudian satu pesan kuning terang muncul. Tertera kalimat Apa persamaan Meghan Chase dengan bir dingin? Aku tersentak, lalu kata-kata itu menghilang seiring dengan munculnya sebuah foto.
 Aku. Aku dan Scott di lapangan parkir, tangannya merangkul bahuku, senyum lebar di wajahnya. Hanya saja mulutku ternganga aku telanjang bulat, menatapnya penuh kekaguman, mataku kosong dan bodoh. Jelas sekali dia menggunakan Photoshop, tubuhku luar biasa kurus, tak berlekuk, seperti boneka, dadaku sedatar anak umur dua belas tahun. Aku membeku, jantungku berhenti berdetak bersamaan dengan munculnya pesan di layar.
 Mereka sama-sama menggiurkan dan memabukkan!
 Perutku mencelus dan pipiku terbakar. Dengan ngeri, aku menatap Scott, mendapati semua orang di mejanya terbahak-bahak dan menunjuk ke arahku. Nada dering bersahutan di kafetaria, dan suara tawa menghantamku seperti gelombang pasang. Aku gemetar, dan mataku memanas.
 Menutupi wajah, aku berbalik dan meninggalkan kafetaria sebelum mulai menangis meraung-raung seperti anak umur dua tahun. Tawa membahana terdengar di sekitarku, dan air mata menyengat mataku seperti racun. Aku melintasi ruangan tanpa tersandung kursi atau kakiku sendiri, memukul pintu hingga terbuka, kabur ke koridor.
 Aku melewatkan hampir satu jam dalam bilik paling ujung di toilet perempuan, menangis tersedu-sedu sampai mataku bengkak. Aku ingin pindah ke Kanada atau Fiji pokoknya ke tempat yang jauh, jauh sekali. Aku tak berani memperlihatkan wajahku pada siapa pun di negara bagian ini lagi. Akhirnya ketika air mata mulai kering dan napas tak lagi tersengal-sengal, aku merenungkan betapa menyedihkan hidupku ini.
 Seharusnya aku tersanjung, pikirku muram, tak berani bersuara ketika beberapa gadis masuk toilet. Scott turun tangan menghancurkan hidupku. Berani taruhan, dia pasti tidak pernah melakukan hal itu pada orang lain. Beruntungnya aku, si pecundang terbesar di dunia. Air mataku nyaris jatuh lagi, tapi aku sudah lelah menangis sehingga aku menahannya.
 Semula aku berencana mengunci diri di toilet sampai sekolah berakhir. Tapi jika ada yang menyadari aku bolos, maka tempat inilah yang pertama-tama akan diperiksa. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengendap-endap ke ruang perawat dan berpura-pura sakit perut hebat agar bisa bersembunyi di sana.
 Si perawat mengenakan loafer berhak se tebal 12 sentimeter, tapi tatapan yang dia tujukan kepa daku ketika aku mengintip ke dalam mengisyaratkan di a tak akan menoleransi keisengan remaja. Kulitnya sep erti walnut keriput, rambut putihnya disanggul rapi dan kacamata emas kecil bertengger di hidungnya.
 Well, Ms. Chase, sapanya dengan suara nyaring dan parau, sambil meletakkan papan catatan. Apa yang kau lakukan di sini? Aku mengerjap, heran karena dia mengenalku. Aku hanya satu kali mengunjungi ruang perawat, ketika bola sepak nyasar menghantam hidungku. Waktu itu, perawatnya kurus tinggi, dengan gigi sedikit maju yang membuatnya terlihat seperti kuda. Wanita gemuk pendek keriput ini baru, dan caranya menatap membuatku agak menakutkan.
 Aku sakit perut, keluhku sambil memegangi perut seolah-olah akan meledak. Aku hanya ingin berbaring sebentar.
 Tentu saja, Ms. Chase. Ada ranjang kecil di belakang. Aku akan membawakan sesuatu untuk membuatmu merasa lebih baik.
 Aku mengangguk dan melangkah ke ruangan yang dipisahkan oleh beberapa lembar tirai. Selain aku dan si perawat, ruangan itu kosong. Sempurna. Aku memilih ranjang di sudut ruangan dan berbaring di kasur beralas seprai kertas.
 Tak lama kemudian si perawat muncul. Dia membawa segelas kertas berisi sesuatu yang menggelegak dan berasap. Minum ini, kau akan merasa lebih baik, katanya sambil memberikan gelas itu ke tanganku.
 Aku menatap gelas kertas itu. Cairan putih mendesis itu beraroma cokelat dan rempah-rempah, hanya lebih tajam, entah bagaimana campuran itu rasanya begitu menyengat sehingga membuat mataku berair. Apa ini? tanyaku.
 Si perawat hanya tersenyum dan meninggalkan ruangan.
 Dengan hati-hati aku meneguk cairan itu satu kali dan merasakan kehangatan menyebar dari tenggorokan sampai ke perutku. Rasanya luar biasa, seperti cokelat paling enak di dunia, dengan sedikit rasa pahit setelahnya. Aku menghabiskan sisanya dalam dua tegukan, membalikkan gelas agar tidak menyia-nyiakan satu tetes pun.
 Hampir seketika, aku merasa mengantuk. Berbaring di kasur yang bergemeresik, aku menutup mata sejenak, dan semuanya lenyap.
Â
 * * *
Â
 AKU terbangun oleh pembicaraan yang bernada rahasia di balik tirai. Aku berusaha bergerak, tapi tubuhku serasa terbalut perban, kepalaku berkabut. Aku berjuang agar mataku tetap terbuka. Di sisi lain tirai, aku melihat dua bayangan tubuh.
 Jangan ceroboh, terdengar suara pelan memperingatkan. Si perawat, pikirku, dalam kondisi setengah mengigau bertanya-tanya apakah dia mau memberiku minuman itu lagi. Ingat, tugasmu menjaga gadis itu. Jangan melakukan hal-hal yang akan menarik perhatian.
 Aku? tanya suara yang begitu familiar. Menarik perhatian? Buat apa aku melakukan itu?
 Si perawat mendengus. Jika tim pemandu sorak berubah menjadi tikus, Robin, aku akan marah sekali kepadamu. Manusia remaja tidak tahu apa-apa dan kejam. Kau tahu itu. Kau tak boleh balas dendam, apa pun perasaanmu pada gadis itu. Apalagi sekarang. Ada hal-hal yang lebih mengkhawatirkan sedang terjadi.
 Aku sedang bermimpi, putusku. Pasti karena itu. Sebenarnya itu minuman apa? Dalam cahay a remang-remang, siluet yang terbentuk di tirai terlihat membingungkan dan aneh. Si perawat tampak lebih ke cil, nyaris tak sampai satu meter. Bayangan yang lain malah lebih aneh: ukurannya normal, tapi ada sesuatu yang mencuat di samping kepalanya yang mirip tanduk , atau telinga.
 Bayangan yang lebih tinggi mendesah dan duduk di kursi, menyilangkan kaki panjangnya. Aku juga mendengar hal yang sama, gumamnya. Berita-berita mengerikan beredar. Istana sedang gelisah. Sepertinya ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan.
 Itulah sebabnya kau harus menjadi perisai dan pelindung gadis itu. Si perawat berbalik, berkacak pinggang, suaranya mencela. Aku heran kau belum memberinya anggur-kabut. Dia berusia enam belas tahun hari ini. Selubung sudah mulai tersibak.
 Aku tahu, aku tahu. Aku akan melakukannya. Bayangan itu mendesah, membenamkan wajah di kedua tangannya. Aku akan membereskannya sore ini. Bagaimana keadaannya?
 Beristirahat, kata si perawat. Anak malang, dia terpukul sekali. Aku memberinya ramuan tidur dosis rendah yang akan membuatnya terlelap sampai waktu pulang nanti.
 Tawa kecil terdengar. Anak laki-laki terakhir yang minum ramuan tidur dosis rendahmu tidak bangun selama dua minggu. Padahal kau yang mengingatkan agar tidak menarik perhatian.
 Jawaban si perawat kurang jelas, tapi aku hampir yakin dia mengatakan, Gadis itu anak ayahnya. Dia akan baik-baik saja. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Dunia menjadi kabur, seperti kamera yang tidak fokus, dan kemudian aku tak sadar apa yang terjadi.
Â
 * * *
Â
 MEGHAN!
 Seseorang mengguncang tubuhku sampai aku terbangun. Aku memaki dan menggeliat, kebingungan, dan akhirnya mengangkat kepala. Mataku seperti dibebani lima kilo pasir, dan kotoran bertumpuk di sudutnya sehingga sulit untuk melihat jelas. Mengerang, aku mengusap bibir dan menatap wajah Robbie dengan mengantuk. Alisnya berkerut penuh kekhawatiran selama sesaat. Lalu aku mengerjapkan mata dan dia kembali normal, ceria seperti biasanya.
 Ayo bangun, Putri Tidur, godanya ketika aku berjuang untuk duduk. Kau beruntung, sekolah sudah usai. Saatnya pulang.
 Apa? gumamku bingung, menghapus sisa-sisa kotoran dari mataku. Robbie mendengus dan menarikku berdiri.
 Ini, katanya, menyerahkan ranselku yang berat berisi buku. Kau beruntung aku ini teman yang baik. Aku membawakan catatan dari semua pelajaran yang tak kau ikuti setelah makan siang. Oh, dan omong-omong, kau dimaafkan. Aku bahkan tak akan mengatakan Apa kubilang.
 Robbie bicara terlalu cepat. Otakku masih mengantuk, pikiranku berkabut dan tidak bisa berpikir. Kau bicara apa? Aku menggumam, mengangkat ranselku.
 Lalu aku teringat.
 Aku harus menelepon ibuku, kataku, terduduk kembali di ranjang. Robbie mengerutkan dahi, tampak bingung. Dia harus menjemputku, kataku menjelaskan. Tidak mungkin aku naik bus lagi, sampai kapan pun. Rasa putus asa melandaku, dan aku menyembunyikan wajah dalam kedua tanganku.
 Sudahlah, Meghan, ujar Robbie. Aku tahu apa yang terjadi. Itu bukan masalah besar.
 Kau mabuk ya? tanyaku, menatapnya marah dari sela-sela jariku. Seluruh sekolah membicarakan diriku. Mungkin akan masuk koran sekolah. Aku akan disalib jika berani menunjukkan wajah di muka umum. Dan kau bilang itu bukan masalah besar?
 Aku menarik lutut ke dada, membenamkan wajah di dalamnya. Semua ini sangat tidak adil. Ini ulang tahunku, aku mengerang di celana jinsku. Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi pada siapa pun yang berulang tahun.
 Robbie mendesah. Menjatuhkan tasnya, dia duduk dan memelukku, menarikku ke dadanya. Aku terisak, meneteskan air mata di jaketnya, mendengarkan detak jantungnya dari balik kaus. Jantungnya berdenyut cepat, seolah-olah dia baru saja berlari beberapa mil.
 Ayo, Robbie berdiri, menarikku. Kau bisa melalui ini. Dan aku janji, tak ada yang memedulikan kejadian hari ini. Besok, semua akan melupakannya. Dia tersenyum, meremas lenganku. Selain itu, bukankah kau harus mengambil izin belajar mengemudi?
 Satu hal positif di tengah kesengsaraan hidup ini memberiku harapan. Aku mengangguk, menabahkan diri untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Kami meninggalkan ruang perawat, tangan Robbie menggenggam tanganku.
 Jangan jauh-jauh dariku, gumamnya saat kami mendekati koridor yang ramai. Angie dan tiga pengagumnya berdiri di depan loker, mengobrol sambil mengunyah permen karet. Perutku tegang dan jantungku mulai berdebar kencang. Robbie meremas tanganku. Tidak apa-apa. Jangan lepas tanganku, dan jangan bicara pada siapa pun. Mereka takkan sadar kita ada di sini.
 Ketika kami mendekati gerombolan gadis- gadis itu, aku bersiap mendengar tawa dan cemoohan yang ditujukan padaku. Kami melewati mereka bahkan tanpa dilirik satu kali pun, meskipun Angie sedang men ceritakan saat-saat memalukan ketika aku kabur dari k afetaria.
 Dan kemudian dia mulai menangis meraung-raung, kata Angie, suara sengaunya terdengar di koridor. Dan aku bilang, oh Tuhan, dia memang pecundang. Tapi apa yang kau harapkan dari orang kampung hasil perkawinan sedarah? Suaranya berubah menjadi bisikan lalu dia mencondongkan badan. Kudengar ibunya punya obsesi yang tak normal dengan babi, kau tahu apa maksudku.
 Gadis-gadis itu serempak tertawa kaget, dan aku hampir saja membentak mereka. Tapi Robbie mempererat cengkeramannya dan menarikku menjauh. Aku mendengarnya menggumamkan sesuatu dan merasakan semacam getaran merambat di udara, seperti guruh tanpa suara.
 Di belakang kami, Angie mulai menjerit.
 Aku berusaha menoleh, tapi Robbie memaksaku terus melangkah, melewati kerumunan murid yang menoleh ke arah suara jeritan berasal. Tapi aku sempat melihat Angie menutupi hidung dengan ta ngan, dan semakin lama jeritannya terdengar mirip bab i.
 BAB TIGA
 Changeling
Â
 Perjalanan naik bus menuju rumah terasa hening, paling tidak bagi Robbie dan aku. Sebagian karena aku tak
↧
The Iron Fey 1 - The Iron King - 5
↧